Para pejabat di negeri ini sekarang harusnya sedang ketar-ketir bila kekayaan yang dimilikinya diperoleh dengan tidak wajar alias kekayaan yang haram.
Ini terlebih lagi bagi pejabat yang “melayani” di bidang-bidang yang “basah” baik di pusat––terutama yang “melayani” di bidangbidang yang “basah” ––maupun di level daerah.Mengapa daerah juga disebut? Maklum saja, kini juga telah terjadi “desentralisasi korupsi”. Korupsi bukan cuma menyebar secara vertikal, tetapi juga secara horizontal dan geografis. Sering dikatakan bahwa ia betul-betul menjadi the roots of all evils yang dampak buruknya merambah ke mana-mana. Karena itu, kekayaan pejabat memang harus diburu untuk memastikan bahwa kekayaan itu wajar dan tidak ada tersimpan hasil korupsi di sana.
Memburu Siapa?
Kalau ini dilakukan, akan ada begitu banyak investigasi yang harus dilakukan mengingat ada begitu banyak pejabat atau abdi negara yang ada di sini. Anggota MPR 2009–2014 saja misalnya mencapai 692 orang, dari DPR 560 orang,dan dari DPD sebanyak 132 orang. Ini belum mencakup level provinsi dan kabupaten/kota. Juga daerah yang kaya karena dapat memperoleh formasi CPNS yang lebih banyak. Menurut data Badan Kepegawaian Negara (BKN), per Desember 2009 terdapat 4.524.205 PNS dan sekitar setengahnya berada pada Golongan III serta hampir 41% berpendidikan sarjana strata 1.
Manakah yang harus diburu kebenaran kekayaannya? Walaupun korupsi dapat saja terjadi pada semua level tanpa mengenal bidang dan daerah,tentunya dalam pemburuan kekayaan pejabat harus ada prioritas.Sejumlah kriteria mestinya dapat digunakan yang mengindikasikan tingkat kerawanannya tinggi.Pertama adalah pada bidang-bidang yang basah, kedua pada level birokrasi yang atas, ketiga daerah-daerah yang kaya.Ini semua terkait dengan tiga urusan, yaitu urusan penerimaan (seperti pajak dan bea cukai), pengeluaran (barang dan jasa),serta pengambilan keputusan (seperti legislatif dan yudikatif).
Artinya makin penting posisi pejabat-pejabat yang bersangkutan dalam urusan-urusan itu, pantaslah kekayaan mereka diburu untuk pembuktian kewajarannya. Maka tidak aneh jika Direktorat Pajak dan Bea Cukai misalnya merupakan salah satu tempat yang harus menjadi prioritas pemburuan itu. Pihak pajak sendiri mengakui, 10.800 pegawai pajak rawan korupsi dan ada 12 titik rawan korupsi di direktorat tersebut. Sejak dari proses penerimaan PNS pun sebenarnya sudah rawan korupsi. Tak kurang Presiden SBY sendiri pernah menyebutkan hal ini. Ketika memperingati Hari Antikorupsi Dunia, disebutnya bahwa penerimaan CPNS dan TNI/Polri termasuk dalam delapan titik rawan korupsi.
Kalau hendak diperluas, sudah tentu proses pengisian jabatan- jabatan di legislatif maupun eksekutif melalui pemilihan umum, termasuk di daerah, juga termasuk rawan, terutama terkait politik uang. Ini jelas merusak kualitas proses pemilihan itu sendiri serta mereduksi kemungkinan mereka yang terpilih dengan cara ini untuk benar-benar menjadi abdi negara dan pelayan masyarakat tanpa memperkaya diri sendiri.
Bentuk Nontunai
Dengan peta seperti di atas, andai semua hasil korupsi ini disimpan dan dialirkan melalui sistem perbankan mestinya akan lebih mempermudah pemburuan kekayaan yang tak wajar. Seperti pada kasus Gayus dan Bahasyim, dalam waktu tidak terlalu lama bisa ketahuan ada berapa rekening, atas nama siapa, dan berapa nilainya? Tidak sulit pula untuk menduga bahwa rekening istri dan anak Bahasyim yang miliaran rupiah itu adalah hasil korupsi,yakni dari komisi yang diberikan oleh wajib pajak yang dibantunya karena tampak jelas ketidakwajarannya ketika dihubungkan dengan kegiatan yang bersangkutan.
Menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),per Februari 2010 terdapat lebih dari 89 juta rekening dengan nominal lebih dari 1.948 triliun rupiah. Jumlah rekening dengan nominal lebih dari satu miliar rupiah sebanyak 228.343. Jumlah rekening besar ini hanya 0,26% dari keseluruhan rekening, tapi nilai nominalnya mencapai lebih dari 54% dari nilai nominal seluruh rekening. Jika yang dilihat hanya rekening dengan nilai Rp5 miliar ke atas yang jumlahnya kurang dari 32.000 rekening, nilai nominalnya mencapai Rp712,89 triliun atau setara dengan 36,6% total nominal simpanan.
Boleh jadi ultimate owner dari rekening-rekening besar tersebut sebenarnya jauh lebih sedikit mengingat praktik pemakaian identitas orang lain, entah keluarga atau orang lain, ataupun identitas aspal mudah terjadi. Seperti pada kasus Bank Century, praktik akal-akalan bahkan ini jelas-jelas diketahui pihak bank. Maka dari itu, kalau data perbankan pun tidak cukup bisa dipercaya,apalagi jika ada bank yang terkait dengan mafia penggelapan pajak seperti Gayus, berarti rekening di bawah Rp5 miliar pun menjadi perlu dicurigai. Alhasil, kompleksitas persoalan menjadi bertambah. Selain itu, perlu diperhatikan pula modus transaksi korupsi yang juga sulit diketahui adalah jika dalam bentuk tunai. Inilah yang sering menjadi salah satu ciri dari black economy, yaitu aktivitas ekonomi yang ilegal dan kriminal seperti korupsi dan perdagangan narkoba.
Para penyuap dan penerima suap yang tertangkap tangan oleh KPK memakai modus ini,uang diletakkan dalam amplop,tas atau kardus.Tentu bentuk penyimpanan nontunai lainnya banyak seperti memperluas kepemilikan tanah atau mengoleksi rumah mewah serta kendaraan mewah. Rasanya tidak mungkin ada pelaku korupsi yang menyimpan miliaran kekayaan haramnya di bawah bantal. Dalam kaitan ini, amat mungkin tidak sedikit dari Rp300 triliun potensi pajak yang hilang––angka menurut pejabat Ditjen Pajak sebelumnya–– yang tersimpan dalam bentuk kekayaan di luar sistem perbankan.Hanya pelaku korupsi yang telah canggih (seperti melakukan cuci uang) saja dan merasa aman yang melakukan penyimpanan dalam sistem perbankan.
Lalu,yang patut diperhatikan di tengah kesulitan melacak kekayaan haram di luar perbankan tersebut adalah perilaku sehari-hari dari para pejabat itu sendiri. Di tengah derasnya budaya konsumerisme dan hedonisme,para koruptor juga cenderung untuk memuaskan dirinya.Pemuasan ini dapat mengambil bentuk pada perilaku seharihari, yaitu menunjukkan bahwa merekalebihmakmurdariyanglain. Bila perilaku mewah para pejabat itu,termasuk keluarganya, tidak imbang dengan penghasilan resminya, patutlah untuk diselidiki. Atau mungkin mereka malah harus membuktikan bahwa sumber pembiayaan perilaku mewah itu bukan dari hasil korupsi.
Tanpa hal semacam ini,para pejabat yang korup boleh jadi tidak akan ketarketir, apalagi kenyataannya praktik korupsi itu dilakukan kolektif, melibatkan banyak pihak yang membangun “saling percaya” di antara mereka demi melindungi kekayaan haram mereka.
Memburu Perilaku Mewah
Oleh karena itu, memburu kekayaan pejabat sebetulnya juga berarti memburu perilaku tidak wajar mereka dan orang-orang dekatnya. Orang-orang kecil seperti satpam atau tukang parkir mungkin justru banyak tahu indikasi ketidakwajaran perilaku tersebut. Begitulah pula pihak-pihak terkait seperti dealer kendaraan mewah, pengembang rumah mewah, ataupun perbankan.
Lihat saja, berkaca dari Gayus, dia mempunyai rumah mewah seharga Rp3 miliar di Kompleks Gading Park View dan mengaku memiliki 23 rekening di bank BCA,Panin,Mandiri,BRI,dan Bank DKI. Maka pertanyaannya kemudian adalah apakah ada kemauan pihak-pihak terakhir itu untuk menolak,apalagi melaporkan konsumen atau nasabah yang tercatat sebagai pejabat atau keluarga pejabat, yang kemampuan finansialnya tidak masuk akal?
Kalau dunia bisnis pun ingin ekonomi yang bersih dari korupsi, mestinya mereka harus benar-benar ikut ambil bagian melawan segala rupa korupsi. Namun, agaknya hal ini tidak mudah manakala mengingat misalnya “konsumen adalah raja” dan ada “mutualisme” di antara mereka. Sama halnya atasan tidak mau berpusing-pusing memelototi perilaku tidak wajar bawahannya,apalagi ketika atasan pun perilakunya justru lebih tidak wajar lagi, termasuk ketidakwajaran ketika memberikan sumbangan sosial.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/318543/
Aloysius Gunadi Brata
Ekonom Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Ini terlebih lagi bagi pejabat yang “melayani” di bidang-bidang yang “basah” baik di pusat––terutama yang “melayani” di bidangbidang yang “basah” ––maupun di level daerah.Mengapa daerah juga disebut? Maklum saja, kini juga telah terjadi “desentralisasi korupsi”. Korupsi bukan cuma menyebar secara vertikal, tetapi juga secara horizontal dan geografis. Sering dikatakan bahwa ia betul-betul menjadi the roots of all evils yang dampak buruknya merambah ke mana-mana. Karena itu, kekayaan pejabat memang harus diburu untuk memastikan bahwa kekayaan itu wajar dan tidak ada tersimpan hasil korupsi di sana.
Memburu Siapa?
Kalau ini dilakukan, akan ada begitu banyak investigasi yang harus dilakukan mengingat ada begitu banyak pejabat atau abdi negara yang ada di sini. Anggota MPR 2009–2014 saja misalnya mencapai 692 orang, dari DPR 560 orang,dan dari DPD sebanyak 132 orang. Ini belum mencakup level provinsi dan kabupaten/kota. Juga daerah yang kaya karena dapat memperoleh formasi CPNS yang lebih banyak. Menurut data Badan Kepegawaian Negara (BKN), per Desember 2009 terdapat 4.524.205 PNS dan sekitar setengahnya berada pada Golongan III serta hampir 41% berpendidikan sarjana strata 1.
Manakah yang harus diburu kebenaran kekayaannya? Walaupun korupsi dapat saja terjadi pada semua level tanpa mengenal bidang dan daerah,tentunya dalam pemburuan kekayaan pejabat harus ada prioritas.Sejumlah kriteria mestinya dapat digunakan yang mengindikasikan tingkat kerawanannya tinggi.Pertama adalah pada bidang-bidang yang basah, kedua pada level birokrasi yang atas, ketiga daerah-daerah yang kaya.Ini semua terkait dengan tiga urusan, yaitu urusan penerimaan (seperti pajak dan bea cukai), pengeluaran (barang dan jasa),serta pengambilan keputusan (seperti legislatif dan yudikatif).
Artinya makin penting posisi pejabat-pejabat yang bersangkutan dalam urusan-urusan itu, pantaslah kekayaan mereka diburu untuk pembuktian kewajarannya. Maka tidak aneh jika Direktorat Pajak dan Bea Cukai misalnya merupakan salah satu tempat yang harus menjadi prioritas pemburuan itu. Pihak pajak sendiri mengakui, 10.800 pegawai pajak rawan korupsi dan ada 12 titik rawan korupsi di direktorat tersebut. Sejak dari proses penerimaan PNS pun sebenarnya sudah rawan korupsi. Tak kurang Presiden SBY sendiri pernah menyebutkan hal ini. Ketika memperingati Hari Antikorupsi Dunia, disebutnya bahwa penerimaan CPNS dan TNI/Polri termasuk dalam delapan titik rawan korupsi.
Kalau hendak diperluas, sudah tentu proses pengisian jabatan- jabatan di legislatif maupun eksekutif melalui pemilihan umum, termasuk di daerah, juga termasuk rawan, terutama terkait politik uang. Ini jelas merusak kualitas proses pemilihan itu sendiri serta mereduksi kemungkinan mereka yang terpilih dengan cara ini untuk benar-benar menjadi abdi negara dan pelayan masyarakat tanpa memperkaya diri sendiri.
Bentuk Nontunai
Dengan peta seperti di atas, andai semua hasil korupsi ini disimpan dan dialirkan melalui sistem perbankan mestinya akan lebih mempermudah pemburuan kekayaan yang tak wajar. Seperti pada kasus Gayus dan Bahasyim, dalam waktu tidak terlalu lama bisa ketahuan ada berapa rekening, atas nama siapa, dan berapa nilainya? Tidak sulit pula untuk menduga bahwa rekening istri dan anak Bahasyim yang miliaran rupiah itu adalah hasil korupsi,yakni dari komisi yang diberikan oleh wajib pajak yang dibantunya karena tampak jelas ketidakwajarannya ketika dihubungkan dengan kegiatan yang bersangkutan.
Menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),per Februari 2010 terdapat lebih dari 89 juta rekening dengan nominal lebih dari 1.948 triliun rupiah. Jumlah rekening dengan nominal lebih dari satu miliar rupiah sebanyak 228.343. Jumlah rekening besar ini hanya 0,26% dari keseluruhan rekening, tapi nilai nominalnya mencapai lebih dari 54% dari nilai nominal seluruh rekening. Jika yang dilihat hanya rekening dengan nilai Rp5 miliar ke atas yang jumlahnya kurang dari 32.000 rekening, nilai nominalnya mencapai Rp712,89 triliun atau setara dengan 36,6% total nominal simpanan.
Boleh jadi ultimate owner dari rekening-rekening besar tersebut sebenarnya jauh lebih sedikit mengingat praktik pemakaian identitas orang lain, entah keluarga atau orang lain, ataupun identitas aspal mudah terjadi. Seperti pada kasus Bank Century, praktik akal-akalan bahkan ini jelas-jelas diketahui pihak bank. Maka dari itu, kalau data perbankan pun tidak cukup bisa dipercaya,apalagi jika ada bank yang terkait dengan mafia penggelapan pajak seperti Gayus, berarti rekening di bawah Rp5 miliar pun menjadi perlu dicurigai. Alhasil, kompleksitas persoalan menjadi bertambah. Selain itu, perlu diperhatikan pula modus transaksi korupsi yang juga sulit diketahui adalah jika dalam bentuk tunai. Inilah yang sering menjadi salah satu ciri dari black economy, yaitu aktivitas ekonomi yang ilegal dan kriminal seperti korupsi dan perdagangan narkoba.
Para penyuap dan penerima suap yang tertangkap tangan oleh KPK memakai modus ini,uang diletakkan dalam amplop,tas atau kardus.Tentu bentuk penyimpanan nontunai lainnya banyak seperti memperluas kepemilikan tanah atau mengoleksi rumah mewah serta kendaraan mewah. Rasanya tidak mungkin ada pelaku korupsi yang menyimpan miliaran kekayaan haramnya di bawah bantal. Dalam kaitan ini, amat mungkin tidak sedikit dari Rp300 triliun potensi pajak yang hilang––angka menurut pejabat Ditjen Pajak sebelumnya–– yang tersimpan dalam bentuk kekayaan di luar sistem perbankan.Hanya pelaku korupsi yang telah canggih (seperti melakukan cuci uang) saja dan merasa aman yang melakukan penyimpanan dalam sistem perbankan.
Lalu,yang patut diperhatikan di tengah kesulitan melacak kekayaan haram di luar perbankan tersebut adalah perilaku sehari-hari dari para pejabat itu sendiri. Di tengah derasnya budaya konsumerisme dan hedonisme,para koruptor juga cenderung untuk memuaskan dirinya.Pemuasan ini dapat mengambil bentuk pada perilaku seharihari, yaitu menunjukkan bahwa merekalebihmakmurdariyanglain. Bila perilaku mewah para pejabat itu,termasuk keluarganya, tidak imbang dengan penghasilan resminya, patutlah untuk diselidiki. Atau mungkin mereka malah harus membuktikan bahwa sumber pembiayaan perilaku mewah itu bukan dari hasil korupsi.
Tanpa hal semacam ini,para pejabat yang korup boleh jadi tidak akan ketarketir, apalagi kenyataannya praktik korupsi itu dilakukan kolektif, melibatkan banyak pihak yang membangun “saling percaya” di antara mereka demi melindungi kekayaan haram mereka.
Memburu Perilaku Mewah
Oleh karena itu, memburu kekayaan pejabat sebetulnya juga berarti memburu perilaku tidak wajar mereka dan orang-orang dekatnya. Orang-orang kecil seperti satpam atau tukang parkir mungkin justru banyak tahu indikasi ketidakwajaran perilaku tersebut. Begitulah pula pihak-pihak terkait seperti dealer kendaraan mewah, pengembang rumah mewah, ataupun perbankan.
Lihat saja, berkaca dari Gayus, dia mempunyai rumah mewah seharga Rp3 miliar di Kompleks Gading Park View dan mengaku memiliki 23 rekening di bank BCA,Panin,Mandiri,BRI,dan Bank DKI. Maka pertanyaannya kemudian adalah apakah ada kemauan pihak-pihak terakhir itu untuk menolak,apalagi melaporkan konsumen atau nasabah yang tercatat sebagai pejabat atau keluarga pejabat, yang kemampuan finansialnya tidak masuk akal?
Kalau dunia bisnis pun ingin ekonomi yang bersih dari korupsi, mestinya mereka harus benar-benar ikut ambil bagian melawan segala rupa korupsi. Namun, agaknya hal ini tidak mudah manakala mengingat misalnya “konsumen adalah raja” dan ada “mutualisme” di antara mereka. Sama halnya atasan tidak mau berpusing-pusing memelototi perilaku tidak wajar bawahannya,apalagi ketika atasan pun perilakunya justru lebih tidak wajar lagi, termasuk ketidakwajaran ketika memberikan sumbangan sosial.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/318543/
Aloysius Gunadi Brata
Ekonom Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya