Senin, 03 Mei 2010

Memaknai Hubungan Industrial

Oleh: Indra Suhendra


Masih banyaknya kasus pelanggaran oleh pengusaha dan seringnya tindakan anarkis buruh adalah cermin buruk hubungan industrial di Indonesia.

Hubungan industrial berunsur dua pihak (bipartit), yakni pengusaha atau asosiasi pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja. Secara tradisional hubungan pekerja-pengusaha seperti relasi dua kutub kepentingan yang berseberangan, padahal titik tolaknya sama: prinsip ekonomi. Pengusaha, dengan modal sekecil-kecilnya ingin hasil maksimal. Pekerja ingin gaji dan kesejahteraan sebesar-besarnya dengan tenaga dan waktu minimal.

Sebagai pemilik modal banyak pengusaha jadi abai terhadap hak-hak pekerja, tak taat hukum, tidak mengedepankan dialog, dan alergi terhadap serikat pekerja (anti-union). Padahal, hak berserikat adalah hak asasi dan hak konstitusional warga negara. Keberadaannya dijamin Pasal 28 UUD 1945, juncto UU No 21/ 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, juncto Konvensi ILO No 87/1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (diratifikasi Keppres No 83/1998).

Antiserikat pekerja, menurut Pasal 43 UU No 21/2000, termasuk tindak pidana kejahatan (Ayat 2), dengan ancaman sanksi kurungan 1-5 tahun dan atau denda Rp 100 juta-Rp 500 juta (Ayat 1).

Jumlah tenaga kerja yang tidak berbanding lurus dengan lapangan kerja menciptakan pengangguran. Ini membuat posisi tawar buruh lemah dan jadi alat pengusaha menindas pekerja.

Di sisi lain, masih ada buruh yang ingin menang sendiri: terus menuntut tanpa logika serta menutup mata terhadap kesulitan pengusaha. Jadilah stigma negatif yang mengendap di benak pengusaha. Kelemahan lain buruh adalah kurang bersatu.

Lemahnya fungsi pengawasan pemerintah sebagaimana diamanatkan Pasal 40 UU No 21/2000 dan Pasal 176 UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan ikut menyumbang kusutnya perburuhan.

Masalah buruh kerap dituding sebagai penyebab utama investor hengkang. Padahal, menurut Bank Dunia, faktor tenaga kerja di urutan ke-8 dari sembilan faktor penghambat investasi.

Dialektika dua pihak

Kondisi sosial di Indonesia tak bisa disamakan dengan Uni Soviet pada 1917, saat pertentangan kelas tumbuh subur dan melahirkan Revolusi Oktober:

kaum Bolshevik melenyapkan para borjuis. Hubungan mereka saling menegasikan dan menguasai.

Di Indonesia, tidak bisa diterapkan kapitalisme dan sosialisme murni. Karena itu, tanpa perubahan keadaan, konflik antarkelas bisa mengarah ke perang antarkelas yang rumit.

Sikap solutif dalam hubungan industrial adalah dengan mengkaji ulang visi dan paradigma yang sudah usang. Setiap pihak harus memandang pihak lain sebagai mitra dan buruh tidak dianggap sebagai alat produksi semata sehingga terjadi proses memanusiakan manusia.

Setiap pihak harus menyadari bahwa masing-masing punya kekurangan dan kelebihan sehingga hubungan keduanya lebih untuk saling melengkapi. Maka, visi ”aku” harus jadi ”kita”.

Idealnya, hubungan industrial adalah dialektika antara pekerja dan pemberi kerja. Hubungan industrial harus mencerminkan sintesis dari dua tesis kepentingan pekerja-pengusaha.

Dialektika pekerja-pengusaha tak mungkin terwujud tanpa masing-masing pihak mengganti pandangan lama dengan pandangan baru yang rasional, berbasis hukum, dan berdasarkan kemanusiaan. Pandangan baru akan menghadirkan sikap saling menghargai (mutual respect), saling pengertian (mutual understanding), saling percaya (mutual trust), dan keduanya sama-sama diuntungkan (mutual benefit).

Tak akan ada lagi letupan-letupan ketidakpuasan dalam bentuk kekerasan yang berlebihan. Semua masalah bisa dicarikan penyelesaian secara arif di meja perundingan. Para pihak harus meyakini masih ada irisan yang sama di antara keduanya sehingga hubungan industrial tak berhenti pada setumpuk klausul undang-undang.

Hukum positif

Walau dalam pelaksanaan hubungan industrial muncul perselisihan (dispute) dengan segala kelemahannya, perangkat hukum positif akan menuntun ke arah penyelesaian.

Pekerja dan pengusaha boleh menempuh proses mediasi, konsiliasi, atau arbitrasi, bahkan mengajukan perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan kemudian ke Mahkamah Agung (UU No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). Namun, hal itu mensyaratkan perundingan bipartit lebih dahulu sebagaimana Pasal 151 UU No 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan. Intinya, penyelesaian dua pihak pelaku hubungan industrial lebih diutamakan.

Kita harus percaya tak semua pengusaha arogan, masih banyak yang berhati nurani. Kita juga harus yakin pekerja adalah manusia yang perlu sentuhan, tidak semata gaji dan kesejahteraan.

Hubungan baik akan melahirkan kemajuan bersama dalam perusahaan. Masalah ketenagakerjaan tidak lagi jadi momok bagi investor. Investasi yang sehat dalam hubungan kerja yang harmonis pada gilirannya akan memajukan perekonomian.

Jika pengusaha dan pekerja terus konflik, tak ada yang untung. Pengusaha jadi arang, pekerja jadi abu. Tangan mengepal tak bisa bersalaman dan kedua pihak akan terjebak dalam kerja sama yang semu dan rapuh.

Kata kuncinya memang introspeksi para pihak dan mengkaji ulang paradigma negatif masing-masing terhadap mitranya. Seperti Socrates, saya yakin bahwa hidup yang tertutup untuk dikaji ulang adalah hidup yang tak layak dihayati.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/01/03504244/memaknai..hubungan.ind


Indra Suhendra Wakil Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...