Oleh: Rhenald Kasali
SETIAP kali mendengar kata hutan, jiwa melankolis kita seperti kembali ke masa lalu. Maklum, hutan yang kita diami bukanlah sembarang hutan, melainkan hutan tropis yang kaya hujan (rain forest).
Dulu, semasa remaja, saya sangat biasa menelusuri hutanhutan taman nasional di berbagai sudut Pulau Jawa–Sumatera, dan saya selalu menemukan kedamaian yang luar biasa. Kaya oksigen,lembab bersama dedaunan basah, suara air yang tidak pernah berhenti, air panas yang berasal dari perut bumi, dan uap air mengalir dari nafas kita.Tak ketinggalan alunan simfoni alam yang tidak henti antara suara aneka burung, teriakan monyet-monyet liar yang bergelayut di pepohonan, dengus suara babi hutan, dan tentu saja suara hewan-hewan kecil,mulai dari kodok, ular, sampai tenggerek. Keindahan itu pulalah yang saya ingin dapatkan dalam perjalanan ke Brasil, Desember lalu.
Saya sengaja tidak memilih jalan udara saat bepergian dari pantai yang indah di Rio de Janeiro menuju kota metropolitan Sao Paulo, demi melihat hutan. Sayang, perjalanan kami ke hutan-hutan di Amazon harus ditunda karena Brasil sedang dilanda musim hujan yang lebat dan banjir terjadi di mana-mana. Padahal saya sudah benarbenar siap, terbang jauh ke arah utara Brasil untuk melihat hutan, satwa-satwa liar, dan kebudayaan Indian yang masih bisa dilihat di sepanjang sungai Amazon. Saya juga sudah menjalani suntik “yellow fever” 10 hari sebelumnya, demi menyaksikan tropical forest terbesar di dunia.
Hutan Ekonomi
Kekaguman saya menembus hutan-hutan di Brasil tidaklah selalu mulus. Di berbagai sudut negeri yang tanahnya berkontur itu, saya selalu menemukan kampungkampung kumuh yang berebut hidup dengan alam.Pada bukit-bukit yang indah sepanjang Rio dan Sao Paulo, pengantar saya selalu menyebut nama Valvellas.
Di perkampungan itu, konon tinggal mafiamafia obat bius yang dibentengi penduduk miskin dalam jumlah besar. Kendati demikian, secara keseluruhan pemandangan hutan tropis Brasil selalu mendapat pujian. Brasil tahu persis hutan-hutan mana yang harus mereka tanam kembali, lindungi, dan mana yang tidak boleh dijamah manusia. Semua ini berawal dari dibentuknya Brazilian Forest Development Institute pada Februari 1967 yang berhasil merumuskan ketentuan perundang-undangan tentang kehutanan secara komprehensif. Hasilnya, 22 tahun kemudian keindahan hutan Brasil tampak di mana-mana.
Seluas enam juta hektare mereka jadikan hutan tanaman industri (HTI) baru,dan melalui program reboisasi yang dilakukan pada area seluas 300.000 hektare didapat lebih dari 500.000 lapangan kerja non-skill.Sekarang,sudah ada 63 juta hektare HTI di Brasil dengan kemampuan produksi kertas 174 juta meter kubik.Hoeflich dkk pada 2002 menemukan kontribusi sektor kehutanan pada gross national product (GNP) Brasil mencapai USD20 miliar atau 4,5% dari total GNP negara tersebut. Hari-hari ini saya mendapat kabar, Brasil telah menjadi eksportir kertas dan bahan baku kertas (pulp & paper) terpenting di China.
Sejak 2005, produksi pulp Brasil telah meningkat signifikan, 69%. Impor China terhadap produk pulp asal Brasil sejak tahun itu telah meroket 280%. Pertanyaannya, bagaimana dengan industri kehutanan Indonesia yang telah dicanangkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) sebagai industri utama Indonesia pada 2030? Menurut Roadmap yang disusun Kadin tahun lalu itu,industri ini dapat dijadikan sumber keunggulan daya saing bangsa asal ditangani dengan baik, pemerintahnya bersih dan berani mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang prudent. Kalau pemerintahnya bersih, mereka pasti tidak akan memilih jalan populis dengan meng-entertain kelompok-kelompok pemeras atau penekan yang dibayar sponsor-sponsor tertentu.
Kita pernah mengalami masa kejayaan dengan produk-produk hasil hutan. Industri playwood kita bahkan sempat menjadi pemain utama di Amerika Serikat,Jepang, dan Inggris hingga 2001.Setelah itu posisi Indonesia disalip Malaysia, China, dan Brasil. Setelah ekspor kayu log dilarang, dan perhatian untuk melestarikan hutan tropis meningkat di sini, kita mulai lebih berhati-hati menangani hutan.Tetapi, konon hasil-hasil hutan kita diambil para pencuri kayu dari negara tetangga. Selain itu,keributan demi keributan terus terjadi, antara para aktivis dan pengusaha HTI, polisi dan perusahaan, pejabat dan aktivis, dan seterusnya.
Padahal, sejak era 1990-an industri kehutanan Indonesia mulai beralih dari industri playwood menjadi industri kertas, sawit, dan seterusnya.Keributankeributan itu tampak terpola dengan penentangan yang cukup keras pada HTI, meski kerusakan hutan yang menonjol belakangan ini lebih banyak disebabkan izinizin penambangan batu bara yang begitu besar. Setelah sawit, tekanan eksternal sekarang ditujukan pada pabrik kertas. Akibatnya, produsen kertas yang sudah leading menanam investasi dalam jumlah besar seringkali kesulitan menebang HTI yang mereka tanam sendiri.
Karut-marut kepentingan di lapangan, antara penebang-penebang kayu liar, pencuri kayu yang biasa meloncat ke atas tongkangtongkang kayu, bersama dengan kebingungan para aparat telah membuat situasi di lapangan menjadi sangat kompleks. Alih-alih menjadikan usaha kertas Indonesia mengalahkan industri kertas Amerika Serikat pada 2030, tahun ini industri kertas Indonesia tampaknya sedang kehilangan pijakan. “It seems going to nowhere…” ujar seorang analis yang saya temui di Brasil. Ketika China meningkatkan impornya terhadap produk-produk pulp & paper, Brasil bisa memenuhinya.
Sekali lagi, sejak 2005 impor bahan baku kertas dari China naik 280%.Bagaimana Indonesia? Impor kertas dan pulp dari Indonesia justru turun 8%. Sementara produk-produk mainan, makanan, obat-obatan, dan peralatan berat asal China naik ratusan persen impornya ke sini. Padahal sudah hampir pasti ongkos angkut dari Indonesia ke China jauh lebih murah daripada dari Brasil ke China yang jaraknya beberapa kali lipat.Apa sebab?
Tegakkan Aturan
Setiap kali menyaksikan keadaan seperti ini, sebagai seorang ahli manajemen,saya tentu merasa gemas. Kita tidak pernah berhenti berkelahi di antara sesama kita dan membiarkan industri kita kehilangan daya saing.Saya tidak heran bila satu persatu pelaku usaha besar yang menciptakan ratusan ribu kesempatan kerja ini bersiapsiap hengkang dari sini. Dari kalangan pelaku usaha di bidang kertas saya menemukan beberapa persoalan yang menyebabkan industri ini kesulitan untuk berkembang.
Pertama,ada keraguraguan dari pemerintah untuk menjaga kepentingan ekonomi industri hasil hutan. Kedua,ada ketidakjelasan aturan dan pedoman yang menimbulkan interpretasi subjektif terhadap perlakuan di lapangan dan munculnya konflik-konflik yang mengakibatkan kekacauan. Ketiga, terdapat diskriminasi kebijakan dan perlakuan terhadap industri HTI antara pemakaian lahan untuk penambangan,perkebunan, dan industri kertas. Bila pada industri pertambangan dan perkebunan sudah ada hak guna usaha (HGU) dan izin pinjam-pakai yang bisa segera dieksekusi, dalam industri kertasHTI masih diperlukan izin-izin lanjutan yang jumlahnya sangat banyak.
Perlakuan seperti itu jelas berbeda dengan perlakuan yang diterima pelaku-pelaku usaha di Brasil maupun negara-negara pesaing Indonesia lain.Kalau ini dibiarkan, saya kira kita kelak akan beralih dari negeri penghasil kertas menjadi negeri pengimpor kertas bekas. Mengapa demikian? Karena bisnisnya lebih gampang, dan izinnya tidak ribet. Lantas siapa yang diuntungkan? (*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/313160/38/
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
SETIAP kali mendengar kata hutan, jiwa melankolis kita seperti kembali ke masa lalu. Maklum, hutan yang kita diami bukanlah sembarang hutan, melainkan hutan tropis yang kaya hujan (rain forest).
Dulu, semasa remaja, saya sangat biasa menelusuri hutanhutan taman nasional di berbagai sudut Pulau Jawa–Sumatera, dan saya selalu menemukan kedamaian yang luar biasa. Kaya oksigen,lembab bersama dedaunan basah, suara air yang tidak pernah berhenti, air panas yang berasal dari perut bumi, dan uap air mengalir dari nafas kita.Tak ketinggalan alunan simfoni alam yang tidak henti antara suara aneka burung, teriakan monyet-monyet liar yang bergelayut di pepohonan, dengus suara babi hutan, dan tentu saja suara hewan-hewan kecil,mulai dari kodok, ular, sampai tenggerek. Keindahan itu pulalah yang saya ingin dapatkan dalam perjalanan ke Brasil, Desember lalu.
Saya sengaja tidak memilih jalan udara saat bepergian dari pantai yang indah di Rio de Janeiro menuju kota metropolitan Sao Paulo, demi melihat hutan. Sayang, perjalanan kami ke hutan-hutan di Amazon harus ditunda karena Brasil sedang dilanda musim hujan yang lebat dan banjir terjadi di mana-mana. Padahal saya sudah benarbenar siap, terbang jauh ke arah utara Brasil untuk melihat hutan, satwa-satwa liar, dan kebudayaan Indian yang masih bisa dilihat di sepanjang sungai Amazon. Saya juga sudah menjalani suntik “yellow fever” 10 hari sebelumnya, demi menyaksikan tropical forest terbesar di dunia.
Hutan Ekonomi
Kekaguman saya menembus hutan-hutan di Brasil tidaklah selalu mulus. Di berbagai sudut negeri yang tanahnya berkontur itu, saya selalu menemukan kampungkampung kumuh yang berebut hidup dengan alam.Pada bukit-bukit yang indah sepanjang Rio dan Sao Paulo, pengantar saya selalu menyebut nama Valvellas.
Di perkampungan itu, konon tinggal mafiamafia obat bius yang dibentengi penduduk miskin dalam jumlah besar. Kendati demikian, secara keseluruhan pemandangan hutan tropis Brasil selalu mendapat pujian. Brasil tahu persis hutan-hutan mana yang harus mereka tanam kembali, lindungi, dan mana yang tidak boleh dijamah manusia. Semua ini berawal dari dibentuknya Brazilian Forest Development Institute pada Februari 1967 yang berhasil merumuskan ketentuan perundang-undangan tentang kehutanan secara komprehensif. Hasilnya, 22 tahun kemudian keindahan hutan Brasil tampak di mana-mana.
Seluas enam juta hektare mereka jadikan hutan tanaman industri (HTI) baru,dan melalui program reboisasi yang dilakukan pada area seluas 300.000 hektare didapat lebih dari 500.000 lapangan kerja non-skill.Sekarang,sudah ada 63 juta hektare HTI di Brasil dengan kemampuan produksi kertas 174 juta meter kubik.Hoeflich dkk pada 2002 menemukan kontribusi sektor kehutanan pada gross national product (GNP) Brasil mencapai USD20 miliar atau 4,5% dari total GNP negara tersebut. Hari-hari ini saya mendapat kabar, Brasil telah menjadi eksportir kertas dan bahan baku kertas (pulp & paper) terpenting di China.
Sejak 2005, produksi pulp Brasil telah meningkat signifikan, 69%. Impor China terhadap produk pulp asal Brasil sejak tahun itu telah meroket 280%. Pertanyaannya, bagaimana dengan industri kehutanan Indonesia yang telah dicanangkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) sebagai industri utama Indonesia pada 2030? Menurut Roadmap yang disusun Kadin tahun lalu itu,industri ini dapat dijadikan sumber keunggulan daya saing bangsa asal ditangani dengan baik, pemerintahnya bersih dan berani mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang prudent. Kalau pemerintahnya bersih, mereka pasti tidak akan memilih jalan populis dengan meng-entertain kelompok-kelompok pemeras atau penekan yang dibayar sponsor-sponsor tertentu.
Kita pernah mengalami masa kejayaan dengan produk-produk hasil hutan. Industri playwood kita bahkan sempat menjadi pemain utama di Amerika Serikat,Jepang, dan Inggris hingga 2001.Setelah itu posisi Indonesia disalip Malaysia, China, dan Brasil. Setelah ekspor kayu log dilarang, dan perhatian untuk melestarikan hutan tropis meningkat di sini, kita mulai lebih berhati-hati menangani hutan.Tetapi, konon hasil-hasil hutan kita diambil para pencuri kayu dari negara tetangga. Selain itu,keributan demi keributan terus terjadi, antara para aktivis dan pengusaha HTI, polisi dan perusahaan, pejabat dan aktivis, dan seterusnya.
Padahal, sejak era 1990-an industri kehutanan Indonesia mulai beralih dari industri playwood menjadi industri kertas, sawit, dan seterusnya.Keributankeributan itu tampak terpola dengan penentangan yang cukup keras pada HTI, meski kerusakan hutan yang menonjol belakangan ini lebih banyak disebabkan izinizin penambangan batu bara yang begitu besar. Setelah sawit, tekanan eksternal sekarang ditujukan pada pabrik kertas. Akibatnya, produsen kertas yang sudah leading menanam investasi dalam jumlah besar seringkali kesulitan menebang HTI yang mereka tanam sendiri.
Karut-marut kepentingan di lapangan, antara penebang-penebang kayu liar, pencuri kayu yang biasa meloncat ke atas tongkangtongkang kayu, bersama dengan kebingungan para aparat telah membuat situasi di lapangan menjadi sangat kompleks. Alih-alih menjadikan usaha kertas Indonesia mengalahkan industri kertas Amerika Serikat pada 2030, tahun ini industri kertas Indonesia tampaknya sedang kehilangan pijakan. “It seems going to nowhere…” ujar seorang analis yang saya temui di Brasil. Ketika China meningkatkan impornya terhadap produk-produk pulp & paper, Brasil bisa memenuhinya.
Sekali lagi, sejak 2005 impor bahan baku kertas dari China naik 280%.Bagaimana Indonesia? Impor kertas dan pulp dari Indonesia justru turun 8%. Sementara produk-produk mainan, makanan, obat-obatan, dan peralatan berat asal China naik ratusan persen impornya ke sini. Padahal sudah hampir pasti ongkos angkut dari Indonesia ke China jauh lebih murah daripada dari Brasil ke China yang jaraknya beberapa kali lipat.Apa sebab?
Tegakkan Aturan
Setiap kali menyaksikan keadaan seperti ini, sebagai seorang ahli manajemen,saya tentu merasa gemas. Kita tidak pernah berhenti berkelahi di antara sesama kita dan membiarkan industri kita kehilangan daya saing.Saya tidak heran bila satu persatu pelaku usaha besar yang menciptakan ratusan ribu kesempatan kerja ini bersiapsiap hengkang dari sini. Dari kalangan pelaku usaha di bidang kertas saya menemukan beberapa persoalan yang menyebabkan industri ini kesulitan untuk berkembang.
Pertama,ada keraguraguan dari pemerintah untuk menjaga kepentingan ekonomi industri hasil hutan. Kedua,ada ketidakjelasan aturan dan pedoman yang menimbulkan interpretasi subjektif terhadap perlakuan di lapangan dan munculnya konflik-konflik yang mengakibatkan kekacauan. Ketiga, terdapat diskriminasi kebijakan dan perlakuan terhadap industri HTI antara pemakaian lahan untuk penambangan,perkebunan, dan industri kertas. Bila pada industri pertambangan dan perkebunan sudah ada hak guna usaha (HGU) dan izin pinjam-pakai yang bisa segera dieksekusi, dalam industri kertasHTI masih diperlukan izin-izin lanjutan yang jumlahnya sangat banyak.
Perlakuan seperti itu jelas berbeda dengan perlakuan yang diterima pelaku-pelaku usaha di Brasil maupun negara-negara pesaing Indonesia lain.Kalau ini dibiarkan, saya kira kita kelak akan beralih dari negeri penghasil kertas menjadi negeri pengimpor kertas bekas. Mengapa demikian? Karena bisnisnya lebih gampang, dan izinnya tidak ribet. Lantas siapa yang diuntungkan? (*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/313160/38/
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya