Oleh: Saurip Kadi
Belakangan ini asas “praduga tak bersalah”terbukti efektif untuk melindungi pejabat yang terindikasi korupsi dari sanksi “nonaktif” dari jabatan.
Demi wibawa lembaga negara dan nama baik pejabat,rakyat yang menuduh adanya dugaan korupsi dilaporkan ke polisi dengan pasal “pencemaran nama baik”. SBY sendiri dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai pada Rakornas Partai Demokrat tanggal 26 Maret 2010 di Kemayoran Jakarta memberikan arahan tentang etika dalam berpolitik agar tidak menggunakan cara-cara fitnah. Pertanyaan yang perlu dijawab, betulkah norma hukum dan pesan moral tersebut murni untuk kepentingan pembangunan demokrasi ataukah ada kepentingan lain?
Negara adalah Pelayan
Dirasakan atau tidak, selama ini telah terjadi penyesatan oleh elite bangsa yang dibungkus dengan bahasa kekuasaan dan bahkan akidah agama. Lihat saja selama Orde Baru,istilah “harga disesuaikan” digunakan untuk mengatakan bahwa harga naik. Sudah jelas-jelas penduduk di wilayah tertentu terkena busung lapar,tapi pengumuman resmi pemerintah menyebutnya dengan kurang gizi. Masih banyak lagi contoh-contoh pilihan kata yang justru membodohi rakyat.
Semua pihak pasti setuju,bangsa ini jangan menghakimi, apalagi menjebloskan seseorang ke dalam penjara sebelum ada kepastian hukum. Sebab,yang terperiksa belum tentu jadi tersangka,yang tersangka belum tentu dijatuhi hukuman, dan yang sudah divonis pengadilan pun belum tentu dalam banding atau kasasi tidak bebas. Namun, betulkah norma yang demikian itu berlaku juga bagi pejabat negara yang terindikasi korupsi? Di mana pun berlaku kaidah, dia yang terima gaji atau honorarium bulanan adalah pegawai, buruh atau karyawan (dalam rumah tangga disebut pembantu) dan yang membayar gaji atau honor bulanan disebut majikan. Dalam kaitan berdemokrasi,untuk membiayai negara, termasuk untuk membayar gaji pegawai negara, rakyat membayar pajak.Dari alur ini jelas, posisi rakyat dalam negara demokrasi adalah majikan, sedangkan posisi pejabat negara adalah pelayan.
Maka dalam negara penganut paham demokrasi, kedudukan negara sama sekali bukan penguasa. Sebaliknya dalam negara otoriter yang prinsip dasarnya “negara bertanggung jawab atas rakyat”, seluruh kebutuhan rakyat,mulai dari kebutuhan pokok sampai ke masalah kesehatan dan pen-didikan, ditanggung negara. Maka dalam negara otoriter,rakyat diposisikan sebagai pegawai negara, tiap bulan rakyat diberi gaji oleh negara. Dari sanalah, dalam model otoriter,negara adalah penguasa.
Hak Majikan dan Kewajiban Pelayan
Berangkat dari pemahaman tersebut, pantaskah sang majikan (rakyat) yang menanyakan kepada sang pembantu atau pelayan (pejabat negara) yang terindikasi korupsi dalam mengelola uang negara kemudian dilaporkan balik ke polisi dengan tuduhan “pencemaran nama baik”? Ibarat seorang majikan dalam sebuah rumah tangga yang menanyakan kepada pembantu rumah tangga mengenai volume gula atau beras di dapur yang sudah menipis, padahal baru dibelinya dalam jumlah besar beberapa hari sebelumnya, bukankah menjadi hak majikan untuk bertanya atas hal tersebut dan sebaliknya adalah kewajiban bagi sang pembantu (pelayan) untuk mempertanggungjawabkannya?
Lebih jauh lagi, patutkah pelayan yang mestinya bertanggung jawab atas hilangnya uang negara akibat pencurian (korupsi), demi asas “praduga tak bersalah”dipertahankan untuk tidak di-”nonaktif”- kan sampai ada kepastian sebagai tersangka? Bisa jadi yang bersangkutan memang tidak ikut mencurinya, tapi bukankah kehilangan nyata-nyata telah terjadi, apalagi uang yang dicurinya dalam jumlah besar seperti yang terjadi dalam kasus Bank Century, yaitu Rp6,7 triliun dari kebutuhan awal hanya Rp1,29 triliun saja? Bukankah proteksi tersebut sangat melukai rasa keadilan dan telah menghina DPR yang telah memutuskan sejumlah pejabat yang harus bertanggung jawab?
Bukankah asas “praduga tak bersalah” hanya cocok manakala para pihak yang bermasalah adalah rakyat karena rakyat selaku majikan tidak boleh dipermalukan apalagi dizalimi oleh pelayan (negara), termasuk oleh mereka yang menangani fungsi penegakan hukum? Persoalan menjadi lain kalau kapasitas pejabat tersebut sebagai individu (bukan dalam jabatan) dan yang dicuri juga bukan uang negara. Begitu pula soal fitnah, siapa pun tahu bahwa “fitnah lebih kejam daripada pembunuhan”. Kalau saja ada individu rakyat dengan sadar menuduh individu rakyat lainnya tanpa fakta yang valid sehingga yang dituduh namanya tercemar dan untuk menghapus imej buruk tersebut diperlukan bantuan pengadilan untuk menengahinya, maka pasal “pencemaran nama baik” menjadi sangat relevan. Sebab, hanya dengan cara itulah nama baik si korban bisa direhabilitasi.
Namun, bagaimana mungkin sang majikan (rakyat) disebut memfitnah pembantu (pelayan) ketika dirinya menanyakan penggunaan anggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) ketika faktanya daftar pemilih tetap (DPT) dan IT KPU kacau? Dengan kata lain, pokok persoalannya bukan masalah sang pelayan ikut mencuri atau tidak, salah atau benar menurut hukum positif saja, karena dalam kehidupan ada etika ada tanggung jawab moral. Mengingat tugas sebagai pelayan itu berat, bahkan dipercaya untuk mengelola kekayaan sang majikan, maka untuk menjadi pelayan perlu sejumlah persyaratan baik keahlian, keterampilan atau bahkan hal-hal yang terkait dengan legitimasi, reputasi, dan moral atau integritas pribadi yang tidak boleh tercela.Persoalan etika inilah yang dilupakan oleh sebagian besar elite kita saat ini,jauh berbeda dengan bangunan demokrasi di banyak negara.
Lihat saja Jepang, seorang Menteri Perhubungan mengundurkan diri hanya disebabkan dirinya sedang main golf saat terjadi kecelakaan kereta api. Seorang mantan Presiden Korea Selatan memilih bunuh diri hanya karena terindikasi korupsi kurang dari Rp1 miliar atau setara dengan U S D 1 0 0 . 0 0 0 . Dibandingkan dengan di negeri kita, betapa persoalan etika mempunyai jarak sangat jauh antara kata dan perbuatan, bagai bumi dan langit,seperti yang kita saksikan bersama belakangan ini.
Ambil Hikmah
Betapa hebatnya seorang Robert Tantular yang bisa membobol dana Rp6,7 triliun dan seorang Gayus H Tambunan yang hanya pegawai golongan III A dengan rekening pribadi berjumlah Rp28 miliar kalau keduanya “beraksi” bukan dalam kerangka konspirasi kekuasaan. Menjadi sangat menggelikan lagi ketika sang pelayan terus berusaha meyakinkan majikan, dengan atas nama Tuhan segala, bersumpah bahwa dirinya tidak salah dan karenanya tidak harus bertanggung jawab atas uang yang hilang dan terus menganggap kedua kasus tersebut bukan karena kebobrokan sistem pengelolaan kekuasaan negara.
Memang ada elite yang berani memberi pernyataan resmi bahwa dirinya bertanggung jawab,tapi faktanya tak lebih hanya sebatas pernyataan. Harapan kita, semoga sikap bijak segera diambil oleh Presiden kita beserta seluruh elite bangsa yang masih punya nurani untuk memanfaatkan momentum ini guna menyelamatkan masa depan bangsa dan negara.Presiden harus merumuskan sistem pengelolaan negara dengan platform dan paradigma baru, lengkap dengan subsubsistem turunannya yang menempatkan rakyat sebagai majikan.
Dengan demikian ada jaminan bahwa kebobrokan sistem yang ada saat ini tidak terus berlanjut sehingga kehidupan kita ke depan akan lebih baik dari yang sekarang.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/319552/
Saurip Kadi
Purnawirawan Mayor Jenderal TNI
Belakangan ini asas “praduga tak bersalah”terbukti efektif untuk melindungi pejabat yang terindikasi korupsi dari sanksi “nonaktif” dari jabatan.
Demi wibawa lembaga negara dan nama baik pejabat,rakyat yang menuduh adanya dugaan korupsi dilaporkan ke polisi dengan pasal “pencemaran nama baik”. SBY sendiri dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai pada Rakornas Partai Demokrat tanggal 26 Maret 2010 di Kemayoran Jakarta memberikan arahan tentang etika dalam berpolitik agar tidak menggunakan cara-cara fitnah. Pertanyaan yang perlu dijawab, betulkah norma hukum dan pesan moral tersebut murni untuk kepentingan pembangunan demokrasi ataukah ada kepentingan lain?
Negara adalah Pelayan
Dirasakan atau tidak, selama ini telah terjadi penyesatan oleh elite bangsa yang dibungkus dengan bahasa kekuasaan dan bahkan akidah agama. Lihat saja selama Orde Baru,istilah “harga disesuaikan” digunakan untuk mengatakan bahwa harga naik. Sudah jelas-jelas penduduk di wilayah tertentu terkena busung lapar,tapi pengumuman resmi pemerintah menyebutnya dengan kurang gizi. Masih banyak lagi contoh-contoh pilihan kata yang justru membodohi rakyat.
Semua pihak pasti setuju,bangsa ini jangan menghakimi, apalagi menjebloskan seseorang ke dalam penjara sebelum ada kepastian hukum. Sebab,yang terperiksa belum tentu jadi tersangka,yang tersangka belum tentu dijatuhi hukuman, dan yang sudah divonis pengadilan pun belum tentu dalam banding atau kasasi tidak bebas. Namun, betulkah norma yang demikian itu berlaku juga bagi pejabat negara yang terindikasi korupsi? Di mana pun berlaku kaidah, dia yang terima gaji atau honorarium bulanan adalah pegawai, buruh atau karyawan (dalam rumah tangga disebut pembantu) dan yang membayar gaji atau honor bulanan disebut majikan. Dalam kaitan berdemokrasi,untuk membiayai negara, termasuk untuk membayar gaji pegawai negara, rakyat membayar pajak.Dari alur ini jelas, posisi rakyat dalam negara demokrasi adalah majikan, sedangkan posisi pejabat negara adalah pelayan.
Maka dalam negara penganut paham demokrasi, kedudukan negara sama sekali bukan penguasa. Sebaliknya dalam negara otoriter yang prinsip dasarnya “negara bertanggung jawab atas rakyat”, seluruh kebutuhan rakyat,mulai dari kebutuhan pokok sampai ke masalah kesehatan dan pen-didikan, ditanggung negara. Maka dalam negara otoriter,rakyat diposisikan sebagai pegawai negara, tiap bulan rakyat diberi gaji oleh negara. Dari sanalah, dalam model otoriter,negara adalah penguasa.
Hak Majikan dan Kewajiban Pelayan
Berangkat dari pemahaman tersebut, pantaskah sang majikan (rakyat) yang menanyakan kepada sang pembantu atau pelayan (pejabat negara) yang terindikasi korupsi dalam mengelola uang negara kemudian dilaporkan balik ke polisi dengan tuduhan “pencemaran nama baik”? Ibarat seorang majikan dalam sebuah rumah tangga yang menanyakan kepada pembantu rumah tangga mengenai volume gula atau beras di dapur yang sudah menipis, padahal baru dibelinya dalam jumlah besar beberapa hari sebelumnya, bukankah menjadi hak majikan untuk bertanya atas hal tersebut dan sebaliknya adalah kewajiban bagi sang pembantu (pelayan) untuk mempertanggungjawabkannya?
Lebih jauh lagi, patutkah pelayan yang mestinya bertanggung jawab atas hilangnya uang negara akibat pencurian (korupsi), demi asas “praduga tak bersalah”dipertahankan untuk tidak di-”nonaktif”- kan sampai ada kepastian sebagai tersangka? Bisa jadi yang bersangkutan memang tidak ikut mencurinya, tapi bukankah kehilangan nyata-nyata telah terjadi, apalagi uang yang dicurinya dalam jumlah besar seperti yang terjadi dalam kasus Bank Century, yaitu Rp6,7 triliun dari kebutuhan awal hanya Rp1,29 triliun saja? Bukankah proteksi tersebut sangat melukai rasa keadilan dan telah menghina DPR yang telah memutuskan sejumlah pejabat yang harus bertanggung jawab?
Bukankah asas “praduga tak bersalah” hanya cocok manakala para pihak yang bermasalah adalah rakyat karena rakyat selaku majikan tidak boleh dipermalukan apalagi dizalimi oleh pelayan (negara), termasuk oleh mereka yang menangani fungsi penegakan hukum? Persoalan menjadi lain kalau kapasitas pejabat tersebut sebagai individu (bukan dalam jabatan) dan yang dicuri juga bukan uang negara. Begitu pula soal fitnah, siapa pun tahu bahwa “fitnah lebih kejam daripada pembunuhan”. Kalau saja ada individu rakyat dengan sadar menuduh individu rakyat lainnya tanpa fakta yang valid sehingga yang dituduh namanya tercemar dan untuk menghapus imej buruk tersebut diperlukan bantuan pengadilan untuk menengahinya, maka pasal “pencemaran nama baik” menjadi sangat relevan. Sebab, hanya dengan cara itulah nama baik si korban bisa direhabilitasi.
Namun, bagaimana mungkin sang majikan (rakyat) disebut memfitnah pembantu (pelayan) ketika dirinya menanyakan penggunaan anggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) ketika faktanya daftar pemilih tetap (DPT) dan IT KPU kacau? Dengan kata lain, pokok persoalannya bukan masalah sang pelayan ikut mencuri atau tidak, salah atau benar menurut hukum positif saja, karena dalam kehidupan ada etika ada tanggung jawab moral. Mengingat tugas sebagai pelayan itu berat, bahkan dipercaya untuk mengelola kekayaan sang majikan, maka untuk menjadi pelayan perlu sejumlah persyaratan baik keahlian, keterampilan atau bahkan hal-hal yang terkait dengan legitimasi, reputasi, dan moral atau integritas pribadi yang tidak boleh tercela.Persoalan etika inilah yang dilupakan oleh sebagian besar elite kita saat ini,jauh berbeda dengan bangunan demokrasi di banyak negara.
Lihat saja Jepang, seorang Menteri Perhubungan mengundurkan diri hanya disebabkan dirinya sedang main golf saat terjadi kecelakaan kereta api. Seorang mantan Presiden Korea Selatan memilih bunuh diri hanya karena terindikasi korupsi kurang dari Rp1 miliar atau setara dengan U S D 1 0 0 . 0 0 0 . Dibandingkan dengan di negeri kita, betapa persoalan etika mempunyai jarak sangat jauh antara kata dan perbuatan, bagai bumi dan langit,seperti yang kita saksikan bersama belakangan ini.
Ambil Hikmah
Betapa hebatnya seorang Robert Tantular yang bisa membobol dana Rp6,7 triliun dan seorang Gayus H Tambunan yang hanya pegawai golongan III A dengan rekening pribadi berjumlah Rp28 miliar kalau keduanya “beraksi” bukan dalam kerangka konspirasi kekuasaan. Menjadi sangat menggelikan lagi ketika sang pelayan terus berusaha meyakinkan majikan, dengan atas nama Tuhan segala, bersumpah bahwa dirinya tidak salah dan karenanya tidak harus bertanggung jawab atas uang yang hilang dan terus menganggap kedua kasus tersebut bukan karena kebobrokan sistem pengelolaan kekuasaan negara.
Memang ada elite yang berani memberi pernyataan resmi bahwa dirinya bertanggung jawab,tapi faktanya tak lebih hanya sebatas pernyataan. Harapan kita, semoga sikap bijak segera diambil oleh Presiden kita beserta seluruh elite bangsa yang masih punya nurani untuk memanfaatkan momentum ini guna menyelamatkan masa depan bangsa dan negara.Presiden harus merumuskan sistem pengelolaan negara dengan platform dan paradigma baru, lengkap dengan subsubsistem turunannya yang menempatkan rakyat sebagai majikan.
Dengan demikian ada jaminan bahwa kebobrokan sistem yang ada saat ini tidak terus berlanjut sehingga kehidupan kita ke depan akan lebih baik dari yang sekarang.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/319552/
Saurip Kadi
Purnawirawan Mayor Jenderal TNI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya