Rabu, 28 Oktober 2009

YAHUKIMO DAN KEGAGALAN NEGARA

Oleh: Endang Suryadinata


Negeri ini memang penuh ironi. Di Jakarta atau Surabaya, terlebih pada Lebaran yang baru lalu, pasti banyak sekali makanan, malah berlebihan. Tetapi di ujung timur negeri ini, tepatnya di Yahukimo, 92 orang dikabarkan tewas karena kelaparan pada pertengahan September 2009. Ini merupakan bencana kelaparan kedua di tempat yang sama, karena pada 2005 hal ini sudah pernah terjadi.

Dalam hal kelaparan ini, yang paling pantas disalahkan sebenarnya adalah sistem ekonomi dan pengelolaan negara yang amburadul. Ada yang bilang, ketika bencana kelaparan pada 2005, warga Yahukimo yang biasa makan sagu diberi beras. Akhirnya mereka bergantung pada beras, sementara mereka tidak diajari bagaimana menanam padi.

Mengapa pemerintah lebih layak dipersalahkan dalam kasus kelaparan ini? Sebab, dari sistem ekonomi kolonial di awal berdirinya negeri ini hingga sistem ekonomi neoliberal dan kapitalis saat ini, semua hanya menguntungkan segelintir elite, sehingga mereka bisa makan dan berpesta-pora tiada henti hingga tujuh turunan. Sementara itu, “wong cilik”, seperti warga Papua, kian merasakan “elit” alias ekonomi sulit. Harga bahan kebutuhan pokok pun semakin mencekik.

Revrisond Baswir menyebutkan, kekuatan neoliberalisme kini sudah merongrong perekonomian kita. Neoliberalisme menganjurkan persaingan dan pasar bebas, tapi dengan apa lagi warga miskin seperti dari Papua akan bisa bersaing? Orang kaya dengan uang Rp 5 miliar yang didepositokan bisa mendapat bunga Rp 25 juta per bulan.

Bantuan langsung tunai, yang sudah dikucurkan pada masa lalu, justru kian memperlemah orang miskin. Kehendak menolong diri sendiri menjadi lemah. Padahal, menurut Bank Dunia, separuh penduduk negeri ini sudah masuk kategori miskin, mengingat standar hidupnya kurang dari US$ 2 per hari.

Kaum miskin, khususnya para nelayan, petani, dan penganggur (termasuk penganggur terdidik lulusan S-1 atau S-2 yang jumlahnya jutaan), kini hanya bisa “nelangsa”. Mereka tidak pernah bisa menikmati berkah dari berlimpahnya kekayaan alam negeri ini. Memang, kalau berbicara kekayaan alam negeri ini, boleh jadi kita akan kian “nelangsa”. Betapa tidak, dari ikan-ikan di laut, beraneka tambang emas, hingga kayu dan hutannya, yang punya bukan wong cilik lagi. Wong cilik tidak pernah merasakan kekayaan alam itu. Semua sudah tergadai kepada kekuatan asing, sebagaimana diungkapkan oleh Amien Rais dalam bukunya Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia!’( PPSK Press,). Ironisnya, para wakil rakyat, yang seharusnya memperjuangkan kekayaan alam itu untuk rakyat, malah rela disuap.

Ironi ini sungguh getir, karena orientasi para wakil rakyat tetap saja hendak memperkaya diri sendiri, di tengah kesengsaraan kaum miskin. Lihat saja, biaya untuk pin per anggota DPR/DPRD baru saja Rp 5 juta, seragam Rp 5 juta, dan biaya pelantikan miliaran rupiah. Bahkan, di Jawa Timur, begitu dilantik, anggota Dewan langsung gajian (Jawa Pos, 1 September 2009). Menjadi anggota Dewan ternyata bukan untuk membawa perubahan, melainkan hanya melanjutkan paradigma lama, yakni menikmati betapa empuknya kursi kekuasaan. Tak peduli rakyat yang diwakili sedang menderita!

Sedangkan para aparat hukum dan polisi, yang seharusnya menegakkan keadilan, justru tak pernah berpihak kepada orang kecil, dan kini keberadaan KPK pun diperlemah secara sistemik. Para koruptor bersatu guna mempertahankan cara hidup kotor di atas penderitaan dan rakyat yang lapar. Kesenjangan sosial pun kian menganga. Padahal, kalau orang mau kembali ke ekonomi Pancasila, kesenjangan sosial yang amat lebar itu bisa dihindari, karena ekonomi Pancasila mencoba membuat keseimbangan antara ekonomi neoliberal yang cenderung individualistik dengan ekonomi Marxian yang bersemangat kolektif. Dalam hal ini, kita tentu sependapat dengan ekonom Ahmad Erani Yustika dari INDEF, yang mengatakan bahwa keadilan sosial harus jadi tolok ukur ke depan.

Selama keadilan sosial terus diabaikan, bahkan ide keadilan sosial dianggap basi, ini sama saja dengan menanam bom waktu. Kita tahu negeri ini bersifat heterogen, baik dari sisi agama, suku, maupun golongan. Harmoni antarwarga bangsa sangat ditentukan oleh seberapa jauh kesejahteraan bisa dinikmati semua golongan. Ketidakadilan yang dirasakan kaum miskin bisa mendatangkan beragam masalah sosial, dari stres, bunuh diri, tindak kriminal, hingga konflik sosial seperti konflik antardesa.

Bung Karno pernah berpidato bahwa selama banyak orang miskin, seperti dalam kasus Yahukimo ini, pemerintah sesungguhnya menjadi pihak yang paling gagal dalam menjalankan amanat Pancasila, karena Pancasila juga menitikberatkan pada kesejahteraan bersama.

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/10/20/Opini/krn.20091020.17

Endang Suryadinata
Penulis, tinggal di Belanda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...