Banyak pakar manajemen yang mengatakan bahwa salah satu kunci sukses organisasi adalah kepemilikan sumber daya manusia yang berkualitas. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri pula bahwa sumber daya manusia dapat beralih dari pendukung menjadi penghancur organisasi.
Pernyataan ini tidak berarti penyangkalan terhadap pendapat para pakar manajemen tersebut, tetapi lebih merupakan suatu penyadaran bahwa kemampuan organisasi dalam penge lolaan sumber daya manusia memainkan peran penting untuk proses pengembangan atau paling tidak dalam upaya menjaga keutuhan organisasi.
Tidak jarang kita menjumpai seseorang tampak jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya karena berbagai problema yang dihadapi. Demikian juga organisasi, yang dapat menjadi tua dalam sekejap saja. Pertumbuhan dan penuaan suatu organisasi tidak didasarkan pada ukuran dan waktu saja, tetapi lebih pada kemampuan organisasi untuk menghadapi permasalahan yang lebih kompleks dan terkait erat pada tingkat fleksibilitas dan kekuatan pengendalian yang dimiliki. Selama perusahaan memiliki kemampuan untuk menghadapi permasalahan yang lebih kompleks dalam derajat fleksibilitas dan pengendalian yang relatif memadai, organisasi tersebut masih dikatakan berada dalam masa pertumbuhan. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya, meskipun organisasi belum lama didirikan, organisasi tersebut dapat dikatakan telah mengalami proses penuaan.
Tugas kita sebenarnya adalah untuk tetap mempertahankan kondisi pertumbuhan dan memperlambat adanya penuaan, yang tentunya dapat dilaksanakan melalui pemahaman terhadap tahapan siklus hidup organisasi dan berbagai teknik dan strategi yang dapat diterapkan dalam setiap tahapan tersebut. Akan tetapi, pada kesempatan ini, saya ingin lebih meninjau secara individual, dalam artian peran setiap anggota organisasi untuk mempertahankan kondisi prima dan memperlambat penuaan.
"Your body is the food of the worms", kalimat ini dikatakan oleh Robin Williams dalam film Dead Poet Society. Meskipun kedengaran aneh, tetapi sesungguhnya memberikan suatu peringatan kepada kita untuk tidak hanya berfokus pada kemampuan dan kehadiran fisik saja. Status anggota organisasi dalam masa sekarang adalah sebagai Intellectual asset, inovator, dan change rider, yang kontribusinya lebih memiliki nilai strategis. Oleh karena itu, kehadiran dari setiap anggota organisasi harus dapat benar-benar memberikan nilai positif dalam artian seutuhnya. Kredibilitas anggota organisasi dalam menunjang proses pertumbuhan tidak hanya didasarkan pada kompetensi atau intelektualitas saja, tetapi juga dipengaruhi oleh sikap kerja yang ditunjukkan. Sikap kerja tidak hanya dapat memantapkan, tetapi juga dapat mengguncangkan organisasi. Tergantung seberapa besar 'skala richter'-nya dan seberapa besar kemampuan organisasi untuk mengatasinya.
Sikap kerja yang negatif tidak dapat hilang seratus persen. Organisasi tersusun dari sumber daya manusia yang beragam. Meskipun telah dikemas dalam wadah organisasi yang efektif dan di rekat dengan 'lem' organisasi, yang antara lain berupa budaya dan tipe kepemimpinan yang dianggap tepat, tetap saja ada kemungkinan penyimpangan.
Reed menyebut sumber daya manusia yang bersikap negatif dan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki sebagai toxic executive. Berdasarkan tingkat toksisitasnya terhadap keutuhan dan performance organisasi, sumber daya manusia toxic tersebut dikelompokkan menjadi super-toxic, subtoxic dan tyrotoxic.
Beberapa karakter dari toxic executive adalah terlalu berfokus pada diri sendiri, rendahnya derajat kepercayaan terhadap sesama anggota organisasi, amat menonjolnya kepentingan pribadi, tidak adanya penghargaan atas karya dan kerja keras anggota lainnya, serta tidak adanya kepedulian terhadap kinerja organisasi secara keseluruhan. Di samping itu, toxic executive memiliki kecenderungan untuk under-organized atau over-organized sehingga malah menyebabkan segala sesuatu tidak terorganisasi dengan baik.
Toxic executive juga sering diibaratkan sebagai yo-yo executive karena sulit untuk diprediksi dan tingkah lakunya dapat berubah secara cepat dalam waktu singkat. Toxic executive kurang dapat bekerja sama dengan anggota organisasi lainnya dan cenderung untuk memiliki kefanatikan pada kelompoknya sendiri. Mereka juga cenderung untuk menyimpan informasi untuk diri sendiri dan menciptakan apa yang dikenal dengan sindroma trappist.
Dari beberapa deskripsi di atas jelaslah bahwa toxic executive, terutama super toxic dapat menciptakan chaos dan suasana pertarungan semu, yaitupertarungan organisasi dengan dirinya sendiri yang berakibat menurunnya kemampuan untuk bersaing dalam situasi bisnis nyata.
Mengubah toxic executive menjadi caring executive bukan tugas yang mudah dan memerlukan pendekatan yang bervariasi berdasarkan tipe dan derajat penyimpangannya. Akan tetapi, pada dasarnya, terdapat empat pedoman untuk dapat meminimalkan penyimpangan para toxic executive. Yang pertama adalah keberanian untuk menyatakan kepada yang bersangkutan bahwa mereka adalah toxic executive, karena seringkali mereka tidak menyadari bahwa dirinya menimbulkan kekacauan bagi organisasi. Selanjutnya, jangan menunda sesuatu. Betapapun tidak enaknya permasalahan yang dihadapi, sebaiknya secara cepat diselesaikan. Toxic executive yang dibiarkan saja akan mempengaruhi anggota lainnya dan akan menyebar secara cepat. Yang ketiga adalah kesadaran bahwa konfrontasi seringkali tidak dapat dihindari dan merupakan cara penyelesaian yang paling tepat. Keberanian untuk memulai konfrontasi merupakan kunci sukses. Akan tetapi, tidak semua konfrontasi berhasil. Oleh karena itu, pedoman yang terakhir menyebutkan bahwa dalam melakukan konfrontasi, persiapkan secara mendalam, baik secara mental maupun berbagai strategi dan taktik yang akan diterapkan.
Sebenarnya, tidak seorang pun yang benar-benar murni, dalam artian tidak pernah menjadi toxic bagi organisasi, karena sebagai manusia tentunya kita memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu, setiap anggota organisasi harus melakukan self awareness dan self analysis secara berkesinambungan dan membina kemampuan untuk menerima dan menginterpretasikan secara positif umpan-balik yang diterima untuk dapat benar-benar meminimalkan kecenderungan menjadi toxic bagi organisasi.
Pernyataan ini tidak berarti penyangkalan terhadap pendapat para pakar manajemen tersebut, tetapi lebih merupakan suatu penyadaran bahwa kemampuan organisasi dalam penge lolaan sumber daya manusia memainkan peran penting untuk proses pengembangan atau paling tidak dalam upaya menjaga keutuhan organisasi.
Tidak jarang kita menjumpai seseorang tampak jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya karena berbagai problema yang dihadapi. Demikian juga organisasi, yang dapat menjadi tua dalam sekejap saja. Pertumbuhan dan penuaan suatu organisasi tidak didasarkan pada ukuran dan waktu saja, tetapi lebih pada kemampuan organisasi untuk menghadapi permasalahan yang lebih kompleks dan terkait erat pada tingkat fleksibilitas dan kekuatan pengendalian yang dimiliki. Selama perusahaan memiliki kemampuan untuk menghadapi permasalahan yang lebih kompleks dalam derajat fleksibilitas dan pengendalian yang relatif memadai, organisasi tersebut masih dikatakan berada dalam masa pertumbuhan. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya, meskipun organisasi belum lama didirikan, organisasi tersebut dapat dikatakan telah mengalami proses penuaan.
Tugas kita sebenarnya adalah untuk tetap mempertahankan kondisi pertumbuhan dan memperlambat adanya penuaan, yang tentunya dapat dilaksanakan melalui pemahaman terhadap tahapan siklus hidup organisasi dan berbagai teknik dan strategi yang dapat diterapkan dalam setiap tahapan tersebut. Akan tetapi, pada kesempatan ini, saya ingin lebih meninjau secara individual, dalam artian peran setiap anggota organisasi untuk mempertahankan kondisi prima dan memperlambat penuaan.
"Your body is the food of the worms", kalimat ini dikatakan oleh Robin Williams dalam film Dead Poet Society. Meskipun kedengaran aneh, tetapi sesungguhnya memberikan suatu peringatan kepada kita untuk tidak hanya berfokus pada kemampuan dan kehadiran fisik saja. Status anggota organisasi dalam masa sekarang adalah sebagai Intellectual asset, inovator, dan change rider, yang kontribusinya lebih memiliki nilai strategis. Oleh karena itu, kehadiran dari setiap anggota organisasi harus dapat benar-benar memberikan nilai positif dalam artian seutuhnya. Kredibilitas anggota organisasi dalam menunjang proses pertumbuhan tidak hanya didasarkan pada kompetensi atau intelektualitas saja, tetapi juga dipengaruhi oleh sikap kerja yang ditunjukkan. Sikap kerja tidak hanya dapat memantapkan, tetapi juga dapat mengguncangkan organisasi. Tergantung seberapa besar 'skala richter'-nya dan seberapa besar kemampuan organisasi untuk mengatasinya.
Sikap kerja yang negatif tidak dapat hilang seratus persen. Organisasi tersusun dari sumber daya manusia yang beragam. Meskipun telah dikemas dalam wadah organisasi yang efektif dan di rekat dengan 'lem' organisasi, yang antara lain berupa budaya dan tipe kepemimpinan yang dianggap tepat, tetap saja ada kemungkinan penyimpangan.
Reed menyebut sumber daya manusia yang bersikap negatif dan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki sebagai toxic executive. Berdasarkan tingkat toksisitasnya terhadap keutuhan dan performance organisasi, sumber daya manusia toxic tersebut dikelompokkan menjadi super-toxic, subtoxic dan tyrotoxic.
Beberapa karakter dari toxic executive adalah terlalu berfokus pada diri sendiri, rendahnya derajat kepercayaan terhadap sesama anggota organisasi, amat menonjolnya kepentingan pribadi, tidak adanya penghargaan atas karya dan kerja keras anggota lainnya, serta tidak adanya kepedulian terhadap kinerja organisasi secara keseluruhan. Di samping itu, toxic executive memiliki kecenderungan untuk under-organized atau over-organized sehingga malah menyebabkan segala sesuatu tidak terorganisasi dengan baik.
Toxic executive juga sering diibaratkan sebagai yo-yo executive karena sulit untuk diprediksi dan tingkah lakunya dapat berubah secara cepat dalam waktu singkat. Toxic executive kurang dapat bekerja sama dengan anggota organisasi lainnya dan cenderung untuk memiliki kefanatikan pada kelompoknya sendiri. Mereka juga cenderung untuk menyimpan informasi untuk diri sendiri dan menciptakan apa yang dikenal dengan sindroma trappist.
Dari beberapa deskripsi di atas jelaslah bahwa toxic executive, terutama super toxic dapat menciptakan chaos dan suasana pertarungan semu, yaitupertarungan organisasi dengan dirinya sendiri yang berakibat menurunnya kemampuan untuk bersaing dalam situasi bisnis nyata.
Mengubah toxic executive menjadi caring executive bukan tugas yang mudah dan memerlukan pendekatan yang bervariasi berdasarkan tipe dan derajat penyimpangannya. Akan tetapi, pada dasarnya, terdapat empat pedoman untuk dapat meminimalkan penyimpangan para toxic executive. Yang pertama adalah keberanian untuk menyatakan kepada yang bersangkutan bahwa mereka adalah toxic executive, karena seringkali mereka tidak menyadari bahwa dirinya menimbulkan kekacauan bagi organisasi. Selanjutnya, jangan menunda sesuatu. Betapapun tidak enaknya permasalahan yang dihadapi, sebaiknya secara cepat diselesaikan. Toxic executive yang dibiarkan saja akan mempengaruhi anggota lainnya dan akan menyebar secara cepat. Yang ketiga adalah kesadaran bahwa konfrontasi seringkali tidak dapat dihindari dan merupakan cara penyelesaian yang paling tepat. Keberanian untuk memulai konfrontasi merupakan kunci sukses. Akan tetapi, tidak semua konfrontasi berhasil. Oleh karena itu, pedoman yang terakhir menyebutkan bahwa dalam melakukan konfrontasi, persiapkan secara mendalam, baik secara mental maupun berbagai strategi dan taktik yang akan diterapkan.
Sebenarnya, tidak seorang pun yang benar-benar murni, dalam artian tidak pernah menjadi toxic bagi organisasi, karena sebagai manusia tentunya kita memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu, setiap anggota organisasi harus melakukan self awareness dan self analysis secara berkesinambungan dan membina kemampuan untuk menerima dan menginterpretasikan secara positif umpan-balik yang diterima untuk dapat benar-benar meminimalkan kecenderungan menjadi toxic bagi organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya