Kamis, 05 Juni 2008

Kewirausahaan Sosial : Melanjutkan Diskursus Yang Terhenti

"Kapitalisme tidak dapat ditentang dengan slogan, ia harus ditentang dengan organisasi. Bangun organisasi itu adalah koperasi" (Mohammad Hatta).

Ketika Republik Indonesia berdiri, salah satu komitmen para bapak bangsa ini adalah bagaimana menggerakkan roda ekonomi rakyat. Indonesia Merdeka seluruhnya itu benar-benar terwujud jika ekonomi rakyat kuat. Itu dapat kiat lihat dari tulisan dan pemikiran-pemikiran Bung Hatta yang meletakkan ekonomi kerakyatan sebagai fondasi ekonomi Indonesia. Cita-cita menjadi bangsa merdeka melahirkan kesadaran untuk menjadi bangsa yang mandiri dan berjuang atas kesanggupan sendiri.
Diintroduksinya konsep pembangunan (1969) yang meletakkan akumulasi kapital sebagai determinan penting menyebabkan terputusnya diskursus ekonomi kerakyatan. Pemerintah orde baru kemudian mengeluarkan regulasi-regulasi yang menguntungkan (favoritisme) terhadap industrialisasi dan konglomerasi. Hutang luar negeri menjadi keniscayaan untuk mendorong roda perekonomian, akibat masih rendahnya tabungan domestik. Pengelolaan negara semakin jauh dari semangat keswadayaan dan kesanggupan berdiri di atas kaki sendiri. Industrialisasi dan modernisasi selain menciptakan berbagai kemajuan, juga telah melahirkan proses marginalisasi. Buruh, petani dan nelayan menjadi profesi yang semakin terpinggirkan karena meskipun secara jumlah mereka mayoritas, dalam penciptaan nilai tambah sangat kecil jika dibandingkan sektor industri. Para ekonom meyakini terjadinya transformasi struktural, yakni ketika kontribusi sektor tradisional (agraris) semakin kecil dan digantikan oleh kontribusi sektor industri yang dari waktu ke waktu semakin besar. Kenyataannya transformasi itu bersifat semu. Menurunnya peran sektor agraris, disebabkan karena orang desa tidak memiliki alternatif lain untuk bertahan hidup kecuali menjual lahan sempit mereka dan menjadi buruh di kota. Kelas buruh pun kondisinya tidak menguntungkan. Istilah cheap labor dan unskilled labor menyebabkan posisi mereka hanya dianggap sebagai sekrup dalam roda industrialisasi. Menyeruaknya kelompok masyarakat rentan yang termarginalisasi akibat kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada mereka, menjadi lahan subur tumbuhnya LSM dengan berbagai corak dan agenda mereka. Eldrege (1988) memilah-milah LSM dalam beberapa kategori yang bersifat ideologis : kesejahteraan, developmentalisme, advokasi, transformasi,dll. Dominasi negara orde baru yang begitu kuat menyebabkan sebagian LSM menganggap penting untuk mengambil jarak dan menolak berkolaborasi dengan agenda pemerintah / negara. Keberadaan LSM dianggap sebagai counter hegemoni terhadap posisi negara yang begitu kuat dan merasuki setiap lini kehidupan masyarakat (Mansour Fakih, 1996). Oleh karena itu sebagian LSM lebih senang menggunakan terminologi ORNOP (Organisasi Non Pemerintah), bukan sekedar terjemahan dari NGO, tetapi yang lebih penting untuk menjelaskan posisi yang berbeda dengan negara (pemerintah). Sementara untuk sebagian LSM lain, persoalan ketidakadilan struktural tidak cukup hanya dengan melakukan tekanan-tekanan terhadap kekuasaan atau dengan menganggap negara sebagai musuh karena menjadi alat yang eksploitatif. Permasalahan struktural harus dijawab dengan pengorganisiran rakyat secara nyata, mendidik mereka dan memperkuat modal sosial mereka melalui kegiatan usaha bersama agar unit-unit ekonomi rakyat dapat tumbuh. Oleh karena itu membangun keswadayaan dan mata pencaharian rakyat yang berkelanjutan menjadi fokus yang penting. Era reformasi dan demokratisasi, posisi LSM semakin penting untuk membangun kembali modal sosial masyarakat yang hancur akibat krisis multidimensi. Di sisi lain menciutnya peran pemerintah di sektor pelayanan publik berdampak pada turunnya kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu isu sektor publik (kesehatan, pendidikan, dll) kian marak menjadi program LSM. Diperkirakan ada lebih dari 13.500 LSM (Depdagri, 2002).
Maraknya peluang-peluang proyek yang dapat diperoleh LSM menjadi sebuah tantangan baru bagaimana LSM untuk menjaga karakter independensinya dan tidak terjebak dalam kepentingan untuk sekedar mendapatkan dana agar bisa survive. Oleh karena itu pertanyaan reflektif yang layak kita lontarkan ialah, seberapa besar kontribusi ribuan proyek yang telah dilakukan LSM bagi perubahan sosial di Indonesia. Di era keterbukaan dan demokratisasi ini, agaknya kurang tepat untuk mengkotak-kotakkan paradigma LSM, apakah kesejahteraan atau advokasi. Berbagai inisiatif lokal yang tumbuh membuktikan bahwa kerja-kerja akar rumput mesti memadukan perspektif advokasi dan membangun mata pencaharian masyarakat. Pengalaman menarik dapat kita lihat yang dilakukan oleh PUSDAKOTA (Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan) di Surabaya. Lembaga yang di bawah naungan Universitas Surabaya ini memiliki pengalaman cukup unik. Lahir pada tahun 2000 dengan kepdulian terhadap masalah lingkungan dan kaum miskin kota, PUSDAKOTA melakukan kegiatan-kegiatan edukasi dan advokasi bagi masyarakat slum, hingga akhirnya tercetus konsep manajemen sampah rumah tangga. Saat ini PUSDAKOTA cukup sukses memasarkan produk keranjang sampah Takakura dengan omzet rata-rata 1.000 keranjang sampah per bulan, dengan harga per satuan Rp 75 ribu. Proses produksi ini menyerap 140 pekerja, yang sebagian besar kaum miskin cacat. Selain mengembangkan unit usaha secara mandiri, PUSDAKOTA intens terlibat dalam dialog-dialog kebijakan dan menjadi rujukan baik bagi kalangan pemerintah maupun pebisnis.
Pengalaman-pengalaman lain dapat kita temukan dari lapangan, seperti misalnya kelompok-kelompok swadaya masyarakat (KSM) para pedagang kecil yang dihadapkan dengan penggusuran atau tingginya uang sewa kios, maka kerja pendampingan tak bisa dilepaskan dari isu advokasi terhadap keberadaan mereka. Atau KSM perempuan yang sampai pada kesadaran advokasi terhadap peran perempuan sebagai tulang punggung ekonomi rumah tangga. Hal-hal tersebut tidak bisa dipilah-pilah mana yang advokasi, mana yang developmentalis atau kesejahteraan. Persoalan-persoalan tersebut muncul bersamaan di lapangan dan akhirnya "inovasi" menjadi kata kunci terhadap kesemua itu.Inovasi dan solusi yang unik merupakan gerakan roh, ketika kemiskinan dan ketidakberdayaan mendera kehidupan masyarakat. Cerita menarik ditulis oleh Prof. Prahallad (The Fortune at the Bottom of the Pyramid, 2004), mengenai Jaipur Foot. Di India terdapat 5,5 juta orang yang diamputasi dan angka itu bertambah tiap tahunnya sekitar 25 ribu orang. Mayoritas mereka adalah orang miskin dan tidak mampu membayar pelayanan medis. Ketika industri prosthesis (anggota tubuh buatan) begitu rumit dan mahal, Jaipur Food menemukan teknologi yang sesuai dengan gaya hidup orang miskin. Jika biaya sebuah kaki buatan di AS senilai US$ 8 ribu, Sementara kaki buatan Jaipur Foot senilai US$ 30. Inovasi ini secara nyata mampu menolong orang miskin cacat untuk tetap produktif bekerja. Inovasi dan solusi yang unik terhadap masalah kemiskinan juga kita temukan dalam kisah sukses Grameen Bank, di Bangladesh, SEWA Bank di India, atau berbagai inisiatif lokal yang dilakukan oleh kalangan LSM, seperti PEKERTI, Purbadanartha, Yayasan Mitra Usaha, dll. Terminologi kewirausahaan sosial yang kian marak, sebenarnya bukan hal yang baru sama sekali. Tetapi menjadi menarik untuk mendiskusikannya karena sejarah bangsa ini yang berabad-abad didera struktur dan sistem sosial feodal, tidak memiliki watak kewirausahaan yang kuat. Di beberapa tempat, seperti di Jawa masih ada pandangan, orang berdagang atau buka usaha dianggap sebagai pekerjaan rendah. Tetapi ironisnya perilaku rent seeking (memburu rente) kian merajalela. Bagaimana dengan mudah menjadi kaya dengan cara menghisap (memalak) jerih payah orang lain, perilaku yang terus direproduksi dari kalangan atas hingga bawah. Oleh karena itu pekerjaan sebagai produsen kian tidak diminati, inovasi tidak dihargai. Patut kita akui kewirausahaan bangsa kita kian merosot. Kian sulit untuk menyebut produk-produk yang dihasilkan bangsa sendiri. Kita hanya menjadi broker dan konsumen barang-barang produsen dari luar. Tahu dan tempe makanan sehari-hari rakyat jelata, demikian juga kecap. Ironisnya kedelainya diimpor dari Amerika Serikat. Apalagi jika berbicara barang-barang konsumen lainnya seperti sabun, pasta gigi, dll. Kesemuanya dihasilkan oleh perusahaan multinasional (MNC). Kewirausahaan sosial menjadi menarik kita diskusikan, ketika kita dihadapkan pada angka kemiskinan yang melonjak drastis, menjadi 39,05 juta jiwa atau 17,5% jumlah penduduk (versi BPS dengan biaya hidup Rp 152.847 per orang/bulan). Sementara itu versi Bank Dunia (dengan ukuran US$2 per orang/hari) menyebut angka kemiskinan di Indonesia mencapai 110 juta jiwa atau 53% penduduk. Di sisi lain, tidak adanya daya tarik investasi, industri di Indonesia tengah memasuki usia senja (sunset industry). Kesempatan kerja kian menyempit dan melonjaknya pengangguran terbuka sebesar 11,89 juta jiwa (10,80% dari jumlah angkatan kerja). Untuk menjawabnya dibutuhkan banyak terobosan, dibutuhkan upaya-upaya untuk memadukan berbagai inisiatif. Oleh karena itu persoalan kita bukan bagaimana menyusun definisi ataupun kategori kewirausahaan sosial, namun lebih pada bagaimana menemukan spirit daripadanya. Bagaimana agar kinerja wirausaha itu semakin memiliki dampak sosial yang besar. Karena baik Muh. Yunus maupun tokoh-tokoh wirausaha sosial tak kan mengingkari, bahwa kesuksesan mereka lahir dari pergumulan yang demikian intens dengan kemiskinan. Rasanya kita diingatkan kembali oleh kata-kata Bung Hatta, bahwa hakekat ekonomi rakyat adalah pentingnya mendidik semangat cinta kepada rakyat atas dasar usaha bersama. Dengan demikian kerja-kerja keras yang dilakukan oleh rakyat adalah manifestasi kemartabatannya sebagai manusia. (Ign. Wahyu Indriyo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...