Oleh: Wahyu Susilo
Bukan hal yang mengejutkan ketika membaca berita bahwa yang ditandatangani oleh Menakertrans RI dan Menteri Perburuhan Malaysia pada tanggal 18 Mei 2010 bukan memorandum of understanding, melainkan hanya letter of intent mengenai penempatan dan perlindungan pekerja rumah tangga migran Indonesia yang bekerja di Malaysia.
Dokumen tersebut belum memiliki ikatan hukum yang tegas dan rinci yang mengatur masalah penempatan dan perlindungan PRT migran yang hingga saat ini berada dalam situasi kerentanan tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Pesimisme mengenai hasil negosiasi mengenai memorandum of understanding (MOU) baru tentang penempatan dan perlindungan buruh migran sudah terlihat dari keengganan pemerintah kedua negara melibatkan masyarakat sipil dalam negosiasi tersebut. Draf dokumen MOU juga tak bisa diakses oleh publik. Ketertutupan proses inilah yang mengindikasikan ada yang salah dalam negosiasi tersebut.
Penandatanganan letter of intent (LOI) ini tak lebih dari upaya penyelamatan muka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Malaysia Mohammad Nadjib bin Tun Abdul Razak ketika negosiasi untuk finalisasi MOU mengenai penempatan dan perlindungan PRT migran antara Indonesia dan Malaysia menemui jalan buntu. Situasi ini memperlihatkan bahwa perlindungan buruh migran (terutama PRT migran) belum menjadi perhatian utama kedua pemimpin meski dari hari ke hari terus terjadi pelanggaran HAM terhadap buruh migran Indonesia di Malaysia.
Menurut catatan Migrant Care, sepanjang tahun 2009 telah terjadi 1.018 kasus kematian buruh migran Indonesia yang diakibatkan oleh penganiayaan majikan, kekerasan oleh RELA (milisi sipil di bawah Kementerian Dalam Negeri Malaysia) dan Polisi Diraja Malaysia, serta kecelakaan kerja. Sementara itu, hingga April 2010, jumlah buruh migran Indonesia yang meninggal di Malaysia mencapai 40 orang. Tiga orang di antaranya korban penembakan semena-mena Polisi Diraja Malaysia yang hingga kini kasusnya masih dalam proses investigasi.
Urgensi agar Indonesia dan Malaysia memiliki MOU yang komprehensif untuk perlindungan PRT migran didasarkan pada cita-cita untuk mengakhiri situasi nirproteksi yang berlangsung hingga saat ini. MOU yang ditandatangani kedua negara tahun 2006 bukan menjadi payung perlindungan bagi PRT migran, melainkan malah menjadi perangkap dan potensi bagi terjadinya pelanggaran HAM terhadap buruh migran. Pelapor Khusus PBB untuk Perlindungan Hak Asasi Buruh Migran Jorge Bustamante menyatakan, klausul penahanan paspor buruh migran oleh majikan adalah bentuk pelanggaran hak-hak sipil politik buruh migran. MOU 2006 juga tidak mengadopsi perlindungan hak-hak buruh, seperti ketentuan mengenai upah layak, kebebasan berserikat, dan ketentuan soal hari libur.
Kegagalan negara
Kegagalan kedua negara memberikan perlindungan bagi buruh migran Indonesia adalah bentuk pengkhianatan mereka terhadap orang-orang yang selama ini berjasa bagi kemajuan dan kemakmuran kedua negara. Di Indonesia, negara dan pihak swasta telah banyak mengambil keuntungan dari jerih keringat buruh migran. Semasa masih menjadi calon buruh migran, mereka sudah diwajibkan membayar 15 dollar AS untuk disumbangkan kepada negara di pos pendapatan negara bukan pajak. Pihak swasta (pengerah tenaga kerja, perusahaan asuransi, perusahaan angkutan, dan perbankan) juga berebut rezeki dari potongan-potongan gaji buruh migran. Ketika anggaran pembangunan yang seharusnya menjadi komponen utama pengembangan wilayah pedesaan digerogoti oleh kultur birokrasi yang korup, aliran remitansi mendinamisasi aktivitas ekonomi di pedesaan-pedesaan.
Di Malaysia, cucuran peluh buruh migran Indonesia masih dipajaki untuk levy (pajak) yang masuk menjadi pendapatan negara. Meski dibayar dengan upah rendah, produktivitas buruh migran Indonesia sangat berkontribusi di sektor perkebunan kelapa sawit dan kakao yang menjadi andalan Malaysia di perdagangan komoditas global. Kemolekan Malaysia yang ditunjukkan dari Twin Tower, Sirkuit Sepang, dan konstruksi Kota Modern Putra Jaya tidak pernah ada tanpa pekerja konstruksi Indonesia yang mayoritas direkrut tanpa dokumen.
Kegagalan kedua negara memfinalisasi MOU perlindungan buruh migran sangat bertolak belakang dari kuatnya keinginan komunitas internasional mewujudkan instrumen internasional bagi perlindungan pekerja sektor rumah tangga. Salah satu agenda utama pertemuan ILO, Juni 2010, adalah merumuskan standar-standar internasional bagi perlindungan pekerja di sektor rumah tangga. Ini inisiatif progresif bagi perwujudan Konvensi ILO untuk Perlindungan Pekerja di Sektor Rumah Tangga.
Dengan demikian, walau kedua negara merupakan anggota Dewan HAM PBB serta meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional dan juga Deklarasi ASEAN untuk Penghormatan dan Perlindungan Hak-hak Buruh Migran, komitmen untuk penegakan HAM buruh migran masih tetap diragukan. Tampaknya penegakan HAM hanya berhenti di lembaran negara (dalam bentuk UU) dan belum konkret menjadi tindakan negara.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/24/04443615/pengkhianatan.terhadap
Wahyu Susilo Policy Analyst Migrant Care
Bukan hal yang mengejutkan ketika membaca berita bahwa yang ditandatangani oleh Menakertrans RI dan Menteri Perburuhan Malaysia pada tanggal 18 Mei 2010 bukan memorandum of understanding, melainkan hanya letter of intent mengenai penempatan dan perlindungan pekerja rumah tangga migran Indonesia yang bekerja di Malaysia.
Dokumen tersebut belum memiliki ikatan hukum yang tegas dan rinci yang mengatur masalah penempatan dan perlindungan PRT migran yang hingga saat ini berada dalam situasi kerentanan tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Pesimisme mengenai hasil negosiasi mengenai memorandum of understanding (MOU) baru tentang penempatan dan perlindungan buruh migran sudah terlihat dari keengganan pemerintah kedua negara melibatkan masyarakat sipil dalam negosiasi tersebut. Draf dokumen MOU juga tak bisa diakses oleh publik. Ketertutupan proses inilah yang mengindikasikan ada yang salah dalam negosiasi tersebut.
Penandatanganan letter of intent (LOI) ini tak lebih dari upaya penyelamatan muka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Malaysia Mohammad Nadjib bin Tun Abdul Razak ketika negosiasi untuk finalisasi MOU mengenai penempatan dan perlindungan PRT migran antara Indonesia dan Malaysia menemui jalan buntu. Situasi ini memperlihatkan bahwa perlindungan buruh migran (terutama PRT migran) belum menjadi perhatian utama kedua pemimpin meski dari hari ke hari terus terjadi pelanggaran HAM terhadap buruh migran Indonesia di Malaysia.
Menurut catatan Migrant Care, sepanjang tahun 2009 telah terjadi 1.018 kasus kematian buruh migran Indonesia yang diakibatkan oleh penganiayaan majikan, kekerasan oleh RELA (milisi sipil di bawah Kementerian Dalam Negeri Malaysia) dan Polisi Diraja Malaysia, serta kecelakaan kerja. Sementara itu, hingga April 2010, jumlah buruh migran Indonesia yang meninggal di Malaysia mencapai 40 orang. Tiga orang di antaranya korban penembakan semena-mena Polisi Diraja Malaysia yang hingga kini kasusnya masih dalam proses investigasi.
Urgensi agar Indonesia dan Malaysia memiliki MOU yang komprehensif untuk perlindungan PRT migran didasarkan pada cita-cita untuk mengakhiri situasi nirproteksi yang berlangsung hingga saat ini. MOU yang ditandatangani kedua negara tahun 2006 bukan menjadi payung perlindungan bagi PRT migran, melainkan malah menjadi perangkap dan potensi bagi terjadinya pelanggaran HAM terhadap buruh migran. Pelapor Khusus PBB untuk Perlindungan Hak Asasi Buruh Migran Jorge Bustamante menyatakan, klausul penahanan paspor buruh migran oleh majikan adalah bentuk pelanggaran hak-hak sipil politik buruh migran. MOU 2006 juga tidak mengadopsi perlindungan hak-hak buruh, seperti ketentuan mengenai upah layak, kebebasan berserikat, dan ketentuan soal hari libur.
Kegagalan negara
Kegagalan kedua negara memberikan perlindungan bagi buruh migran Indonesia adalah bentuk pengkhianatan mereka terhadap orang-orang yang selama ini berjasa bagi kemajuan dan kemakmuran kedua negara. Di Indonesia, negara dan pihak swasta telah banyak mengambil keuntungan dari jerih keringat buruh migran. Semasa masih menjadi calon buruh migran, mereka sudah diwajibkan membayar 15 dollar AS untuk disumbangkan kepada negara di pos pendapatan negara bukan pajak. Pihak swasta (pengerah tenaga kerja, perusahaan asuransi, perusahaan angkutan, dan perbankan) juga berebut rezeki dari potongan-potongan gaji buruh migran. Ketika anggaran pembangunan yang seharusnya menjadi komponen utama pengembangan wilayah pedesaan digerogoti oleh kultur birokrasi yang korup, aliran remitansi mendinamisasi aktivitas ekonomi di pedesaan-pedesaan.
Di Malaysia, cucuran peluh buruh migran Indonesia masih dipajaki untuk levy (pajak) yang masuk menjadi pendapatan negara. Meski dibayar dengan upah rendah, produktivitas buruh migran Indonesia sangat berkontribusi di sektor perkebunan kelapa sawit dan kakao yang menjadi andalan Malaysia di perdagangan komoditas global. Kemolekan Malaysia yang ditunjukkan dari Twin Tower, Sirkuit Sepang, dan konstruksi Kota Modern Putra Jaya tidak pernah ada tanpa pekerja konstruksi Indonesia yang mayoritas direkrut tanpa dokumen.
Kegagalan kedua negara memfinalisasi MOU perlindungan buruh migran sangat bertolak belakang dari kuatnya keinginan komunitas internasional mewujudkan instrumen internasional bagi perlindungan pekerja sektor rumah tangga. Salah satu agenda utama pertemuan ILO, Juni 2010, adalah merumuskan standar-standar internasional bagi perlindungan pekerja di sektor rumah tangga. Ini inisiatif progresif bagi perwujudan Konvensi ILO untuk Perlindungan Pekerja di Sektor Rumah Tangga.
Dengan demikian, walau kedua negara merupakan anggota Dewan HAM PBB serta meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional dan juga Deklarasi ASEAN untuk Penghormatan dan Perlindungan Hak-hak Buruh Migran, komitmen untuk penegakan HAM buruh migran masih tetap diragukan. Tampaknya penegakan HAM hanya berhenti di lembaran negara (dalam bentuk UU) dan belum konkret menjadi tindakan negara.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/24/04443615/pengkhianatan.terhadap
Wahyu Susilo Policy Analyst Migrant Care
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya