Krisis Amerika dan Eropa menyebabkan pertumbuhan ekonomi di negara emerging marketsmelambat. Oleh karena itu,pemerintah dan Bank Indonesia harus segera menyiapkan langkah riil untuk mengantisipasi dampak krisis global.
Ditambah lagi beberapa indikator ekonomi makro Indonesia menunjukkan penurunan, IHSG berfluktuatif,nilai tukar rupiah juga berfluktuasi, dan beberapa sektor ekspor menurun. Saat ini kondisi perbankan Indonesia masih baik dan masih jauh untuk dikatakan terkena krisis. Hal ini bisa dilihat dari NPL perbankan Indonesia masih sangat baik berada di antara 1,2–2% (di bawah 5%). Sementara, kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) berada jauh di atas minimum 8% bahkan CAR bank umum mencapai 17%. Jika dibandingkan pada saat krisis 2008, nilai CAR pada Januari 2008 adalah sebesar 21,608% dan terus menurun hingga menjadi 16,768% pada Desember 2008.
Hal ini menunjukkan bahwa kecukupan modal perbankan Indonesia masih bagus. Selain itu,nilai aset bank juga menunjukkan peningkatan dari Januari 2011 sebesar Rp3.037 triliun menjadi Rp3.267 triliun pada Juli 2011. Namun, berdasarkan pengalaman masa lalu (krisis 1998 dan 2008), krisis itu tak bisa diidentifikasikan dan penuh dengan ketidakpastian. Jadi, meski kondisi perbankan secara umum masih dikatakan belum terkena dampak krisis global, perbankan Indonesia tetap harus berhati-hati karena krisis perbankan cenderung timbul saat kondisi makroekonomi memburuk.
Kita bisa lihat penurunan ekspor mebel sampai 30% per bulan September. Prediksi kita beberapa bulan ke depan total ekspor ke Amerika Serikat (AS) dan Eropa akan menurun. Jika dilihat dari neraca perdagangan dengan AS pada Januari 2011 sampai dengan Juni 2011, ekspor nonmigas kita ke AS adalah sebesar USD8.364 juta, ekspor tersebut terdiri dari ekspor nonmigas sebesar USD7.901 juta dan ekspor migas sebesar USD463 juta. Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang kecil. Jika terjadi penurunan ekspor maka produksi dalam negeri akan menurun.
Dengan menurunnya produksi dalam negeri, potensi PHK akan meningkat sehingga pengangguran meningkat. Menurunnya produksi dalam negeri dan peningkatan pengangguran akan menyebabkan pendapatan menurun. Jika pendapatan menurun maka pembayaran kredit ke bank akan bermasalah sehingga NPL bank bisa meningkat.
Selain itu, jika nilai tukar menurun maka akan menyebabkan harga barang impor meningkat,peningkatan harga barang impor baik barang impor jadi maupun bahan impor mentah akan menyebabkan inflasi. Jika terjadi inflasi, maka perusahaan akan lebih mahal membayar bahan baku dan akan menyebabkan perusahaan tidak bisa membayar hutangnya sehingga NPL bank bisa meningkat.
Langkah Mitigasi
Ada beberapa langkah mitigasi yang bisa Indonesia lakukan. Pertama, mengantisipasi penurunan ekspor Indonesia dengan cara mengalihkan ekspor ke negara lain contohnya Afrika. Ekspor Indonesia ke Afrika Selatan dari Januari sampai dengan Juni 2011 baru sebesar USD658 juta, ekspor tersebut terdiri dari ekspor nonmigas sebesar 635 juta dolar dan ekspor migas sebesar 23 juta dolar.
Beberapa perusahaan Indonesia yang sepuluh tahun terakhir melakukan ekspor ke Afrika mendapatkan penghasilan besar.Namun,memang produk yang harus kita jual ke Afrika bukanlah barang yang eksklusif, sehingga pengusaha kita harus mulai mendiversifikasi harga dan barang. Kita juga harus melihat negara mana yang berpotensi menjadi target ekspor baru. Kedua, saat ini merupakan kesempatan bagi perusahaanperusahaan di Indonesia untuk memproduksi barang dengan lebih kompetitif agar bisa meningkatkan pasar domestik.
Apalagi, jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 237 juta jiwa merupakan nomor empat di dunia. Pasar domestik kita merupakan pasar yang sangat potensial yang harus dimanfaatkan. Ketiga, perusahaan multifinance seharusnya memberikan pembiayaan yang lebih hati-hati dengan mengutamakan kualitas debitur dan tak lagi mengejar volume usaha semata. Keempat, kita harus mengurangi impor dengan cara memanfaatkan produk dalam negeri.
Pada Januari–Juni 2011 kita masih impor pupuk senilai USD1.140 juta, karet dan barang dari karet (USD1.105 juta), gula dan kembang gula (USD1.019,7 juta),produk susu, mentega, dan telur (USD565 juta), buah-buahan (USD419,6 juta), sayuran (USD334,9 juta), daging hewan (USD123,7 juta), dan kayu, barang dari kayu (USD183,9 juta).Padahal jika kita perhatikan potensi domestik, untuk menghasilkan produk- produk tersebut masih sangat besar. Kita harus menanamkan cinta produk dalam negeri sehingga ketergantungan kita pada luar negeri bisa berkurang.
Kelima, meskipun dalam APBN-P 2011 pemerintah mengalokasikan anggaran belanja yang diarahkan untuk memitigasi krisis ekonomi sebesar Rp103,1 triliun, anggaran belanja tersebut tidak fokus untuk ke sektor riil. Pemerintah perlu memberikan stimulus secara khusus kepada sektor riil karena sektor riil terkena dampak krisis. Keenam, perbankan juga harus lebih berhati-hati dengan dampak dari krisis dengan terus menjaga dan mempertahankan nilai NPL di bawah 5%, dan CAR minimum 8%.Terlebih lagi kredit bank tumbuh 24,2%, sehingga bank harus memitigasi dampak risiko kredit yang semakin meningkat.
Maka dari itu,tak kalah penting adalah menyiapkan protokol krisis, seperti mempercepat proses pembahasan RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK). Dan, bankbank pun tetap menjaga kualitas kredit dan menjaga likuiditas. Jika demikian, maka bank-bank yang selama ini menjadi transmisi krisis perlu hati-hati karena krisis bukan tergantung pada angkaangka kuantitatif semata. Untuk itu, pemerintah dan Bank Indonesia tidak salah membuat kebijakan yang justru menentang pasar.
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/432170/44/● DR KOMANG NI SAWITRI MBA
Pengamat Bisnis dan Keuangan STEKPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya