A.B. Susanto*
Bagaimana sebenarnya pola kepemimpinan yang tepat untuk menuntun organisasi dalam menghadapi berbagai aspek perubahan yang dialami? Bagaimana pola kepemimpinan dapat menuntun organisasi lebih bersikap proaktif dan memiliki ketajaman yang relatif tinggi? Lebih baik lagi jika bukan sekedar menanggapi dan memanfaatkan berbagai perubahan yang ada, tetapi mengantisipasinya dengan baik.
Seorang dapat diibaratkan seorang nahkoda kapal yang sedang menempuh perjalanan di lautan luas, dengan berbagai tantangan dan cobaan. Dalam perjalanannya, sang nahkoda senantiasa dihadapkan pada pilihan keputusan-keputusan strategis, dalam kondisi normal, kondisi kritis karena diserang badai, atau dalam kondisi stagnan, tatkala seluruh bentuk kehidupan kelihatannya menghilang dan tidak memberikan arti apa-apa. Dalam perjalanannya, sang nahkoda berada dalam wadah yang tidak pasti tetapi secara ironis justru membutuhkan ketepatan "kepastian" dalam setiap keputusan atau setiap langkah agar kapalnya selamat dan dapat mencapai tempat tujuan dengan cepat.
Sang nahkoda harus dapat membentuk rasa "kebersamaan" dan rasa memiliki terhadap kapal, maupun keterlibatan dalam pencapaian tujuan. Kebersamaan ini hanya dapat dimunculkan jika kita memiliki sikap dan melihat eksistensi kita sebagai pemimpin justru sebagai bagian dari kumpulan eksistensi setiap anggota perusahaan, dan bukan sebaliknya. Kita dapat memicu perkembangan rasa percaya melalui kemantapan kapabilitas atau kompetensi yang dimiliki, serta dilengkapi dengan kerendahan hati untuk menyatakan bahwa proses yang sedang dilaksanakan merupakan "milik bersama". Konsekuensinya, para pemimpin harus dapat menempatkan diri sebagai "inisiator perubahan", "pelayan perubahan", dan secara aktif menunjukkan partisipasi langsung dalam proses pelaksanaan perubahan.
Dalam menjalani perubahan yang penuh tantangan, rasa antusias perlu dihadirkan dari awal perencanaan proses perubahan dan memainkan peran yang sangat penting. Pemimpin perubahan yang telah dibekali rasa antusias berkesinambungan masih akan menghadapi berbagai tantangan perubahan lainnya, akan tetapi, secara moral dan psikis ia telah didukung oleh kemauan dan semangat dari dirinya sendiri. Hanya dengan memiliki antusias yang ditunjukkan secara nyata, seorang pemimpin dapat meminta dukungan rasa antusias yang sama dari para anggotanya.
Unsur "kesinambungan" harus diperhatikan dalam menghidupkan rasa antusias, jangan sampai seorang pemimpin kehilangan semangat di tengah-tengah berlangsungnya proses perubahan.
Kewaspadaan dan Keberanian Mendobrak
Dalam mengelola perubahan, seorang pemimpin juga perlu memiliki "kerendahan hati", dalam artian tidak terlena oleh kesuksesan yang telah diraih dan senantiasa waspada terhadap berbagai perubahan situasi dan perkembangan-perkembangan yang akan mempengaruhi daya tahan dan masa depan perusahaan. Kebanggaan yang berlebihan justru seringkali menjadi elemen pemicu munculnya potensi kelemahan perusahaan justru ketika perusahaan berada di puncak.
Dalam kondisi yang dianggap "mapan" juga terdapat potensi destruksi yang harus dicermati. Keberanian untuk mendobrak kemapanan benar-benar kita butuhkan dan perlu kita implementasikan. Ingatlah bahwa kita eksis tidak untuk mengingat masa lalu dan hanya untuk mempertahankan apa yang sudah dicapai, tetapi untuk memberikan jalan kehidupan yang baru bagi perusahaan di masa mendatang.
Konsekuensi menjadi pemimpin adalah juga untuk sewaktu-waktu diperlukan mampu dan mau berperan sebagai panglima perang dengan membawa "pedang" yang secara tepat dan mungkin secara radikal harus kita manfaatkan untuk memotong keterikatan dengan tradisi dan kebiasaan yang ada untuk memperoleh kemenangan selanjutnya. Attitude seperti ini juga dibutuhkan dalam menghadapi perubahan yang tidak "nampak" dan terjadi secara perlahan-lahan, sehingga kondisi kemapanan kelihatannya tidak terusik.
Agar dapat dilaksanakan dengan efisien, perubahan memerlukan himpunan energi yang relatif besar. Kekuatan positif ini hanya dapat ditimbulkan jika pemimpin perubahan dapat menghimpun kekuatan dari seluruh jajaran anggotanya. Dengan kata lain, perubahan membutuhkan dukungan penuh dari para "penduduk" perusahaan. Sehingga, peran pemimpin dalam memanajemeni perubahan juga mencakup peran sebagai "bos", di mana karisma, kekuatan pribadi dan kepercayaan diri harus hadir.
Keyakinan diri perlu ditumbuhkan, agar di dalam diri para pengikut kita tidak terdapat keraguan dalam melangkah, karena merasa memiliki seorang pemimpin yang handal dan memiliki kredibilitas yang tidak diragukan. Tentu saja pengembangan diri agar dapat ’menggerakkan’ pengikut berkaitan erat dengan berbagai faktor dan hanya dapat diperoleh jika kita sendiri sudah memiliki "keyakinan diri sendiri", bahwa apa yang kita laksanakan adalah benar dan memiliki peluang keberhasilan yang tinggi.
Dalam mengelola perubahan, tidak dapat dipungkiri bahwa kita sebagai manusia biasa akan lebih mudah merasa tidak mampu dan lebih mudah merasa tertekan dan ingin melepaskan diri apabila dihadapkan dalam kondisi krisis. Kita dapat mempersiapkan bekal untuk memantapkan diri dalam berbagai kondisi dengan terlebih dahulu memiliki kemampuan dan integritas diri yang jelas.
--------------------------------------------------------------------------------
*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
Bagaimana sebenarnya pola kepemimpinan yang tepat untuk menuntun organisasi dalam menghadapi berbagai aspek perubahan yang dialami? Bagaimana pola kepemimpinan dapat menuntun organisasi lebih bersikap proaktif dan memiliki ketajaman yang relatif tinggi? Lebih baik lagi jika bukan sekedar menanggapi dan memanfaatkan berbagai perubahan yang ada, tetapi mengantisipasinya dengan baik.
Seorang dapat diibaratkan seorang nahkoda kapal yang sedang menempuh perjalanan di lautan luas, dengan berbagai tantangan dan cobaan. Dalam perjalanannya, sang nahkoda senantiasa dihadapkan pada pilihan keputusan-keputusan strategis, dalam kondisi normal, kondisi kritis karena diserang badai, atau dalam kondisi stagnan, tatkala seluruh bentuk kehidupan kelihatannya menghilang dan tidak memberikan arti apa-apa. Dalam perjalanannya, sang nahkoda berada dalam wadah yang tidak pasti tetapi secara ironis justru membutuhkan ketepatan "kepastian" dalam setiap keputusan atau setiap langkah agar kapalnya selamat dan dapat mencapai tempat tujuan dengan cepat.
Sang nahkoda harus dapat membentuk rasa "kebersamaan" dan rasa memiliki terhadap kapal, maupun keterlibatan dalam pencapaian tujuan. Kebersamaan ini hanya dapat dimunculkan jika kita memiliki sikap dan melihat eksistensi kita sebagai pemimpin justru sebagai bagian dari kumpulan eksistensi setiap anggota perusahaan, dan bukan sebaliknya. Kita dapat memicu perkembangan rasa percaya melalui kemantapan kapabilitas atau kompetensi yang dimiliki, serta dilengkapi dengan kerendahan hati untuk menyatakan bahwa proses yang sedang dilaksanakan merupakan "milik bersama". Konsekuensinya, para pemimpin harus dapat menempatkan diri sebagai "inisiator perubahan", "pelayan perubahan", dan secara aktif menunjukkan partisipasi langsung dalam proses pelaksanaan perubahan.
Dalam menjalani perubahan yang penuh tantangan, rasa antusias perlu dihadirkan dari awal perencanaan proses perubahan dan memainkan peran yang sangat penting. Pemimpin perubahan yang telah dibekali rasa antusias berkesinambungan masih akan menghadapi berbagai tantangan perubahan lainnya, akan tetapi, secara moral dan psikis ia telah didukung oleh kemauan dan semangat dari dirinya sendiri. Hanya dengan memiliki antusias yang ditunjukkan secara nyata, seorang pemimpin dapat meminta dukungan rasa antusias yang sama dari para anggotanya.
Unsur "kesinambungan" harus diperhatikan dalam menghidupkan rasa antusias, jangan sampai seorang pemimpin kehilangan semangat di tengah-tengah berlangsungnya proses perubahan.
Kewaspadaan dan Keberanian Mendobrak
Dalam mengelola perubahan, seorang pemimpin juga perlu memiliki "kerendahan hati", dalam artian tidak terlena oleh kesuksesan yang telah diraih dan senantiasa waspada terhadap berbagai perubahan situasi dan perkembangan-perkembangan yang akan mempengaruhi daya tahan dan masa depan perusahaan. Kebanggaan yang berlebihan justru seringkali menjadi elemen pemicu munculnya potensi kelemahan perusahaan justru ketika perusahaan berada di puncak.
Dalam kondisi yang dianggap "mapan" juga terdapat potensi destruksi yang harus dicermati. Keberanian untuk mendobrak kemapanan benar-benar kita butuhkan dan perlu kita implementasikan. Ingatlah bahwa kita eksis tidak untuk mengingat masa lalu dan hanya untuk mempertahankan apa yang sudah dicapai, tetapi untuk memberikan jalan kehidupan yang baru bagi perusahaan di masa mendatang.
Konsekuensi menjadi pemimpin adalah juga untuk sewaktu-waktu diperlukan mampu dan mau berperan sebagai panglima perang dengan membawa "pedang" yang secara tepat dan mungkin secara radikal harus kita manfaatkan untuk memotong keterikatan dengan tradisi dan kebiasaan yang ada untuk memperoleh kemenangan selanjutnya. Attitude seperti ini juga dibutuhkan dalam menghadapi perubahan yang tidak "nampak" dan terjadi secara perlahan-lahan, sehingga kondisi kemapanan kelihatannya tidak terusik.
Agar dapat dilaksanakan dengan efisien, perubahan memerlukan himpunan energi yang relatif besar. Kekuatan positif ini hanya dapat ditimbulkan jika pemimpin perubahan dapat menghimpun kekuatan dari seluruh jajaran anggotanya. Dengan kata lain, perubahan membutuhkan dukungan penuh dari para "penduduk" perusahaan. Sehingga, peran pemimpin dalam memanajemeni perubahan juga mencakup peran sebagai "bos", di mana karisma, kekuatan pribadi dan kepercayaan diri harus hadir.
Keyakinan diri perlu ditumbuhkan, agar di dalam diri para pengikut kita tidak terdapat keraguan dalam melangkah, karena merasa memiliki seorang pemimpin yang handal dan memiliki kredibilitas yang tidak diragukan. Tentu saja pengembangan diri agar dapat ’menggerakkan’ pengikut berkaitan erat dengan berbagai faktor dan hanya dapat diperoleh jika kita sendiri sudah memiliki "keyakinan diri sendiri", bahwa apa yang kita laksanakan adalah benar dan memiliki peluang keberhasilan yang tinggi.
Dalam mengelola perubahan, tidak dapat dipungkiri bahwa kita sebagai manusia biasa akan lebih mudah merasa tidak mampu dan lebih mudah merasa tertekan dan ingin melepaskan diri apabila dihadapkan dalam kondisi krisis. Kita dapat mempersiapkan bekal untuk memantapkan diri dalam berbagai kondisi dengan terlebih dahulu memiliki kemampuan dan integritas diri yang jelas.
--------------------------------------------------------------------------------
*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya