Gerontokrasi dimaknai sebagai bentuk kepemimpinan yang dipegang kaum tua. Apakah gerontokrasi merupakan gejala yang buruk? Banyak kalangan menolak asumsi ini karena kesuksesan suatu kepemimpinan tak bisa diukur dan ditentukan oleh faktor usia melainkan dari kualitas kinerja.
Apa salahnya kepemimpinan dipegang orang tua jika kinerjanya bagus? Inilah pertanyaan yang kerap dilontarkan pada pihak-pihak yang mempersoalkan gerontokrasi. Sebenarnya, pertanyaan sejenis bisa diajukan. Apa salahnya kepemimpinan dipegang anak muda jika kinberjanya bagus?
Dengan menyandingkan kedua pertanyaan itulah kita bisa membahas gerontokrasi secara lebih proporsional. Mana yang lebih baik, kepemimpinan orang tua yang kinerjanya bagus, atau kepemimpinan orang muda yang kinerjanya bagus? Karena kepemimpinan lebih merupakan seni mengelola sumberdaya yang banyak dimensinya maka ada sedikit kerumitan pada saat kita harus membedakan mana yang lebih bagus, yang muda atau yang tua.
Secara umum, yang tua lebih arif, yang muda lebih gesit. Tapi, banyak juga fakta di lapangan malah terjadi kebalikannya, yang muda lebih arif, atau yang tua lebih gesit. Kita ambil contoh Jusuf Kalla, dari segi usia sudah tua, tapi dalam soal kegesitan, mantan Wapres ini bisa melebihi pemimpin lain yang jauh lebih muda. Atau yang baru-baru ini terjadi dalam Kongres Partai Demokrat. Di antara kandidat ketua umum yang maju, Anas Urbaningrum adalah yang paling muda. Tapi dalam menyikapi banyak persoalan, Anas terlihat jauh lebih arif dibandingkan kandidat-kandidat lain yang lebih tua. Terpilihnya Anas, antara lain karena faktor kearifan dan kesantunannya dalam berpolitik, dua sifat yang tampaknya disukai oleh Susilo Bambang Yudhoyono.
Era baru
Terpilihnya Anas Urbaningrum --selain membuktikan kemampuan orang muda memimpin—akan menandai era baru kepemimpinan partai politik, yakni era orang-orang muda. Sebenarnya, sebelum Anas, ada Muhaimin Iskandar yang lebih muda dari Anas pada saat terpilih menjadi Ketua Umum PKB, tapi terpilihnya Cak Imin (sapaan Muhaimin) dinilai banyak kalangan tidak otentik karena ada faktor kehendak Abdurrahman Wahid, Ketua Dewan Syuro yang amat berkuasa di PKB saat itu.
Sejauh yang kita amati, Anas terpilih secara otentik, karena murni hasil proses demokrasi yang ada di internal Partai Demokrat. Keotentikan itulah yang memperkuat asumsi saatnya memasuki era kepemimpinan kaum muda. Partai-partai yang dipimpin kaum tua seperti Partai Golkar (Aburizal Bakrie, 63 tahun), PDI Perjuangan (Megawati Soekarnoputeri, 63 tahun), dan Partai Hanura (Wiranto, 63 tahun), sudah saatnya melakukan regenerasi.
Mengapa era kepemimpinan kaum tua (gerontokrasi) seyogianya kita akhiri? Karena, pertama, gerontokrasi menghambat proses regenerasi. Kedengarannya sederhana, tapi secara psikologis, hambatan regenerasi akan berdampak pada matinya kreativitas generasional. Akan ada satu atau dua generasi yang potensi kepemimpinannya terhambat, tidak tersalurkan secara sehat. Potensi kepemimpinan yang tak tersalurkan secara proporsional akan melahirkan dua kemungkinan buruk, apatisme atau pemberontakan.
Kedua, para pemimpin tua pada umumnya merupakan bagian dari rezim lama yang memiliki hambatan psikologis pada saat dituntut untuk menegakkan hukum yang menyangkut sisa-sisa rezim lama, terutama dalam hal tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM. Padahal menurut Samuel Huntington, peninggalan rezim lama merupakan salah satu penghambat proses demokratisasi. Oleh karenanya, untuk menuju demokrasi yang sejati, memutus hubungan dengan rezim lama (Orde Baru yang cenderung negatif) merupakan keniscayaan.
Tradisi Kepemimpinan Muda
Upaya mencegah makin berlanjutnya gerontokrasi bukan tanpa preseden. Pada era kepemimpinan awal negeri ini, para founding fathers umumnya memimpin pada usia yang masih relatif muda. Sekedar contoh, Soekarno menjadi Presiden pertama RI pada usia 44 tahun, Muhammad Hatta menjadi Wakil Presiden yang mendampingi Soekarno pada usia 43 tahun, Muhammad Natsir menjadi Perdana Menteri pada usia 42 tahun, bahkan Syahrir dan Syafrudin Prawiranegara dalam usia di bawah 40 tahun sudah menjadi Perdana Menteri yang mumpuni.
Dengan melacak sejarah para founding fathers, sejak usia yang masih dini, negeri ini sudah punya tradisi kepemimpinan kaum muda. Dalam konteks ini, sejarah Indonesia bahkan lebih baik jika dibandingkan dengan Amerika Serikat. Di AS, meskipun tampil beberapa pemimpin dalam usia muda seperti John F Kennedy, Bill Clinton, dan Barack Obama, pada umumnya presiden AS tampil dalam usia di atas 50 tahun.
Dalam soal tradisi kepemimpinan yang berbasis usia, AS memang bukan contoh yang baik. Kita bisa memahami karena AS merupakan negara yang sangat mapan dalam berdemokrasi. Kemapanan tak begitu membutuhkan energi ekstra dari para pemimpinnya. Dalam kemapanan sudah ada infrastruktur politik yang bisa berjalan sesuai aturan main yang sudah ditetapkan. Dalam kemapanan semua sudah diatur, peran pemimpin hanya tinggal menjalankan administrasi yang ada.
Dibutuhkan Stamina Ganda
Sementara bagi negeri yang tengah beranjak menuju demokrasi seperti Indonesia, apalagi dengan beban sosial ekonomi yang berat akibat krisis moneter, sangat dibutuhkan tampilnya pemimpin yang tidak hanya kreatif dan inovatif, tapi juga punya stamina yang prima. Jika Presiden AS cukup bekerja 7 hingga 10 jam perhari, Presiden RI harus bekerja 14 hingga 20 jam perhari. Jika pemimpinnya bergerak lambat karena termakan usia, Indonesia akan semakin tertinggal jauh di belakang negara-negara lain. Untuk menjadi pemimpin di Indonesia dibutuhkan stamina yang berlipat ganda.
Persoalannya, di negeri ini proses regenerasi terhambat selama lerbih dari dua dasawarsa lantaran kepemimpinan Presiden Soeharto yang terlalu lama. Akibatnya ada sekian banyak pemimpin yang masih ingin tampil melampaui waktunya. Maka pada dua kali pemilu Presiden, yang tampil adalah para capres yang sudah lebih tua dari zamannya.
Apa yang terjadi jika para ”jago tua” itu pun akan tampil kembali pada pemilu 2014? Saya kira, tak ada salahnya jika dari jauh-jauh hari kita mengingatkan bahwa negeri yang penuh tantangan ini sangat membutuhkan tampilnya pemimpin-pemimpin muda yang lebih fresh dari segi pemikiran, lebih cekatan dari segi tindakan.
Kiranya sangat dibutuhkan kearifan dari para pemimpin tua negeri ini untuk lebih memberikan peluang pada para pemuda. Tentu, selain kearifan kaum tua, yang lebih penting adalah kemauan kaum muda sendiri untuk menjemput (merebut) kepemimpinan itu. Keberhasilan Anas Urbaningrum merebut kepemimpinan Partai Demokrat –partai terbesar di negeri ini—menjadi awal yang baik untuk mengucapkan selamat tinggal gerontokrasi...
Dodi Reza Alex Noerdin
Anggota DPR RI dari Partai Golkar
Apa salahnya kepemimpinan dipegang orang tua jika kinerjanya bagus? Inilah pertanyaan yang kerap dilontarkan pada pihak-pihak yang mempersoalkan gerontokrasi. Sebenarnya, pertanyaan sejenis bisa diajukan. Apa salahnya kepemimpinan dipegang anak muda jika kinberjanya bagus?
Dengan menyandingkan kedua pertanyaan itulah kita bisa membahas gerontokrasi secara lebih proporsional. Mana yang lebih baik, kepemimpinan orang tua yang kinerjanya bagus, atau kepemimpinan orang muda yang kinerjanya bagus? Karena kepemimpinan lebih merupakan seni mengelola sumberdaya yang banyak dimensinya maka ada sedikit kerumitan pada saat kita harus membedakan mana yang lebih bagus, yang muda atau yang tua.
Secara umum, yang tua lebih arif, yang muda lebih gesit. Tapi, banyak juga fakta di lapangan malah terjadi kebalikannya, yang muda lebih arif, atau yang tua lebih gesit. Kita ambil contoh Jusuf Kalla, dari segi usia sudah tua, tapi dalam soal kegesitan, mantan Wapres ini bisa melebihi pemimpin lain yang jauh lebih muda. Atau yang baru-baru ini terjadi dalam Kongres Partai Demokrat. Di antara kandidat ketua umum yang maju, Anas Urbaningrum adalah yang paling muda. Tapi dalam menyikapi banyak persoalan, Anas terlihat jauh lebih arif dibandingkan kandidat-kandidat lain yang lebih tua. Terpilihnya Anas, antara lain karena faktor kearifan dan kesantunannya dalam berpolitik, dua sifat yang tampaknya disukai oleh Susilo Bambang Yudhoyono.
Era baru
Terpilihnya Anas Urbaningrum --selain membuktikan kemampuan orang muda memimpin—akan menandai era baru kepemimpinan partai politik, yakni era orang-orang muda. Sebenarnya, sebelum Anas, ada Muhaimin Iskandar yang lebih muda dari Anas pada saat terpilih menjadi Ketua Umum PKB, tapi terpilihnya Cak Imin (sapaan Muhaimin) dinilai banyak kalangan tidak otentik karena ada faktor kehendak Abdurrahman Wahid, Ketua Dewan Syuro yang amat berkuasa di PKB saat itu.
Sejauh yang kita amati, Anas terpilih secara otentik, karena murni hasil proses demokrasi yang ada di internal Partai Demokrat. Keotentikan itulah yang memperkuat asumsi saatnya memasuki era kepemimpinan kaum muda. Partai-partai yang dipimpin kaum tua seperti Partai Golkar (Aburizal Bakrie, 63 tahun), PDI Perjuangan (Megawati Soekarnoputeri, 63 tahun), dan Partai Hanura (Wiranto, 63 tahun), sudah saatnya melakukan regenerasi.
Mengapa era kepemimpinan kaum tua (gerontokrasi) seyogianya kita akhiri? Karena, pertama, gerontokrasi menghambat proses regenerasi. Kedengarannya sederhana, tapi secara psikologis, hambatan regenerasi akan berdampak pada matinya kreativitas generasional. Akan ada satu atau dua generasi yang potensi kepemimpinannya terhambat, tidak tersalurkan secara sehat. Potensi kepemimpinan yang tak tersalurkan secara proporsional akan melahirkan dua kemungkinan buruk, apatisme atau pemberontakan.
Kedua, para pemimpin tua pada umumnya merupakan bagian dari rezim lama yang memiliki hambatan psikologis pada saat dituntut untuk menegakkan hukum yang menyangkut sisa-sisa rezim lama, terutama dalam hal tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM. Padahal menurut Samuel Huntington, peninggalan rezim lama merupakan salah satu penghambat proses demokratisasi. Oleh karenanya, untuk menuju demokrasi yang sejati, memutus hubungan dengan rezim lama (Orde Baru yang cenderung negatif) merupakan keniscayaan.
Tradisi Kepemimpinan Muda
Upaya mencegah makin berlanjutnya gerontokrasi bukan tanpa preseden. Pada era kepemimpinan awal negeri ini, para founding fathers umumnya memimpin pada usia yang masih relatif muda. Sekedar contoh, Soekarno menjadi Presiden pertama RI pada usia 44 tahun, Muhammad Hatta menjadi Wakil Presiden yang mendampingi Soekarno pada usia 43 tahun, Muhammad Natsir menjadi Perdana Menteri pada usia 42 tahun, bahkan Syahrir dan Syafrudin Prawiranegara dalam usia di bawah 40 tahun sudah menjadi Perdana Menteri yang mumpuni.
Dengan melacak sejarah para founding fathers, sejak usia yang masih dini, negeri ini sudah punya tradisi kepemimpinan kaum muda. Dalam konteks ini, sejarah Indonesia bahkan lebih baik jika dibandingkan dengan Amerika Serikat. Di AS, meskipun tampil beberapa pemimpin dalam usia muda seperti John F Kennedy, Bill Clinton, dan Barack Obama, pada umumnya presiden AS tampil dalam usia di atas 50 tahun.
Dalam soal tradisi kepemimpinan yang berbasis usia, AS memang bukan contoh yang baik. Kita bisa memahami karena AS merupakan negara yang sangat mapan dalam berdemokrasi. Kemapanan tak begitu membutuhkan energi ekstra dari para pemimpinnya. Dalam kemapanan sudah ada infrastruktur politik yang bisa berjalan sesuai aturan main yang sudah ditetapkan. Dalam kemapanan semua sudah diatur, peran pemimpin hanya tinggal menjalankan administrasi yang ada.
Dibutuhkan Stamina Ganda
Sementara bagi negeri yang tengah beranjak menuju demokrasi seperti Indonesia, apalagi dengan beban sosial ekonomi yang berat akibat krisis moneter, sangat dibutuhkan tampilnya pemimpin yang tidak hanya kreatif dan inovatif, tapi juga punya stamina yang prima. Jika Presiden AS cukup bekerja 7 hingga 10 jam perhari, Presiden RI harus bekerja 14 hingga 20 jam perhari. Jika pemimpinnya bergerak lambat karena termakan usia, Indonesia akan semakin tertinggal jauh di belakang negara-negara lain. Untuk menjadi pemimpin di Indonesia dibutuhkan stamina yang berlipat ganda.
Persoalannya, di negeri ini proses regenerasi terhambat selama lerbih dari dua dasawarsa lantaran kepemimpinan Presiden Soeharto yang terlalu lama. Akibatnya ada sekian banyak pemimpin yang masih ingin tampil melampaui waktunya. Maka pada dua kali pemilu Presiden, yang tampil adalah para capres yang sudah lebih tua dari zamannya.
Apa yang terjadi jika para ”jago tua” itu pun akan tampil kembali pada pemilu 2014? Saya kira, tak ada salahnya jika dari jauh-jauh hari kita mengingatkan bahwa negeri yang penuh tantangan ini sangat membutuhkan tampilnya pemimpin-pemimpin muda yang lebih fresh dari segi pemikiran, lebih cekatan dari segi tindakan.
Kiranya sangat dibutuhkan kearifan dari para pemimpin tua negeri ini untuk lebih memberikan peluang pada para pemuda. Tentu, selain kearifan kaum tua, yang lebih penting adalah kemauan kaum muda sendiri untuk menjemput (merebut) kepemimpinan itu. Keberhasilan Anas Urbaningrum merebut kepemimpinan Partai Demokrat –partai terbesar di negeri ini—menjadi awal yang baik untuk mengucapkan selamat tinggal gerontokrasi...
Dodi Reza Alex Noerdin
Anggota DPR RI dari Partai Golkar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya