Rabu, 18 Juni 2008

Industri sawit, tersanjung atau tersandung?

Oleh: Martin Sihombing

Enam lembar daftar perusahaan asing yang meminati perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia bergeser dari tangan pejabat di Pusat Perizinan Investasi (PPI) Deptan ke tangan wartawan Bisnis Indonesia. "Wow..." Begitu saat rekan saya itu memperlihatkan daftar itu kepada saya.

Dalam lembar itu, tertera nama 44 perusahaan asing-terbanyak (16) perusahaan asal Malaysia-yang mengincar perkebunan seluas 0,44 juta hektare (ha). "Mereka antusias," kata seorang pejabat Deptan.

Terutama Malaysia, bukan hanya yang kecil, melainkan juga perkebunan besar mereka memang terus 'menggempur' lahan kelapa sawit di Tanah Air. Belum lama ini, IJM Plantations Berhad's, melalui anak usahanya, Gunaria Sdn Bhd, misalnya, menyepakati pengambilalihan (akuisisi) 95% saham perusahaan perkebunan sawit Indonesia, PT Zarhasih Kaltim Perkasa (ZKP) senilai Rp2,85 miliar (US$313,359), cash.

Total investasi Sime Darby Bhd, yang mulai menggarap kebun kelapa sawit Indonesia sejak 1998 seluas 270.000 ha, termasuk mengakuisisi perkebunan sawit milik konglomerat Salim, di Indonesia US$1,2 miliar. Pada awalnya, investasi perusahaan asal negeri jiran, Malaysia mencapai US$400 juta.

Komisaris Utama Sime Darby Bhd, Tun Musa Hitam mengakui pintu investasi di bidang perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih sangat terbuka lebar. Dia menunjuk ada tiga daerah yang memiliki potensi untuk dikembangkan, yakni Kalimantan, Riau, dan Jambi.

Antusiasme ini nyaris sama dengan kejadian 1996. Pada tahun itu, Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto merencanakan untuk mengalahkan Malaysia sebagai pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan cara menambah luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dua kali lipat, menjadi 5,5 juta hektare pada 2000. Separuh dari luasan perkebunan kelapa sawit ini dialokasikan untuk perusahaan perkebunan swasta asing.

Bedanya, pada 1996, berkembangnya subsektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif. Terutama kemudahan dalam perizinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat pola PIR-Bun dan dalam perizinan pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta.

Kini, kendati ada insentif berupa subsidi bunga kredit melalui program Revitalisasi Perkebunan, tetapi lebih banyak karena permintaan crude palm oil (turunan pertama dari kelapa sawit) yang melonjak. Sebab banyak negara menggelar program biodiesel, solusi mengatasi kian mahalnya harga minyak fosil dan berkurangnya produksi.

Di sisi lain, meminjam istilah Ketua Harian Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Rosediana Suharto, kenaikan harga CPO tidak melulu karena harga minyak mentah.

Harga minyak

Minyak kedelai dan minyak rape yang banyak digunakan di Eropa, Amerika Serikat, China, dan lain-lain sebagai bahan makanan dan juga kebutuhan nonpangan lainnya a.l. bahan bakar yang dapat diperbarui.

Karena permintaan yang cukup besar di negara yang pada umumnya beriklim subtropis tersebut, produksi dan harga dari kedua minyak sayur itu menjadi tinggi dan memengaruhi harga minyak dan lemak lainnya yang a.l. minyak sawit.

Tak ayal, mereka yang semula tidak menggeluti industri minyak sawit, kini berduyun-duyun masuk. Kini, harga satu kavling perkebunan kelapa sawit pun, terutama di Riau dan Jambi misalnya, melonjak dari Rp25 juta menjadi Rp40 juta.

Bahkan, di kedua provinsi itu, banyak petani di daerah menolak untuk diwawancarai wartawan karena takut diserbu orang kota yang berduit.

Di luar grup usaha besar yang lebih dulu berkecimpung di sawit-Bakrie, Sinar Mas, Salim Grup, Asian Agri, Wilmar, London Sumatera, Astra Agro Lestari, Sampoerna Agro-kini Barito pun mulai mengincar dan Charoen Pokhpand.

Termasuk PT Inti Kapuas Arowana Tbk (IIKP) yang memutuskan untuk melakukan investasi pada bidang perkebunan kelapa sawit. Setelah mempelajari hasil kajian usaha di bidang kelapa sawit yang dilakukan oleh PT Agrindo Management Services, perusahaan itu memutuskan investasi di perkebunan kelapa sawit.

IIKP merupakan perusahaan yang menekuni industri ikan hias, khususnya arwana. Dalam usahanya itu IIKP melakukan usaha penangkaran ikan arwana di Pontianak.

Namun, banyak hal yang harus diwaspadai. Kasus yang pernah terjadi dan menjadi modal pihak pesaing untuk mendiskreditkan industri ini tidak ramah lingkungan, perlu ditekan.

Di industri minyak sawit, dikenal biaya sosial (social costs). Biaya ini timbul sebagai akibat terjadinya permasalahan dan atau konflik sosial dalam pelaksanaan kegiatan tertentu. Misalnya, biaya yang harus dikeluarkan karena terjadinya konflik lahan antara perusahaan perkebunan dan masyarakat lokal yang tinggal di lokasi pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Konversi hutan

Pasalnya, kasus itu, pernah terjadi dan banyak dilakukan karena lahan yang tersedia dan cocok untuk sawit sangat terbatas, akibatnya harus mengonversi hutan.

Pada 1999, misalnya, hutan produksi terbatas yang telah dikonversi menjadi areal perkebunan sampai Maret 1999, mencapai 166.532,25 hektare (ha). Terluas di Riau, 94.616,45 ha disusul di Jambi seluas 27.675 ha, Aceh 17.635 ha, Sumut 10.903,80 ha, dan Maluku 3.840 ha.

Bahkan, menurut catatan Dephut (1999), total areal hutan yang telah dikonversi untuk perkebunan sampai Maret 1999, 4,06 juta ha dan total areal perkebunan kelapa sawit hingga 1998, 2,77 juta ha.

Dari areal konversi 4,06 juta ha itu, konversi terluas terjadi di Riau, 1,53 juta ha, Kaltim 434.738,37 ha, dan Kalteng 428.053,89 juta ha.

Secara keseluruhan di antara lima pulau terbesar di Indonesia, pada saat itu, konversi terluas terjadi di Sumatra seluas 2,55 juta ha disusul Kalimantan 1,41 juta ha.

Dengan segala persoalannya, jika tidak diantisipasi, contoh kasus terakhir itu justru akan menjadi sandungan bagi industri minyak sawit. Bukan sanjungan. Waspadalah, waspadalah... (martin.sihombing@bisnis.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...