Proses perombakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang dimulai dengan pemanggilan para calon wakil menteri sebenarnya telah menuai kekecewaan publik. Persoalannya, tidak begitu jelas bagi kita, mengapa Presiden SBY merasa perlu mengangkat para wakil menteri dalam jumlah begitu banyak. Dengan tambahan 13 wakil menteri,saat ini terdapat sekitar 19 wakil menteri dalam kabinet.
Jika argumen Presiden bertolak dari kebutuhan peningkatan kinerja para menteri, pertanyaannya, mengapa bukan menterinya saja yang dicopot, daripada harus memperpanjang birokrasi dan menambah beban anggaran negara dalam jumlah yang tidak kecil. Biaya yang harus dikeluarkan negara untuk fasilitas serta sistem dan staf pendukung para wakil menteri tentu tidak sedikit. Belum lagi memperhitungkan potensi efektivitasnya bagi kementerian khususnya, dan pemerintahan SBY pada umumnya.
Problem Wamen
Berbeda dengan portofolio “menteri muda”pada era Orde Baru Soeharto yang berstatus anggota kabinet,wakil menteri (wamen) menurut UU Kementerian Negara Nomor 39 Tahun 2008 bukanlah anggota kabinet. Wamen hanya berperan sebagai “wakil” bagi menteri secara internal kementerian ketika menterinya berhalangan. Sebagai konsekuensi logisnya, para wamen tidak dapat mengambil keputusan strategis.
Selain itu,para wamen juga tidak bisa mewakili pemerintah ketika sang menteri dipanggil untuk rapat kerja dengan DPR. Dampak berikut dari ketidakjelasan posisi para wamen adalah munculnya potensi tumpang-tindih tugas dan fungsi mereka dengan jajaran eselon I di kementerian seperti para dirjen,sekjen,dan kepala badan. Itu artinya, argumen peningkatan kinerja di balik pengangkatan massal para wamen menjadi tidak relevan dan bahkan gugur dengan sendirinya.
Di luar problem di atas,para wamen juga harus berhadapan dengan orang-orang partai politik di sekitar sang menteri jika menterinya berasal dari parpol koalisi pendukung SBY.Sudah menjadi rahasia umum, para menteri dari parpol memiliki loyalitas ganda, sebagai pembantu presiden di satu pihak dan selaku ATM bagi partainya di lain pihak, sehingga konflik kepentingan berpeluang muncul bagi para wamen yang menterinya berasal dari parpol.
Tanpa Arah
Barangkali tidak seorang pun yang mampu membaca pikiran Presiden SBY, mengapa perombakan kabinet terkesan tanpa arah dan konsep yang jelas.Tampak sekali bahwa SBY cenderung terperangkap pada akumulasi kebingungannya sendiri karena kegagalannya dalam mengarahkan, memimpin, dan mengefektifkan kinerja kabinet.
Dari sudut pandang lain, perombakan KIB II ala Cikeas adalah produk dari gaya kepemimpinan putra Pacitan ini yang tak hanya mengutamakan kompromi, tetapi juga memaksakan format kabinet yang dianggap memenuhi aspek representasi secara simbolik. Seperti tampak dalam cara SBY mengangkat, mencopot, dan merotasi para menteri,Presiden berusaha agar representasi wilayah, etnis dan ras, agama, gender, dan representasi politik terakomodasi dalam kabinet.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu misalnya yang dituntut mundur oleh banyak pihak karena dianggap tidak melindungi industri dalam negeri tidak dicopot,melainkan dirotasi menjadi menteri pariwisata dan ekonomi kreatif,karena mungkin Mari tak hanya mewakili unsur Tionghoa, tapi juga gender serta agama. Implikasinya sangat jelas.
Presiden SBY lagi-lagi mengorbankan profesionalitas,komitmen, dan kapasitas sebagai dasar mengangkat, mencopot, dan merotasi para menteri. Lalu,mungkinkah kinerja kabinet ditingkatkan ketika profesionalitas dan kapasitas tidak menjadi pertimbangan penting dalam reshuffle kabinet? Mungkinkah akselerasi kinerja pemerintah dikebut jika titik tolaknya sekadar pemenuhan representasi simbolik?
Formasi Politik
Sementara terkait komposisi parpol koalisi dalam kabinet, Presiden SBY ternyata hanya berani mengurangi satu orang posisi menteri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).Bila pengurangan jatah menteri dari PKS sebagai bagian dari “hukuman” atas sikap politik Fraksi PKS di DPR yang sering berbeda dengan pemerintah, mengapa hal yang sama tidak dilakukan terhadap Partai Golkar?
Mengapa pula SBY mengabaikan realitas bahwa PKSlah yang sejak awal komitmen mendukung pencalonannya sebelum parpol lain bergabung? Bagaimana jika PKS memutuskan keluar dari formasi KIB II? Sekali lagi, semua ini menunjukkan bahwa reshuffle kabinet ala SBY tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas.Di satu pihak SBY secara objektif memerlukan pulihnya kepercayaan publik terhadap pemerintah hasil Pemilu 2009, tetapi di pihak lain, reshuffle kabinet yang dilakukannya ibarat jurus “Dewa Mabuk”yang tidak jelas, fokus, dan prioritasnya, sehingga cenderung hanya memuaskan diri SBY.
Pilihan SBY mempertahankan menteri yang diduga terkait kasus hukum seperti Menteri Tenaga Kerja dan Koperasi Muhaimin Iskandar (Partai Kebangkitan Bangsa), dan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng (PD),memperkuat kesimpulan sementara tersebut. Bagi SBY, formasi kabinet yang berbasis parpol koalisi pendukungnya tampaknya merupakan dasar penting pertama yang menjadi titik tolak reshuffle kabinet yang diumumkan kemarin. Sesudah itu baru kemudian representasi simbolik lainnya seperti etnik, daerah, ras, agama,dan gender.
Karena itu, bangsa dan rakyat kita tampaknya harus siap kecewa dengan hasil perombakan kabinet yang baru saja diumumkan.Kecuali berbagai heboh politik yang menyertainya, reshuffle kabinet akhirnya tidak lebih sebagai pertukaran kesempatan bagi elite politik yang belum tentu memiliki dampak positif bagi perbaikan nasib bangsa dan rakyat kita.●
SYAMSUDDIN HARIS
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Sumber:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/437330/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya