Jumat, 06 Juni 2008

Memperkuat Kembali Sistem Pangan Lokal

oleh: Witoro

Pada tahun 2002, sebanyak 815 juta manusia di negara berkembang masih menghadapi kelaparan, 300 juta di antaranya adalah anak-anak. Mereka bergulat melawan rasa lapar dan menghadapi serangan berbagai penyakit akibat kurang gizi bahkan ancaman kematian. Satu dari tiap lima penduduk dunia menderita kekurangan gizi. Sekitar 777 juta orang mengalami kelangkaan pangan, yang tinggal selangkah lagi masuk kategori menderita kelaparan.
( World Food Summit: ''Five Years Later'', Menghapus Kemiskinan adalah Melawan Ketidakadilan, Kompas, 17 /6/02)

Problema Pangan dan Pertanian
Penyebab besarnya jumlah orang lapar di dunia dan juga penduduk miskin dikarenakan pasar global untuk komoditas pertanian masih saja belum adil. Dari tahun 1999 sampai 2000, bantuan berkonsesi dari negara maju dan pinjaman dari lembaga keuangan internasional turun 50 persen yang pertanian yang merupakan gantungan hidup 70 persen masyarakat miskin dunia.
Oleh karena kurangnya komitmen tersebut, jumlah orang yang kekurangan makan hanya berkurang enam juta orang per tahun dari target 22 juta orang seperti yang dideklarasikan tahun 1996. Dengan kecepatan pengurangan yang berjalan lambat itu, maka target 400 juta orang miskin dan lapar bisa diperbaiki kesejahteraannya, baru akan tercapai 45 tahun lagi (Kompas, Senin, 17 Juni 2002, World Food Summit dan Ketahanan Pangan)
Carut marut problema pangan dan pertanian di atas disebabkan oleh berbagai aspek yang saling terkait dan mempengaruhi. Penyebab kurang pangan disebabkan antara lain karena ketiadaan akses terhadap sumber-sumber produksi pangan seperti tanah, air, input pertanian, modal, dan teknologi. Di negara-negara sedang berkembang, penyebab utama rawan pangan adalah lemahnya akses terhadap tanah untuk memproduksi pangan ( Seeds of Hope: Feeding the World Through Community-Based Food Systems, Salzburg Seminar 398, © 2002, W.K. KELLOGG FOUNDATION)
Cara Pandang Keberlanjutan
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memahami masalah pangan dan kemiskinan secara menyeluruh adalah dengan menggunakan kerangka kerja sustainable livelihood yang dikembangkan oleh DfID (1999) dan konsep entitlement yang diperkenalkan Amartya Sen (1981). Seperti semua kerangka kerja lainnya, bentuk ini merupakan penyederhanaan atas keragaman dan kekayaan mengenai penghidupan.
Dalam bentuk paling sederhana, kerangka kerja ini menggambarkan manusia (individu maupun kelompok) merupakan penggerak berbagai aset dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dan ancaman. Manusia dalam hal ini memiliki akses terhadap berbagai aset produktif yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan hidup lainnya.
Chambers dan Conway (1992) mendefinisikan penghidupan berkelanjutan sebagai: “suatu penghidupan yang meliputi kemampuan atau kecakapan, aset-aset (simpanan, sumberdaya, claims dan akses) dan kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana untuk hidup: suatu penghidupan dikatakan berkelanjutan jika dapat mengatasi dan memperbaiki diri dari tekanan dan bencana, menjaga atau meningkatkan kecakapan dan aset-aset, dan menyediakan penghidupan berkelanjutan untuk generasi berikutnya; dan yang memberi sumbangan terhadap penghidupan-penghidupan lain pada tingkat lokal dan global dalam jangka pendek maupun jangka panjang.”
Ada lima sumber kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih tinggi di dalam upayanya mengembangkan kehidupannya yaitu : humane capital, social capital, natural capital, physical capital dan financial capital.
Hubungan individu atau unit sosial yang lebih tinggi terhadap pangan didasarkan pada konsep entitlement atau hak terhadap pangan. Dalam konsep ini, memproduksi dan mendapatkan pangan bagi manusia adalah hak asasi yang tampak dalam beberapa cara manusia dalam mengakses pangan yaitu: direct entitlement, exchange entitlement, trade entitlement, dan social entitlement.
Sistem pangan individu, keluarga atau masyarakat yang lebih luas bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis. Dinamika ini antara lain dipengaruhi oleh tingkat kerentanan (vulnerability) dan kemampuan individu atau unit sosial yang lebih besar dalam menghadapi perubahan. Perubahan itu antara lain shock perubahan mendadak dan tidak terduga, Trend perubahan yang masih dapat diamati dan Seasonality atau musiman yang dapat diperkirakan dengan hampir pasti.
Setiap individu dan unit sosial yang lebih besar mengembangkan sistem penyesuaian diri dalam merespon perubahan tersebut. Renspon itu bersifat jangka pendek yang disebut coping mechanism atau yang lebih jangka panjang yang disebut adaptive mechanism.
Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses pangan (entitlement), sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-sumber kehidupannya (livelihood assets). Ketidakmampuan menyesuaikan diri dalam jangka pendek akan membawa ke kondisi rawan pangan. Penyesuaian rawan pangan yang tidak memperhitungkan aspek penguatan sumber-sumber kehidupan dalam jangka panjang justru tidak akan menjamin keberlanjutan ketahanan pangan individu maupun unit sosial yang lebih tinggi.
Peminggiran Sistem Pangan Lokal Situasi dan kondisi individu, keluarga, masyarakat maupun unit sosial yang lebih tinggi terkait dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dari luar. Sistem pangan sangat dipengaruhi oleh struktur (institusi dan tingkatannya) dan proses (kebijakan) di dalam sistem tersebut. Pendekatan Sustainable Livelihood menekankan pemahaman akan keterkaitan antara persoalan mikro dan makro.
Secara mikro sebenarnya sistem pertanian ladang dan sawah menjadi andalan rakyat untuk memenuhi kebutuhan pangan ini. Sebagaimana tampak dalam sejarah pertanian Indonesia. Meskipun tidak pernah mendapat perhatian semua penguasa di Indonesia namun demikian masih terus bertahan sebagai upaya untuk mempertahankan hidup.
Sejarah pertanian Indonesia sudah dimulai jauh sebelum penjajah datang. Ladang sebagai bentuk miniatur hutan tropis telah lama dikembangkan. Begitu juga dengan model sawah, yang tampak dari pusat2 pengembangan kerajaan. Kehadiran Belanda ke Indonesia, khususnya Jawa, adalah untuk memperoleh produk pertanian yang dapat dijual di pasaran Dunia. Terjadilah proses kemerosotan usaha tani subsiten pada periode tanam paksa hingga Indonesia merdeka. Upaya radikal mengubah keadaan ini lewat UUPA tahun 60 kandas bersama dengan tumbangnya orde lama. Kolonialisme itu kembali lagi dalam wajah barunya dengan semakin memerosotkan akses rakyat terhadap sumber-sumber agraria yang menjadi alat produksi paling penting bagi usaha tani tanaman pangan rakyat.
Contoh paling kuat adalah, Revolusi Hijau yang tidak ditujukan untuk memperkuat sistem pangan lokal yang telah berkembang sebelumnya. Bersamaan dengan itu pemerintah Orde Baru juga mengembangkan kebijakan sentralisasi pengelolaan desa yang dilakukan dengan melakukan pengaturan-pengaturan berkaitan dengan kedudukan desa yang berarti merampas otonomi desa.
Gejala yang Mendunia
Dalam tataran makro persoalan pangan dan pertanian yang dihadapi Indonesia saat ini juga tidak dapat dilepaskan dari proses liberalisasi perdagangan dunia. Liberalisasi perdagangan mengubah fungsi pangan yang multi dimensi menjadi sekadar komoditas perdagangan.
Bahkan WTO – Badan Perdagangan Dunia - mengartikan ketahanan pangan sebagai “ketersediaan pangan di pasar”. Konsep ini dalam praktiknya memaksa rakyat di negara-negara sedang berkembang untuk memenuhi pangan yang akan dipenuhi oleh negara-negara maju melalui mekanisme pasar bebas. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pangan telah menjadi bagian dari skema besar liberalisasi perdagangan.
Kuatnya tekanan dari luar dan lemahnya posisi tawar Indonesia menyebabkan Indonesia menerapkan kebijakan liberalisasi perdagangan pangan. Liberalisasi ini diwujudkan antara lain dalam pencabutan subsidi untuk petani, privatisasi badan usaha logistik dan penurunan tarif impor produk pangan. Kebijakan pangan nasional dengan demikian mengabaikan potensi dan kemampuan rakyat dalam mengelola sistem pangan mereka secara mandiri.
Upaya internasional untuk mengatasi persoalan pangan sebenarnya sudah tercermin sejak World Food Sumit tahun 1974 dan 1996. Bahkan para pemimpin dunia yang hadir dalam WFS tahun 1996 (kembali) mendeklarasikan bersama untuk “mencapai ketahanan pangan bagi setiap orang dan melanjutkan upaya untuk menghilangkan kelaparan di seluruh negara”.
Ketahanan pangan dalam hal ini diartikan sebagai kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Namun nyatanya situasi pangan dunia lima tahun setelah Konferensi Pangan Dunia tahun 1996 terlihat tidak menunjukkan perkembangan sesuai yang diharapkan
Kedaulatan Pangan
Sistem pangan nasional (swasembada pangan nasional) dan sistem pangan global (liberarlisasi perdagangan dunia) tidak dapat menjamin terpenuhinya hak rakyat atas pangan secara berkelanjutan. Kesadaran ini kemudian mendorong beberapa kalangan untuk menengok kembali system pangan lokal yang telah berkembang jauh sebelumnya dan menjadi fondasi sistem pangan rakyat.
Meskipun ditelantarkan oleh hampir semua penguasa di Indonesia namun ratusan ribu komunitas yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara memiliki sistem pangannya masing-masing yang khas serta jenis tanaman pangan yang beragam yang dibudidayakan di ladang maupun di sawah. Setiap komunitas yang telah bertani menetap, mengembangkan sendiri sistem pengelolaan sumber-sumber agraria, inovasi dalam pembenihan dan teknik bercocok tanam, pengembangan infrastruktur, penyimpanan, distribusi atau perdagangan, maupun dalam mengolah pangannya.
Kenyataan di atas menunjukkan perlunya perubahan secara mendasar dan menyeluruh yang tercermin dalam konsep Kedaulatan Pangan (Konsep ini digagas di Indoensia secara khusus oleh Koalisi rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) selengkapnya hubungan penulis di nastari-bogor@indo.net.id. Konsep ini memungkinkan petani perempuan dan laki-laki berperan aktif dan produktif dalam menciptakan sistem pertanian berkelanjutan berdasarkan pada sumberdaya dan kearifan lokal tanpa diskriminasi, di atas kepentingan perdagangan.
Jelas bahwa konsep ini berbeda dengan konsep ketahanan pangan yang tidak mempedulikan dari mana pangan diproduksi dan hak rakyat atas sumberdaya produktif. Dalam konsep kedaulatan pangan, hak rakyat tidak terbatas pada akses untuk memperoleh pangan tetapi juga hak untuk memproduksi dan mendistribusikan pangan.
Mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, maka untuk untuk mewujudkannya diperlukan keterlibatan rakyat dalam penentuan kebijakan terkait dengan proses produksi, distribusi dan konsumsi pangan. Dalam kerangka itu pula maka saat ini sebenarnya peluang untuk pengembangan sistem pangan lokal mendapatkan momen yang tepat seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang bergulir sejak tahun 1999. Kebijakan ini memberi harapan terhadap perubahan paradigma pembangunan yang sentralistis menjadi desentralistis dan demokratis. Wacana ini juga mencakup Otonomi Desa Murni, di mana pemerintahan desa akan memainkan peran utama dalam proses pembangunan.
Hal penting yang terkandung dalam otonomi desa adalah kewenangan dalam mengelola berbagai sumberdaya desa agar dapat memenuhi kebutuhan, memperoleh pendapatan dan memenuhi kebutuhan lainnya.. Di antara berbagai aset desa, aset sosial merupakan aset paling penting bagi berkembangnya otonomi desa.
Pengalaman The International Center for Tropical Agriculture (CIAT) di Kolumbia, Amerika selatan dalam mendampingi komunitas dan membantu petani lokal meningkatkan produksi pangan dengan memberdayakan mereka melalui riset dan menentukan sendiri teknologi dan praktek pertanian baru. Konsep yang digunakan CIAL berkembang cepat di America Latin sejak dimulai tahun 1990 dengan lima CIAL. Tahun 2001, telah berkembang lebih dari 250 CIAL di in delapan negara Amerika Latin. Berbagai potensi yang terkandung dalam sistem pangan lokal inilah yang sangat mungkin dapat mengatasi persoalan pangan pada tingkat komunitas. “ Community-based food system menawarkan kepada rakyat suatu peluang di mana mereka dapat meningkatkan pendapatan, penghidupan mereka, dan dan kapasitas untuk memproduksi, dan secara mendasar suatu jalan lapang di mana mereka dapat menjamin ketahanan pangan mereka pada masa mendatang.”
referensi Sen, Amartya, 1981, Poverty and Famines, An Essay on Entitlement and Deprivation. Chambers, R. and G. Conway (1992) Sustainable rural livelihoods: Practical concepts for the 21 st century.IDS Discussion Paper 296. Brighton: IDS. (pp.7-8)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...