Oleh: Latif Adam
Setelah melaju cukup kencang dalam dua bulan pertama dan sempat mencapai angka 1,14% (0,84% pada Januari dan 0,3% pada Februari),inflasi year to date (Januari–Maret) sedikit mereda.
Sebagaimana diumumkan BPS Kamis (1/4/2010),Bulan Maret 2010 terjadi deflasi sebesar 0,14%. Dengan demikian, sampai dengan Maret 2010 secara year on year inflasi berada di angka 3,43%, sedangkan secara month on month menyentuh angka 0,99%. Sebagaimana sudah diduga sebelumnya, faktor seasonal menjadi pendorong utama terjadinya deflasi.Artinya,musim panen raya padi yang mulai berlangsung Bulan Maret memicu penurunan indeks harga secara umum. Ini terjadi karena musim panen raya akan membuat pasokan padi di pasar melimpah yang kemudian mendorong penurunan indeks harga padi (beras) dan menekan indeks harga berbagai bahan makanan lainnya.
Peran bahan makanan,khususnya padi (beras), memang sangat dominan dalam menaikturunkan inflasi. Pada Maret 2010, bahan makanan memberi sumbangan 0,24% terhadap deflasi sebesar 0,14% (171,43%). Karena itu, meskipun komponen (kelompok pengeluaran) pembentuk inflasi/ deflasi lainnya mengalami kenaikan indeks (kenaikan harga), besarnya sumbangan bahan makanan membuat indeks harga secara umum mengalami deflasi.
Tidak Menguntungkan Petani
Data BPS menunjukkan secara jelas bahwa deflasi sebenarnya hanya terjadi pada kelompok bahan makanan. Sementara itu, kelompok pengeluaran lainnya justru mengalami inflasi.Apa artinya ini? Para ekonom telah lama bersepakat bahwa salah satu bahaya inflasi/deflasi terletak pada sisi harga relatif. Artinya, pergerakan harga dari tiap-tiap komponen pengeluaran tidak terjadi dengan kecepatan yang sama. Karena itu, secara relatif,harga satu kelompok pengeluaran bisa mendekat atau menjauh terhadap harga kelompok pengeluaran lainnya. Implikasi dari fenomena ini adalah terjadinya redistribusi pendapatan yang berbeda di antara berbagai kelompok masyarakat. Singkatnya, akan ada kelompok yang pendapatannya mengalami keuntungan tetapi ada pula kelompok yang pendapatannya mengalami kerugian.
Dalam konteks deflasi bulan Maret 2010,data yang diumumkan BPS menunjukkan secara jelas bahwa petani sebagai produsen bahan makanan adalah pihak yang dirugikan dengan adanya deflasi. Indeks harga bahan makanan mengalami penurunan (0.91%), sebaliknya indeks harga kelompok pengeluaran lainnya mengalami kenaikan. Ini berarti, term of trade bahan makanan mengalami pelemahan terhadap kelompok pengeluaran lainnya. Pelemahan term of trade bahan makanan memberikan dampak yang tidak terlalu menguntungkan terhadap tingkat kesejahteraan petani. Argumentasinya adalah pendapatan petani akan mengalami penurunan (karena indeks harga bahan makanan menurun) tetapi pengeluarannya akan meningkat (karena indeks harga kelompok pengeluaran lainnya mengalami kenaikan).
Langkah Serius
Di tengah-tengah munculnya euforia deflasi, ada baiknya pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya mengantisipasi potensi terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan petani.Petani sebagai produsen bahan makanan adalah kelompok dominan di masyarakat. Ia terdiri dari 25 juta KK atau 42% dari tenaga kerja yang saat ini ada. Ini berarti bahwa penurunan kesejahteraan petani akan berdampak secara luas terhadap kondisi sosialekonomi bangsa ini. Paling tidak ada dua langkah serius yang bisa dilakukan pemerintah untuk meredam penurunan tingkat kesejahteraan petani sebagai akibat dari terjadinya deflasi.
Pertama, menekan biaya produksi yang selama ini membebani petani. Dalam kaitan ini, ada baiknya pemerintah menjamin stabilitas harga dan ketersediaan beberapa saprodi (sarana produksi pertanian) seperti pupuk, pestisida, dan benih. Sudah menjadi rahasia umum, meskipun pemerintah mengalokasikan anggaran cukup besar untuk menjamin stabilitas harga dan ketersediaan sarana produksi tetapi petani sering kali tidak bisa menikmatinya. Misalnya pupuk bersubsidi, daripada ke petani ia justru sering tersalur ke sektor-sektor (seperti perkebunan besar) yang sebenarnya bukan menjadi target subsidi. Hal ini sering membuat petani tetap kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi atau kalaupun bisa mendapatkannya,mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal dari yang telah ditetapkan dalam HET (harga eceran tertinggi).
Penelitian P2E-LIPI menunjukkan bahwa RC ratio (rasio penerimaan terhadap biaya) yang dihadapi petani menurun di hampir semua provinsi. Penyebabnya, boleh jadi karena di satu sisi biaya pengeluaran untuk sarana produksi berfluktuasi dan cenderung semakin mahal. Di sisi lain,penerimaan petani secara relatif sering mengalami penurunan. Ini terjadi salah satunya karena indeks harga produk pertanian (bahan makanan) sering mengalami deflasi seperti yang terjadi pada Maret ini. Kedua, meningkatkan produktivitas pertanian.
Meskipun produktivitas pertanian untuk beberapa komoditi (seperti padi dan jagung) memang mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir ini, tetapi dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Thailand dan Filipina, produktivitas pertanian kita relatif masih tertinggal. Karena itu, peningkatan produktivitas melalui penggunaan bibit unggul dan inovasi-inovasi lainnya tetap diperlukan untuk menahan semakin menurunnya tingkat kesejahteraan petani.
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/316046/
Latif Adam
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI
Setelah melaju cukup kencang dalam dua bulan pertama dan sempat mencapai angka 1,14% (0,84% pada Januari dan 0,3% pada Februari),inflasi year to date (Januari–Maret) sedikit mereda.
Sebagaimana diumumkan BPS Kamis (1/4/2010),Bulan Maret 2010 terjadi deflasi sebesar 0,14%. Dengan demikian, sampai dengan Maret 2010 secara year on year inflasi berada di angka 3,43%, sedangkan secara month on month menyentuh angka 0,99%. Sebagaimana sudah diduga sebelumnya, faktor seasonal menjadi pendorong utama terjadinya deflasi.Artinya,musim panen raya padi yang mulai berlangsung Bulan Maret memicu penurunan indeks harga secara umum. Ini terjadi karena musim panen raya akan membuat pasokan padi di pasar melimpah yang kemudian mendorong penurunan indeks harga padi (beras) dan menekan indeks harga berbagai bahan makanan lainnya.
Peran bahan makanan,khususnya padi (beras), memang sangat dominan dalam menaikturunkan inflasi. Pada Maret 2010, bahan makanan memberi sumbangan 0,24% terhadap deflasi sebesar 0,14% (171,43%). Karena itu, meskipun komponen (kelompok pengeluaran) pembentuk inflasi/ deflasi lainnya mengalami kenaikan indeks (kenaikan harga), besarnya sumbangan bahan makanan membuat indeks harga secara umum mengalami deflasi.
Tidak Menguntungkan Petani
Data BPS menunjukkan secara jelas bahwa deflasi sebenarnya hanya terjadi pada kelompok bahan makanan. Sementara itu, kelompok pengeluaran lainnya justru mengalami inflasi.Apa artinya ini? Para ekonom telah lama bersepakat bahwa salah satu bahaya inflasi/deflasi terletak pada sisi harga relatif. Artinya, pergerakan harga dari tiap-tiap komponen pengeluaran tidak terjadi dengan kecepatan yang sama. Karena itu, secara relatif,harga satu kelompok pengeluaran bisa mendekat atau menjauh terhadap harga kelompok pengeluaran lainnya. Implikasi dari fenomena ini adalah terjadinya redistribusi pendapatan yang berbeda di antara berbagai kelompok masyarakat. Singkatnya, akan ada kelompok yang pendapatannya mengalami keuntungan tetapi ada pula kelompok yang pendapatannya mengalami kerugian.
Dalam konteks deflasi bulan Maret 2010,data yang diumumkan BPS menunjukkan secara jelas bahwa petani sebagai produsen bahan makanan adalah pihak yang dirugikan dengan adanya deflasi. Indeks harga bahan makanan mengalami penurunan (0.91%), sebaliknya indeks harga kelompok pengeluaran lainnya mengalami kenaikan. Ini berarti, term of trade bahan makanan mengalami pelemahan terhadap kelompok pengeluaran lainnya. Pelemahan term of trade bahan makanan memberikan dampak yang tidak terlalu menguntungkan terhadap tingkat kesejahteraan petani. Argumentasinya adalah pendapatan petani akan mengalami penurunan (karena indeks harga bahan makanan menurun) tetapi pengeluarannya akan meningkat (karena indeks harga kelompok pengeluaran lainnya mengalami kenaikan).
Langkah Serius
Di tengah-tengah munculnya euforia deflasi, ada baiknya pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya mengantisipasi potensi terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan petani.Petani sebagai produsen bahan makanan adalah kelompok dominan di masyarakat. Ia terdiri dari 25 juta KK atau 42% dari tenaga kerja yang saat ini ada. Ini berarti bahwa penurunan kesejahteraan petani akan berdampak secara luas terhadap kondisi sosialekonomi bangsa ini. Paling tidak ada dua langkah serius yang bisa dilakukan pemerintah untuk meredam penurunan tingkat kesejahteraan petani sebagai akibat dari terjadinya deflasi.
Pertama, menekan biaya produksi yang selama ini membebani petani. Dalam kaitan ini, ada baiknya pemerintah menjamin stabilitas harga dan ketersediaan beberapa saprodi (sarana produksi pertanian) seperti pupuk, pestisida, dan benih. Sudah menjadi rahasia umum, meskipun pemerintah mengalokasikan anggaran cukup besar untuk menjamin stabilitas harga dan ketersediaan sarana produksi tetapi petani sering kali tidak bisa menikmatinya. Misalnya pupuk bersubsidi, daripada ke petani ia justru sering tersalur ke sektor-sektor (seperti perkebunan besar) yang sebenarnya bukan menjadi target subsidi. Hal ini sering membuat petani tetap kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi atau kalaupun bisa mendapatkannya,mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal dari yang telah ditetapkan dalam HET (harga eceran tertinggi).
Penelitian P2E-LIPI menunjukkan bahwa RC ratio (rasio penerimaan terhadap biaya) yang dihadapi petani menurun di hampir semua provinsi. Penyebabnya, boleh jadi karena di satu sisi biaya pengeluaran untuk sarana produksi berfluktuasi dan cenderung semakin mahal. Di sisi lain,penerimaan petani secara relatif sering mengalami penurunan. Ini terjadi salah satunya karena indeks harga produk pertanian (bahan makanan) sering mengalami deflasi seperti yang terjadi pada Maret ini. Kedua, meningkatkan produktivitas pertanian.
Meskipun produktivitas pertanian untuk beberapa komoditi (seperti padi dan jagung) memang mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir ini, tetapi dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Thailand dan Filipina, produktivitas pertanian kita relatif masih tertinggal. Karena itu, peningkatan produktivitas melalui penggunaan bibit unggul dan inovasi-inovasi lainnya tetap diperlukan untuk menahan semakin menurunnya tingkat kesejahteraan petani.
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/316046/
Latif Adam
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya