Senin, 08 Juni 2009

Serius pada Nilai Tambah Produk Pertanian

Oleh: Bustanul Arifin


Sampai menjelang berakhirnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla, persoalan klasik tentang rendahnya nilai tambah produk pertanian Indonesia belum juga dapat diselesaikan. Buruknya kinerja pengembangan (dan keberlanjutan) industri hilir minyak sawit masih akan berakibat pada kontroversi pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan subsidi minyak goreng.

Pengembangan industri hilir margarin, kosmetik, dan lainnya akan mendongkrak harga beli tandan buah segar yang dinikmati petani, apalagi di tengah ”membaiknya” harga CPO dunia saat ini. Buruknya kinerja industri hilir berbahan baku karet alam menyebabkan nilai tambah yang diperoleh dari industri di sektor ini, seperti industri sarung tangan untuk peralatan kedokteran, akan memperoleh kemampuan mendongkrak kinerja sektor agroindustri dan bahkan pertanian secara umum.

Lemahnya pengembangan industri hilir berbahan baku kakao menyebabkan industri hilir domestik menjadi kekurangan bahan baku. Bayangkan saja, negara-negara di Eropa, seperti Swiss, Perancis, dan Belanda, yang tidak memiliki kebun kakao, ternyata telah cukup lama menjadi ”penguasa” pasar cokelat di tingkat global.

Entah mengapa, para perumus kebijakan di Indonesia tidak terlalu peduli terhadap strategi peningkatan nilai tambah produk pertanian meski hal itu sangat bermanfaat bagi perekonomian. Kampanye calon presiden tampaknya tak akan menyentuh substansi persoalan betapa rapuh dan buruknya peningkatan nilai tambah produk pertanian, yang memang bervisi jangka panjang, di luar tradisi lima tahunan administrasi pemerintahan.

Jika toh sistem administrasi mengadopsinya menjadi suatu kebijakan nasional, hal itu hanya menjadi salah satu agenda kecil dalam suatu direktorat jenderal, bukan agenda besar suatu kementerian, apalagi bagi presiden-wakil presiden.

Di dalam literatur, strategi peningkatan nilai tambah produk pertanian sangat berhubungan dengan manajemen kebijakan sektor hulu pertanian serta manajemen kebijakan sektor hilir itu sendiri. Sementara kebijakan sektor hilir juga berhubungan dengan investasi, pemberdayaan usaha, termasuk dukungan pendanaan modal kerja.

Telah cukup banyak studi yang mengidentifikasi beberapa determinan investasi di sektor hilir, seperti kepastian hukum, iklim usaha, perpajakan, dan kepabeanan, dan bahkan skema desentralisasi atau otonomi daerah sekarang ini (lihat Arifin, 2005). Langkah yang harus diambil pada sektor hulu ini memerlukan dukungan dari beberapa sektor dan tingkat manajemen birokrasi pemerintahan, pusat sampai daerah.

Di sektor hulu, determinan lemahnya manajemen kebijakan terlihat dari jumlah dan kontinuitas bahan baku industri pertanian yang kian tidak menentu. Misalnya, buruknya teknik budidaya, pemeliharaan tanaman, teknik panen dan penanganan pascapanen, hingga lemahnya strategi efisiensi usaha dan manajemen produksi.

Kisah industri pengolah biji kakao yang semula 11 kini hanya 3 buah, atau industri biofuel dari 21 kini hanya 4 buah, adalah contoh dari buruknya manajemen kebijakan di sektor hulu. Peningkatan nilai tambah produk pertanian hanya menjadi angan-angan jika pasokan bahan baku—dalam jumlah dan kontinuitas suplai produk pertanian—tidak direncanakan dengan baik.

Data potensi sektor hulu pertanian Indonesia rasanya tidak perlu diuraikan lagi. Masyarakat paham bahwa Indonesia adalah produsen CPO nomor satu di dunia, produsen kakao nomor tiga di dunia, produsen kopi nomor empat di dunia, dan sebagainya.

Produksi CPO 18,6 juta ton itu tidak berdampak banyak bagi pembangunan dan kesejahteraan jika nilai tambah produk hilir lebih dinikmati Malaysia.

Pelajaran berharga dari kakao

Produksi kakao Indonesia sekitar 500.000 ton tahun lalu, masih di bawah produksi Pantai Gading dan Ghana. Saat puncak krisis ekonomi, kakao pernah jadi salah satu tumpuan ekonomi rakyat di Sulawesi. Produksi kakao Indonesia meningkat pesat, terutama era Proyek Peremajaan Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Ekspor dekade 1980-an.

Saat ini, petani kakao Indonesia ada 1,4 juta rumah tangga, berskala kecil, sekitar 2 hektar, walaupun di luar Jawa. Rendahnya pasokan biji kakao kepada industri kakao domestik merupakan kombinasi dari faktor-faktor berikut: (1) banyak tanaman sudah tua; (2) serangan hama dan penyakit; (3) pengelolaan sumber daya lahan tidak tepat; (4) penurunan produktivitas; (5) rendahnya kualitas biji kakao, dan sebagainya.

Indonesia tidak boleh menganggap enteng karena hancurnya industri kakao di Brasil dan Malaysia menjadi pelajaran berharga. Kakao Brasil hancur karena ”Witches Broom”, jamur patogen ganas akhir 1980-an. Kakao Malaysia nyaris habis karena hama penggerek buah kakao, serangga kecil perusak jaringan buah.

Di Indonesia, dijumpai berbagai hama dan penyakit, terutama karena pohon kakao berusia tua dan sistem manajemen usaha tani yang kurang memadai. Selain penggerek buah kakao, petani kakao di Sulawesi juga dihantui jamur perusak pembuluh batang atau vascular-streak dieback (VSD) yang mematikan.

Maksudnya, tanpa perhatian berbagai pihak, kejadian di Brasil dan Malaysia dapat saja menimpa Indonesia. Untuk itu, diperlukan intervensi dari pemerintah, partisipasi swasta, dan kepedulian masyarakat madani.

Kemampuan, kapasitas, dan pengembangan teknologi baru pada tingkat lembaga penelitian cukup maju. Peneliti di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Jember, Jawa Timur, mampu mengembangkan teknologi kultur jaringan somatic embryiogenesis (SE) dengan varietas pohon yang dikehendaki.

Varietas jenis ini memiliki produktivitas lebih tinggi karena batang kakao mudah terkena sinar matahari langsung. Varietas ini merupakan salah satu pilihan ideal untuk peremajaan kakao Sulawesi. Di samping produktivitas yang tinggi, varietas ini juga tahan hama dan penyakit.

Singkatnya, persoalan bukan pada kemampuan para peneliti dan petani, tetapi terletak pada manajemen birokrasi dan kapasitas administrasi pemerintahan di pusat dan di daerah untuk all out meningkatkan nilai tambah produk pertanian.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/08/03001326/serius.pada.nilai.tamb

Indonesia.

Bustanul Arifin Guru Besar Unila; Ekonom Senior Indef; Visiting

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...