Oleh: Ivan A Hadar
Sri Mulyani Indrawati telah menerima tawaran Bank Dunia menduduki posisi strategis sebagai direktur pelaksana yang membawahi 74 negara di tiga kelompok kawasan, masing-masing Amerika Latin dan Karibia, Asia Timur dan Pasifik, serta Timur Tengah dan Afrika Utara.
Dengan jabatan itu, Sri Mulyani Indrawati yang berada langsung di bawah Presiden Bank Dunia (BD) ini akan ikut menentukan kebijakan BD bagi sebagian besar negara berkembang di tiga kawasan tersebut.
Banyak yang bangga. Namun, seharusnya kita berharap agar Sri Mulyani bisa membawa perubahan di BD yang selama ini kerap dituding mendukung kebijakan yang merugikan masyarakat miskin di negara berkembang.
Mimpi
Pada pintu masuk utama kantor pusat BD di Washington tertulis ”Mimpi Kami adalah Sebuah Dunia Tanpa Kemiskinan”. Sebuah mimpi yang, sayangnya, masih jauh dari kenyataan. Betapa tidak, selama 15 tahun terakhir, meski penghasilan dunia meningkat sebesar 3 persen per tahun, jumlah mereka yang hidup dalam kemiskinan pun bertambah lebih dari 120 juta jiwa. Bagi Josef Stiglitz, penyebab ”penyimpangan” ini harus dicari sumbernya pada lembaga terpenting pemberi arah globalisasi, yaitu BD dan Dana Moneter Internasional (IMF).
BD dan IMF didirikan atas rekomendasi konferensi PBB tentang moneter dan keuangan internasional di Bretton Woods, AS, Juli 1944. Hal tersebut adalah bagian dari upaya pembangunan kembali perekonomian dunia, khususnya Eropa, yang hancur akibat depresi tahun 1930-an dan Perang Dunia II. Dua dekade kemudian, setelah Eropa pulih, kucuran kredit BD dan IMF dialihkan ke negara-negara berkembang.
Negara penerima kredit diwajibkan melaksanakan program ”penyesuaian struktural”, mencakup privatisasi dan penyunatan anggaran pelayanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan. Menurut dua lembaga ini, program berparadigma neoliberalisme ini adalah pil pahit yang mutlak dibutuhkan sebagai landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan bakal menaikkan taraf hidup masyarakat miskin.
Sayangnya, kenyataan berbicara lain. Kebanyakan negara berkembang malah terjebak dalam utang luar negeri, yang menggerogoti devisa. Saat ini, utang Indonesia yang jatuh tempo dalam APBN 2010 mencapai Rp 129 triliun. Pada 2010, kita harus membayar pokok dan bunga utang sebesar Rp 245 triliun. Diperkirakan, Indonesia akan berutang Rp 268 triliun dan sebagian terbesarnya habis untuk membayar utang.
”Governance”
Sebenarnya, kata kunci permasalahan di BD adalah governance, khususnya berkaitan dengan pertanyaan tentang siapa yang mengambil keputusan dan mengapa. Dari 182 negara anggota, termasuk Indonesia, 19 negara industri memiliki lebih dari 60 persen suara, sementara 122 negara berkembang hanya memiliki sekitar 31 persen suara. Menurut Stiglitz, ”Lembaga-lembaga tersebut bukan sekadar dikuasai negara-negara maju, tetapi terutama oleh kepentingan dunia usaha dan keuangan (Globalization and its Discontents, 2002).”
Sejak krisis Asia, wibawa BD dan IMF merosot tajam. Kritik pun berdatangan, termasuk dari kubu ”kanan”. Laporan Meltzer yang dipublikasikan Kongres AS, misalnya, memuat kritik tajam atas dua lembaga ini sebagai ”penuh rahasia, suka mengancam, dan sama sekali tidak membawa dampak positif (2003).”
Untuk memberi bentuk pada globalisasi agar buahnya bisa dirasakan merata, terutama dibutuhkan revisi mendasar sistem governance BD dan IMF, yaitu struktur kepemimpinan dan pengawasan. Hak suara di IMF dan BD harus diperbarui.
Bagi Indonesia, yang masih dibelenggu krisis, dibutuhkan perbaikan jaringan pengamanan sosial serta penghapusan utang luar negeri. Perekonomian kita dipastikan tidak mungkin menggeliat tumbuh selama, paling tidak, sebagian utang luar negerinya belum dihapus. Selama menjabat Menteri Keuangan, Sri Mulyani telah meningkatkan stok utang Indonesia dari Rp 1.275 triliun (2003) menjadi Rp 1.667 triliun (2009). Sekitar 1 miliar dolar AS berasal dari BD.
Sebenarnya, di awal pemerintahannya yang pertama, dalam pertemuan Financing for Development di New York (14/9/2005), Presiden Yudhoyono pernah mengatakan perlunya pengurangan utang untuk negara-negara berpenghasilan menengah yang sedang berkembang.
Sejalan dengan itu, Menkeu Sri Mulyani dalam pertemuan UNCTAD di Jakarta, Oktober 2006, menyatakan, salah satu kesulitan utama pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional, termasuk MDGs, adalah utang luar negeri. Atas dasar itu, Indonesia akan terus menyuarakan pentingnya penghapusan utang. Kini saatnya, Sri Mulyani sebagai insider di BD menuntut hal tersebut. Semoga!
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/10/04205559/sri.mulyani.dan.reform
IVAN A Hadar Direktur Eksekutif IDe (Indonesian Institute for Democracy Education), Wakil Pemred ”Jurnal Sosial Demokrasi
Sri Mulyani Indrawati telah menerima tawaran Bank Dunia menduduki posisi strategis sebagai direktur pelaksana yang membawahi 74 negara di tiga kelompok kawasan, masing-masing Amerika Latin dan Karibia, Asia Timur dan Pasifik, serta Timur Tengah dan Afrika Utara.
Dengan jabatan itu, Sri Mulyani Indrawati yang berada langsung di bawah Presiden Bank Dunia (BD) ini akan ikut menentukan kebijakan BD bagi sebagian besar negara berkembang di tiga kawasan tersebut.
Banyak yang bangga. Namun, seharusnya kita berharap agar Sri Mulyani bisa membawa perubahan di BD yang selama ini kerap dituding mendukung kebijakan yang merugikan masyarakat miskin di negara berkembang.
Mimpi
Pada pintu masuk utama kantor pusat BD di Washington tertulis ”Mimpi Kami adalah Sebuah Dunia Tanpa Kemiskinan”. Sebuah mimpi yang, sayangnya, masih jauh dari kenyataan. Betapa tidak, selama 15 tahun terakhir, meski penghasilan dunia meningkat sebesar 3 persen per tahun, jumlah mereka yang hidup dalam kemiskinan pun bertambah lebih dari 120 juta jiwa. Bagi Josef Stiglitz, penyebab ”penyimpangan” ini harus dicari sumbernya pada lembaga terpenting pemberi arah globalisasi, yaitu BD dan Dana Moneter Internasional (IMF).
BD dan IMF didirikan atas rekomendasi konferensi PBB tentang moneter dan keuangan internasional di Bretton Woods, AS, Juli 1944. Hal tersebut adalah bagian dari upaya pembangunan kembali perekonomian dunia, khususnya Eropa, yang hancur akibat depresi tahun 1930-an dan Perang Dunia II. Dua dekade kemudian, setelah Eropa pulih, kucuran kredit BD dan IMF dialihkan ke negara-negara berkembang.
Negara penerima kredit diwajibkan melaksanakan program ”penyesuaian struktural”, mencakup privatisasi dan penyunatan anggaran pelayanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan. Menurut dua lembaga ini, program berparadigma neoliberalisme ini adalah pil pahit yang mutlak dibutuhkan sebagai landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan bakal menaikkan taraf hidup masyarakat miskin.
Sayangnya, kenyataan berbicara lain. Kebanyakan negara berkembang malah terjebak dalam utang luar negeri, yang menggerogoti devisa. Saat ini, utang Indonesia yang jatuh tempo dalam APBN 2010 mencapai Rp 129 triliun. Pada 2010, kita harus membayar pokok dan bunga utang sebesar Rp 245 triliun. Diperkirakan, Indonesia akan berutang Rp 268 triliun dan sebagian terbesarnya habis untuk membayar utang.
”Governance”
Sebenarnya, kata kunci permasalahan di BD adalah governance, khususnya berkaitan dengan pertanyaan tentang siapa yang mengambil keputusan dan mengapa. Dari 182 negara anggota, termasuk Indonesia, 19 negara industri memiliki lebih dari 60 persen suara, sementara 122 negara berkembang hanya memiliki sekitar 31 persen suara. Menurut Stiglitz, ”Lembaga-lembaga tersebut bukan sekadar dikuasai negara-negara maju, tetapi terutama oleh kepentingan dunia usaha dan keuangan (Globalization and its Discontents, 2002).”
Sejak krisis Asia, wibawa BD dan IMF merosot tajam. Kritik pun berdatangan, termasuk dari kubu ”kanan”. Laporan Meltzer yang dipublikasikan Kongres AS, misalnya, memuat kritik tajam atas dua lembaga ini sebagai ”penuh rahasia, suka mengancam, dan sama sekali tidak membawa dampak positif (2003).”
Untuk memberi bentuk pada globalisasi agar buahnya bisa dirasakan merata, terutama dibutuhkan revisi mendasar sistem governance BD dan IMF, yaitu struktur kepemimpinan dan pengawasan. Hak suara di IMF dan BD harus diperbarui.
Bagi Indonesia, yang masih dibelenggu krisis, dibutuhkan perbaikan jaringan pengamanan sosial serta penghapusan utang luar negeri. Perekonomian kita dipastikan tidak mungkin menggeliat tumbuh selama, paling tidak, sebagian utang luar negerinya belum dihapus. Selama menjabat Menteri Keuangan, Sri Mulyani telah meningkatkan stok utang Indonesia dari Rp 1.275 triliun (2003) menjadi Rp 1.667 triliun (2009). Sekitar 1 miliar dolar AS berasal dari BD.
Sebenarnya, di awal pemerintahannya yang pertama, dalam pertemuan Financing for Development di New York (14/9/2005), Presiden Yudhoyono pernah mengatakan perlunya pengurangan utang untuk negara-negara berpenghasilan menengah yang sedang berkembang.
Sejalan dengan itu, Menkeu Sri Mulyani dalam pertemuan UNCTAD di Jakarta, Oktober 2006, menyatakan, salah satu kesulitan utama pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional, termasuk MDGs, adalah utang luar negeri. Atas dasar itu, Indonesia akan terus menyuarakan pentingnya penghapusan utang. Kini saatnya, Sri Mulyani sebagai insider di BD menuntut hal tersebut. Semoga!
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/10/04205559/sri.mulyani.dan.reform
IVAN A Hadar Direktur Eksekutif IDe (Indonesian Institute for Democracy Education), Wakil Pemred ”Jurnal Sosial Demokrasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya