Indonesia tidak akan menghentikan produksi kelapa sawit, namun pembukaan hutan baru akan dihentikan. Itulah komitmen Indonesia yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai pembukaan Konferensi Oslo untuk Kehutanan dan Perubahan Iklim.
“Kami sudah punya rencana sendiri untuk memenuhi bagian kami dalam kerjasama Indonesia dan Norwegia ini, dalam mengurangi emisi karbon dioksida kami dari deforestasi dan degradasi hutan," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam keterangan pers bersama dengan Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg di Hotel Holmenkolen Rica Park, usai upacara pembukaan konferensi, Kamis, 27 Mei 2010, siang waktu Oslo, Norwegia.
"Pertama, kami punya kebijakan untuk menggunakan lahan terdegradasi untuk kelanjutan dari industri minyak kelapa sawit di Indonesia. Kami akan mengontrol kelanjutan dari usaha dan industri itu, sehingga tidak akan mengganggu hutan yang harus dilindungi. Jadi saya dengan senang hati mengumumkan bahwa kami memiliki banyak lahan yang disebut lahan terdegradasi yang bisa digunakan untuk usaha agrikultur kami, termasuk industri dan perkebunan kelapa sawit,” Presiden menambahkan, seperti disiarkan laman Presiden.
Presiden SBY juga mengatakan bahwa Indonesia mengidentifikasi secara spesifik apa yang harus dilakukan untuk memenuhi bagiannya dalam kerja sama ini, seperti memanajemen lahan gambutnya, menghindari deforestasi, melawan kebakaran hutan, dan memoratotium pemberian izin pengelolaan hutan. Bahkan Presiden SBY berpikir untuk menghentikan pemberian izin untuk pengelolaan lahan gambut untuk keperluan usaha.
Dalam menjalankan kerja sama dengan Norwegia ini, pemerintah pusat akan melibatkan semua pemerintah daerah dan mengikutsertakan komunitas lokal, komunitas adat untuk menjadi bagian dari implemetasi dari kerja sama ini. “Kami akan membuat sebuah agensi khusus dan agensi itu juga akan melibatkan semua segmen masyarakat," ujar SBY.
Agensi ini, lanjut SBY, juga akan membantu monitoring dan verifikasi berdasarkan standar internasioal. "Dengan begitu, saya berharap baik Indonesia maupun Norwegia dapat selalu mengawasi apa yang dilakukan Indonesia dalam memenuhi kewajibannya.”
REDD+
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa konferensi Oslo untuk Kehutanan dan Perubahan Iklim sangat penting. “Kami tidak bisa menunggu terselesaikannya negosiasi mekanisme REDD+ di bawah UNFCC,” ujar SBY pada upacara pembukaan konferensi.
“Saya menerima dengan senang hati komitmen yang dibuat di Kopenhagen oleh beberapa negara maju, yang berjumlah 3,5 miliar dolar AS, yang kemudian meningkat menjadi 4,5 miliar dolar AS, Maret lalu, di Pertemuan Paris untuk aksi REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dari 2010 sampai 2012,” kata SBY. Presiden menambahkan, untuk membuat ini jadi nyata, harus dibuat, melalui kerja sama ini, sebuah mekanisme interim untuk diimplementasikan dalam proses UNFCCC setelah negosiasi diselesaikan.
Indonesia bemaksud untuk mencapai sebagian besar target emisi karbon melalui aksi REDD+. “Kami akan mencapai target itu melalui, antara lain, manajemen lahan gambut berkesinambugan. Bekerja dengan rekan negara maju, kami akan melindungi hutan tropis Indonesia yang kaya akan karbon dan keragaman hayati yang peting bagi dunia dengan membantu populasi lokal menjadi lebih sejahtera,” Presiden SBY menjelaskan.
Dalam keynote speech tersebut, Presiden SBY menekankan tiga hal penting. Pertama, pemimpin dunia harus memajukan Copenhagen Accord. “Kita mungkin memiliki pandangan berbeda mengenai apa yang terjadi di Kopehagen, tetapi pesan yang bisa diambil sangat jelas, kita harus membangun momentum. Dua kelompok kerja AWG-LCA (Ad Hoc Working Group on Long-Term Cooperative Action) dan AWG-KP (Ad-hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties Under the Kyoto Protocol) harus menyelesaikan tugas mereka tepat waktu untuk Cancun akhir tahun ini,” SBY menjelaskan.
Kedua, KTT Perubahan Iklim di Cancun, Meksiko, harus bisa menghasilkan keputusan yang berdaya dan bisa diterapkan. Dalam hal ini, sebuah keputusan mengenai REDD+ bisa menghasilkan aksi yang harus kita lakukan. “Ketiga, kita harus mengatasi defisit kepercayaan yang ada dengan membangun proses yang terbuka dan inklusif, serta transparan, sehingga kita bisa membuat lingkungan yang kondusif untuk mencapai tujuan kita di Cancun,” SBY menandaskan. (sj)
• VIVAnews
“Kami sudah punya rencana sendiri untuk memenuhi bagian kami dalam kerjasama Indonesia dan Norwegia ini, dalam mengurangi emisi karbon dioksida kami dari deforestasi dan degradasi hutan," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam keterangan pers bersama dengan Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg di Hotel Holmenkolen Rica Park, usai upacara pembukaan konferensi, Kamis, 27 Mei 2010, siang waktu Oslo, Norwegia.
"Pertama, kami punya kebijakan untuk menggunakan lahan terdegradasi untuk kelanjutan dari industri minyak kelapa sawit di Indonesia. Kami akan mengontrol kelanjutan dari usaha dan industri itu, sehingga tidak akan mengganggu hutan yang harus dilindungi. Jadi saya dengan senang hati mengumumkan bahwa kami memiliki banyak lahan yang disebut lahan terdegradasi yang bisa digunakan untuk usaha agrikultur kami, termasuk industri dan perkebunan kelapa sawit,” Presiden menambahkan, seperti disiarkan laman Presiden.
Presiden SBY juga mengatakan bahwa Indonesia mengidentifikasi secara spesifik apa yang harus dilakukan untuk memenuhi bagiannya dalam kerja sama ini, seperti memanajemen lahan gambutnya, menghindari deforestasi, melawan kebakaran hutan, dan memoratotium pemberian izin pengelolaan hutan. Bahkan Presiden SBY berpikir untuk menghentikan pemberian izin untuk pengelolaan lahan gambut untuk keperluan usaha.
Dalam menjalankan kerja sama dengan Norwegia ini, pemerintah pusat akan melibatkan semua pemerintah daerah dan mengikutsertakan komunitas lokal, komunitas adat untuk menjadi bagian dari implemetasi dari kerja sama ini. “Kami akan membuat sebuah agensi khusus dan agensi itu juga akan melibatkan semua segmen masyarakat," ujar SBY.
Agensi ini, lanjut SBY, juga akan membantu monitoring dan verifikasi berdasarkan standar internasioal. "Dengan begitu, saya berharap baik Indonesia maupun Norwegia dapat selalu mengawasi apa yang dilakukan Indonesia dalam memenuhi kewajibannya.”
REDD+
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa konferensi Oslo untuk Kehutanan dan Perubahan Iklim sangat penting. “Kami tidak bisa menunggu terselesaikannya negosiasi mekanisme REDD+ di bawah UNFCC,” ujar SBY pada upacara pembukaan konferensi.
“Saya menerima dengan senang hati komitmen yang dibuat di Kopenhagen oleh beberapa negara maju, yang berjumlah 3,5 miliar dolar AS, yang kemudian meningkat menjadi 4,5 miliar dolar AS, Maret lalu, di Pertemuan Paris untuk aksi REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dari 2010 sampai 2012,” kata SBY. Presiden menambahkan, untuk membuat ini jadi nyata, harus dibuat, melalui kerja sama ini, sebuah mekanisme interim untuk diimplementasikan dalam proses UNFCCC setelah negosiasi diselesaikan.
Indonesia bemaksud untuk mencapai sebagian besar target emisi karbon melalui aksi REDD+. “Kami akan mencapai target itu melalui, antara lain, manajemen lahan gambut berkesinambugan. Bekerja dengan rekan negara maju, kami akan melindungi hutan tropis Indonesia yang kaya akan karbon dan keragaman hayati yang peting bagi dunia dengan membantu populasi lokal menjadi lebih sejahtera,” Presiden SBY menjelaskan.
Dalam keynote speech tersebut, Presiden SBY menekankan tiga hal penting. Pertama, pemimpin dunia harus memajukan Copenhagen Accord. “Kita mungkin memiliki pandangan berbeda mengenai apa yang terjadi di Kopehagen, tetapi pesan yang bisa diambil sangat jelas, kita harus membangun momentum. Dua kelompok kerja AWG-LCA (Ad Hoc Working Group on Long-Term Cooperative Action) dan AWG-KP (Ad-hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties Under the Kyoto Protocol) harus menyelesaikan tugas mereka tepat waktu untuk Cancun akhir tahun ini,” SBY menjelaskan.
Kedua, KTT Perubahan Iklim di Cancun, Meksiko, harus bisa menghasilkan keputusan yang berdaya dan bisa diterapkan. Dalam hal ini, sebuah keputusan mengenai REDD+ bisa menghasilkan aksi yang harus kita lakukan. “Ketiga, kita harus mengatasi defisit kepercayaan yang ada dengan membangun proses yang terbuka dan inklusif, serta transparan, sehingga kita bisa membuat lingkungan yang kondusif untuk mencapai tujuan kita di Cancun,” SBY menandaskan. (sj)
• VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya