Hingga paruh kedua Oktober ini belum dapat dipastikan formasi menteri kabinet pasangan SBY-Boediono. Kecuali SBY dan 'lingkaran dalam' (inner circle) kekuasaannya, tak seorang pun tahu nama-nama yang bakal dijadikan pembantu Presiden untuk periode lima tahun mendatang.
Kewenangan mengangkat dan memberhentikan menteri merupakan hak prerogatif presiden, seperti dijelaskan oleh Pasal 17 ayat 2 UUD 1945. Karena pelimpahan jaminan kewenangan oleh konstitusi itu, maka siapa pun pilihan presiden yang duduk di jajaran menteri tak seorang pun bisa memprotes.
Meski demikian, di dalam menentukan para pembantunya, presiden diharuskan memenuhi standar aturan UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara. Di dalam Pasal 13 ayat 1 dan 2 undang-undang tersebut dimaktubkan bahwa pembentukan kementerian negara mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektivitas, cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas, kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas, dan perkembangan lingkungan global.
Power Positioning
Dua bulan terakhir ini hampir semua partai koalisi menyodorkan nama calon menteri mereka, dari satu hingga empat nama sudah diterima SBY. Bahkan beberapa di antara parpol itu terkesan melakukan penekanan (pressure) terhadap Presiden dengan dalih sebagai investor politik telah mengantarkan kemenangan SBY.
Di satu pihak, SBY justru bereaksi "tidak bersimpati" terhadap pola-pola yang dimainkan parpol pendukung koalisi. Reaksi itu bahkan pernah ditampakkan di depan publik dengan menegaskan bahwa dia tidak perlu diintervensi oleh pihak lain dalam penyusunan kabinet. Kritik lantas muncul dialamatkan kepada parpol pendukung yang kian kentara tendensi traksaksionalnya untuk dukungan mereka terhadap SBY.
Dalam hitungan politik paling akhir, SBY memang tidak mungkin meninggalkan para kolega koalisi sebagai fungsi penopang beragam kebijakan untuk lima tahun mendatang, utamanya dalam politik parlemen (DPR). Di pihak lain, kalangan parpol pendukung menghendaki SBY mau akomodatif terhadap kepentingan mereka. Toh mereka sudah berkeringat untuk kemenangan SBY.
Permintaan posisi dalam konteks ini menjadi sebuah kewajaran politik. Hanya, kesan yang tampak permukaan justru kian memperburuk citra parpol pendukung yang seolah hanya berpretensi pada jabatan menteri belaka. Selain tidak mau terlalu diintervensi oleh kelompok kepentingan lain, SBY akan menunjuk nama-nama yang dinilai tidak berisiko dan mempunyai kualifikasi profesional di bidangnya.
Tetapi dorongan politik juga mendedahkan afirmasinya kepada kelompok pendukung. Pertimbangan di atas memunculkan beragam spekulasi. Paling tidak, ada dua hal pokok yang dapat menjadi pertimbangan bagi SBY untuk memilih para menteri pembantunya, yakni profesionalisme dan mendapat dukungan penuh dari partai politik.
Pertama, pertimbangan pemilihan kabinet dari aspek profesionalitas dan kompetensi, atau dinamakan dengan zaken kabinet (kabinet para ahli). Di tengah problem sosial yang kian kompleks, utamanya beragam bencana alam dan kerusakan infrastruktur ekonomi dan budaya, SBY seolah didorong untuk membentuk kabinetnya berisi orang-orang profesional.
Pemulihan segala aspek kehidupan rakyat, utamanya di domain ekonomi dan sosial-budaya tidak dapat diselesaikan melalui lobi ataupun diplomasi politik, melainkan harus dicari solusinya dengan langkah-langkah konkret para menteri berintegritas dan berkemampuan multiple intelligence.
Tetapi jika hanya mempertimbangkan aspek profesional an-sich dengan minimalisasi parpol pendukung, dikhawatirkan kekuatan politik di tingkat kebijakan perundangan di DPR akan menurun. Kedua, menteri dari representasi partai politik yang mendukung stabilitas di parlemen kelak.
Setiap orang yang ditunjuk bukan saja mewakili dirinya sendiri, tapi mempunyai aspirasi partai politik, sehingga ada jaminan yang menitipkan orang itu tepat agar bisa bekerja baik. Melihat kader partai saat ini, memang ada beberapa tokoh partai yang memiliki kapasitas dan kompetensi sehingga layak duduk menjadi menteri, serta memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan parpol.
Kabinet Profesional
Pertanyaan selanjutnya, sebagai presiden terpilih yang memiliki legitimasi penuh dari rakyat, bagaimana SBY menentukan formasi kabinetnya di tengah dilema antara profesionalisme dan arus politik? Keberanian SBY dalam menentukan formasi kabinet sesungguhnya dapat diukur dari sejauh mana penunjukan nama-nama menterinya bertipe "profesional", baik dari parpol maupun nonparpol.
Dalam konteks ini, kabinet profesional tak lantas meninggalkan parpol, sebab dalam parpol banyak kalangan profesional dan bisa diandalkan untuk memimpin departemen tertentu. Terlepas dari dikotomi parpol dan nonparpol, kabinet profesional adalah kabinet yang selalu menampilkan kinerja terbaiknya.
Selalu mengusahakan berada di posisi paling terbaik. Beberapa standar kabinet profesional pementingan kualitas kerja dari sekadar tebar pesona. Sisi profesionalisme diabdikan demi kebaikan masyarakat yang didorong oleh kebaikan hati, bahkan dengan kesediaan berkorban.
Dia mampu mengendalikan mental spiritualnya, sehingga melakukan tindakan berdasarkan nilai-nilai, prinsip hidup, ataupun agama dan kepercayaan yang dianut. Profesionalisme diukur dari "bahasa kerja" bukan untuk kepuasan diri sendiri, tapi lebih untuk kepuasan masyarakat lewat interaksi kerja.
Juga karena sangat memahami bahwa kabinet profesional itu lahir dari kebutuhan masyarakat. Jadi, mereka harus bisa melayani masyarakat sebaik-baiknya secara konsisten dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati. Dorongan membentuk kabinet profesional dari masyarakat, tampak dari angka sebuah lembaga survei beberapa bulan lalu, yaitu 78,3% rakyat menginginkan para pembantu SBY berasal dari kalangan profesional.
Jumlah yang menginginkan menteri berasal dari parpol atau orang partai hanya 4,1%. Kita tetap berharap SBY mau lebih mendengarkan aspirasi rakyat yang justru telah memilihnya ketimbang suara dan tekanan partai politik koalisi. Bukan itu saja, dengan membentuk zaken kabinet SBY akan lebih aman dan tidak diributkan oleh kepentingan sempit parpol.
Dalam hal menjaga keseimbangan sistem pemerintahan presidensialnya, utamanya di domain politik Senayan, SBY dapat memberikan porsi kepada parpol pendukung sebesar 25-30% saja dengan beragam persyaratan kualifikasi personal yang memadai. Di periode kedua ini tidak boleh hal yang pernah terjadi pada periode pertama lalu terulang.
Dengan demikian, SBY bisa maksimal memperhatikan kepentingan rakyat dengan lebih berani dan tegas. Berani melakukan terobosan untuk kemakmuran rakyat sekarang, bukan kemakmuran untuk 10 atau 20 tahun lagi. Karena itu, kita berharap profesionalisme akan menjadi ukuran utama dalam penentuan figur yang akan mengisi kursi menteri.
Angka 60% dukungan rakyat kepada pasangan SBY-Boediono merupakan mandat luar biasa yang mutlak dimaksimalkan menjawab beragam keraguan. Kesalahan memilih maksimal 34 orang pembantunya di jajaran menteri akan berakibat fatal pada kinerja pemerintah selama lima tahun mendatang. Karenanya, formasi kabinet pemerintahan SBY kali ini menjadi pertaruhan riil kapasitas kepemimpinannya untuk Indonesia yang kini sedang berduka.(*)
Pandu Dewanata
Direktur Eksekutif The Indonesian Format
Kewenangan mengangkat dan memberhentikan menteri merupakan hak prerogatif presiden, seperti dijelaskan oleh Pasal 17 ayat 2 UUD 1945. Karena pelimpahan jaminan kewenangan oleh konstitusi itu, maka siapa pun pilihan presiden yang duduk di jajaran menteri tak seorang pun bisa memprotes.
Meski demikian, di dalam menentukan para pembantunya, presiden diharuskan memenuhi standar aturan UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara. Di dalam Pasal 13 ayat 1 dan 2 undang-undang tersebut dimaktubkan bahwa pembentukan kementerian negara mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektivitas, cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas, kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas, dan perkembangan lingkungan global.
Power Positioning
Dua bulan terakhir ini hampir semua partai koalisi menyodorkan nama calon menteri mereka, dari satu hingga empat nama sudah diterima SBY. Bahkan beberapa di antara parpol itu terkesan melakukan penekanan (pressure) terhadap Presiden dengan dalih sebagai investor politik telah mengantarkan kemenangan SBY.
Di satu pihak, SBY justru bereaksi "tidak bersimpati" terhadap pola-pola yang dimainkan parpol pendukung koalisi. Reaksi itu bahkan pernah ditampakkan di depan publik dengan menegaskan bahwa dia tidak perlu diintervensi oleh pihak lain dalam penyusunan kabinet. Kritik lantas muncul dialamatkan kepada parpol pendukung yang kian kentara tendensi traksaksionalnya untuk dukungan mereka terhadap SBY.
Dalam hitungan politik paling akhir, SBY memang tidak mungkin meninggalkan para kolega koalisi sebagai fungsi penopang beragam kebijakan untuk lima tahun mendatang, utamanya dalam politik parlemen (DPR). Di pihak lain, kalangan parpol pendukung menghendaki SBY mau akomodatif terhadap kepentingan mereka. Toh mereka sudah berkeringat untuk kemenangan SBY.
Permintaan posisi dalam konteks ini menjadi sebuah kewajaran politik. Hanya, kesan yang tampak permukaan justru kian memperburuk citra parpol pendukung yang seolah hanya berpretensi pada jabatan menteri belaka. Selain tidak mau terlalu diintervensi oleh kelompok kepentingan lain, SBY akan menunjuk nama-nama yang dinilai tidak berisiko dan mempunyai kualifikasi profesional di bidangnya.
Tetapi dorongan politik juga mendedahkan afirmasinya kepada kelompok pendukung. Pertimbangan di atas memunculkan beragam spekulasi. Paling tidak, ada dua hal pokok yang dapat menjadi pertimbangan bagi SBY untuk memilih para menteri pembantunya, yakni profesionalisme dan mendapat dukungan penuh dari partai politik.
Pertama, pertimbangan pemilihan kabinet dari aspek profesionalitas dan kompetensi, atau dinamakan dengan zaken kabinet (kabinet para ahli). Di tengah problem sosial yang kian kompleks, utamanya beragam bencana alam dan kerusakan infrastruktur ekonomi dan budaya, SBY seolah didorong untuk membentuk kabinetnya berisi orang-orang profesional.
Pemulihan segala aspek kehidupan rakyat, utamanya di domain ekonomi dan sosial-budaya tidak dapat diselesaikan melalui lobi ataupun diplomasi politik, melainkan harus dicari solusinya dengan langkah-langkah konkret para menteri berintegritas dan berkemampuan multiple intelligence.
Tetapi jika hanya mempertimbangkan aspek profesional an-sich dengan minimalisasi parpol pendukung, dikhawatirkan kekuatan politik di tingkat kebijakan perundangan di DPR akan menurun. Kedua, menteri dari representasi partai politik yang mendukung stabilitas di parlemen kelak.
Setiap orang yang ditunjuk bukan saja mewakili dirinya sendiri, tapi mempunyai aspirasi partai politik, sehingga ada jaminan yang menitipkan orang itu tepat agar bisa bekerja baik. Melihat kader partai saat ini, memang ada beberapa tokoh partai yang memiliki kapasitas dan kompetensi sehingga layak duduk menjadi menteri, serta memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan parpol.
Kabinet Profesional
Pertanyaan selanjutnya, sebagai presiden terpilih yang memiliki legitimasi penuh dari rakyat, bagaimana SBY menentukan formasi kabinetnya di tengah dilema antara profesionalisme dan arus politik? Keberanian SBY dalam menentukan formasi kabinet sesungguhnya dapat diukur dari sejauh mana penunjukan nama-nama menterinya bertipe "profesional", baik dari parpol maupun nonparpol.
Dalam konteks ini, kabinet profesional tak lantas meninggalkan parpol, sebab dalam parpol banyak kalangan profesional dan bisa diandalkan untuk memimpin departemen tertentu. Terlepas dari dikotomi parpol dan nonparpol, kabinet profesional adalah kabinet yang selalu menampilkan kinerja terbaiknya.
Selalu mengusahakan berada di posisi paling terbaik. Beberapa standar kabinet profesional pementingan kualitas kerja dari sekadar tebar pesona. Sisi profesionalisme diabdikan demi kebaikan masyarakat yang didorong oleh kebaikan hati, bahkan dengan kesediaan berkorban.
Dia mampu mengendalikan mental spiritualnya, sehingga melakukan tindakan berdasarkan nilai-nilai, prinsip hidup, ataupun agama dan kepercayaan yang dianut. Profesionalisme diukur dari "bahasa kerja" bukan untuk kepuasan diri sendiri, tapi lebih untuk kepuasan masyarakat lewat interaksi kerja.
Juga karena sangat memahami bahwa kabinet profesional itu lahir dari kebutuhan masyarakat. Jadi, mereka harus bisa melayani masyarakat sebaik-baiknya secara konsisten dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati. Dorongan membentuk kabinet profesional dari masyarakat, tampak dari angka sebuah lembaga survei beberapa bulan lalu, yaitu 78,3% rakyat menginginkan para pembantu SBY berasal dari kalangan profesional.
Jumlah yang menginginkan menteri berasal dari parpol atau orang partai hanya 4,1%. Kita tetap berharap SBY mau lebih mendengarkan aspirasi rakyat yang justru telah memilihnya ketimbang suara dan tekanan partai politik koalisi. Bukan itu saja, dengan membentuk zaken kabinet SBY akan lebih aman dan tidak diributkan oleh kepentingan sempit parpol.
Dalam hal menjaga keseimbangan sistem pemerintahan presidensialnya, utamanya di domain politik Senayan, SBY dapat memberikan porsi kepada parpol pendukung sebesar 25-30% saja dengan beragam persyaratan kualifikasi personal yang memadai. Di periode kedua ini tidak boleh hal yang pernah terjadi pada periode pertama lalu terulang.
Dengan demikian, SBY bisa maksimal memperhatikan kepentingan rakyat dengan lebih berani dan tegas. Berani melakukan terobosan untuk kemakmuran rakyat sekarang, bukan kemakmuran untuk 10 atau 20 tahun lagi. Karena itu, kita berharap profesionalisme akan menjadi ukuran utama dalam penentuan figur yang akan mengisi kursi menteri.
Angka 60% dukungan rakyat kepada pasangan SBY-Boediono merupakan mandat luar biasa yang mutlak dimaksimalkan menjawab beragam keraguan. Kesalahan memilih maksimal 34 orang pembantunya di jajaran menteri akan berakibat fatal pada kinerja pemerintah selama lima tahun mendatang. Karenanya, formasi kabinet pemerintahan SBY kali ini menjadi pertaruhan riil kapasitas kepemimpinannya untuk Indonesia yang kini sedang berduka.(*)
Pandu Dewanata
Direktur Eksekutif The Indonesian Format
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya