Oleh: M Jusuf Kalla
Peristiwa sangat dramatis terjadi pada Rabu (14/4) pekan lalu di Tanjung Priok, DKI Jakarta. Yang tampak kasatmata, bentrok polisi dan Satpol PP dengan massa. Ada tiga nyawa melayang, ratusan orang luka-luka, dan 56 mobil dirusak kemudian dibakar. Indonesia heboh karena inilah bentrokan terhebat di Ibu Kota pascakerusuhan Mei 1998.
Hal yang amat menggetarkan tali rasa kita, bentrokan tak sekadar amuk hantam biasa. Sulit dipercaya ada anggota Satpol PP berperilaku tak manusiawi dan brutal menyiksa massa, termasuk anak-anak. Pada adegan lain, sekelompok massa bisa memukul, menggebuk para anggota Satpol PP. Sebagian lagi membakar mobil polisi dan Satpol PP dengan risiko tinggi. Massa lain melompati sambil menginjak-injak mayat anggota Satpol PP. Apakah kita sudah berubah demikian kasar hingga melakukan tindakan yang jauh dari peradaban, tak sesuai ajaran agama apa pun?
Saya sungguh sulit membayangkan apa yang terjadi pada warga DKI dan sekitarnya tatkala api berkobar menghabisi mobil-mobil polisi dan Satpol PP. Seandainya api berkobar liar atau andaikata mobil meledak dan serpihan api menerjang tangki-tangki besar berisi jutaan liter bensin dan elpiji serta pipa-pipa minyak di sana, Jakarta bisa terbakar hebat. Jarak antara lokasi kejadian dan tangki-tangki bahan bakar hanya sepelemparan batu saja.
Tidak terbayangkan berapa korban jiwa bisa jatuh di daerah yang begitu padat. Kota ini perlu waktu beberapa tahun untuk membangun kembali Tanjung Priok dan Jakarta. Kebakaran yang bisa jadi neraka, untung Tuhan masih melindungi kita. Peristiwa ini kembali menunjukkan, kita kerap ingin menyelesaikan masalah tanpa solusi jelas. Pemprov DKI terkesan memudahkan soal sehingga peristiwa mengiriskan ini meledak. Tak muncul kesan sebelum mengambil tindakan represif, aparat telah mengamankan lapangan dengan mulus. Tak tampak persuasi yang efektif yang bisa meredam emosi publik.
Dalam kasus ini jelas sebenarnya pemerintah tak berniat mengganggu, sebaliknya malah akan memugar makam Mbak Priuk (1756), berarti ini niat baik. Hanya beberapa lokasi di sekitarnya yang dipindahkan, misalnya pendapa. Kalau masalah ini, juga jalan keluarnya sudah disampaikan kepada masyarakat dan dilaksanakan terlebih dulu sebelum menggusur, pasti masyarakat tak geram. Betapa komunikasi yang diperagakan sangat buruk. Di sisi lain, sesuai laporan dan data yang ada dan kesaksian masyarakat bahwa tanah yang dipersengketakan adalah bekas tempat pemakaman umum (TPU) yang dipindahkan pada tahun 1994 untuk kepentingan perluasan pelabuhan, yang artinya untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat, dengan tetap menghormati makam Mbah Priuk. Sebagai TPU, tentu tanah itu telah diwakafkan dan milik masyarakat, otomatis tak ada yang berhak menuntut. Justru kepada pihak yang merasa ”memiliki tanah makam” itu, jika tetap mengikhlaskan, akan memperoleh pahala yang tiada habis-habisnya. Sebaliknya, apabila mau dijual lagi, akan memutus pahala dari leluhur yang mewakafkan dan ini melanggar ketentuan agama.
Saya juga amat risau ketika menjenguk para korban luka-luka di RSUD Koja. Sebagian korban anak-anak. Dari beberapa wawancara di lapangan, ada kesan, sejumlah anak sengaja dimajukan untuk mempertahankan lokasi yang kemudian banyak menjadi korban. Mungkin maksudnya supaya aparat tak berani bertindak karena yang dihadapi anak-anak bak anak mereka sendiri. Namun, apa pun alasannya, ini sungguh berakibat fatal. Janganlah pertikaian itu sampai demikian luas, apalagi melibatkan anak-anak yang rentan risiko. Adab yang dipakai sungguh jauh melenceng dari nilai-nilai luhur bangsa.
Akar masalah
Apa penyebab masyarakat gampang tersulut? Dalam banyak peristiwa di dunia, letupan kemarahan publik diakibatkan banyak aspek, di antaranya kekecewaan dan kejengkelan yang membuncah. Pun ketidakadilan dan tidak harmoninya pemerintah-masyarakat. Kita menyaksikan sendiri dalam enam bulan terakhir muncul gemuruh kasus cicak buaya, hiruk-pikuk kasus Century yang berlangsung berbulan-bulan. Belum reda Century, muncul kasus Gayus Tambunan yang benar-benar merisaukan semua kalangan. Ditambah retaknya harmoni antarpolisi, ini menimbulkan kecurigaan dan emosi di masyarakat dan menurunnya wibawa aparat.
Pemprov terkesan lupa kawasan sekitar Tanjung Priok memang sangat rawan. Di sana banyak bermukim masyarakat kurang mampu dan sangat sederhana. Mereka bertetangga dengan perumahan luks. Kesenjangan ekonomi dan sosial tentu saja menganga lebar. Aspek ini mestinya memunculkan sense untuk menangani masalah di sana dengan serius dan ekstra hati-hati serta melanjutkan program permukiman rakyat (antara lain 1.000 tower) dengan segera dan tidak menyegelnya.
Sense lain mestinya mengemuka jika merunut pengalaman silam. Kerusuhan Mei di Jakarta dan sekitarnya di antaranya disulut suburnya ketidakadilan. Korupsi masih berkembang, BLBI, ada arogansi penguasa, kaum elite bangsa tak saling percaya, tak ada penyelesaian masalah, sejumlah usahawan busuk melarikan uang ke luar negeri tatkala krisis ekonomi berkecamuk dan jutaan penduduk menganggur. Kesenjangan ekonomi melebar, meletupkan kemarahan massa. Terkesan, banyak kasus besar yang memasygulkan masyarakat dibiarkan menjadi liar, tidak ditangani serius sehingga sungguh menurunkan wibawa. Kita terkesan berpikir pelbagai persoalan, termasuk masalah-masalah besar, akan selesai dengan sendirinya. Dengan demikian, kalau ada persoalan, biarkan saja persoalan itu berkecamuk, toh akan selesai juga. Ini semua menimbulkan kepercayaan satu sama lain sangat tipis.
Besar harapan kita, Pemprov lebih firm dan menangani semua masalah secara serius dan cermat. Jangan biarkan pembiaran semakin subur karena kepercayaan rakyat harus dijaga seutuh-utuhnya. Jangan sampai ada rakyat merasa tidak terayomi. Kita pun mesti melihat jauh ke depan. Bangsa-bangsa lain makin bergegas untuk lebih adil dan lebih menyejahterakan rakyatnya. Kita memiliki segenap potensi untuk maju, menjadi bangsa terkemuka di dunia. Hentikanlah semua pertikaian demi kemajuan bangsa.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/23/04570424/mengapa.kita.menjadi.b
M Jusuf Kalla Ketua Umum PMI
Peristiwa sangat dramatis terjadi pada Rabu (14/4) pekan lalu di Tanjung Priok, DKI Jakarta. Yang tampak kasatmata, bentrok polisi dan Satpol PP dengan massa. Ada tiga nyawa melayang, ratusan orang luka-luka, dan 56 mobil dirusak kemudian dibakar. Indonesia heboh karena inilah bentrokan terhebat di Ibu Kota pascakerusuhan Mei 1998.
Hal yang amat menggetarkan tali rasa kita, bentrokan tak sekadar amuk hantam biasa. Sulit dipercaya ada anggota Satpol PP berperilaku tak manusiawi dan brutal menyiksa massa, termasuk anak-anak. Pada adegan lain, sekelompok massa bisa memukul, menggebuk para anggota Satpol PP. Sebagian lagi membakar mobil polisi dan Satpol PP dengan risiko tinggi. Massa lain melompati sambil menginjak-injak mayat anggota Satpol PP. Apakah kita sudah berubah demikian kasar hingga melakukan tindakan yang jauh dari peradaban, tak sesuai ajaran agama apa pun?
Saya sungguh sulit membayangkan apa yang terjadi pada warga DKI dan sekitarnya tatkala api berkobar menghabisi mobil-mobil polisi dan Satpol PP. Seandainya api berkobar liar atau andaikata mobil meledak dan serpihan api menerjang tangki-tangki besar berisi jutaan liter bensin dan elpiji serta pipa-pipa minyak di sana, Jakarta bisa terbakar hebat. Jarak antara lokasi kejadian dan tangki-tangki bahan bakar hanya sepelemparan batu saja.
Tidak terbayangkan berapa korban jiwa bisa jatuh di daerah yang begitu padat. Kota ini perlu waktu beberapa tahun untuk membangun kembali Tanjung Priok dan Jakarta. Kebakaran yang bisa jadi neraka, untung Tuhan masih melindungi kita. Peristiwa ini kembali menunjukkan, kita kerap ingin menyelesaikan masalah tanpa solusi jelas. Pemprov DKI terkesan memudahkan soal sehingga peristiwa mengiriskan ini meledak. Tak muncul kesan sebelum mengambil tindakan represif, aparat telah mengamankan lapangan dengan mulus. Tak tampak persuasi yang efektif yang bisa meredam emosi publik.
Dalam kasus ini jelas sebenarnya pemerintah tak berniat mengganggu, sebaliknya malah akan memugar makam Mbak Priuk (1756), berarti ini niat baik. Hanya beberapa lokasi di sekitarnya yang dipindahkan, misalnya pendapa. Kalau masalah ini, juga jalan keluarnya sudah disampaikan kepada masyarakat dan dilaksanakan terlebih dulu sebelum menggusur, pasti masyarakat tak geram. Betapa komunikasi yang diperagakan sangat buruk. Di sisi lain, sesuai laporan dan data yang ada dan kesaksian masyarakat bahwa tanah yang dipersengketakan adalah bekas tempat pemakaman umum (TPU) yang dipindahkan pada tahun 1994 untuk kepentingan perluasan pelabuhan, yang artinya untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat, dengan tetap menghormati makam Mbah Priuk. Sebagai TPU, tentu tanah itu telah diwakafkan dan milik masyarakat, otomatis tak ada yang berhak menuntut. Justru kepada pihak yang merasa ”memiliki tanah makam” itu, jika tetap mengikhlaskan, akan memperoleh pahala yang tiada habis-habisnya. Sebaliknya, apabila mau dijual lagi, akan memutus pahala dari leluhur yang mewakafkan dan ini melanggar ketentuan agama.
Saya juga amat risau ketika menjenguk para korban luka-luka di RSUD Koja. Sebagian korban anak-anak. Dari beberapa wawancara di lapangan, ada kesan, sejumlah anak sengaja dimajukan untuk mempertahankan lokasi yang kemudian banyak menjadi korban. Mungkin maksudnya supaya aparat tak berani bertindak karena yang dihadapi anak-anak bak anak mereka sendiri. Namun, apa pun alasannya, ini sungguh berakibat fatal. Janganlah pertikaian itu sampai demikian luas, apalagi melibatkan anak-anak yang rentan risiko. Adab yang dipakai sungguh jauh melenceng dari nilai-nilai luhur bangsa.
Akar masalah
Apa penyebab masyarakat gampang tersulut? Dalam banyak peristiwa di dunia, letupan kemarahan publik diakibatkan banyak aspek, di antaranya kekecewaan dan kejengkelan yang membuncah. Pun ketidakadilan dan tidak harmoninya pemerintah-masyarakat. Kita menyaksikan sendiri dalam enam bulan terakhir muncul gemuruh kasus cicak buaya, hiruk-pikuk kasus Century yang berlangsung berbulan-bulan. Belum reda Century, muncul kasus Gayus Tambunan yang benar-benar merisaukan semua kalangan. Ditambah retaknya harmoni antarpolisi, ini menimbulkan kecurigaan dan emosi di masyarakat dan menurunnya wibawa aparat.
Pemprov terkesan lupa kawasan sekitar Tanjung Priok memang sangat rawan. Di sana banyak bermukim masyarakat kurang mampu dan sangat sederhana. Mereka bertetangga dengan perumahan luks. Kesenjangan ekonomi dan sosial tentu saja menganga lebar. Aspek ini mestinya memunculkan sense untuk menangani masalah di sana dengan serius dan ekstra hati-hati serta melanjutkan program permukiman rakyat (antara lain 1.000 tower) dengan segera dan tidak menyegelnya.
Sense lain mestinya mengemuka jika merunut pengalaman silam. Kerusuhan Mei di Jakarta dan sekitarnya di antaranya disulut suburnya ketidakadilan. Korupsi masih berkembang, BLBI, ada arogansi penguasa, kaum elite bangsa tak saling percaya, tak ada penyelesaian masalah, sejumlah usahawan busuk melarikan uang ke luar negeri tatkala krisis ekonomi berkecamuk dan jutaan penduduk menganggur. Kesenjangan ekonomi melebar, meletupkan kemarahan massa. Terkesan, banyak kasus besar yang memasygulkan masyarakat dibiarkan menjadi liar, tidak ditangani serius sehingga sungguh menurunkan wibawa. Kita terkesan berpikir pelbagai persoalan, termasuk masalah-masalah besar, akan selesai dengan sendirinya. Dengan demikian, kalau ada persoalan, biarkan saja persoalan itu berkecamuk, toh akan selesai juga. Ini semua menimbulkan kepercayaan satu sama lain sangat tipis.
Besar harapan kita, Pemprov lebih firm dan menangani semua masalah secara serius dan cermat. Jangan biarkan pembiaran semakin subur karena kepercayaan rakyat harus dijaga seutuh-utuhnya. Jangan sampai ada rakyat merasa tidak terayomi. Kita pun mesti melihat jauh ke depan. Bangsa-bangsa lain makin bergegas untuk lebih adil dan lebih menyejahterakan rakyatnya. Kita memiliki segenap potensi untuk maju, menjadi bangsa terkemuka di dunia. Hentikanlah semua pertikaian demi kemajuan bangsa.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/23/04570424/mengapa.kita.menjadi.b
M Jusuf Kalla Ketua Umum PMI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya