Oleh: Todung Mulya Lubis
Tulisan ini tak dimaksudkan untuk mempertentangkan delapan agenda yang diketengahkan oleh Presiden ketika berpidato di hadapan sejumlah tokoh media saat berbuka puasa bersama. Tulisan ini justru ingin menggarisbawahi sekaligus melengkapi delapan agenda penting yang kita perlu kaji untuk memuluskan perjalanan bangsa ini ke hari yang lebih baik. Secara ringkas, saya tuliskan delapan agenda penting yang menurut saya mutlak kita sepakati.
Pertama, kita perlu merawat pluralitas kita sebagai bangsa. Kekayaan kita justru pada pluralitas etnis, suku, bangsa, budaya, agama, bahasa, dan latar belakang sosial-budaya dan perspektif politik. Inilah pilar penting kebersamaan kita sebagai bangsa yang juga terpatri dalam dokumen-dokumen pergerakan dan kemerdekaan. Sekarang pluralitas ini tengah mengalami ancaman yang merusak semen perekat kebersamaan kita, menimbulkan keterasingan dan ketakberdayaan, menggoyahkan rasa kebangsaan. Mayoritas menindas minoritas. Apa yang terjadi pada Ahmadiyah dan Huria Kristen Batak Protestan belakangan ini adalah contoh paling segar yang menggerus pluralitas itu. Negeri ini tengah menyaksikan semangat Bhineka Tunggal Ika yang memudar. Negeri ini tengah menyaksikan negara tak berbuat maksimal dalam memelihara pluralitas ini.
Kedua, berkaitan dengan hal di atas, soal Papua adalah soal yang sepertinya diabaikan. Papua adalah bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Pemerintah menganggap persoalan Papua sudah selesai ketika otonomi khusus diberikan, ketika dana otonomi khusus yang triliunan rupiah digelontorkan. Tapi orang Papua merasa tak menikmati semua itu. Orang Papua merasa menjadi minoritas dalam pemerintahan dan merasa dilanggar hak asasi mereka. Apalagi dengan politik pemekaran yang terus berlangsung tanpa melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP). Laporan International Crisis Group berjudul "Indonesia: The Deepening Impasse in Papua" mencerminkan betapa seriusnya persoalan Papua yang merasa tak setara dengan saudara-saudaranya di daerah lainnya. Saya tak mengatakan ada "segregasi", tetapi perasaan yang tumbuh adalah terjadinya "segregasi".
Ketiga, melanjutkan pemberantasan korupsi. Saya tak membantah bahwa pemberantasan korupsi masih jadi agenda penting pemerintah, tetapi saya tak ingin mengingkari bahwa ada pelemahan pemberantasan korupsi dalam dua tahun terakhir ini. Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kriminalisasi Bibit-Chandra adalah stigma yang menghantam laju pemberantasan korupsi. Dipaksakannya pendirian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di semua ibu kota provinsi dengan komposisi jumlah hakim ad hoc lebih sedikit ketimbang hakim karier jelas menimbulkan keraguan akan ketegasan putusan hakim. Selain itu, bergantungnya KPK pada penyidik kepolisian dan penuntut dari kejaksaan menimbulkan pula "loyalitas ganda" yang membuat KPK tak bisa 100 persen efektif. Alhasil, KPK memang seperti berjalan tertatih-tatih, terutama karena minimnya dukungan politik nyata di lapangan.
Keempat, membersihkan lembaga-lembaga penegak hukum dari mafia hukum. Mafia di sini bisa jadi hakim, jaksa, polisi, dan advokat. Merekalah yang menjadi sarang laba-laba yang menjerat pencari keadilan, memerasnya untuk membeli keadilan. Supremasi hukum yang menjadi dasar berdirinya negara hukum diinjak-injak, dan lembaga penegak hukum berubah menjadi "black market of justice". Ke depan. lembaga penegak hukum kita mesti dibersihkan dari cengkeraman mafia ini, dan ini seharusnya juga menjangkau lembaga peradilan semu, seperti pengadilan pajak, badan arbitrase, KPPU, dan sebagainya. Pulau-pulau korupsi itu ternyata telah menyebar dengan sangat pesat ke banyak tempat.
Kelima, meningkatkan kualitas governance atau tata kelola pemerintahan yang baik. Semua krisis yang melanda selama ini adalah karena krisis dari governance. Di sinilah reformasi birokrasi itu menjadi mahapenting karena birokrasi kita sekarang memang menjadi sumber dari masalah. Birokrasi kita adalah "problem", bukan "solution". Ciri penting dari good governance adalah dijalankannya transparansi, rule of law, dan akuntabilitas. Sejauh ini kita merasa bahwa walau keadaan sudah jauh berubah jika dibanding zaman Orde Baru dulu, perubahan governance masih sangat lamban. Dan kelambanan reformasi birokrasi ini justru menjadi bottleneck yang sekaligus sumber korupsi yang berkepanjangan, baik korupsi karena kebutuhan (needs) maupun karna keserakahan (greed).
Keenam, sejalan dengan agenda kelima, kita juga harus menata kembali desentralisasi yang kita terapkan sekarang ini. Kita tak boleh mundur dari desentralisasi karena tak mungkin kita kembali ke sentralisasi. Tetapi desentralisasi yang tak ditunjang oleh kesiapan birokrasi, hukum, sumber daya manusia, dan checks and balances niscaya akan menjadi pulau-pulau korupsi baru.
Birokrasi daerah menjelma menjadi kerajaan kecil dengan ambisi kekuasaan yang besar. Tangan Jakarta tak bisa menjangkau, dan dalam banyak hal desentralisasi ini telah pula menjadi semacam trade barrier bagi investasi. Sayang bahwa desentralisasi tak melahirkan kompetisi untuk menjadi model pemerintahan daerah yang sukses.
Ketujuh, melindungi tenaga kerja Indonesia. TKI, yang selalu disebut sebagai pahlawan devisa, adalah warga negara Indonesia yang malang karena tak mendapat perlindungan hukum yang memadai. Para TKI dijadikan sapi perahan dan obyek baik oleh penyalur TKI maupun negara penerima kerja TKI. Tidak seperti pemerintah Filipina yang memberikan perlindungan penuh kepada tenaga kerja mereka, para TKI kita harus berjuang sendirian. Kita hanya mau uang para TKI, tetapi tak secara optimal memberikan perlindungan terhadap mereka. Penderitaan TKI adalah luka yang menusuk ulu hati kita, dan kita ikut terhina. Harga diri kita dilecehkan oleh para majikan dan negara penerima TKI. Sayangnya, pemerintah tak terlalu serius mengurusi nasib TKI yang malang ini.
Kedelapan, dan ini yang terakhir, adalah kemacetan lalu lintas jalan di Jakarta. Saya kira sudah ratusan triliun rupiah kita dirugikan oleh kemacetan Jakarta, yang katanya akan macet total pada 2012. Mantan Presiden Polandia Lech Walesa mengatakan kepada saya bahwa persoalan Indonesia akan selesai kalau soal kemacetan Jakarta bisa diselesaikan. Walesa tidak sedang bergurau. Dia mengatakan soal kemacetan ini adalah soal ekonomi, energi, governance, politik, dan sebagainya. Kemacetan ini menunjukkan bahwa pemerintah sesungguhnya tidak memerintah. Sayangnya, wacana yang berkembang justru ingin memindahkan ibu kota dari Jakarta, dan membiarkan Jakarta terus-menerus macet. Bayangkan, betapa besarnya kerugian yang bakal kita derita. Jangan-jangan kita akan jatuh pailit karena kerugian yang kita derita di Jakarta nanti.
Delapan agenda ini tentu bisa ditambah lagi. Isu hak asasi manusia, illegal logging, dan terorisme juga harus dibahas. Tetapi saya ingin berfokus pada delapan agenda ini, dan saya percaya bahwa banyak persoalan bangsa ini akan selesai jika kita mampu menyelesaikan delapan agenda ini. Hasil yang akan kita peroleh adalah dividend, dan dividend inilah yang akan membuat Indonesia menjadi lebih baik.
URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/09/22/Opini/krn.20100922.212399
Todung Mulya Lubis
Ketua Dewan Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Tulisan ini tak dimaksudkan untuk mempertentangkan delapan agenda yang diketengahkan oleh Presiden ketika berpidato di hadapan sejumlah tokoh media saat berbuka puasa bersama. Tulisan ini justru ingin menggarisbawahi sekaligus melengkapi delapan agenda penting yang kita perlu kaji untuk memuluskan perjalanan bangsa ini ke hari yang lebih baik. Secara ringkas, saya tuliskan delapan agenda penting yang menurut saya mutlak kita sepakati.
Pertama, kita perlu merawat pluralitas kita sebagai bangsa. Kekayaan kita justru pada pluralitas etnis, suku, bangsa, budaya, agama, bahasa, dan latar belakang sosial-budaya dan perspektif politik. Inilah pilar penting kebersamaan kita sebagai bangsa yang juga terpatri dalam dokumen-dokumen pergerakan dan kemerdekaan. Sekarang pluralitas ini tengah mengalami ancaman yang merusak semen perekat kebersamaan kita, menimbulkan keterasingan dan ketakberdayaan, menggoyahkan rasa kebangsaan. Mayoritas menindas minoritas. Apa yang terjadi pada Ahmadiyah dan Huria Kristen Batak Protestan belakangan ini adalah contoh paling segar yang menggerus pluralitas itu. Negeri ini tengah menyaksikan semangat Bhineka Tunggal Ika yang memudar. Negeri ini tengah menyaksikan negara tak berbuat maksimal dalam memelihara pluralitas ini.
Kedua, berkaitan dengan hal di atas, soal Papua adalah soal yang sepertinya diabaikan. Papua adalah bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Pemerintah menganggap persoalan Papua sudah selesai ketika otonomi khusus diberikan, ketika dana otonomi khusus yang triliunan rupiah digelontorkan. Tapi orang Papua merasa tak menikmati semua itu. Orang Papua merasa menjadi minoritas dalam pemerintahan dan merasa dilanggar hak asasi mereka. Apalagi dengan politik pemekaran yang terus berlangsung tanpa melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP). Laporan International Crisis Group berjudul "Indonesia: The Deepening Impasse in Papua" mencerminkan betapa seriusnya persoalan Papua yang merasa tak setara dengan saudara-saudaranya di daerah lainnya. Saya tak mengatakan ada "segregasi", tetapi perasaan yang tumbuh adalah terjadinya "segregasi".
Ketiga, melanjutkan pemberantasan korupsi. Saya tak membantah bahwa pemberantasan korupsi masih jadi agenda penting pemerintah, tetapi saya tak ingin mengingkari bahwa ada pelemahan pemberantasan korupsi dalam dua tahun terakhir ini. Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kriminalisasi Bibit-Chandra adalah stigma yang menghantam laju pemberantasan korupsi. Dipaksakannya pendirian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di semua ibu kota provinsi dengan komposisi jumlah hakim ad hoc lebih sedikit ketimbang hakim karier jelas menimbulkan keraguan akan ketegasan putusan hakim. Selain itu, bergantungnya KPK pada penyidik kepolisian dan penuntut dari kejaksaan menimbulkan pula "loyalitas ganda" yang membuat KPK tak bisa 100 persen efektif. Alhasil, KPK memang seperti berjalan tertatih-tatih, terutama karena minimnya dukungan politik nyata di lapangan.
Keempat, membersihkan lembaga-lembaga penegak hukum dari mafia hukum. Mafia di sini bisa jadi hakim, jaksa, polisi, dan advokat. Merekalah yang menjadi sarang laba-laba yang menjerat pencari keadilan, memerasnya untuk membeli keadilan. Supremasi hukum yang menjadi dasar berdirinya negara hukum diinjak-injak, dan lembaga penegak hukum berubah menjadi "black market of justice". Ke depan. lembaga penegak hukum kita mesti dibersihkan dari cengkeraman mafia ini, dan ini seharusnya juga menjangkau lembaga peradilan semu, seperti pengadilan pajak, badan arbitrase, KPPU, dan sebagainya. Pulau-pulau korupsi itu ternyata telah menyebar dengan sangat pesat ke banyak tempat.
Kelima, meningkatkan kualitas governance atau tata kelola pemerintahan yang baik. Semua krisis yang melanda selama ini adalah karena krisis dari governance. Di sinilah reformasi birokrasi itu menjadi mahapenting karena birokrasi kita sekarang memang menjadi sumber dari masalah. Birokrasi kita adalah "problem", bukan "solution". Ciri penting dari good governance adalah dijalankannya transparansi, rule of law, dan akuntabilitas. Sejauh ini kita merasa bahwa walau keadaan sudah jauh berubah jika dibanding zaman Orde Baru dulu, perubahan governance masih sangat lamban. Dan kelambanan reformasi birokrasi ini justru menjadi bottleneck yang sekaligus sumber korupsi yang berkepanjangan, baik korupsi karena kebutuhan (needs) maupun karna keserakahan (greed).
Keenam, sejalan dengan agenda kelima, kita juga harus menata kembali desentralisasi yang kita terapkan sekarang ini. Kita tak boleh mundur dari desentralisasi karena tak mungkin kita kembali ke sentralisasi. Tetapi desentralisasi yang tak ditunjang oleh kesiapan birokrasi, hukum, sumber daya manusia, dan checks and balances niscaya akan menjadi pulau-pulau korupsi baru.
Birokrasi daerah menjelma menjadi kerajaan kecil dengan ambisi kekuasaan yang besar. Tangan Jakarta tak bisa menjangkau, dan dalam banyak hal desentralisasi ini telah pula menjadi semacam trade barrier bagi investasi. Sayang bahwa desentralisasi tak melahirkan kompetisi untuk menjadi model pemerintahan daerah yang sukses.
Ketujuh, melindungi tenaga kerja Indonesia. TKI, yang selalu disebut sebagai pahlawan devisa, adalah warga negara Indonesia yang malang karena tak mendapat perlindungan hukum yang memadai. Para TKI dijadikan sapi perahan dan obyek baik oleh penyalur TKI maupun negara penerima kerja TKI. Tidak seperti pemerintah Filipina yang memberikan perlindungan penuh kepada tenaga kerja mereka, para TKI kita harus berjuang sendirian. Kita hanya mau uang para TKI, tetapi tak secara optimal memberikan perlindungan terhadap mereka. Penderitaan TKI adalah luka yang menusuk ulu hati kita, dan kita ikut terhina. Harga diri kita dilecehkan oleh para majikan dan negara penerima TKI. Sayangnya, pemerintah tak terlalu serius mengurusi nasib TKI yang malang ini.
Kedelapan, dan ini yang terakhir, adalah kemacetan lalu lintas jalan di Jakarta. Saya kira sudah ratusan triliun rupiah kita dirugikan oleh kemacetan Jakarta, yang katanya akan macet total pada 2012. Mantan Presiden Polandia Lech Walesa mengatakan kepada saya bahwa persoalan Indonesia akan selesai kalau soal kemacetan Jakarta bisa diselesaikan. Walesa tidak sedang bergurau. Dia mengatakan soal kemacetan ini adalah soal ekonomi, energi, governance, politik, dan sebagainya. Kemacetan ini menunjukkan bahwa pemerintah sesungguhnya tidak memerintah. Sayangnya, wacana yang berkembang justru ingin memindahkan ibu kota dari Jakarta, dan membiarkan Jakarta terus-menerus macet. Bayangkan, betapa besarnya kerugian yang bakal kita derita. Jangan-jangan kita akan jatuh pailit karena kerugian yang kita derita di Jakarta nanti.
Delapan agenda ini tentu bisa ditambah lagi. Isu hak asasi manusia, illegal logging, dan terorisme juga harus dibahas. Tetapi saya ingin berfokus pada delapan agenda ini, dan saya percaya bahwa banyak persoalan bangsa ini akan selesai jika kita mampu menyelesaikan delapan agenda ini. Hasil yang akan kita peroleh adalah dividend, dan dividend inilah yang akan membuat Indonesia menjadi lebih baik.
URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/09/22/Opini/krn.20100922.212399
Todung Mulya Lubis
Ketua Dewan Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya