Senin, 16 Juni 2008

Krisis Pangan sebagai Berkah

Oleh: F Rahardi



Jakarta, Singapura, Tokyo, dan New York tidak punya sawah, tidak punya ladang, dan tidak dihuni petani. Namun, beras dan gandum menumpuk di sini dengan harga relatif murah. Sementara itu, petani terpaksa harus membeli produk dan jasa para penghuni metropolis dengan harga sangat tinggi.

Tahun-tahun 1998 sampai 2000 selalu disebut sebagai periode krisis moneter (krismon). Makna dari krismon adalah harga produk kebutuhan pokok melambung, PHK terjadi di mana-mana, dan nilai kurs rupiah terhadap dollar AS mencapai Rp 16.000 per 1 dollar. Bagi masyarakat Jakarta, Surabaya, dan metropolis di Jawa, periode 1998-2000 adalah krisis. Sebaliknya, para petani cengkih, lada, pala, jahe, pepaya, dan juga padi menganggap tahun 1998-2000 sebagai berkah.

Sebab, harga cengkih, lada, dan pala, yang sebelumnya di bawah Rp 20.000 per kg, pada tahun 1999 melambung sampai di atas Rp 100.000 per kg. Pepaya, yang sebelumnya hanya Rp 50 per kg, naik menjadi Rp 250 per kg. Petani menjadi sangat makmur. Pasar utama, seperti mobil, sepeda motor, kulkas, dan televisi, bergeser ke sentra pertanian. Karena produksi mobil dan sepeda motor baru sangat terbatas, yang bekas pun laris manis di Sumatera, Kalimantan, dan terutama Sulawesi.

Sayangnya petani tidak punya media massa. Wartawan pun bukan bagian dari petani, peternak, nelayan, dan perajin yang tahun- tahun itu menerima berkah. Wartawan termasuk pihak yang mengalami krisis. Sebab, halaman media cetak menyusut akibat harga kertas naik. Jam siaran radio dan jam tayang televisi dibatasi. Iklan tersendat. Nafkah wartawan terancam. Maka isu yang diekspos media massa nasional adalah krisis ekonomi. Bukan berkah bagi petani.

Ketakadilan nilai tukar

Perkembangan sarana komunikasi dan transportasi telah menciptakan tidak adilnya nilai tukar. Petani menjual gabah dengan harga Rp 1.000 per kg. Meskipun harga dasar yang ditetapkan pemerintah mencapai Rp 2.000 per kg, harga jagung dan singkong malahan lebih rendah lagi. Lalu, petani harus membeli mi dan roti, yang nilai per kilogramnya mencapai Rp 5.000. Belum lagi kalau petani memerlukan sabun, batu baterai, minyak goreng, dan lain-lain, yang harganya beberapa kali lipat harga padi.

Salah satu medium yang mengakibatkan nilai tukar tak seimbang adalah radio dan televisi. Petani yang tinggal di kampung paling pelosok pun sudah bisa mendengarkan radio dan menonton siaran televisi. Hingga anak-anak petani itu harus membeli CD atau DVD musik dan film dari bintang idola mereka. Mereka juga perlu celana jin, t-shirt, deodoran, sampo, sepeda motor, telepon seluler, dan semua pernik yang tiap hari muncul di layar televisi. Meski nilai tukar tak seimbang, ini masih lumayan.

Yang terjadi di banyak tempat, terutama di pinggiran kota atau di sekitar kawasan wisata, petani menjual tanah mereka untuk dibelanjakan ”produk kota”. Alat produksi itulah yang mereka korbankan untuk ditukar dengan simbol-simbol metropolis. Kemubaziran nasional lalu terjadi. Sawah berubah menjadi vila yang hanya dihuni seminggu sekali. Petani yang sebelumnya produsen pangan, sekarang menjadi penunggu vila yang tak perlu lagi memikirkan produktivitas

Ketakadilan global

Jakarta selama ini dianggap sebagai kekuatan ekonomi nasional. Hingga ketakadilan bisa mudah diciptakan agar penghuni metropolis ini tetap bisa menikmati pangan murah. Sementara itu, produk barang dan jasa yang mereka hasilkan dihargai sangat tinggi di pelosok kampung. Meski terjadi ketakadilan, ini semua masih bisa dianggap normal. Kalau Singapura yang negeri pulau atau Jepang yang negara industri mengimpor sandang dan pangan, itu normal.

Kalau kemudian negara berkembang menyuplai produk pangan ke Singapura dan Jepang, itu juga normal. Meski produk pangan tersebut tak dihargai setinggi produk barang dan jasa dari negeri maju tersebut. Kalau sekarang ini dianggap sedang ada krisis pangan, krisis itu berlaku untuk penduduk metropolis. Bagi petani, krisis pangan adalah berkah. Kalau harga beras melambung sampai Rp 10.000, itu berkah bagi petani. Sebab, penduduk metropolis memang harus membayar mahal kepada para petani.

Namun, Indonesia tidak mungkin menangkap peluang krisis pangan global ini sebagai berkah. Idealnya, Indonesia mengekspor produk pangan ke AS meski dengan harga murah, lalu AS menjual produk barang dan jasa berteknologi tinggi ke negeri kita. Misalnya, pesawat terbang, komputer, musik, dan film Hollywood. Yang terjadi, kita justru impor gandum, kedelai, bungkil, induk ayam ras, susu bubuk, kapas, apel, dan jeruk dari AS.

RRC dan India

AS sebenarnya lebih senang mengekspor produk sandang serta pangan mereka ke RRC dan India. Sebab, populasi penduduk dua negeri ini di atas 1 miliar jiwa. Dua negeri raksasa ini ternyata cukup cerdik. Mereka bisa surplus sandang dan pangan. Belajar dari zaman Mao yang lapar dan susah, RRC kemudian menanam gandum, padi, jagung, kentang, ubi jalar, bahkan juga biji bayam (amaranth grain). Mereka menanam kapas, rami, dan canabis untuk sandang.

Canabis sebenarnya ganja, tapi bukan untuk memproduksi narkoba, melainkan diambil serat batangnya untuk sandang dan bijinya untuk bungkil. India selain punya gandum dan beras juga rajin mengurus aneka umbi-umbian, terutama suweg (Amorphophallus paeoniifolius). Sekarang RRC adalah penghasil gandum, beras, kentang, dan ubi jalar terbesar di dunia. Gandum dan beras India nomor dua. Masih beruntung Indonesia jadi penghasil beras nomor tiga.

Namun, kita harus mengimpor gandum sebanyak 5 juta ton per tahun. Padahal, secara teknis ataupun ekonomis, kita bisa menanamnya. Sebab, memang ada gandum tropis dari India dan Meksiko. Kita juga pernah mendatangkan dan mengembangkan gandum tropis tersebut, tapi tujuannya sekadar untuk seremonial. Belum lagi kedelai, bungkil, bahkan juga beras. Kalau sekarang ini kita ribut ingin ekspor beras, itu semua tak sebanding dengan impor gandum kit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...