Oleh: Bob Widyahartono
China telah menyalip Jepang sebagai kekuatan perekonomian nomor dua di dunia. Posisi AS sebagai kekuatan ekonomi nomor satu dunia tidak lama lagi akan tergusur. Namun, para pembuat kebijakan dan pengamat perlu menelaah hal di balik keunggulan, kegigihan, ataupun kelemahan China.
Sejarah China sendiri sesungguhnya menunjukkan munculnya sejumlah pemuda pelopor dengan jiwa nasionalisme gaya China sejak abad ke-19. Niatnya, melawan agresi Barat, Inggris, Jerman, Perancis, Rusia, AS, dan Jepang.
Negara-negara tersebut memperoleh konsesi istimewa dengan konsulat-konsulat mereka di Shanghai, Makao, dan Hongkong yang memiskinkan rakyat China. Berakhirnya PD II diikuti berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober 1949, tamatlah hak-hak istimewa itu.
Ini bisa dibaca pada cuplikan foto-foto disertai komentar Wu Liang, ”Old Shanghai; A Lost Age”. Para ahli sejarah Asia tentu ingat ungkapan sinis kalangan Barat yang melukiskan China sebagai ”The sick man of Asia” sejak awal abad ke-20 sampai mulai awal 1950-an dan ungkapan sinis itu baru menghilang mulai dekade 1980-an.
Kini dunia terbuai oleh pesatnya pembangunan ekonomi, keberhasilan Olimpiade 2008, ulang tahun ke-60 berdirinya RRC 1 Oktober tahun 2009, dan World Expo Shanghai China, 30 April-31 Oktober 2010.
Ini adalah buah dari nasionalisme yang menginginkan kemajuan bangsa China di seluruh kawasan. Kita kurang menyadari bahwa China terdiri dari tiga kawasan. Sejak awal abad ke-21, Chen Dong-Sheng, Kepala Peneliti Pusat untuk Pembangunan Kawasan Barat, Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial, China, mengingatkan dunia soal itu.
Kawasan barat terdiri dari 12 provinsi (atau kota-kota besar dan kawasan otonom): Chongqing, Sichuan, Yunnan, Guizhou, Tibet, Shaanxi, Gansu, Ningxia, Qinghai, Inner Mongolia, Guangxi, dan Xinjiang.
Kawasan sentral meliputi 8 provinsi atau kawasan otonom: Heiliongjiang, Jilin, Shanxi, Henan, Hubei, Hunan, Anhui, dan Jiangxi.
Kawasan timur terdiri dari 11 provinsi: Beijing, Tianjin, Hebei, Liaoning, Shanghai, Jiangsu, Zhejiang, Fujian, Shandong, Guangdong, dan Hainan.
Para pembuat kebijakan di pemerintah pusat dan provinsi fokus pada kawasan sentral dan barat China karena kawasan timur relatif sudah lebih maju. Kebijakan itu menegaskan perlunya kesungguhan dalam rencana kerja, anggaran, dan good governance.
Kawasan ini memberikan skala prioritas dalam pembangunan fisik dan
transfer industri pengolahan sumber daya alam dan industri padat karya; penyesuaian tingkat harga hingga mampu membangun kemandirian kawasan sentral/barat; menyelenggarakan kemudahan lalu lintas keuangan dari dan ke kawasan timur (pantai); mengakselerasi langkah reformasi kawasan; memperkuat dukungan ke daerah-daerah miskin; dan memperkuat kemitraan di antara tiga kawasan.
China tidak semata-mata memusatkan kebijakan pada pembangunan fisik, seperti dam, listrik, irigasi, air minum, jaringan kereta api, dan jalanan.
Kawasan sentral/barat juga mengutamakan peningkatan dan pemerataan pendidikan, pengembangan ilmu dan teknologi, agar tidak sampai menimbulkan kesenjangan yang makin besar dengan kawasan timur dan tetangga China.
Dalam pembangunan, di kawasan barat dan tengah masih ada serangkaian hambatan, yakni hambatan sosial kultural dalam pembangunan mutu kehidupan dan penghidupan manusia. Juga masih ada hambatan berupa kondisi alamiah atau aspek lingkungan.
Namun, ada tekad untuk mengatasi ketertinggalan kawasan pusat dan barat lewat
perencanaan pembangunan tiga tahapan, tahap pertama tahun 2000-2010, kedua (2011-2030), dan ketiga (2031-2050).
Isinya secara keseluruhan, China berupaya mencapai tahap modernisasi menjelang tahun 2050, sederajat soal kemakmuran ekonomi, dengan pendapatan per kapita di atas 5.000 dollar AS demi kesatuan nasional, kemajuan sosial, dan lingkungan yang tidak tercemar polusi.
Road map tersebut tidak mungkin hanya dikerjakan oleh Pemerintah China, apalagi dengan jumlah penduduk 1,24 miliar. Ada keperluan soal pendidikan ilmu dan teknologi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang merata.
Kebijakan dengan implementasi dan pengawasan terprogram dan dikenal sebagai ”gradualisme dan reformasi” juga digerakkan dengan tumbuhnya suatu kelas menengah baru sejak awal 1980-an. Kalangan ini membuka diri pada ekonomi pasar. Kalangan Barat menjulukinya global capitalist, tetapi dengan karakteristik China dengan nuansa Konfusianisme, Laoisme. Ini merupakan warisan budaya kuno China.
Infrastruktur terpadu
Pembuat kebijakan sejak tahun 2000 menyadari kelemahan dalam pembangunan infrastruktur yang menjadi hambatan bagi pembangunan kawasan barat. Pemerintah di kawasan tersebut mempertegas kebijakan investasi yang lebih mantap dengan titik berat pada jaringan lalu lintas dan transportasi, jaringan telekomunikasi, dan jaringan penyediaan listrik.
Diluncurkanlah pembangunan jaringan kereta api baru sepanjang 10.000 kilometer dalam jangka waktu 20 tahunan sejak tahun 2000. Dengan proyek ini, China akan memiliki berbagai jaringan kereta api utara-selatan, termasuk Baotou-Liuzhou, Lanzhou-Chongqing, dan Lanzhou-Kuming, serta jaringan timur-barat yang menyusuri Sungai Yangtze, Xi’an-Heifei-Nanjing, Zhongwei-Taiyung, dan Baotou-Hami.
Rencana pembangunan jalan raya di kawasan barat mencakup pembangunan dan perbaikan jalan sepanjang 350.000 kilometer.
Dalam penerbangan sipil, China menetapkan pembangunan rute yang meliputi seluruh negara dan kawasan barat dengan titik sentral Urumqi, Cunming, dan Chengdu, dan diperluas ke Wuhan, Harbin.
Tekad China secara gradual adalah mewujudkan strategi jangka panjang memasuki pertengahan abad ke-21 untuk menjadi negara maju.
Untuk mewujudkan ini, China sejak 2000-an makin tegar dan berani menyatakan ”tidak” atas pancingan-pancingan kalangan Barat untuk berkonfrontasi secara ekonomi, politik, dan pertahanan. China ingin fokus pada pembangunan.
Dalam perjalanan reformasi dan memasuki globalisasi, kesadaran nasionalis tetap meningkat di China. Langkah-langkah kebijakan ini tetap memerlukan sikap hati-hati dan integritas para pembuat kebijakan China, dilengkapi dengan kebajikan dan peran masyarakat bawah dengan dukungan kelas menengah.
Bagi para pembuat kebijakan, wakil rakyat, dan pengamat RI perlu secara kontinu menyerap apa yang merupakan pendorong di balik perjalanan bangsa China. Saatnya menengok ke utara dan tidak ke Barat melulu.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/27/03322878/nasionalisme.di.balik.visi
Bob Widyahartono Pengamat Ekonomi/Bisnis China;, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara
China telah menyalip Jepang sebagai kekuatan perekonomian nomor dua di dunia. Posisi AS sebagai kekuatan ekonomi nomor satu dunia tidak lama lagi akan tergusur. Namun, para pembuat kebijakan dan pengamat perlu menelaah hal di balik keunggulan, kegigihan, ataupun kelemahan China.
Sejarah China sendiri sesungguhnya menunjukkan munculnya sejumlah pemuda pelopor dengan jiwa nasionalisme gaya China sejak abad ke-19. Niatnya, melawan agresi Barat, Inggris, Jerman, Perancis, Rusia, AS, dan Jepang.
Negara-negara tersebut memperoleh konsesi istimewa dengan konsulat-konsulat mereka di Shanghai, Makao, dan Hongkong yang memiskinkan rakyat China. Berakhirnya PD II diikuti berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober 1949, tamatlah hak-hak istimewa itu.
Ini bisa dibaca pada cuplikan foto-foto disertai komentar Wu Liang, ”Old Shanghai; A Lost Age”. Para ahli sejarah Asia tentu ingat ungkapan sinis kalangan Barat yang melukiskan China sebagai ”The sick man of Asia” sejak awal abad ke-20 sampai mulai awal 1950-an dan ungkapan sinis itu baru menghilang mulai dekade 1980-an.
Kini dunia terbuai oleh pesatnya pembangunan ekonomi, keberhasilan Olimpiade 2008, ulang tahun ke-60 berdirinya RRC 1 Oktober tahun 2009, dan World Expo Shanghai China, 30 April-31 Oktober 2010.
Ini adalah buah dari nasionalisme yang menginginkan kemajuan bangsa China di seluruh kawasan. Kita kurang menyadari bahwa China terdiri dari tiga kawasan. Sejak awal abad ke-21, Chen Dong-Sheng, Kepala Peneliti Pusat untuk Pembangunan Kawasan Barat, Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial, China, mengingatkan dunia soal itu.
Kawasan barat terdiri dari 12 provinsi (atau kota-kota besar dan kawasan otonom): Chongqing, Sichuan, Yunnan, Guizhou, Tibet, Shaanxi, Gansu, Ningxia, Qinghai, Inner Mongolia, Guangxi, dan Xinjiang.
Kawasan sentral meliputi 8 provinsi atau kawasan otonom: Heiliongjiang, Jilin, Shanxi, Henan, Hubei, Hunan, Anhui, dan Jiangxi.
Kawasan timur terdiri dari 11 provinsi: Beijing, Tianjin, Hebei, Liaoning, Shanghai, Jiangsu, Zhejiang, Fujian, Shandong, Guangdong, dan Hainan.
Para pembuat kebijakan di pemerintah pusat dan provinsi fokus pada kawasan sentral dan barat China karena kawasan timur relatif sudah lebih maju. Kebijakan itu menegaskan perlunya kesungguhan dalam rencana kerja, anggaran, dan good governance.
Kawasan ini memberikan skala prioritas dalam pembangunan fisik dan
transfer industri pengolahan sumber daya alam dan industri padat karya; penyesuaian tingkat harga hingga mampu membangun kemandirian kawasan sentral/barat; menyelenggarakan kemudahan lalu lintas keuangan dari dan ke kawasan timur (pantai); mengakselerasi langkah reformasi kawasan; memperkuat dukungan ke daerah-daerah miskin; dan memperkuat kemitraan di antara tiga kawasan.
China tidak semata-mata memusatkan kebijakan pada pembangunan fisik, seperti dam, listrik, irigasi, air minum, jaringan kereta api, dan jalanan.
Kawasan sentral/barat juga mengutamakan peningkatan dan pemerataan pendidikan, pengembangan ilmu dan teknologi, agar tidak sampai menimbulkan kesenjangan yang makin besar dengan kawasan timur dan tetangga China.
Dalam pembangunan, di kawasan barat dan tengah masih ada serangkaian hambatan, yakni hambatan sosial kultural dalam pembangunan mutu kehidupan dan penghidupan manusia. Juga masih ada hambatan berupa kondisi alamiah atau aspek lingkungan.
Namun, ada tekad untuk mengatasi ketertinggalan kawasan pusat dan barat lewat
perencanaan pembangunan tiga tahapan, tahap pertama tahun 2000-2010, kedua (2011-2030), dan ketiga (2031-2050).
Isinya secara keseluruhan, China berupaya mencapai tahap modernisasi menjelang tahun 2050, sederajat soal kemakmuran ekonomi, dengan pendapatan per kapita di atas 5.000 dollar AS demi kesatuan nasional, kemajuan sosial, dan lingkungan yang tidak tercemar polusi.
Road map tersebut tidak mungkin hanya dikerjakan oleh Pemerintah China, apalagi dengan jumlah penduduk 1,24 miliar. Ada keperluan soal pendidikan ilmu dan teknologi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang merata.
Kebijakan dengan implementasi dan pengawasan terprogram dan dikenal sebagai ”gradualisme dan reformasi” juga digerakkan dengan tumbuhnya suatu kelas menengah baru sejak awal 1980-an. Kalangan ini membuka diri pada ekonomi pasar. Kalangan Barat menjulukinya global capitalist, tetapi dengan karakteristik China dengan nuansa Konfusianisme, Laoisme. Ini merupakan warisan budaya kuno China.
Infrastruktur terpadu
Pembuat kebijakan sejak tahun 2000 menyadari kelemahan dalam pembangunan infrastruktur yang menjadi hambatan bagi pembangunan kawasan barat. Pemerintah di kawasan tersebut mempertegas kebijakan investasi yang lebih mantap dengan titik berat pada jaringan lalu lintas dan transportasi, jaringan telekomunikasi, dan jaringan penyediaan listrik.
Diluncurkanlah pembangunan jaringan kereta api baru sepanjang 10.000 kilometer dalam jangka waktu 20 tahunan sejak tahun 2000. Dengan proyek ini, China akan memiliki berbagai jaringan kereta api utara-selatan, termasuk Baotou-Liuzhou, Lanzhou-Chongqing, dan Lanzhou-Kuming, serta jaringan timur-barat yang menyusuri Sungai Yangtze, Xi’an-Heifei-Nanjing, Zhongwei-Taiyung, dan Baotou-Hami.
Rencana pembangunan jalan raya di kawasan barat mencakup pembangunan dan perbaikan jalan sepanjang 350.000 kilometer.
Dalam penerbangan sipil, China menetapkan pembangunan rute yang meliputi seluruh negara dan kawasan barat dengan titik sentral Urumqi, Cunming, dan Chengdu, dan diperluas ke Wuhan, Harbin.
Tekad China secara gradual adalah mewujudkan strategi jangka panjang memasuki pertengahan abad ke-21 untuk menjadi negara maju.
Untuk mewujudkan ini, China sejak 2000-an makin tegar dan berani menyatakan ”tidak” atas pancingan-pancingan kalangan Barat untuk berkonfrontasi secara ekonomi, politik, dan pertahanan. China ingin fokus pada pembangunan.
Dalam perjalanan reformasi dan memasuki globalisasi, kesadaran nasionalis tetap meningkat di China. Langkah-langkah kebijakan ini tetap memerlukan sikap hati-hati dan integritas para pembuat kebijakan China, dilengkapi dengan kebajikan dan peran masyarakat bawah dengan dukungan kelas menengah.
Bagi para pembuat kebijakan, wakil rakyat, dan pengamat RI perlu secara kontinu menyerap apa yang merupakan pendorong di balik perjalanan bangsa China. Saatnya menengok ke utara dan tidak ke Barat melulu.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/27/03322878/nasionalisme.di.balik.visi
Bob Widyahartono Pengamat Ekonomi/Bisnis China;, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya