Senin, 03 Mei 2010

Pasar investasi belum bubble

Oleh: Rosady T. A. Montol



Pasar investasi Indonesia menggembirakan, kenaikan IHSG terus mencatat rekor. Bukan hanya itu, harga obligasi juga meningkat, capital inflow pun mengalir deras, efeknya rupiah menguat tajam. Banyak kalangan mulai khawatir kemungkinan bubble di mana harga telah overpriced atau terlampau mahal dan ada potensi penurunan harga secara drastis. Berbagai institusi keuangan dunia pun ikut memberi prediksi dengan analisis yang beragam. Akibatnya, spekulasi makin panas.

Pertanyaannya, apakah benar pasar investasi di Tanah Air sudah mendekati bubble?

Untuk menjawabnya, ada baiknya kita menelaah terlebih dahulu fenomena yang melatarbelakangi penguatan ini.

Fenomena pertama, ekspektasi kebangkitan ekonomi dan optimisme pasar. Setelah terpuruk dalam jurang krisis, ekonomi AS mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Membaiknya beberapa indikator ekonomi AS diantaranya PDB, inflation, retail sales, market confidence, telah mendongkrak optimisme pasar, meskipun di tengah harga perumahan dan tingkat pengangguran yang belum pulih.

Membaiknya ekonomi AS memicu naiknya permintaan produksi global yang memberikan efek domino bagi perdagangan internasional. Produktivitas manufaktur bergeliat, konsumsi energi dan komoditas naik, belum lagi dampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan konsumsi dunia yang terdongkrak.

Seakan mendapatkan darah segar, pelaku pasar optimistis dan makin agresif dalam berinvestasi dengan memburu investasi high risk- high return yang notabene memberi imbal hasil dan risiko tinggi.

Kedua, perubahan strategi portofolio. Meningkatnya optimisme pasar keuangan dunia mengubah strategi investasi global.

Fund manager yang sebelumnya melakukan aksi flight to safety dengan mengamankan portofolionya di high quality instrument seperti US Treasury yang dianggap sebagai investasi paling aman di dunia, kini berpaling pada high yield instrument.

Komoditas dan saham menjadi pilihan penempatan investasi yang terkonfirmasi dengan naiknya harga energi/komoditas dan harga saham dunia.

Kondisi di atas tentunya sangat menguntungkan bagi negara-negara emerging market yang memiliki korelasi kuat terhadap komoditas seperti Indonesia.

Didukung oleh fundamental ekonomi dan situasi polkam yang stabil serta ekspektasi memasuki peringkat investment grade tahun ini membuat Indonesia menjadi salah satu outlet investasi yang paling diburu dibandingkan peers country lainnya di Asia Tenggara.

Cukup diuntungkan

Sebagai negara berbasis komoditas, Indonesia cukup diuntungkan dengan situasi global saat ini. Ekspektasi positif di pasar komoditas memberi underlying yang kuat terhadap pasar investasi di Indonesia.

Lihat saja saham-saham di BEI yang sebagian besar berbasis komoditas, kondisi yang relevan dengan julukan IHSG sebagai commodity based index. Artinya, ada korelasi positif antara IHSG dan harga komoditas global. Membaiknya harga komoditas global akan berpengaruh positif terhadap profitabilitas perusahaan yang listed di BEI yang pada akhirnya mengangkat harga IHSG.

Kondisi yang menguntungkan bagi pasar investasi Indonesia secara keseluruhan, capital inflow cukup deras mengalir. Obligasi dan SBI juga diburu investor membuat pasar investasi kita kembali bergairah. Rupiah menguat tajam seiring dengan derasnya capital inflow yang bersinergi dengan kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang makin solid.

Kita telaah fenomena ketiga, yakni kekhawatiran pelaku pasar. Mudah disimpulkan, pulihnya pasar investasi terkait dengan optimisme kebangkitan pasar global. Dalam perkembangannya, ada beberapa hal yang mulai mengusik kepercayaan pasar dan dikhawatirkan menjadi pemicu berbaliknya arah pergerakan pasar yang sudah membaik, antara lain masih labilnya ekonomi AS meski PDB telah pulih.

Tingginya pengangguran AS menjadi ganjalan bagi ekonomi AS yang bertopang pada konsumsi. The Fed masih menjaga suku bunga rendah di level 0.25%, sementara bailout dan unconventional policy masih dilakukan, menunjukkan ekonomi AS belum dilepas ke mekanisme pasar normal.

Faktor lain yang dikhawatirkan menjadi pemicu berbaliknya arah pergerakan pasar yang sudah membaik ialah Yunani dan contagion effect.

Masalah defisit anggaran yang dialami Yunani dan beberapa negara di Eropa juga menjadi ganjalan. Sovereign risk atau risiko terkait dengan kemampuan untuk membayar kewajiban atas penerbitan obligasi suatu negara dikhawatirkan menular (contagion effect) ke negara Euro Zone (EZ) lainnya mengingat negara-negara di Eropa memiliki banyak kesamaan dari sisi karakteristik dan size ekonomi.

Faktor lainnya adalah China, overheated, dan global imbalance.

AS cukup intensif dalam menyerukan revaluasi yuan, terkait dengan isu global imbalance di mana negara-negara Asia mendominasi perdagangan dunia.

Overheated juga dikhawatirkan terkait dengan pertumbuhan ekonomi China yang cepat. Strategi nilai tukar adalah isu krusial yang menjadi poin penting dalam menggenjot ekspor untuk menunjang pertumbuhan ekonomi China. Apabila saluran ekspor tersumbat, maka terjadi overheated di tengah pertumbuhan aktivitas manufaktur yang sangat tinggi.

Namun demikian, kekhawatiran-kekhawatiran di atas tidak perlu berlebihan. Berikut beberapa analisis terkait dengan kondisi di atas.

Pertama, pengangguran AS diperkirakan membaik pada semester II/2010 seiring dengan pulihnya penyerapan tenaga kerja. Data nonfarm payroll AS atau pembayaran gaji di luar sektor pertanian yang meningkat menjadi sinyal positif bagi penyerapan tenaga kerja AS. Hampir dipastikan, ekonomi yang mulai ekspansi akan memberi peluang terciptanya lapangan kerja di AS.

Kedua, meski masih menjadi isu hangat saat ini, kekhawatiran terhadap sovereign risk Yunani dan beberapa negara EZ lainnya diperkirakan sudah mulai bottoming. Komitmen IMF dan European Union yang didukung oleh negara-negara utama Eropa boleh membuat para investor lega.

Ketiga, bagi China, strategi nilai tukar merupakan harga mati untuk melindungi ekonominya. China akan menghadapi propaganda AS dengan cara diplomatis. Dengan demikian, ekspor terlindungi dan isu overheated tereliminasi. Kekuatan ekonomi China yang menggurita didukung oleh cadangan devisa serta kepemilikan US Treasury yang dominan membuat China punya bargaining position yang kuat menghadapi tekanan barat.

Dari paparan di atas, berikut beberapa pesan penting yang bisa menjadi catatan.

Pertama, tren pemulihan ekonomi dunia diperkirakan terus berlangsung sepanjang 2010 di mana AS masih menjadi lokomotif. Adapun ganjalan di atas yang masih diperdebatkan akan berangsur pulih seiring dengan kuatnya optimisme pasar.

Kedua, naiknya tren kepercayaan pasar tampaknya masih berlanjut sepanjang 2010. Dengan demikian, risk appetite masih berlanjut dimana arus investasi ke high risk asset dan emerging market diperkirakan masih terus berlangsung sepanjang 2010.

Ketiga, permintaan energi dan komoditas diperkirakan naik seiring dengan peningkatan aktivitas manufaktur. Ini kabar baik bagi Indonesia dan IHSG terkait dengan posisi Indonesia sebagai commodity link country.

Dari uraian yang dikemukakan di atas, kesimpulan penting yang cukup melegakan adalah bahwa tren pertumbuhan ekonomi global memberi stimulus positif bagi investasi di Indonesia.

Membaiknya optimisme pasar global yang mendorong pelaku pasar berinvestasi di emerging market yang bersinergi dengan baiknya fundamental ekonomi Indonesia masih menjadi underlying pertumbuhan pasar investasi di tanah air sepanjang 2010. Dengan demikian, pasar investasi di Indonesia masih jauh dari bubble.

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Rosady T. A. Montol
Economist /Head of Global Market Research Bank BNI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...