Oleh: W Riawan Tjandra
Proses seleksi calon Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi tak urung mengundang perhatian publik karena banyak pihak menilai bahwa sekarang ini langkah pemberantasan korupsi berada di persimpangan jalan.
Dilemanya adalah jika tidak ditetapkan ketua KPK yang baru, sementara Undang-Undang (UU) KPK mengatur bahwa sifat kepemimpinan di KPK adalah kolektif-kolegial, dikhawatirkan kebijakan-kebijakan KPK bisa dipersoalkan dari segi tidak lengkap atau tidak utuhnya jumlah pimpinan KPK.
Namun, pengisian ketua KPK juga tidak lepas dari permasalahan. Selain masa kerja Ketua KPK terpilih ini nanti hanya berlaku 1 (satu) tahun sama dengan sisa masa kerja keempat pemimpin KPK lainnya, juga tidak mudah memilih seorang ketua di lembaga yang dinisbatkan sebagai superbody dalam pemberantasan korupsi, meskipun secara eksistensial kedudukannya tak lebih sebagai suatu state auxiliary agency di luar pilar trias politika negara.
Lembaga ini tampil karena hilangnya kepercayaan publik (public distrust) terhadap ketiga pilar kuasa negara itu.
Korupsi di Indonesia, meminjam bahasa Nietzsche, sudah mengalami ”transvaluasi nilai” dari semula merupakan kejahatan personal jabatan menjadi kejahatan struktural yang memiliki akar sangat kuat sehingga membentuk semacam ”habitus korupsi” dalam negara.
Korupsi yang dilakukan oleh pemegang kuasa dalam masyarakat, baik pemerintah (public power ) maupun kuasa ekonomi (economic power) atau sindikasi keduanya, yang umumnya dalam bentuk penyuapan (bribery) ataupun penerimaan komisi secara tak sah (kickbacks ), telah memiliki dampak yang sangat luas.
Hal itu disebabkan sumber kekuasaan tersebut pada dasarnya diperoleh dari masyarakat sehingga penyalahgunaan kekuasaan untuk melakukan korupsi bersifat struktural dan menimbulkan kerusakan sosial.
Kendala-kendala yang timbul dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi utamanya bisa bersumber dari status pelaku sehingga tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang tak terjamah oleh hukum (offences beyond the reach of the law).
Tipologi kejahatan korupsi ini dinamakan sebagai invisible crime, yang menunjukkan adanya prosedur yang sulit dalam hal pembuktian dan tingginya tingkat profesionalitas pelaku.
Tak urung Ketua KPK nanti harus bisa membawa KPK mampu menuntaskan sejumlah agenda pemberantasan korupsi yang kini kian rumit dengan tampilnya variabel kartel politik, yang bukan tidak mungkin bisa menjadi tempat persemaian baru bagi praktik-praktik KKN karena adanya kartelisasi kuasa politik.
Dalam kondisi tersebut, sumber hukum bukan lagi logos (akal budi), melainkan alam, yakni kekuatan, kekuasaan, dan kekerasan. Jika hal itu terjadi, hukum bisa dianggap tak punya daya normatif lagi karena dalam kondisi itu telah terjadi disorientasi dalam mematuhi norma-norma.
Sapu kotor
Besarnya harapan rakyat agar ketua KPK yang terpilih nanti adalah seorang ”superman” tak urung dalam istilah Nietzsche dipengaruhi oleh hasrat berkuasa (the will-to–p owe r ) yang sebangun dengan the will-to-power dalam legislasi pembentukan KPK sebagai superbody dalam proses pemberantasan korupsi. Dalam sebuah republik, sangat sulit mengandalkan institusi yang sudah terjamah oleh tangan- tangan kotor koruptor untuk memberantas korupsi: sapu kotor tak mungkin bisa menyapu bersih lantai yang kotor.
Hal inilah yang menyebabkan begitu besar harapan publik atas tampilnya ”superman” dalam pemberantasan korupsi, yang tak lain meminjam analisis Nietzsche merupakan perwujudan dari ”A Caesar with the soul of Christ ” (seorang raja dengan jiwa Tuhan).
KPK hanya bisa berfungsi efektif manakala negara tidak meninggalkan watak dasarnya untuk mewujudkan bonum commune (terciptanya sistem sosial politik yang menjamin pemenuhan dasar kebutuhan segenap warga negara secara adil) bagi rakyatnya, seperti yang diamanatkan oleh preambul UUD 1945.
Posisinya sebagai state auxiliary agency di luar trias politika negara sangat rentan terhadap tantangan eksternal ataupun internal. Tantangan eksternal KPK adalah perubahan watak dasar negara yang tidak lagi menjadi apa yang oleh Gentile dideskripsikan sebagai ethical being (wujud etis) dari kuasa politik atas rakyatnya. Tantangan internal KPK akan dihadapi oleh KPK dengan gagalnya Panitia Seleksi (Pansel) KPK menyeleksi ketua KPK yang mampu melanjutkan agenda pemberantasan korupsi dan memperkuat KPK. Maka, siapa yang akan terpilih menjadi seorang ”superman” untuk memimpin KPK?
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/02/05153097/dicari.superman.untuk.
W RIAWAN TJANDRA Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya