Jumat, 06 Juni 2008

PERTANIAN ORGANIK : Pertanian Masa Depan yang Menjanjikan

oleh: Indro Surono

Dewasa ini pertanian organik (PO) berkembang cukup pesat di Indonesia. Ini merupakan salah satu ptanda positif bahwa PO mulai mendapat tempat di hati masyarakat, baik produsen maupun konsumen.Namun, demikian perkembangan yang positif ini perlu dicermati agar tidak memunculkan bias-bias yang justru merugikan kehidupan di masa depan. Di sisi lain, kendala pengembangan PO di Indonesia juga masih besar, bahkan lebih besar dibandingkan laju perkembangannya. Ada banyak faktor yang menyebabkannya, sehingga tak heran jika sampai kini PO masih menjadi wacana marjinal dan diragukan kemungkinannya sebagai pertanian masa depan yang menjanjikan.
Faktor Penunjang PO
Perkembangan PO di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan PO dunia, bahkan dapat dikatakan pemicu utaman PO domestik adalah karena tingginya permintaan PO di negara-negara maju. Tingginya permintaan PO di negara-negara maju dipicu oleh (1) menguatnya kesadaran lingkungan dan gaya hidup alami dari masyarakat, (2) dukungan kebijakan pemerintah nasional, (3) dukungan industri pengolahan pangan, (4) dukungan pasar konvensional (supermarket menyerap 50% produk PO), (5) adanya harga premium di tingkat konsumen, (6) adanya label generik, (7) adanya kampanye nasional PO secara gencar (Hamm, 2000).
Upaya di atas masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Sebagai ilustrasi, pertumbuhan permintaan PO dunia mencapai 15-20% pertahun, namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar antara 0,5-2% dari keseluruhan produk pertanian. Meski di Eropa penambahan luas areal PO terus meningkat dari rata-rata dibawah 1% (dari total lahan pertanian) tahun 1987, menjadi 2-7% di tahun 1997 (tertinggi di Austria mencapai 10,12%), namun tetap saja belum mampu memenuhi pesatnya permintaan (Jolly, 2000). Inilah kemudian yang memacu permintaan produk PO dari negara-negara berkembang.
Selain faktor di atas, perkembangan PO di Indonesia juga didorong oleh munculnya keadaran konsumen akan pentingnya produk-produk sehat dan ramah lingkungan, khususnya di kalangan kelas menengah perkotaan. Sebagian lagi, didorong oleh kampanye dan advokasi aktivis LSM baik dalam isu lingkungan maupun pendampingan petani. Di kalangan petani sendiri mulai muncul kesadaran untuk menerapkan PO, terutama di basis yang didampingi LSM atau area yang belum tersentuh kebijakan Revolusi Hijau.
PO, Malthusianisme dan Reduksionisme
Dibalik kabar baik mengenai PO sebagaimana disebut dimuka, secara obyektif masih banyak kendala dalam pengembangannya. Bahkan, kendala ini masih lebih besar dan kuat dibanding kemajuannya. Secara faktual pelaku PO masih sangat sedikit di seluruh dunia, yakni kurang dari 2 % terhadap seluruh pelaku pertanian yang ada.
Kendala yang ada jika ditilik lebih jauh, ada yang berakar dari kesangsian mengenai kemampuan PO dalam memecahkan persoalan pemenuhan pangan dan keberlanjutan kehidupan. Argumen pertama yang biasa mengemuka adalah anggapan bahwa produktivitas PO rendah sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan yang terus meningkat. Argumen kedua, PO dianggap sebagai pertanian masa lalu yang tidak produktif dan di tingkat tertentu anti teknologi. Argumen ketiga, PO tidak layak secara ekonomis dan karenanya tidak menguntungkan.
Kesangsian PO tidak mampu menyelesaikan persoalan kebutuhan pangan sudah menjadi perdebatan lama. Menurut para birokrat, akademisi dan pengambil keputusan publik, PO secara teknis dianggap tidak mampu memberikan produktivitas hasil yang tinggi, sehingga tidak bisa menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi manusia. Jika dilihat lebih dalam, pemikiran ini beranjak dari ?kekuatiran Malthusian? yang menganggap bahwa pertambahan manusia lebih cepat daripada laju pangan. Kekuatiran inilah yang mendasari pencarian teknologi yang mampu melipatgandakan hasil pangan dan pertanian.
Namun, teknologi yang berkembang kemudian justru teknologi yang menjadikan produktivitas sebagai tujuan utama pertanian, dengan mangabaikan tujuan lain. Hal ini nampak jelas, dalam program Revolusi Hijau, dimana selain hasil yang tinggi, faktor lingkungan, kenekaragaman hayati, konservasi dan keselamatan keberlanjutan pertanian diabaikan.
Pemujaan produktivitas yang berlebihan dengan meletakkan benih unggul, pupuk dan pestisida sebagai determinan kunci pada gilirannya melupakan bahwa persoalan pangan bukan semata soal produktivitas, tetapi juga soal manajemen institusi menyangkut distribusi, pengairan, inovasi teknologi lain dsb. Amartya Sen, ekonom India penerima nobel, dalam satu stusi kasusnya di tahun 1980-an menemukan satu daerah di India mengalami kelaparan hebat, tetapi di daerah lain berkelimpahan pangan. Terbukti kelaparan, menurutnya, bukan soal sekedar kelangkaan pangan (karena teknologi rendah), tetapi juga soal kepemilikan dan akses terhadapnya (Wacana ELSPPAT, edisi 3, 1996).
Syarifuddin Karama, staf ahli Menteri Pertanian RI, dalam Seminar Standarisasi PO di Bogor Juli 2001, pernah menyebutkan adanya inefisiensi pengelolaan irigasi Indonesia. Efektivitas pengairan di Indonesia hanya sekitar 15% pada musim hujan, dan 4% pada musim kemarau. Sementara di India, baik musim hujan dan kemarau efektivitasnya mencapai 40%. Dengan pengairan tersebut, produksi jagung per ha di India mencapai 10 ton, sedang ubi kayu mencapai 60 ton per ha. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 4 ton/ha untuk jagung dan 15 ton/ha untuk ubi kayu. Jelas, perbaikan manejemen irigasi mampu meningkatkan produktivitas tanpa harus mengubah perlakuan pemupukan.
Penemuan system rice of intensification (SRI) oleh Henri de Lauline, seorang Jesuit di Madagaskar, ternyata mampu meningkatkan produktivitas tanaman padi hingga mencapai 8 ton per ha, bahkan diantaranya ada yang mampu mencapai 10-15 ton per ha. SRI tidak mensyaratkan benih unggul atau pemupukan intensif, tetapi lebih menekankan pada perlakuan transplantasi bibit, jarak tanam, dan waktu pengairan yang tepat berdasarkan pengamatan terhadap perilaku dan kehidupan tanaman padi (ECHO Development Note, Issue 70, Januari 2001). Artinya, inovasi teknologi seperti ini mampu mengatasi pesimisme Malthusian.
PO Anti Teknologi?
Argumen bahwa PO adalah pertanian masa lalu, yang tradisional, subsisten dan tidak produktif, berakar dari cara pandang modernisme. Sekarang ini ada tuduhan, bahwa kearifan tradisional (pertanian cara lama) adalah anti teknologi (modern), sehingga menganjurkan PO seolah identik dengan anti teknologi dan menghambat kemajuan. Bahwa dalam praktek pertanian tradisional (PO) ada faktor inefisiensi adalah hal yang wajar. Tetapi, mengabaikan faktor kearifan lokal, budaya dan tujuan non produktivitas adalah solusi yang tidak bijak.
Perlu diluruskan juga, bahwa PO tidak anti teknologi. Pertanian organik juga bukan pertanian jaman baheula dan mau kembali ke tradisi kuno. Namun, pertanian organik adalah pertanian yang berangkat dari paradigma holistik dalam memandang alam semesta. Dalam cara pandang ini manusia menjadi bagian dari alam dan tujuan terbesar dari praksis pertanian adalah untuk keberlanjutan alam semesta. Pemenuhan pangan adalah bagian intrinsik dalam keberlanjutan alam semesta itu sendiri. Dalam kerangka ini, pengembangan teknologi haruslah mengindahkan segala aspek kehidupan dalam keseimbangan dan keberlanjutan alam semesta. Tradisi lama atau kearifan lokal dirujuk dalam PO, lebih karena sumbangannya dalam paradigma holistik yang menghargai keselarasan alam, dibandingkan karena teknologinya.
PO Tidak Menguntungkan ?
Argumentasi lain menyangkut pesimisme PO adalah karena usaha PO dianggap tidak menguntungkan. Memang dalam jangka pendek, PO dengan kondisi teknologi yang sama sementara perlakuan pemupukan lebih rendah, akan memberikan hasil kurang optimal dibanding budidaya konvensional. Tetapi jika dikombinasikan pemakaian pupuk organik, pengendalaian organisme pengganggu tanaman secara baik, dengan inovasi teknologi (seperti SRI, misalnya) yang tepat akan mampu memberikan hasil yang relatif sama. Yang pasti, dalam jangka panjang PO memberikan jaminan akan kualitas tanah dan ekosistem lokal yang lebih baik. Pengalaman Yayasan Bina Sarana Bakti, di Cisarua telah membuktikan hal ini setelah 15 tahun bergelut di bidang PO.
Ilustrasi dalam bagian pertama tulisan ini telah mengindikasikan bahwa ketika permintaan meningkat maka nilai keuntungan akan membayanginya. Kelangkaan barang dalam ilmu ekonomi akan diikuti dengan kenaikan harga. Produk PO sekarang menjadi produk eksotis yang dicari. Dengan banyakya permintaan otomatis nilai jual ekonomis produk PO ikut naik. Inilah daya tarik PO dunia sekarang ini.
Jadi, keraguan bahwa PO tidak menguntungkan secara ekonomis, dapat diretas dengan adanya premium price di tingkat konsumen. Maka tidak mengherankan jika sekarang mulai bermunculan pengusaha PO skala besar di Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang merupakan pemain asing seperti Forest Trade (Amerika) di Sumatra dan Maharishi Global Trading (Belanda) di Sulawesi.
Bisnis sebagai Ancaman
Terlepas bahwa mayoritas orang Indonesia, utamanya para birokrat, peneliti dan pengambil keputusan politik pertanian masih menyangsikan PO, secara nyata PO mulai bermunculan. Dan, pemicu utamanya adalah keuntungan ekonomis. Bisnis PO semakin banyak karena menyimpan keuntungan besar. Sebenarnya kalangan birokrat sekarang pun mulai melirik PO, tetapi yang menggerakkan mereka bukan soal kesadaran ekologis tetapi lebih karena negara maju banyak yang mencari. Artinya peluang meraup devisa.
Sebenarnya bisnis dalam PO sama saja bisnis di tempat lain. Yang dicari: keuntungan Soal lingkungan menjadi sehat adalah ?bonus?. Memang dalam hal ini ?bonus?nya bernilai lebih, karena tidak saja menyerap lapangan kerja baru tapi juga merehabilitasi lingkungan. Dengan demikian bisnis PO memberikan kredit poin tersendiri. Apakah dengan demikian bisnis ini tidak perlu dicermati?
Salah satu watak bisnis kapitalistis adalah kehausannya akan profit yang semakin besar. Sehingga jika ada peluang untuk semakin memperbesar keuntungan, segala cara bisa saja menjadi benar. Kecenderungan ini nampak dari perusahaan-perusahaan besar yang perlahan-lahan mencaplok perusahaan bisnis kecil, dan lama-lama menjadi perusahaan besar skala nasional, dan ujungnya menjadi perusahaan multi nasional. Bidang usahanyapun kian melebar, mulai dari bisnis hulu sampai hilirnya. Contohnya banyak, diantaranya Monsanto, TNC yang tidak saja berbisnis benih tapi juga farmasi/pestisida.
Di sektor PO gejala ini juga sudah terjadi. Di California, misalnya, awalnya PO dikerjakan oleh petani skala kecil dan dijual oleh pedagang dan retail kecil independen. Namun sekarang, Wild Oats, perusahaan ritel skala besar, perlahan-lahan mulai mengambil alih peran pedagang kecil dan diserap kedalam jaringannya. Muncullah monopoli, dimana Wild Oats kini memiliki tak kurang dari 105 supermarket PO di seluruh California (Jolly, 2000). Para pedagang kecil jika mau bertahan harus bergabung ke Wild Oats. Tak terasa telah terjadi marjinalisasi industri kecil PO oleh konglomerat besar. Pada gilirannya, kejadian ini tidak saja menyebabkan struktur pasar yang tidak bersaing sempurna (kompetitif) tetapi juga memperlebar jurang distribusi pendapatan kesejahteraan.
Di Indonesia, konglomerat Setiawan Djodi mendirikan Bio-Kantata, sebuah perusahaan pupuk organik di Pasuruan, Jawa Timur. Perusahaan ini bekerjasama dengan kelompok petani, dengan dukungan pupuk dari perusahaan dan menjamin pasarnya, untuk membudidayakan padi organik. Dalam kerjasama ini petani diuntungkan. Kini, perusahaan ini mulai menjalin jaringan kerjasama dengan berbagai kelompok tani di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Nampak semuanya baik-baik saja. Petani diuntungkan, lingkungan juga menjadi sehat. Tetapi, perlu dicermati, ketika suatu perusahaan mengelola sarana produksi, mengkoordinir budidaya dan memasarkan hasil (menguasai hulu sampai hilir) akan memiliki kekuatan yang dominan dalam pengambilan keputusan. Petani kemudian hanya menjadi pelaksana teknis dari agribisnis perusahaan tersebut. Petani menjadi tergantung, karena input dan pasarnya dijamin. Tanpa sadar, petani akan menjadi buruh di lahannya sendiri. Mungkin kesejahteraan petani lebih baik, tetapi situasi ini tidak merubah kondisi petani dari ketergantungan terhadap pihak luar. Struktur pasar yang bersaing sempurna pun menjadi sulit terjadi dalam situasi demikian. Demokrasi ekonomi menjadi utopia dalam kenyataan ini.
Kondisi diatas menyiratkan kekuatiran bahwa PO kedepan (mungkin) hanya akan menyelesaikan persoalan ekologi, tetapi tidak membebaskan petani. Situasinya menjadi tidak berbeda dengan era revolusi hijau, yang membedakan dulu tergantung pada perusahaan input kimia, sekarang pada perusahaan input organik. Selain itu, demokrasi ekonomi juga semakin sulit manakala perusahaan raksasa menguasai hulu hingga hilir seluruh rantai bisnis.
Dalam skala global, kecenderungan TNC untuk melalap semua peluang ekonomi sudah sangat jelas. Modus mereka tidak saja menelan langsung perusahaan kecil di seluruh dunia, tapi juga menggunakan mulut dan tangan pemerintah. Mereka berdiri di belakang perjanjian perdagangan internasional dan kelahiran WTO, berinvestasi jutaan dollar di International Funds Institutions (IFI?s), dengan mendagangkan globalisasi kesejahteraan. Terlepas apapun yang mereka lakukan, yakinlah bahwa profit adalah tujuan utama mereka.
Bisnis PO, sebagaimana di tempat lain, karenanya perlu diawasi. Perkembangan dan perjuangan PO bukan sekedar isu ekologi dan kesejahteraan petani, tetapi juga soal demokrasi ekonomi, soal kontrol dan akuntabilitas publik perusahaan swasta besar yang menentukan nasib hidup banyak orang.
Epilog
Pertanian Organik kini masih disangsikan kemampuannya dalam memberikan produktivitas yang tinggi oleh banyak orang dan kalangan. Karenanya tidak dipercaya memecahkan soal pertanian dan kecukupan pangan masa depan. Juga, masih diragukan sebagai peluang bisnis yang menjanjikan di masa kini dan masa depan. Ini wajar, karena belum cukup banyak bukti PO berhasil membuka mata mereka.
Dalam kenyataannya, meski pelan, PO terus bertumbuh. Pendorong utamanya adalah kekuatan bisnis, selain permintaan yang besar. Mengingat watak bisnis kapitalistis yang serakah dan tak kenal henti akan keuntungan, maka bisnis PO perlu diawasi, utamanya yang besar. Persoalan PO kemudian bukan saja soal lingkungan yang lebih baik atau soal kesejahteraan ekonomi petani, tetapi juga menyangkut demokrasi ekonomi.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa perjuangan dan pengembangan PO, bukan sekedar soal bagaimana petani menjadi lebih sejahtera atau lingkungan menjadi sehat, tetapi juga soal demokrasi ekonomi, soal merubah paradigma, soal pembebasan manusia. Peduli PO berarti peduli pada seluruh dan kelanjutan kehidupan ° Versi lengkap artikel ini pernah dimuat di bulletin PRO-ORGANIK, Konphalindo tahun 2002
Referensi Hamm, Ulrich, Prof. dan Michelsen, Johannes, PhD. Analysis of the organic food market in Europe. Paper dalam Prosiding Konferensi Ilmiah IFOAM di Swiss. 2000 Jolly, Desmond. From cottage industry to conglomerates: the transformation of the US organic food industry. Paper dalam Prosiding Konferensi Ilmiah IFOAM di Swiss. 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...