Selasa, 03 Juni 2008

KPK dan Cita-cita Bebas Korupsi

Oleh: Sholehudin A. Aziz
Untuk kesekian kalinya publik Indonesia, tersentak dan terhenyak oleh berita korupsi. Adalah Komisi Pemberantasan Korupsi dibawah pimpinan Antasari Azhar, yang kembali unjuk gigi dan menorehkan prestasi besar dengan menangkap salah seorang anggota DPR RI, Al Amin Nasution, di Hotel Ritz Carlton, Jakarta Selatan, Rabu (9/4), dengan tuduhan terlibat kasus dugaan suap terkait pengalihfungsian hutan lindung untuk dijadikan pusat kota Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Prestasi ini tergolong luar biasa karena bulan sebelumnya KPK juga telah menangkap basah, seorang pejabat punggawa penegakan hukum kita “the six billion rupiah man”, Jaksa Urip Tri Gunawan dengan tuduhan menerima suap pada kasus BLBI.
Tertangkapnya anggota DPR ini semakin memperjelas coreng hitam di wajah Parlemen kita, dimana berdasarkan hasil penelitian Transparancy International yang mengungkapkan DPR sebagai lembaga paling korup di mata publik. Stigma ini semakin menemukan momentumnya paska heboh antara BK DPR dengan Group Band Slank perihal lirik lagu “Gosip Jalanan” yang cenderung menyentil perilaku anggota DPR. Kabar terbaru, pimpinan DPR ternyata menolak memberikan izin penggeledahan ruang kerja Al-Amien??
Entah kasus besar apalagi yang akan dibongkar KPK esok hari? Sepertinya keraguan banyak kalangan terhadap KPK dibawah kepemimpinan Antasari Azhar mulai surut dan berganti dengan optimisme tinggi. Hal ini sangat beralasan karena keberanian lembaga ini dalam menyeret nama-nama petinggi penting negeri ini sudah teruji. Penahanan Rusdiharjo (mantan Kapolri), Urip (Jaksa agung), Al-Amien NAsution (Anggota DPR RI) dan Burhanudin Abdullah (Gubernur BI aktif) sebagai bukti hasil kerja keras dan profesionalisme tinggi yang diterapkannya. Setidaknya itulah apresiasi yang pantas kita berikan kepada KPK hari ini.
Sungguh ironis memang, di tengah upaya serius pemerintah dalam memberantas korupsi, berbagai kasus korupsi besar justeru terungkap ke public. HAsil survey PERC (Political and Economic Risk Consultancy) 2008, yang bermarkas di Hongkong yang dilakukan pada Januari - Pebruari 2008 atas 1.400 warga asing pelaku bisnis misalnya telah menyatakan bahwa posisi Indonesia membaik dibandingkan skor PERC tahun 2007 lalu 8,03 kini negara kita menjadi 7,98. Namun dengan terbongkarnya berbagai indikasi penyuapan yang senafas dengan korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintahan dan kalangan elit lainnya maka bisa jadi peringkat tersebut akan naik kembali. Melihat fluktuasi peringkat korupsi yang bergerak negative ini maka harapan public atas keberhasilan bangsa ini semakin kecil pula. Bahkan prediksi seorang pemerhati korupsi dunia, Jarred Diamen, dalam bukunya “Collaps”, 2005 lalu, memprediksi bahwa Indonesia sebagai Negara 14 terkorup di dunia menjadi salah satu contoh negeri yang akan gagal. Seperti halnya kegagalan Romawi, Mongol, Turki, dan Majapahit yang runtuh selain akibat factor-faktor lain tetapi juga karena persoalan korupsi yang tak tertangani. Kita semua berharap semoga prediksi ini salah! Namun wajib kita camkan sebagi media introspeksi.

Berbagai upaya untuk memberangus korupsi ini telah cukup banyak dilakukan pemerintah baik dari reformasi sistem (constituional reform), reformasi kelembagaan (institutional reform), dan penegakan hukum (law inforcement) serta reformasi kultur politik (political culture). Namun tetap saja, korupsi masih tetap “Aman” dan “Langgeng”.
Pola pemberantasan korupsi yang ada belum cukup manjur mengeliminir keinginan seseorang untuk melakukan korupsi. Menurut penulis, terdapat beberapa factor yang menyebabkannya.
Pertama, Faktor birokrasi sistemik yang korup. Harus kita akui bersama bahwa korupsi seakan-akan sudah menjadi hal biasa, lumrah dan wajar sehingga tak seorangpun yang merasa berpikir seratus kali untuk melakukan korupsi. Korupsi sudah benar-benar mendarah daging.
Kedua, factor kurangnya kesalehan social masyarakat kita. Mayoritas kita lebih senang mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan publik. Ketika seseorang melakukan korupsi berarti ia telah merampas hak-hak hidup orang lain. Kesadaran atas kesalehan social inilah yang sangat jarang terjadi, karena mereka sudah menganut faham individualisme.
Ketiga, factor tekanan social dalam amsyarakat. menurut Robert Merton yang terkenal dengan teorinya tentang “ means-ends scheme”, bahwa korupsi merupakan perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan social, sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma. Ini menjadi tantangan budaya kita yang cenderung menghargai orang yang lebih kaya dari pada orang yang miskin. Cerminan budaya yang masih berlangsung di masyarakat ini setidaknya memiliki andil besar dalam menumbuhkan semangat sesorang untuk melakukan korupsi. Ditambah lagi dengan adanya budaya “jalan pintas’ dan sering meremehkan kualitas pekerjaan. Ketika sesorang mendapatkan proyek maka yang terpikir adalah bagaimana caranya agar pengeluaran seminimal mungkin dengan kualitas hasil pekerjaan yang seadanya. Dari sinilah timbul pribadi-pribadi yang cenderung menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan pekerjaaannya dan akhirnya menjadi seorang yang kaya.
Keempat, tidak adanya figure tauladan yang memberi contoh perilaku bebas korupsi. Hanya segelintir orang saja dari ratusan juta rakyat Indonesia yang menerapkan perilaku bebas korupsi. Mereka hanya lilin kecil di tengah badai topan yang dahsyat. Kita seakan tak punya harapan lagi untuk bangkit karena semua unsure inti masyarakat dan negara telah terjangkiti penyakit korupsi.
Korupsi di negeri ini menjadi tantangan paling serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Di bidang ekonomi, korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Korupsi meningkatkan ongkos bisnis karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat dimana sogokan atau suapnya lebih besar. Belum lagi hadirnya korupsi politis dimana kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Barangkali kutipan kata ini menjadi kalimat yang tepat untuk mendeskripsikan kekuatan kekuasaan dalam korupsi. "Power tends to corrupt -- absolute power corrupts absolutely", kata Lord Acton.

Melihat fenomena actual perilaku dan praktik korupsi yang semakin nyata ini dibutuhkan langkah-langkah strategis dan berorientasi jangka panjang dengan mengedepankan pendekatan nilai-nilai good governance dan azaz transparency. Diantara langkah-langkah yang bisa ditempuh adalah:
Pertama, penegakan hukum (law enforcemment) yang jelas, tegas dan tidak pernah kompromi lagi. Hilangkan pertimbangan-pertimbangan politis sesaat dengan motif pelanggengan kekuasaaan. Sudah saatnya kita memiliki pemimpin seperti Perdana Mentri China Zhu Rongji yang pada pelantikannya di tahun 1998 dikenal dengan perkataannya ”Untuk melenyapkan korupsi, saya menyiapkan 100 peti mati. 99 untuk para koruptor dan 1 untuk saya bila saya berbuat yang sama”. Sepanjang ingatan penulis, ungkapan ini belum pernah terucap oleh siapapun di negeri ini.
Kedua, menjadikan good corporate governance, tranparancy dan accountability menjadi prinsip dasar pengelolaan pemerintahan. Jika ketiga hal ini dijadikan landasan penyelenggaraan negara maka sangat diyakini segala praktek mark up, gratifikasi tak wajar dan seabrek bentul korupsi lainnya bisa diminimaliasi atau bahkan bisa dihilangkan. Untuk itu dibutuhkan reformasi manajemen dan standarisasi pengelolaan keuangan negara yang menganut 3 prinsip diatas.
Dan ketiga, Perlunya Dekontruksi Sosial Masyarakat. Korupsi bukanlah hanya persoalan hukum saja, tetapi juga merupakan persoalan sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama. Realitas sosial yang timpang, kemiskinan rakyat yang meluas serta tidak memadainya gaji dan upah yang diterima seorang pekerja, merebaknya nafsu politik kekuasaan, budaya jalan pintas dalam mental suka menerabas aturan, serta banyak factor-faktor lainnya telah membuat korupsi semakin subur dan sulit diberantas. Karena itu, dekonstruksi sosial tak bisa diabaikan begitu saja dan kita perlu merancang dan mewujudkannya dalam masyarakat baru yang antikorupsi.
Belum lagi, etika sosial masyarakat yang sudah mulai merapuh oleh modernisasi. Mengutip pikiran Hungtington,“melihat bukti-bukti dari sana-sini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat”. Modernisasi telah membawa perubahan-perubahan penting pada tatanan nilai di masyarakat. Masyarakat yang dulunya taat nilai kini berubah menjadi bebas nilai, masyarakat yang dulunya cerdas untuk mencerdaskan, namun saat ini malah cerdas untuk mengelabui…..sungguh suatu hal yang tidak kita sadari. Kita bisa mencontoh negara Finlandia, dimana hidup sederhana dan bersikap jujur pada diri sendiri dan orang lain menjadi kharakter masyarakat dan pemimpinya. Disinilah dibutuhkan ketauladanan nasional, terutama dari para pemimpin, aparat pemerintahan dan masyarakat luas untuk dapat menciptakan dan merealisasikan cita-cita bersama, Indonesia yang bebas korupsi. Jika ketiga hal diatas bisa diterapkan maka akan menciptakan Political society yang akuntabel dan kekuatan civil society yang kuat akan menjadi pemicu suksesnya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...