Rabu, 21 April 2010

MANAJEMEN ALIANSI STRATEGIS

A.B. Susanto*

Angka 2000 sebagai penunjuk waktu telah dilampaui. Jarak psikologis terhadap perencanaan yang terkait dengan angka dua ribu telah terlewati. Banyak perusahaan yang menetapkan angka 2000 sebagai tonggak perubahan. Telkom misalnya memakai angka 2001, untuk menunjukkan komitmennya menjadi world class operator.

Namun yang paling menyita perhatian adalah AFTA yang mulai berlaku pada tahun 2003. Artinya tiga tahun lagi, kita sudah memasuki sebuah pasar regional yang meniadakan proteksi terhadap produk-produk sesama negara ASEAN. Kerjasama ini, boleh dikatakan mirip dengan sebuah aliansi strategis antar negara, yang mengandung unsur kooperasi dan kompetisi sekaligus. Tujuan pembentukannya pun mempunyai dua makna, sebagai sarana untuk meningkatkan nilai tambah, maupun yang bersifat defensif untuk mempertahankan diri dari persaingan global.

Aroma ini juga bertiup di tingkat perusahaan. Salah satu cara agar dapat memetik manfaat dari AFTA adalah melakukan aliansi strategis. Aliansi itu dapat digalang sesama perusahaan Indonesia agar dapat kompetitif di pasar regional, atau dengan sesama perusahaan ASEAN agar dapat bersaing di pasar global, dan berbagai kemungkinan lainnya.

Dorongan untuk melakukan aliansi strategis yang dilakukan perusahaan-perusahaan di Indonesia mungkin karena keinginan untuk mempertahankan diri dari persaingan bebas di tingkat regional dengan melindungi core compentencies melalui strategi yang fleksibel, atau dorongan untuk meningkatkan efektifitas melalui peningkatan nilai tambah, serta proses belajar dari mitra melalui benchmarking.

Tapi harus diingat aliansi tidak selalu berjalan mulus dan sesungguhnya menyimpan bara konflik. Yoshino dan Rangan membaginya dalam suatu matriks berdasarkan dua hal, potensi konflik dan derajat interaksi, dan mebaginya menjadi empat jenis alainsi strategis, yaitu aliansi prokompetitif, aliansi nonkompetitif, aliansi kompetitif dan aliansi prekompetitif.

Aliansi prokompetitif memiliki potensi konflik rendah dan derajat interaksi organisasi rendah. Biasanya dilakukan antar industri yang tidak saling berkompetisi dengan tujuan membentuk suatu vertical value chain. Orientasinya adalah meningkatkan nilai tambah yang terbentuk dari aliansi, dan menekankan fleksibilitas.

Aliansi nonkompetitif terbentuk dalam industri yang sama antar perusahaan namun tidak saling bersaing. Potensi konfliknya rendah dan diwarnai interaksi organisasi yang tinggi. Orientasinya pada learning, bukan pada fleksibilitas dan proteksi core competence.

Aliansi kompetitif, sejenis dengan aliansi nonkompetitif dalam artian joint activities-nya, tetapi dilakukan antar perusahaan yang dapat merupakan pesaing langsung dalam memasarkan produk akhir. Dalam aliansi ini potensi konflik tinggi dan derajad interaksinya juga tinggi. Orientasi utamanya pada fleksibilitas strategi, learning dan proteksi core competence.

Aliansi prekompetitif terbentuk dari aliansi antar perusahaan yang tidak berasal dari industri yang sama, dan bahkan tidak saling terkait untuk suatu joint operation yang telah didefinisikan. Terbentuk dari anggota aliansi yang bukan kompetitor pada saat ini, tapi terdapat kemungkinan menjadi kompetitor untuk masa yang akan datang. Aliansi ini memiliki potensi konflik yang tinggi, tapi derajad interaksi organisasi rendah. Beorientasi pada fleksibilitas strategi dan proteksi terhadap core competencies.

Lantas bagaimana memilih pendekatan aliansi strategis yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan ? Yang menjadi pertimbangan utama adalah prioritas tujuan perusahaan dalam menjalin aliansi strategis. Jika nilai tambah menjadi pertimbangan utama dan fleksibilitas menjadi pertimbangan berikutnya maka aliansi strategis prokompetitif yang akan dipilih.

Jika faktor learning menjadi pertimbangan utama dan nilai tambah menjadi tujuan berikutnya, maka aliansi non kompetitif layak untuk dijadikan pilihan. Aliansi strategis kompetitif dapat dijadikan pilihan jika proteksi terhadap core competence menjadi bahan pertimbangan utama dan learning menjadi pertimbangan berikutnya. Sedangkan jika fleksibilitas menjadi pertimbangan utama dan proteksi core competence menjadi prioritas berikutnya maka bentuk yang sesuai adalah aliansi prekompetitif.

Tapi harus disadari bahwa posisi aliansi strategis bersifat dinamis, yang dapat bergeser dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Perkembangan situasi yang dihadapi dan perkembangannya di satu sisi, dan antispasi perkembangan bisnis di sisi yang lain, harus menjadi pijakan dalam pemilihan pendekatan dalam manajemen aliansi.

Dalam manajemen aliansi startegis dibutuhkan persiapan yang berkaitan dengan dasar-dasar aliansi seperti tujuan, bentuk, kerangka waktu, kordinasi dan lain-lain. Selain itu persiapan mental SDM juga harus mendapat perhatian, karena perbedaan norma perusahaan dapat mencuatkan potensi konflik yang telah ada. Misalnya kejelasan tujuan, distribusi informasi, dan penyesuaian sistem manajemn SDM. Kemudian sistem pengamanan seperti sistem monitor dan evaluasi kemajuan juga harus mendapat perhatian agar aliansi dapat berjalan sesuai dengan harapan.

Manajamen aliansi mempunyai berbagai tantangan karena mempertemukan dua struktur, strategi dan kultur yang berbeda. Ambiguitas yang disebabkan ketidakjelasan harapan masing-masing pihak, ketidakseimbangan prioritas antara dimensi koperasi dan kompetisi, serta kurangnya sensitifitas dalam membaca keragaman budaya dapat menjadi kendala yang serius. Saluran komunikasi yang tersumbat, ketidakharmonisan dan meningkatnya kompleksitas pengelolaan hubungan, serta kesulitan menyelaraskan network internal dan eksternal merupakan gejala lain yang harus diwaspadai.

Lantas tugas apa yang harus dilakukan oleh eksekutif kunci ? Eksekutif kunci terutama harus meningkatkan kualitas proses komunikasi dan distribusi informasi. Dari komunikasi dan pola manajemen informasi yang terarah, dapat dibentuk right chemistry, yaitu atmosfir kerja yang didasari oleh adanya keterbukaan, saling pengertian, adaptabilitas, kesesuaian budaya dan organizational trust. Proses ini ditindaklanjuti dengan mempercepat terbentuknya internal & external relationship yang dapat menciptakan kelanggengan formulasi alliance teams. Tugas penting lain bagi eksekutif kunci adalah menajadi agen aliansi, yang bertindak sebagai penyelaras keragaman budaya, insiator implementasi strategi aliansi, serta pengamanan citra dan tingkat trustworthiness perusahaan dalam proses aliansi.

Aliansi strategis merupakan salah satu alternatif yang dapat dipertimbangkan mengahadapi era AFTA mendatang. Namun, dalam aliansi strategis tersimpan banyak batu sandungan yang harus diwaspadai. Pemahaman mengenai manajemen aliansi strategis akan membantu dalam memetik hasil yang maksimal.

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...