Oleh: Sukardi Rinakit
Menjelang ajal, lelaki itu menulis ”happiness real, when shared”, kebahagiaan terwujud jika terbagikan. Dia adalah Christopher McCandless dalam film Into The Wild, yang ketika berusia belia melarikan diri ke pedalaman ganas Alaska. Ia tidak bahagia di tengah keluarganya yang sangat kebendaan.
Dalam tataran kebangsaan, Bung Karno, Bung Hatta, dan para bapak bangsa yang lain bergerak dan bergerak terus untuk mengejar kebahagiaan. Bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk bangsanya. Mereka melakukan pertempuran ide untuk melahirkan Pancasila sebagai dasar filsafat (philosophische grondschlag) yang melandasi persatuan bangsa. Dengan ikatan seperti itu, dengan kesadaran bahwa crah agawe bubrah (perpecahan membuat hancur), Pancasila ditegakkan sebagai mata air yang tak pernah kering bagi pencapaian kebahagiaan bangsa Indonesia yang multikultur.
Itulah sebabnya, sebagian bapak bangsa, terutama dari Islam politik, yang awalnya mencantumkan tujuh kata ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan keikhlasan tinggi bersetuju untuk menghapus tujuh kata tersebut. Semua ini demi sebuah cita-cita bersama, yaitu kebahagiaan seluruh rakyat.
Memori lama
Dengan konstruksi seperti itu, eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara sejatinya sudah final. Perdebatan-perdebatan yang terjadi, terutama yang berkaitan dengan Piagam Jakarta, sudah ditutup saat amandemen UUD 1945 tahun 2002.
Akan tetapi, kenyataannya, beberapa hari terakhir muncul kembali fenomena kontestasi. Bukan perdebatan pada eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara, melainkan pada peringatan hari lahirnya. Ranah politik terbelah, katakanlah, antara kubu Taufiq Kiemas dan AM Fatwa. Kubu pertama menginginkan mulai hari ini, 1 Juni, peringatan hari lahir Pancasila dilakukan resmi secara nasional.
Sebaliknya, AM Fatwa, tidak setuju jika peringatan itu diformalkan. Alasannya, Pancasila adalah ideologi partai politik (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) sehingga tidak bisa diperingati secara nasional oleh instansi-instansi resmi. Peringatan demikian akan memicu kembali bangkitnya sentimen Piagam Jakarta.
Perdebatan seperti itu muncul, menurut hipotesis saya, karena masing-masing terjebak pada memori masa lalu. Para politisi senior tersebut memang mengalami era kerasnya pertempuran ideologi. Memori itu melekat sampai kini. Jika ada rangsangan sedikit saja menyangkut ”ideologi” yang dijunjungnya, mereka langsung bereaksi.
Padahal, bagi generasi baru pada umumnya, jangankan perdebatan mengenai peringatan hari lahir Pancasila, pertarungan mengenai ideologi politik pun sudah dianggap tidak penting lagi. Itu bukan berarti mereka mempunyai hati jelek dan pikiran jahat. Bagi mereka, pertempuran nyata yang dihadapi bukan lagi Islamisasi ataupun gelora nasionalisme, melainkan pertempuran antarkorporasi besar yang setiap saat bisa mengempaskan mereka.
Di sini, mengikuti Francis Fukuyama, sejarah dari pertempuran ideologi sampai pada ujung perjalanannya. Orang menjadi radikal bukan karena alasan ideologi sebagai variabel signifikan, tetapi marjinalisasi ekstrem yang mereka alami, baik secara ekonomi maupun psikologis. Mereka menjadi déclassé sebagai akibat ganasnya pertempuran antarkorporasi besar, rengkuhan monopoli dan oligopoli, serta penguasa yang korup dan tidak peduli.
Namun, perilaku non-ideologis generasi baru tersebut, menurut hemat penulis, pada saatnya akan berbalik. Jika sudah kebentel (kepepet), kata Bung Karno, bangsa ini akan bergerak mencari roh jati dirinya. Demikian juga apabila kehidupan rakyat makmur, mereka juga akan mencari kebahagiaan di luar kebendaan. Peradaban, pada akhirnya, menjadi tujuan hakiki dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ibu peradaban
Oleh karena Pancasila secara substansial mengandung kebebasan dalam memuja Allah, memanusiakan manusia, menjunjung multikulturalisme, nir-pemaksaan kehendak (musyawarah), dan perikehidupan yang berkeadilan, ia bisa dipandang sebagai rahim peradaban bangsa Indonesia. Ia adalah ibu peradaban kita.
Jika sampai saat ini masih ada pihak yang enggan, bahkan menolak Pancasila, itu lebih disebabkan oleh pengalaman traumatis masa lalu, khususnya kerasnya indoktrinasi ideologi zaman Orde Baru. Selain itu, juga karena perilaku pejabat yang kurang santun, korup, dan hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya.
Untuk mengikis alam bawah sadar ketidakbahagiaan rakyat tersebut, para penggerak Pancasila, terutama yang berada di medan kebijakan publik, harus melahirkan keputusan-keputusan politik yang berpihak kepada wong cilik.
Mereka harus bisa menjamin bahwa seluruh warga negara bisa sama-sama mendapatkan pekerjaan, pendidikan berkualitas, kesehatan, menikmati air bersih, transportasi umum yang murah-aman-nyaman, selokan dan sungai yang bersih, serta fasilitas sosial lain, seperti taman kota untuk menjadi arena berkumpul dan berinteraksi. Dari kepingan-kepingan kebahagiaan rakyat tersebut, peradaban bangsa bisa dibangun pada masa depan.
Dan, salah sekali jika ada orang mengatakan bahwa Pancasila itu buatan Soekarno. ”… saya sekedar menggali di dalam bumi Indonesia dan mendapatkan lima berlian, dan lima berlian inilah saya anggap dapat menghiasi tanah air kita dengan cara seindah-indahnya …” (Soekarno, 17 Agustus 1954).
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/01/03071870/renungan.1.juni
Sukardi Rinakit Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
Menjelang ajal, lelaki itu menulis ”happiness real, when shared”, kebahagiaan terwujud jika terbagikan. Dia adalah Christopher McCandless dalam film Into The Wild, yang ketika berusia belia melarikan diri ke pedalaman ganas Alaska. Ia tidak bahagia di tengah keluarganya yang sangat kebendaan.
Dalam tataran kebangsaan, Bung Karno, Bung Hatta, dan para bapak bangsa yang lain bergerak dan bergerak terus untuk mengejar kebahagiaan. Bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk bangsanya. Mereka melakukan pertempuran ide untuk melahirkan Pancasila sebagai dasar filsafat (philosophische grondschlag) yang melandasi persatuan bangsa. Dengan ikatan seperti itu, dengan kesadaran bahwa crah agawe bubrah (perpecahan membuat hancur), Pancasila ditegakkan sebagai mata air yang tak pernah kering bagi pencapaian kebahagiaan bangsa Indonesia yang multikultur.
Itulah sebabnya, sebagian bapak bangsa, terutama dari Islam politik, yang awalnya mencantumkan tujuh kata ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan keikhlasan tinggi bersetuju untuk menghapus tujuh kata tersebut. Semua ini demi sebuah cita-cita bersama, yaitu kebahagiaan seluruh rakyat.
Memori lama
Dengan konstruksi seperti itu, eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara sejatinya sudah final. Perdebatan-perdebatan yang terjadi, terutama yang berkaitan dengan Piagam Jakarta, sudah ditutup saat amandemen UUD 1945 tahun 2002.
Akan tetapi, kenyataannya, beberapa hari terakhir muncul kembali fenomena kontestasi. Bukan perdebatan pada eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara, melainkan pada peringatan hari lahirnya. Ranah politik terbelah, katakanlah, antara kubu Taufiq Kiemas dan AM Fatwa. Kubu pertama menginginkan mulai hari ini, 1 Juni, peringatan hari lahir Pancasila dilakukan resmi secara nasional.
Sebaliknya, AM Fatwa, tidak setuju jika peringatan itu diformalkan. Alasannya, Pancasila adalah ideologi partai politik (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) sehingga tidak bisa diperingati secara nasional oleh instansi-instansi resmi. Peringatan demikian akan memicu kembali bangkitnya sentimen Piagam Jakarta.
Perdebatan seperti itu muncul, menurut hipotesis saya, karena masing-masing terjebak pada memori masa lalu. Para politisi senior tersebut memang mengalami era kerasnya pertempuran ideologi. Memori itu melekat sampai kini. Jika ada rangsangan sedikit saja menyangkut ”ideologi” yang dijunjungnya, mereka langsung bereaksi.
Padahal, bagi generasi baru pada umumnya, jangankan perdebatan mengenai peringatan hari lahir Pancasila, pertarungan mengenai ideologi politik pun sudah dianggap tidak penting lagi. Itu bukan berarti mereka mempunyai hati jelek dan pikiran jahat. Bagi mereka, pertempuran nyata yang dihadapi bukan lagi Islamisasi ataupun gelora nasionalisme, melainkan pertempuran antarkorporasi besar yang setiap saat bisa mengempaskan mereka.
Di sini, mengikuti Francis Fukuyama, sejarah dari pertempuran ideologi sampai pada ujung perjalanannya. Orang menjadi radikal bukan karena alasan ideologi sebagai variabel signifikan, tetapi marjinalisasi ekstrem yang mereka alami, baik secara ekonomi maupun psikologis. Mereka menjadi déclassé sebagai akibat ganasnya pertempuran antarkorporasi besar, rengkuhan monopoli dan oligopoli, serta penguasa yang korup dan tidak peduli.
Namun, perilaku non-ideologis generasi baru tersebut, menurut hemat penulis, pada saatnya akan berbalik. Jika sudah kebentel (kepepet), kata Bung Karno, bangsa ini akan bergerak mencari roh jati dirinya. Demikian juga apabila kehidupan rakyat makmur, mereka juga akan mencari kebahagiaan di luar kebendaan. Peradaban, pada akhirnya, menjadi tujuan hakiki dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ibu peradaban
Oleh karena Pancasila secara substansial mengandung kebebasan dalam memuja Allah, memanusiakan manusia, menjunjung multikulturalisme, nir-pemaksaan kehendak (musyawarah), dan perikehidupan yang berkeadilan, ia bisa dipandang sebagai rahim peradaban bangsa Indonesia. Ia adalah ibu peradaban kita.
Jika sampai saat ini masih ada pihak yang enggan, bahkan menolak Pancasila, itu lebih disebabkan oleh pengalaman traumatis masa lalu, khususnya kerasnya indoktrinasi ideologi zaman Orde Baru. Selain itu, juga karena perilaku pejabat yang kurang santun, korup, dan hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya.
Untuk mengikis alam bawah sadar ketidakbahagiaan rakyat tersebut, para penggerak Pancasila, terutama yang berada di medan kebijakan publik, harus melahirkan keputusan-keputusan politik yang berpihak kepada wong cilik.
Mereka harus bisa menjamin bahwa seluruh warga negara bisa sama-sama mendapatkan pekerjaan, pendidikan berkualitas, kesehatan, menikmati air bersih, transportasi umum yang murah-aman-nyaman, selokan dan sungai yang bersih, serta fasilitas sosial lain, seperti taman kota untuk menjadi arena berkumpul dan berinteraksi. Dari kepingan-kepingan kebahagiaan rakyat tersebut, peradaban bangsa bisa dibangun pada masa depan.
Dan, salah sekali jika ada orang mengatakan bahwa Pancasila itu buatan Soekarno. ”… saya sekedar menggali di dalam bumi Indonesia dan mendapatkan lima berlian, dan lima berlian inilah saya anggap dapat menghiasi tanah air kita dengan cara seindah-indahnya …” (Soekarno, 17 Agustus 1954).
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/01/03071870/renungan.1.juni
Sukardi Rinakit Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya