Presiden SBY telah memastikan akan merombak kabinet (reshuffle) dalam waktu dekat ini,setidaknya sebelum 20 Oktober 2011.
Presiden mendengar dan memahami secara baik aspirasi masyarakat bahwa kinerja kabinet kali ini sangat mengecewakan, tidak terkecuali menteri-menteri yang mengurus ekonomi. Pada saat yang bersamaan, perekonomian dunia juga dirundung duka. Perekonomian AS, Jepang, dan beberapa negara Eropa (Spanyol, Yunani, Portugal, Italia, dan lain-lain) sedang menghadapi masalah berat; utang negara membengkak dan defisit anggaran tidak terbendung.Bagaimana dua peristiwa ini mesti disandingkan?
Karakter dan Kebijakan Krisis
Resesi ekonomi yang sekarang terjadi di negara-negara maju diperkirakan bakal sulit ditangani sehingga potensi menjadi krisis ekonomi sangat terbuka. Indonesia sendiri dalam beberapa pekan terakhir telah merasakan pengaruh resesi ekonomi tersebut,sekurangnya bila dilihat gejolak di pasar saham dan nilai tukar. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sudah berjibaku mengawal stabilitas ekonomi, di mana sampai sekarang kedua institusi itu relatif dapat menjaga perekonomian makro dengan baik.
Sungguh pun begitu, tidak ada yang bisa memastikan bagaimana nasib ekonomi ke depannya, segalanya masih mungkin terjadi, termasuk kemungkinan yang terburuk. Fakta berikut ini penting untuk dilihat.IMF dan Bank Dunia sama sekali tidak keberatan dengan kebijakan pelonggaran fiskal dan moneter yang diambil negara-negara maju, khususnya AS dalam mengelola krisis kali ini.AS dipersilakan terus melakukan anggaran defisit (dengan cara utang) dan di sisi moneter dibiarkan melonggarkan keputusan moneter via kebijakan quantitative easing (QE).
Model kebijakan ini diharapkan bisa menyelamatkan ekonomi negara maju karena pelonggaran fiskal bisa memacu ekonomi dan menyerap tenaga kerja,sedangkan QE menstimulasi sektor privat bergairah kembali. Respons ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan resep IMF dan Bank Dunia ketika negara-negara berkembang diterjang kasus jebakan utang luar pada awal dekade 1980-an (Meksiko).Saat itu negara berkembang diminta melakukan disiplin anggaran (fiskal) dan kebijakan uang ketat (moneter). Pertanyaannya, mengapa sikap lembaga multilateral itu berbeda?
Menurut saya, meskipun masih hipotetik sifatnya, faktor China merupakan salah satu penyebabnya. Perkembangan ekonomi China saat ini sulit dilawan oleh negara maju sehingga mengganggu konstelasi kekuatan ekonomi dunia. China hari ini bisa bergerak dengan leluasa karena didukung oleh ekonomi emerging markets seperti India,Indonesia,Thailand, Vietnam, Malaysia, Korea Selatan,dan sebagainya. Kebijakan pelonggaran fiskal dan moneter sebetulnya diketahui bukan merupakan resep yang tepat dan efektif saat ini, melainkan tetap dilakukan dengan tujuan untuk “membiayai” para pemain di pasar untuk masuk ke pasar uang emerging markets.
Inilah yang terjadi saat ini, setelah capital inflowmengalir deras ke emerging markets, sekarang sebagian dana itu dibawa balik secara mendadak sehingga instabilitas terjadi di negaranegara berkembang tersebut. Nanti akan terlihat, negara maju pertumbuhan ekonominya melaju, tapi negara berkembang terkikis.Dengan cara inilah, ekonomi China ingin dibendung.
Otoritas dan Renegosiasi
Bagaimana situasi di atas direlasikan dengan isu reshuffle kabinet, khususnya di pos ekonomi? Ada tiga kunci yang penting untuk dicamkan baikbaik: peneguhan otoritas, komitmen renegosiasi, dan penguatan ekonomi domestik. Pertama, BI dan Kemenkeu selama ini sebetulnya sudah kerap diingatkan untuk segera menetapkan kebijakan “kontrol modal” demi melindungi stabilitas ekonomi, khususnya nilai tukar.
Kebebasan arus masuk-keluar modal terbukti selama ini membuat ekonomi nasional selalu dalam kondisi terancam. BI akhir-akhir ini sudah mulai melakukan kontrol modal, walaupun moderat, seperti upaya penjerenganpemegangan SBI. Langkah ini perlu diperketat lagi dan diimbangi dengan keseriusan Kemenkeu untuk melakukan upaya serupa, khususnya melindungi SUN dari serbuan asing. Intinya, otoritas yang dimiliki oleh BI dan Kemenkeu harus betul-betul dimanfaatkan. Kedua, sejak 2008 isu kembali ke perekonomian domestik dan membatasi persaingan dengan luar negeri mulai menghangat lagi, khususnya di AS.
Mereka bahkan menggelorakan kampanye “beli produk AS” untuk menguatkan kembali industri domestik.Berkaca dari pengalaman ini, liberalisasi perdagangan yang sudah diratifikasi Indonesia perlu ditelaah ulang. Jika dihitung secara cermat, liberalisasi perdagangan ini lebih banyak merusak ketimbang menyumbang faedah bagi ekonomi nasional. Ketiga, pascareformasi ekonomi 1998 kita seperti lupa melakukan penguatan ekonomi (investasi) domestik.Kebijakan- kebijakan investasi lebih banyak diarahkan untuk mendatangkan investasi asing ketimbang memfasilitasi investasi domestik.
Dalam situasi seperti sekarang, ketika pasar luar negeri gamang, maka penguatan ekonomi/investasi domestik merupakan satu-satunya jalan keluar yang masuk akal. Dengan pertimbangan tersebut, reshuffle kabinet ekonomi harus dimulai dari perubahan platform ekonomi Presiden, yakni melindungi sektor keuangan, komitmen renegosiasi liberalisasi, penguatan investasi/ekonomi domestik. Kementerian yang berada di bawah tiga area ini harus dikocok ulang, khususnya yang haluan ekonominya sudah terlihat tidak cocok dengan platform baru ini.
Berikutnya, kementerian ekonomi teknis seperti pertanian, industri,dan perikanan pergantian atau tidaknya lebih banyak karena pertimbangan kapabilitas. Informasi mengenai hal ini jauh lebih mudah karena sudah disediakan oleh tim evaluasi yang dibentuk Presiden. Terakhir, kabinet baru harus dalam kendali presiden dan wapres untuk mengawalnya. Jika mereka dibiarkan bekerja layaknya tanpa dirigen, hasilnya akan sama saja. Semua syarat ini harus hadir apabila reshuffle ingin dilakukan, namun jika tidak sebaiknya reshuffledilupakan.
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/431002/44/
● AHMAD ERANI YUSTIKA
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya