Oleh: Emmanuel Subangun
Dalam riset pemasaran, satu hal yang paling utama tak lain adalah tingkat kepuasan konsumen. Dasarnya, setiap barang punya ”manfaat”, dan ”harga” adalah petunjuk seberapa jauh hubungan ”manfaat” dan konsumen.
Jika gagasan pemasaran itu diterjemahkan dalam survei pendapat umum, hasilnya dapat disimak seperti berita Kompas (19/10/2009). Secara umum dilaporkan tingkat kepuasan konsumen—dalam politik disebut konstituen—terhadap kinerja pemerintah. Hasilnya? Secara keseluruhan, tingkat kepuasan itu naik turun, cenderung rendah, dan naik ke angka tinggi—sekitar 70 persen—saat pemilu hendak dijalankan. Apa hubungan data ini dengan proses demokrasi?
Jelas yang tak jelas
Hal itu menjelaskan mengapa presiden sekarang terpilih lagi. Dan menjelaskan lagi mengapa harapan tinggi diserahkan kepada pemerintah sekarang, sekitar 80 persen. Namun, jika diingat, tingkat kepercayaan dalam kurun lama cenderung rendah. Ada satu hal juga yang harus dimengerti, yakni politik kita amat diwarnai efek citra.
Maksudnya, menjelang pemilu, upaya pencitraan dilakukan dengan sistematis sehingga ”kenyataan dan harapan” tidak terpisahkan lagi sehingga pemilu adalah sebuah pesta. Orang lupa pada keadaan yang sulit dan bergembira ria dengan makan berlimpah. Atau dengan kata lain, pemilu adalah saat warga negara sedang dalam keadaan lupa ingatan dan biasanya disebut dalam bahasa asing euforia. Namun, apakah dengan euforia itu soal yang nyata, yang substantif, juga akan dapat dirampungkan sesuai harapan?
Jawaban terletak pada hadirnya masalah dan kemampuan teknis untuk menanganinya, selain dengan ada tidaknya sumber daya yang tersedia. Dalam hubungan masalah, kemampuan, dan sumber daya, segera dapat disimak, soalnya bukan lagi harap dan tidak mengharap, tetapi soalnya terletak pada perhitungan yang rasional belaka.
Contoh: seperti terjadi di seluruh dunia, kisah ekonomi sekarang diawali krisis keuangan (krismon, nama pribuminya), diteruskan dengan resesi, dan kini dilanjutkan dengan tekanan dan bom waktu APBN. Jika hidup matinya APBN tergantung pajak, dan pertumbuhan ekonomi stagnan—sekitar 5 persen—sedangkan kecepatan penduduk melaju, dapat dibayangkan betapa tekanan APBN itu menyimpan krisis tertunda.
Artinya, sistem perekonomian kita secara struktural amat rapuh. Dalam kerapuhan itu ujungnya adalah semakin tidak mampunya pemerintah untuk menangani kesejahteraan rakyat. Ruang bermain pemerintah yang wajar sudah amat sulit, apalagi jika masih harus ditambah kerumitan birokrasi yang ada.
Jadi, secara rasional, harapan tinggi itu adalah tak nyata, atau malah ilusi.
Tak terduga
Setelah pemilu langsung memilih DPR dan presiden, kita semua sudah menjalankan hak dan kewajiban. Artinya, kita menyerahkan ”kedaulatan” politik kepada presiden beserta kabinetnya di samping kepada 600-an anggota majelis tertinggi kita.
Jika mereka dilantik, artinya secara resmi penyerahan kita itu mengikat secara hukum. Jadi, stabilitas politik untuk satu masa sudah dapat dijamin. Namun, masalahnya adalah apakah dengan stabilitas itu politik keadaan kita juga sudah membaik?
Demokrasi, seperti setiap sistem yang sifatnya terbuka, selalu disertai proses sebab akibat dengan watak inheren dengan akibat tak terduga. Maksudnya, setiap tindak dalam sistem politik demokrasi, karena faktor keterbukaan informasi, selalu saja dapat menimbulkan masalah karena akibat yang terjadi tidak selalu berjalan dalam hubungan fungsional seperti dikenal dalam buku teks ekonomi. Seperti jika barang berkurang, permintaan naik, harga akan naik juga! Politik bukan ekonomi, dan hubungan fungsional tidak pernah ada.
Contoh: presiden memilih kabinet dengan sendirinya berdasar atas dapat tidaknya sebuah tim kerja berjalan, seperti lazim dalam setiap organisasi. Lalu agar organisasi itu berjalan dalam fungsinya, berlaku tuntutan the right man on the right place. Jika kini istilah itu diganti dengan pernyataan bahwa menteri harus ”profesional”, segera orang sudah sangsi apa demikian halnya. Bukan semata karena figur orangnya, tetapi disebabkan oleh nalar politik yang timbul dalam sistem politik kita.
Maksudnya, untuk sebuah kabinet indonesia bersatu, ada dua hal yang saling bertentangan. Pertama, setiap peserta koalisasi tentu minta jatah kursi, disebut sebagai kontrak politik.
Kedua, jabatan publik adalah jabatan negara, bukan jabatan organisasi swasta. Maka, jika kedua hal itu disimak baik, segera kita dapat melihat, apa yang disebut sebagai pembagian kursi akan dapat dimengerti sebagai pembagian dividen dalam akhir masa kerja perusahaan. ”Upah” diberikan setelah bekerja. Namun, dalam politik, ”upah” dibayarkan pada awal kerja.
Jika soal substantif dikaitkan soal upah politik dibayar di depan, kita dapat mengerti mengapa siklus kepuasan konsumen politik Indonesia cenderung rendah dan akan naik menjelang pemilu. Itulah paradoks sistem neoliberal.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/20/05062520/akibat.tak.terduga.dar
Emmanuel Subangun
Sosiolog
Dalam riset pemasaran, satu hal yang paling utama tak lain adalah tingkat kepuasan konsumen. Dasarnya, setiap barang punya ”manfaat”, dan ”harga” adalah petunjuk seberapa jauh hubungan ”manfaat” dan konsumen.
Jika gagasan pemasaran itu diterjemahkan dalam survei pendapat umum, hasilnya dapat disimak seperti berita Kompas (19/10/2009). Secara umum dilaporkan tingkat kepuasan konsumen—dalam politik disebut konstituen—terhadap kinerja pemerintah. Hasilnya? Secara keseluruhan, tingkat kepuasan itu naik turun, cenderung rendah, dan naik ke angka tinggi—sekitar 70 persen—saat pemilu hendak dijalankan. Apa hubungan data ini dengan proses demokrasi?
Jelas yang tak jelas
Hal itu menjelaskan mengapa presiden sekarang terpilih lagi. Dan menjelaskan lagi mengapa harapan tinggi diserahkan kepada pemerintah sekarang, sekitar 80 persen. Namun, jika diingat, tingkat kepercayaan dalam kurun lama cenderung rendah. Ada satu hal juga yang harus dimengerti, yakni politik kita amat diwarnai efek citra.
Maksudnya, menjelang pemilu, upaya pencitraan dilakukan dengan sistematis sehingga ”kenyataan dan harapan” tidak terpisahkan lagi sehingga pemilu adalah sebuah pesta. Orang lupa pada keadaan yang sulit dan bergembira ria dengan makan berlimpah. Atau dengan kata lain, pemilu adalah saat warga negara sedang dalam keadaan lupa ingatan dan biasanya disebut dalam bahasa asing euforia. Namun, apakah dengan euforia itu soal yang nyata, yang substantif, juga akan dapat dirampungkan sesuai harapan?
Jawaban terletak pada hadirnya masalah dan kemampuan teknis untuk menanganinya, selain dengan ada tidaknya sumber daya yang tersedia. Dalam hubungan masalah, kemampuan, dan sumber daya, segera dapat disimak, soalnya bukan lagi harap dan tidak mengharap, tetapi soalnya terletak pada perhitungan yang rasional belaka.
Contoh: seperti terjadi di seluruh dunia, kisah ekonomi sekarang diawali krisis keuangan (krismon, nama pribuminya), diteruskan dengan resesi, dan kini dilanjutkan dengan tekanan dan bom waktu APBN. Jika hidup matinya APBN tergantung pajak, dan pertumbuhan ekonomi stagnan—sekitar 5 persen—sedangkan kecepatan penduduk melaju, dapat dibayangkan betapa tekanan APBN itu menyimpan krisis tertunda.
Artinya, sistem perekonomian kita secara struktural amat rapuh. Dalam kerapuhan itu ujungnya adalah semakin tidak mampunya pemerintah untuk menangani kesejahteraan rakyat. Ruang bermain pemerintah yang wajar sudah amat sulit, apalagi jika masih harus ditambah kerumitan birokrasi yang ada.
Jadi, secara rasional, harapan tinggi itu adalah tak nyata, atau malah ilusi.
Tak terduga
Setelah pemilu langsung memilih DPR dan presiden, kita semua sudah menjalankan hak dan kewajiban. Artinya, kita menyerahkan ”kedaulatan” politik kepada presiden beserta kabinetnya di samping kepada 600-an anggota majelis tertinggi kita.
Jika mereka dilantik, artinya secara resmi penyerahan kita itu mengikat secara hukum. Jadi, stabilitas politik untuk satu masa sudah dapat dijamin. Namun, masalahnya adalah apakah dengan stabilitas itu politik keadaan kita juga sudah membaik?
Demokrasi, seperti setiap sistem yang sifatnya terbuka, selalu disertai proses sebab akibat dengan watak inheren dengan akibat tak terduga. Maksudnya, setiap tindak dalam sistem politik demokrasi, karena faktor keterbukaan informasi, selalu saja dapat menimbulkan masalah karena akibat yang terjadi tidak selalu berjalan dalam hubungan fungsional seperti dikenal dalam buku teks ekonomi. Seperti jika barang berkurang, permintaan naik, harga akan naik juga! Politik bukan ekonomi, dan hubungan fungsional tidak pernah ada.
Contoh: presiden memilih kabinet dengan sendirinya berdasar atas dapat tidaknya sebuah tim kerja berjalan, seperti lazim dalam setiap organisasi. Lalu agar organisasi itu berjalan dalam fungsinya, berlaku tuntutan the right man on the right place. Jika kini istilah itu diganti dengan pernyataan bahwa menteri harus ”profesional”, segera orang sudah sangsi apa demikian halnya. Bukan semata karena figur orangnya, tetapi disebabkan oleh nalar politik yang timbul dalam sistem politik kita.
Maksudnya, untuk sebuah kabinet indonesia bersatu, ada dua hal yang saling bertentangan. Pertama, setiap peserta koalisasi tentu minta jatah kursi, disebut sebagai kontrak politik.
Kedua, jabatan publik adalah jabatan negara, bukan jabatan organisasi swasta. Maka, jika kedua hal itu disimak baik, segera kita dapat melihat, apa yang disebut sebagai pembagian kursi akan dapat dimengerti sebagai pembagian dividen dalam akhir masa kerja perusahaan. ”Upah” diberikan setelah bekerja. Namun, dalam politik, ”upah” dibayarkan pada awal kerja.
Jika soal substantif dikaitkan soal upah politik dibayar di depan, kita dapat mengerti mengapa siklus kepuasan konsumen politik Indonesia cenderung rendah dan akan naik menjelang pemilu. Itulah paradoks sistem neoliberal.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/20/05062520/akibat.tak.terduga.dar
Emmanuel Subangun
Sosiolog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya