Oleh: Kurtubi
Memerhatikan bagaimana pemerintah mengelola masalah energi, khususnya yang menyangkut kebijakan harga BBM, diperoleh kesan pemerintah masih ragu dan tidak yakin dengan kebijakan yang akan diambil.
Di satu sisi, subsidi BBM dilihat sebagai beban yang memberatkan APBN sehingga harus dikurangi dan cepat atau lambat harus dihilangkan. Alasan klasiknya, beban subsidi mengurangi kemampuan negara membiayai pembangunan infrastruktur, sektor pendidikan, dan kesehatan. Subsidi BBM dinilai juga salah sasaran, lebih banyak dinikmati orang kaya dibandingkan orang miskin. Penghapusan subsidi BBM juga dimaksudkan untuk membuka jalan bagi peritel BBM non-Pertamina yang saat ini sudah banyak tumbuh, seperti Shell, Petronas, dan Total, untuk bisa berkembang dengan bebas menjual bensin premium yang menjadi pilihan pemilik sebagian besar kendaraan di Indonesia.
Di sisi lain, mengingat jumlah masyarakat miskin relatif masih sangat banyak, sekitar 30 jutaan orang atau bahkan lebih besar bila menggunakan patokan angka kemiskinan Bank Dunia, pemerintah, siapa pun presidennya, sangat enggan menaikkan harga BBM. Menaikkan harga jadi opsi terakhir karena reaksi rakyat akan keras menolak.
Kini pemerintah bersama DPR telah bersepakat melalui APBN Perubahan (APBN-P) 2010 bahwa volume BBM bersubsidi yang boleh dijual atau disalurkan oleh Pertamina adalah 36,5 juta kiloliter, terdiri dari bensin premium 21,4 juta kiloliter, minyak solar 11,2, dan minyak tanah 3,5 juta kiloliter.
Hingga Agustus 2010, realisasi penjualan BBM bersubsidi dilaporkan sudah mencapai sekitar 60 persen dari yang dianggarkan sehingga diperkirakan pada akhir tahun akan melampaui jumlah yang ditetapkan dalam APBN-P 2010. Kalau sampai Pertamina menjual atau menyalurkan BBM bersubsidi melampaui dari yang dianggarkan tanpa persetujuan pemerintah, maka Pertamina sendiri yang harus menanggung ”kerugian” tersebut.
Padahal, Pertamina sebagai PT Persero, berdasarkan UU, tidak boleh rugi. Artinya, tanpa ada perintah dan desakan dari BPH Migas, Pertamina pasti tidak akan bersedia menyalurkan BBM bersubsidi melewati kuota tanpa persetujuan pemerintah.
Wacana pembatasan
Dalam upaya membatasi pemakaian BBM bersubsidi, Direktorat Jenderal Migas dan BP Migas berulang kali melontarkan wacana pembatasan pemakaian BBM bersubsidi. Namun, tidak pernah ada satu cara pun yang diterapkan. Hanya sebatas wacana! Mulai dari skenario untuk melarang sepeda motor membeli premium, kemudian muncul ide untuk melarang kendaraan dengan mesin di atas jumlah cc tertentu. Terakhir ini, menguat rencana larangan membeli BBM bersubsidi bagi pemilik kendaraan di atas tahun 2005.
Mengingat harga minyak dunia belakangan ini cenderung jauh di bawah patokan harga APBN-P 2010 dan nilai rupiah menguat terhadap dollar AS, maka besaran subsidi BBM sekitar Rp 90 triliun yang dianggarkan dalam APBN-P 2010 tidak akan terlampaui meski volume BBM bersubsidi tidak dibatasi. Kondisi ini kembali akan mementahkan berbagai skenario pembatasan BBM bersubsidi yang telah dicanangkan dan bahkan telah diujicobakan oleh BPH Migas dengan biaya miliaran rupiah.
Masyarakat, khususnya pengguna bensin premium, masih tertolong, setidaknya untuk tahun 2010 ini. Tahun 2011, dengan pagu volume BBM bersubsidi direncanakan 38,6 juta kiloliter, masyarakat pasti akan kembali dihantui wacana pelarangan pembelian bensin premium. Persoalannya, realisasi pemakaian BBM bersubsidi tahun 2010 kemungkinan bisa melampaui 40 juta kiloliter. Apalagi tahun 2011, target 38,6 juta kiloliter kemungkinan juga akan terlampaui.
Pengelolaan migas
Tampaknya persoalan mendasar yang melatarbelakangi kebijakan pembatasan BBM ini sama sekali tidak disentuh. Pertama, terkait sumber daya migas nasional yang pengelolaannya didasarkan pada UU Migas No 22/2001, dan dalam 10 tahun terakhir ini telah dikelola secara salah dan menyimpang dari ketentuan Pasal 33 UUD 1945.
Penerapan UU Migas telah berakibat pada anjlok atau rendahnya produksi minyak nasional karena tidak adanya penemuan cadangan baru sebagai akibat investasi eksplorasi yang anjlok karena sistem yang birokratis dan pembebanan pajak semasa eksplorasi. Belum lagi terjualnya gas dari Papua (LNG Tangguh) dengan harga murah karena BP Migas yang diserahi mengelola tidak eligible untuk melakukan kegiatan bisnis, termasuk membangun pabrik LNG dan memasarkannya. LNG Tangguh yang dikembangkan perusahaan minyak BP (bukan BP Migas) dijual dengan harga sekitar 3,5 dollar AS per mmbtu ke China, jauh di bawah harga LNG Badak yang saat ini dijual sekitar 12 dollar AS per mmbtu.
Pada tahun 2000, produksi minyak nasional masih sekitar 1,5 juta barrel per hari (bph), tapi tahun 2010 hanya sekitar 960.000 bph, padahal sumber daya migas di perut bumi Nusantara relatif sangat besar, sekitar 80 miliar barrel. Akibatnya, penerimaan dari sektor migas terus menurun dibandingkan besaran subsidi BBM. Sementara, kelemahan BP Migas dalam mengelola cost recovery yang terus membengkak (karena ketiadaan lembaga Dewan Komisaris/Majelis Wali Amanat) diatasi dengan solusi kontraproduktif.
Seandainya kekayaan migas nasional dikelola secara benar dan produksi minyak nasional 2010 dapat dipertahankan pada level sekitar 1,5 juta bph serta gas dari Papua dipasok untuk keperluan dalam negeri, saya yakin rakyat tidak akan dihantui ”ancaman” pelarangan pembelian bensin premium dengan berbagai skenario seperti diwacanakan beberapa tahun terakhir ini.
Kedua, sebenarnya kebijakan subsidi BBM tidak semuanya negatif. Tidak perlu terlalu dirisaukan secara berlebihan, seolah-olah kebijakan subsidi BBM ini merupakan barang ”najis” yang harus dihindari. Harga BBM yang terjangkau telah terbukti dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Itulah sebabnya mengapa China dan India yang merupakan dua negara berpenduduk besar dengan pertumbuhan ekonomi sangat tinggi tetap memberikan subsidi BBM kepada rakyatnya. Padahal, China dan India masing-masing mengimpor minyak sekitar 60 persen dan 80 persen dari kebutuhan dalam negeri.
Untuk Indonesia, dengan kekayaan migas relatif jauh lebih besar daripada kedua negara tersebut, semestinya kebijakan energinya jauh lebih mudah dan lebih mendukung pencapaian kemakmuran rakyatnya. Gas, misalnya, dapat dipakai untuk mengurangi pemakaian BBM dan mendorong pertumbuhan industri. Selain cadangan jauh lebih besar dari minyak, gas juga relatif lebih murah dan lebih ramah lingkungan.
Namun, karena kekayaan migas nasional dalam 10 tahun terakhir telah dikelola secara salah, gas yang semestinya dapat dipakai sebagai BBG untuk mengganti premium pada angkutan umum ternyata malah dijual keluar negeri dengan harga supermurah. Kebijakan diversifikasi energi di sektor angkutan yang telah dicanangkan lebih dari 20 tahun yang lalu, hingga kini tidak jalan. Bahkan, stasiun pengisian BBG yang tadinya sekitar 30 buah, kini hanya tinggal sekitar lima karena gasnya tidak cukup!
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/28/03473361/pembatasan.bbm.
Kurtubi Pengamat Pertambangan dan Energi
Memerhatikan bagaimana pemerintah mengelola masalah energi, khususnya yang menyangkut kebijakan harga BBM, diperoleh kesan pemerintah masih ragu dan tidak yakin dengan kebijakan yang akan diambil.
Di satu sisi, subsidi BBM dilihat sebagai beban yang memberatkan APBN sehingga harus dikurangi dan cepat atau lambat harus dihilangkan. Alasan klasiknya, beban subsidi mengurangi kemampuan negara membiayai pembangunan infrastruktur, sektor pendidikan, dan kesehatan. Subsidi BBM dinilai juga salah sasaran, lebih banyak dinikmati orang kaya dibandingkan orang miskin. Penghapusan subsidi BBM juga dimaksudkan untuk membuka jalan bagi peritel BBM non-Pertamina yang saat ini sudah banyak tumbuh, seperti Shell, Petronas, dan Total, untuk bisa berkembang dengan bebas menjual bensin premium yang menjadi pilihan pemilik sebagian besar kendaraan di Indonesia.
Di sisi lain, mengingat jumlah masyarakat miskin relatif masih sangat banyak, sekitar 30 jutaan orang atau bahkan lebih besar bila menggunakan patokan angka kemiskinan Bank Dunia, pemerintah, siapa pun presidennya, sangat enggan menaikkan harga BBM. Menaikkan harga jadi opsi terakhir karena reaksi rakyat akan keras menolak.
Kini pemerintah bersama DPR telah bersepakat melalui APBN Perubahan (APBN-P) 2010 bahwa volume BBM bersubsidi yang boleh dijual atau disalurkan oleh Pertamina adalah 36,5 juta kiloliter, terdiri dari bensin premium 21,4 juta kiloliter, minyak solar 11,2, dan minyak tanah 3,5 juta kiloliter.
Hingga Agustus 2010, realisasi penjualan BBM bersubsidi dilaporkan sudah mencapai sekitar 60 persen dari yang dianggarkan sehingga diperkirakan pada akhir tahun akan melampaui jumlah yang ditetapkan dalam APBN-P 2010. Kalau sampai Pertamina menjual atau menyalurkan BBM bersubsidi melampaui dari yang dianggarkan tanpa persetujuan pemerintah, maka Pertamina sendiri yang harus menanggung ”kerugian” tersebut.
Padahal, Pertamina sebagai PT Persero, berdasarkan UU, tidak boleh rugi. Artinya, tanpa ada perintah dan desakan dari BPH Migas, Pertamina pasti tidak akan bersedia menyalurkan BBM bersubsidi melewati kuota tanpa persetujuan pemerintah.
Wacana pembatasan
Dalam upaya membatasi pemakaian BBM bersubsidi, Direktorat Jenderal Migas dan BP Migas berulang kali melontarkan wacana pembatasan pemakaian BBM bersubsidi. Namun, tidak pernah ada satu cara pun yang diterapkan. Hanya sebatas wacana! Mulai dari skenario untuk melarang sepeda motor membeli premium, kemudian muncul ide untuk melarang kendaraan dengan mesin di atas jumlah cc tertentu. Terakhir ini, menguat rencana larangan membeli BBM bersubsidi bagi pemilik kendaraan di atas tahun 2005.
Mengingat harga minyak dunia belakangan ini cenderung jauh di bawah patokan harga APBN-P 2010 dan nilai rupiah menguat terhadap dollar AS, maka besaran subsidi BBM sekitar Rp 90 triliun yang dianggarkan dalam APBN-P 2010 tidak akan terlampaui meski volume BBM bersubsidi tidak dibatasi. Kondisi ini kembali akan mementahkan berbagai skenario pembatasan BBM bersubsidi yang telah dicanangkan dan bahkan telah diujicobakan oleh BPH Migas dengan biaya miliaran rupiah.
Masyarakat, khususnya pengguna bensin premium, masih tertolong, setidaknya untuk tahun 2010 ini. Tahun 2011, dengan pagu volume BBM bersubsidi direncanakan 38,6 juta kiloliter, masyarakat pasti akan kembali dihantui wacana pelarangan pembelian bensin premium. Persoalannya, realisasi pemakaian BBM bersubsidi tahun 2010 kemungkinan bisa melampaui 40 juta kiloliter. Apalagi tahun 2011, target 38,6 juta kiloliter kemungkinan juga akan terlampaui.
Pengelolaan migas
Tampaknya persoalan mendasar yang melatarbelakangi kebijakan pembatasan BBM ini sama sekali tidak disentuh. Pertama, terkait sumber daya migas nasional yang pengelolaannya didasarkan pada UU Migas No 22/2001, dan dalam 10 tahun terakhir ini telah dikelola secara salah dan menyimpang dari ketentuan Pasal 33 UUD 1945.
Penerapan UU Migas telah berakibat pada anjlok atau rendahnya produksi minyak nasional karena tidak adanya penemuan cadangan baru sebagai akibat investasi eksplorasi yang anjlok karena sistem yang birokratis dan pembebanan pajak semasa eksplorasi. Belum lagi terjualnya gas dari Papua (LNG Tangguh) dengan harga murah karena BP Migas yang diserahi mengelola tidak eligible untuk melakukan kegiatan bisnis, termasuk membangun pabrik LNG dan memasarkannya. LNG Tangguh yang dikembangkan perusahaan minyak BP (bukan BP Migas) dijual dengan harga sekitar 3,5 dollar AS per mmbtu ke China, jauh di bawah harga LNG Badak yang saat ini dijual sekitar 12 dollar AS per mmbtu.
Pada tahun 2000, produksi minyak nasional masih sekitar 1,5 juta barrel per hari (bph), tapi tahun 2010 hanya sekitar 960.000 bph, padahal sumber daya migas di perut bumi Nusantara relatif sangat besar, sekitar 80 miliar barrel. Akibatnya, penerimaan dari sektor migas terus menurun dibandingkan besaran subsidi BBM. Sementara, kelemahan BP Migas dalam mengelola cost recovery yang terus membengkak (karena ketiadaan lembaga Dewan Komisaris/Majelis Wali Amanat) diatasi dengan solusi kontraproduktif.
Seandainya kekayaan migas nasional dikelola secara benar dan produksi minyak nasional 2010 dapat dipertahankan pada level sekitar 1,5 juta bph serta gas dari Papua dipasok untuk keperluan dalam negeri, saya yakin rakyat tidak akan dihantui ”ancaman” pelarangan pembelian bensin premium dengan berbagai skenario seperti diwacanakan beberapa tahun terakhir ini.
Kedua, sebenarnya kebijakan subsidi BBM tidak semuanya negatif. Tidak perlu terlalu dirisaukan secara berlebihan, seolah-olah kebijakan subsidi BBM ini merupakan barang ”najis” yang harus dihindari. Harga BBM yang terjangkau telah terbukti dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Itulah sebabnya mengapa China dan India yang merupakan dua negara berpenduduk besar dengan pertumbuhan ekonomi sangat tinggi tetap memberikan subsidi BBM kepada rakyatnya. Padahal, China dan India masing-masing mengimpor minyak sekitar 60 persen dan 80 persen dari kebutuhan dalam negeri.
Untuk Indonesia, dengan kekayaan migas relatif jauh lebih besar daripada kedua negara tersebut, semestinya kebijakan energinya jauh lebih mudah dan lebih mendukung pencapaian kemakmuran rakyatnya. Gas, misalnya, dapat dipakai untuk mengurangi pemakaian BBM dan mendorong pertumbuhan industri. Selain cadangan jauh lebih besar dari minyak, gas juga relatif lebih murah dan lebih ramah lingkungan.
Namun, karena kekayaan migas nasional dalam 10 tahun terakhir telah dikelola secara salah, gas yang semestinya dapat dipakai sebagai BBG untuk mengganti premium pada angkutan umum ternyata malah dijual keluar negeri dengan harga supermurah. Kebijakan diversifikasi energi di sektor angkutan yang telah dicanangkan lebih dari 20 tahun yang lalu, hingga kini tidak jalan. Bahkan, stasiun pengisian BBG yang tadinya sekitar 30 buah, kini hanya tinggal sekitar lima karena gasnya tidak cukup!
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/28/03473361/pembatasan.bbm.
Kurtubi Pengamat Pertambangan dan Energi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya