Oleh: Benny Susetyo Pr
Istilah makelar kasus atau broker perkara mengemuka dalam dunia hukum kita. Ini menjadi salah satu tanda buruknya wajah hukum kita. Ironisnya, apa yang sedang dibuka di tengah publik itu diyakini sudah berjalan begitu lama dalam berbagai kasus dan level.
Budaya hukum yang tumbuh dalam konteks “markus” ini mengindikasikan berbagai hal yang layak dicermati. Budaya ini tidak tumbuh begitu saja, tetapi hidup karena didorong berbagai situasi dan sistem hukum yang lemah. Markus menjadi jalan keluar bagi mereka yang ingin selamat dari jeratan hukum walau faktanya yang bersangkutan melakukan pelanggaran berat. Ada banyak komponen yang terlibat di sini.
Para hamba hukum dan masyarakat sebagai pencari keadilan dihadapkan pada budaya jual beli keadilan yang sangat ironis.Bila demikian,hanya orangorang yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomilah yang dapat membeli dan merasakan “keadilan” seperti ini.Mereka yang lemah hanya menjadi tumbal dalam penegakan hukum yang berat sebelah. Jual beli perkara konon bukan merupakan perkara baru.
Ia telah hidup dan bertumbuh kembang dalam berbagai konteks dalam kurun waktu yang lama. Ini menunjukkan hancurnya keadaban hukum kita. Ialah saat hukum begitu mudah dipermainkan oleh oknum aparat penegak hukum. Dalam hal ini dapat disaksikan matinya nurani para penegak hukum dalam menegakkan prinsipprinsip keadilan.
Keadilan yang didambakan semua orang nyatanya hanya untuk segelintir orang saja, yakni mereka yang memiliki kekuatan untuk membelinya.Konstitusi yang mengatakan adanya persamaan derajat di hadapan hukum hanyalah kata-kata manis yang tak memiliki makna. Keadilan dalam masyarakat merupakan kebaikan tertinggi. Mengutip Kant, kesadaran moral mewajibkan kita untuk mengusahakan “kebaikan tertinggi” (commum bonum) atau kebahagiaan sempurna.Kebaikan tertinggi atau kebahagiaan akhir tersebut tidak pernah terealisasi sempurna di dunia karena adanya kejahatan.
Kepentingan Kekuasaan
Bila keadilan hukum ditegakkan karena hal tersebut menguntungkan kepentingan penguasa dan sebaliknya keadilan hukum diabaikan hanya karena dianggap mengganggu kepentingan politik penguasa, pertanyaan mendasar yang layak diajukan adalah, keadilan hukum itu sebenarnya untuk siapa? Untuk mewujudkan keadilan hukum, memang dibutuhkan iktikad politik (political will) yang sangat kuat dari penguasa.Tanpanya nyaris tidak mungkin keadilan hukum bisa diwujudkan.
Penguasa memiliki kekuasaan yang bisa mengarahkan, memfasilitasi, dan menciptakan suasana yang kondusif guna terwujudnya hukum sebagai panglima, untuk mewujudkan keadilan di tengah masyarakat. Kendatipun demikian, apa yang diperbuat oleh kekuasaan tidak lebih dan tidak kurang hanya untuk menciptakan suasana yang sehat demi pewujudan hukum yang sehat pula. Di negara demokrasi, semua entitas yang berproses di dalamnya tetap harus tunduk di bawah payung hukum.
Karena itulah Indonesia memilih sebagai negara hukum (rechstaat) dan bukan negara berciri kekuasaan (machstaat).Kekuasaan, seberapa pun besar dan kuatnya, tetap harus tunduk di bawah norma hukum. Kekuasaan memiliki peran besar melahirkan hukum yang peka terhadap perasaan publik, hukum yang dipercaya sebagai satu-satunya pijakan atas segala perselisihan yang muncul dalam proses berdemokrasi.
Dalam konteks mewujudkan keadilan sosial, cita-cita luhur hukum adalah untuk menciptakan kemakmuran masyarakat.Kemakmuran masyarakat bisa dicapai melalui hukum yang sanggup melahirkan keadilan. Hukum berkeadilan adalah hukum yang dipercayai dan karenanya ditaati. Hukum bisa dipercaya apabila prinsip kesetaraan dalam hukum (tidak peduli ia kaya atau berkuasa semua memiliki derajat yang sama dalam hukum) serta ada ketaatan yang dilandasi komitmen kesederajatan.
Permainan Para Penguasa
Kasus-kasus belakangan yang terjadi setidaknya dapat dibaca dari sini.Hukum menjadi permainan para penguasa. Akibatnya sisi keadilannya semakin suram. Hukum juga mudah dimanipulasi dan direkayasa asalkan ia bisa memenuhi keinginan tertentu. Hukum ditegakkan sekaligus dilecehkan dan sering kali mengabaikan sisi utamanya,yakni keadilan. Kepekaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang tidak seimbang muncul tidak secara tiba-tiba.
Masyarakat memiliki perasaan yang tidak bisa dimanipulasi, bahkan dikendalikan.Atas itu semua,apabila jajaran penegak hukum masih sering bertindak di luar batas-batas kepekaan masyarakat, yang terjadi adalah kristalisasi ketidakpuasan dari berbagai penjuru. Bahaya paling besar dari perkara seperti ini adalah kemunduran yang luar biasa dari proses demokrasi.Demokrasi hanya ada di atas kertas. Sudah begitu lama keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan oleh kekuasaan dan uang.
Juga sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini.Keadilan tidak untuk semua, melainkan untuk sebagian (yang bisa “membelinya”). Keadilan milik penguasa dan si empunya uang. Hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasal-pasal di depan cengkeraman kekuasaan dan “orang kuat” hukum tak lagi memiliki taring. Hukum mandul karena hanya mampu menginjak ke bawah dan mengangkat yang atas.
Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini.Tragedi ini bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita.Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai “negara hukum”sering kali hanya sebagai pemanis mulut.Apa yang kita ajarkan kepada anak cucu kita tentang “kedaulatan hukum” adalah deretan kepalsuan demi kepalsuan.
Keadilan tidak manifes dalam kenyataan. Das sein yang termanifestasi di bumi kita ini adalah kekuatan, otot,kekuasaan,uang,dan segala hal yang berkomprador dengannya. Dibutuhkan sebuah keberanian dari pemimpian nasional untuk mengatasi hal ini dengan membuat sebuah rencana jelas dan terfokus dalam memberantas markus di pusat kekuasaan itu sendiri.Menurut George Junus Aditjondro,pusat korupsi ada di jantung istana,tangsi, dan partai politik.
Keberanian untuk membersihkan markus di jantung kekuasaan harus dijadikan agenda utama.Pusat pembusukan ada pada pusat kekuasaan. Pertanyaan mendasar, masih adakah keberanian untuk melakukan pembersihan di sekitar pusat kekuasaan? Publik menunggu langkah selanjutnya dari pemimpin nasional untuk menjadikan markus sebagai musuh bersama.Bila hal itu dibiarkan berlarut, sekadar politik cari muka, kini publik pun gundah,masih adakah minat kekuasaan untuk memberantas korupsi ini secara sungguh-sungguh?
Kekalutan publik itu muncul karena adanya sinyalemen tindakan-tindakan yang dinilai hanya akan memperlemah independensi KPK dalam melaksanakan tugasnya. Tindakan tersebut dinilai memiliki indikasi kuat mengarah pada skema pelemahan pemberantasan korupsi. Problem kekuasaan adalah problem politik. Masalah politik merupakan ramuan dari kepentingan “menguasai” dan sebaliknya.
Sebagai warga biasa,kita tidak tahu dan seterusnya tidak tahu ada masalah apa sehingga aset yang didamba masyarakat untuk melahirkan pemerintah yang bersih ini begitu sering “diganggu”. Lantas kita berharap kepada siapa? Sebetulnya publik semenjak awal sudah menyadari bahwa tugas pemberantasan korupsi ini begitu berat. Sangat berat sekali karena korupsi sudah mendarah daging (internalized) di tubuh birokrasi.
Kita tidak memakai strategi “amputasi”untuk membersihkannya, melainkan perlahan dan berhati- hati memilih onak duri yang bersemayam di dalamnya. Tentu saja selalu terasa sakit dalam proses. Pertanyaan mendasar,adakah keberanian untuk memberantas makelar kasus di pusat kekuasaan?(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/323221/
Benny Susetyo Pr
Sekretaris Dewan Nasional Setara dan
Eksekutif
Istilah makelar kasus atau broker perkara mengemuka dalam dunia hukum kita. Ini menjadi salah satu tanda buruknya wajah hukum kita. Ironisnya, apa yang sedang dibuka di tengah publik itu diyakini sudah berjalan begitu lama dalam berbagai kasus dan level.
Budaya hukum yang tumbuh dalam konteks “markus” ini mengindikasikan berbagai hal yang layak dicermati. Budaya ini tidak tumbuh begitu saja, tetapi hidup karena didorong berbagai situasi dan sistem hukum yang lemah. Markus menjadi jalan keluar bagi mereka yang ingin selamat dari jeratan hukum walau faktanya yang bersangkutan melakukan pelanggaran berat. Ada banyak komponen yang terlibat di sini.
Para hamba hukum dan masyarakat sebagai pencari keadilan dihadapkan pada budaya jual beli keadilan yang sangat ironis.Bila demikian,hanya orangorang yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomilah yang dapat membeli dan merasakan “keadilan” seperti ini.Mereka yang lemah hanya menjadi tumbal dalam penegakan hukum yang berat sebelah. Jual beli perkara konon bukan merupakan perkara baru.
Ia telah hidup dan bertumbuh kembang dalam berbagai konteks dalam kurun waktu yang lama. Ini menunjukkan hancurnya keadaban hukum kita. Ialah saat hukum begitu mudah dipermainkan oleh oknum aparat penegak hukum. Dalam hal ini dapat disaksikan matinya nurani para penegak hukum dalam menegakkan prinsipprinsip keadilan.
Keadilan yang didambakan semua orang nyatanya hanya untuk segelintir orang saja, yakni mereka yang memiliki kekuatan untuk membelinya.Konstitusi yang mengatakan adanya persamaan derajat di hadapan hukum hanyalah kata-kata manis yang tak memiliki makna. Keadilan dalam masyarakat merupakan kebaikan tertinggi. Mengutip Kant, kesadaran moral mewajibkan kita untuk mengusahakan “kebaikan tertinggi” (commum bonum) atau kebahagiaan sempurna.Kebaikan tertinggi atau kebahagiaan akhir tersebut tidak pernah terealisasi sempurna di dunia karena adanya kejahatan.
Kepentingan Kekuasaan
Bila keadilan hukum ditegakkan karena hal tersebut menguntungkan kepentingan penguasa dan sebaliknya keadilan hukum diabaikan hanya karena dianggap mengganggu kepentingan politik penguasa, pertanyaan mendasar yang layak diajukan adalah, keadilan hukum itu sebenarnya untuk siapa? Untuk mewujudkan keadilan hukum, memang dibutuhkan iktikad politik (political will) yang sangat kuat dari penguasa.Tanpanya nyaris tidak mungkin keadilan hukum bisa diwujudkan.
Penguasa memiliki kekuasaan yang bisa mengarahkan, memfasilitasi, dan menciptakan suasana yang kondusif guna terwujudnya hukum sebagai panglima, untuk mewujudkan keadilan di tengah masyarakat. Kendatipun demikian, apa yang diperbuat oleh kekuasaan tidak lebih dan tidak kurang hanya untuk menciptakan suasana yang sehat demi pewujudan hukum yang sehat pula. Di negara demokrasi, semua entitas yang berproses di dalamnya tetap harus tunduk di bawah payung hukum.
Karena itulah Indonesia memilih sebagai negara hukum (rechstaat) dan bukan negara berciri kekuasaan (machstaat).Kekuasaan, seberapa pun besar dan kuatnya, tetap harus tunduk di bawah norma hukum. Kekuasaan memiliki peran besar melahirkan hukum yang peka terhadap perasaan publik, hukum yang dipercaya sebagai satu-satunya pijakan atas segala perselisihan yang muncul dalam proses berdemokrasi.
Dalam konteks mewujudkan keadilan sosial, cita-cita luhur hukum adalah untuk menciptakan kemakmuran masyarakat.Kemakmuran masyarakat bisa dicapai melalui hukum yang sanggup melahirkan keadilan. Hukum berkeadilan adalah hukum yang dipercayai dan karenanya ditaati. Hukum bisa dipercaya apabila prinsip kesetaraan dalam hukum (tidak peduli ia kaya atau berkuasa semua memiliki derajat yang sama dalam hukum) serta ada ketaatan yang dilandasi komitmen kesederajatan.
Permainan Para Penguasa
Kasus-kasus belakangan yang terjadi setidaknya dapat dibaca dari sini.Hukum menjadi permainan para penguasa. Akibatnya sisi keadilannya semakin suram. Hukum juga mudah dimanipulasi dan direkayasa asalkan ia bisa memenuhi keinginan tertentu. Hukum ditegakkan sekaligus dilecehkan dan sering kali mengabaikan sisi utamanya,yakni keadilan. Kepekaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang tidak seimbang muncul tidak secara tiba-tiba.
Masyarakat memiliki perasaan yang tidak bisa dimanipulasi, bahkan dikendalikan.Atas itu semua,apabila jajaran penegak hukum masih sering bertindak di luar batas-batas kepekaan masyarakat, yang terjadi adalah kristalisasi ketidakpuasan dari berbagai penjuru. Bahaya paling besar dari perkara seperti ini adalah kemunduran yang luar biasa dari proses demokrasi.Demokrasi hanya ada di atas kertas. Sudah begitu lama keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan oleh kekuasaan dan uang.
Juga sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini.Keadilan tidak untuk semua, melainkan untuk sebagian (yang bisa “membelinya”). Keadilan milik penguasa dan si empunya uang. Hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasal-pasal di depan cengkeraman kekuasaan dan “orang kuat” hukum tak lagi memiliki taring. Hukum mandul karena hanya mampu menginjak ke bawah dan mengangkat yang atas.
Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini.Tragedi ini bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita.Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai “negara hukum”sering kali hanya sebagai pemanis mulut.Apa yang kita ajarkan kepada anak cucu kita tentang “kedaulatan hukum” adalah deretan kepalsuan demi kepalsuan.
Keadilan tidak manifes dalam kenyataan. Das sein yang termanifestasi di bumi kita ini adalah kekuatan, otot,kekuasaan,uang,dan segala hal yang berkomprador dengannya. Dibutuhkan sebuah keberanian dari pemimpian nasional untuk mengatasi hal ini dengan membuat sebuah rencana jelas dan terfokus dalam memberantas markus di pusat kekuasaan itu sendiri.Menurut George Junus Aditjondro,pusat korupsi ada di jantung istana,tangsi, dan partai politik.
Keberanian untuk membersihkan markus di jantung kekuasaan harus dijadikan agenda utama.Pusat pembusukan ada pada pusat kekuasaan. Pertanyaan mendasar, masih adakah keberanian untuk melakukan pembersihan di sekitar pusat kekuasaan? Publik menunggu langkah selanjutnya dari pemimpin nasional untuk menjadikan markus sebagai musuh bersama.Bila hal itu dibiarkan berlarut, sekadar politik cari muka, kini publik pun gundah,masih adakah minat kekuasaan untuk memberantas korupsi ini secara sungguh-sungguh?
Kekalutan publik itu muncul karena adanya sinyalemen tindakan-tindakan yang dinilai hanya akan memperlemah independensi KPK dalam melaksanakan tugasnya. Tindakan tersebut dinilai memiliki indikasi kuat mengarah pada skema pelemahan pemberantasan korupsi. Problem kekuasaan adalah problem politik. Masalah politik merupakan ramuan dari kepentingan “menguasai” dan sebaliknya.
Sebagai warga biasa,kita tidak tahu dan seterusnya tidak tahu ada masalah apa sehingga aset yang didamba masyarakat untuk melahirkan pemerintah yang bersih ini begitu sering “diganggu”. Lantas kita berharap kepada siapa? Sebetulnya publik semenjak awal sudah menyadari bahwa tugas pemberantasan korupsi ini begitu berat. Sangat berat sekali karena korupsi sudah mendarah daging (internalized) di tubuh birokrasi.
Kita tidak memakai strategi “amputasi”untuk membersihkannya, melainkan perlahan dan berhati- hati memilih onak duri yang bersemayam di dalamnya. Tentu saja selalu terasa sakit dalam proses. Pertanyaan mendasar,adakah keberanian untuk memberantas makelar kasus di pusat kekuasaan?(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/323221/
Benny Susetyo Pr
Sekretaris Dewan Nasional Setara dan
Eksekutif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya