Oleh: Emil Salim
Kita hadapi gejala ”bumi semakin panas” yang berdampak pada ”perubahan iklim” akibat konsentrasi CO2-ekuivalen yang terbentuk di udara. Sebelum revolusi industri, terdapat lapisan CO2e setebal 280 ppm. Setelah revolusi industri (1780), konsentrasi CO2e meningkat dari 315 ppm (1930) ke 330 ppm (1970), 360 ppm (1990), dan 380 ppm (2008).
Bila pola business as usual berlanjut dalam pembangunan, pada tahun 2050 diperkirakan kita mencapai 500 ppm atau dua kali lipat sebelum revolusi industri. Para ahli sedunia sepakat menetapkan 450-550 ppm konsentrasi CO2e dengan 2,0-2,8 derajat Celsius di atas rata-rata suhu bumi sebelum revolusi industri tahun 1780 sebagai ambang batas yang tak boleh dilampaui agar perikehidupan alami dan manusia bisa berlanjut.
CO2e berasal dari polusi pembakaran minyak bumi dan batu bara yang naik dan menumpuk di udara dan membuat semacam ”selimut” yang membalut bumi ini. Sinar matahari masuk ke bumi dan menghangatkannya, tetapi panas bumi yang seyogianya kembali ke udara kini ”terkurung” sehingga menaikkan suhu bumi. Panas bumi ini mengubah iklim dan memengaruhi kehidupan alami di darat dan laut. Perubahan iklim ini berjalan seiring dengan naiknya kepadatan CO2e.
Mengganggu musim
Di Tanah Air kita, perubahan iklim terutama dipicu oleh deforestasi dan pembukaan lahan serta tanah gambut yang mengurangi kemampuan alam menyerap CO2e, bahkan melepaskan CO2 di dedaunan tanaman dan tanah gambut.
Perencanaan tata ruang bisa mengarahkan lokasi aktivitas ekonomi agar serasi dengan daya dukung alam. Sayang, pengembangan tata ruang kita tidak efektif. Bahkan, pola perencanaan jaringan jalan tol cenderung menerabas kawasan hijau yang mengurangi daya serap CO2e secara alami.
Suhu bumi yang naik mengakibatkan melelehnya bongkah dan gunung es di kutub bumi dan menaikkan permukaan laut. Suhu air laut berubah dan memengaruhi arus angin menjadi topan angin kencang. Hal ini memukul pantai pesisir dan ”memakan” serta menenggelamkan pulau. Di kawasan lautan Pasifik, pulau-pulau Nauru, Vanuatu, Kiribati, dan Kepulauan Marshall sudah tenggelam pada musim air pasang.
Di daratan aliran sungai terhambat mengalir ke laut akibat kenaikan permukaan laut sehingga air sungai terempas kembali ke hulu menimbulkan banjir.
Perubahan iklim juga mengganggu musim. Musim hujan lebih pendek dengan hujan intensif, sedangkan musim kemarau lebih panjang dengan hujan ekstensif. Dalam musim kemarau, evaporasi air permukaan semakin besar dan menciutkan volume air tawar di permukaan bumi. Air tawar menjadi langka.
Perubahan iklim ini berdampak buruk pada kehidupan alam hayati yang terdiri atas genetika plasma nutfah, jenis spesies, dan ekosistem mengalami erosi keanekaragamannya. Ini mengganggu stabilitas dan sustainabilitas kehidupan sumber alam hayati.
Tanpa sumber alam hayati dan air tawar yang cukup di muka Bumi, maka kehidupan manusia pun ikut meredup. Teknologi mungkin masih bisa dikembangkan untuk mengubah air laut menjadi air tawar. Namun, sumber alam genetika, spesies, dan ekosistem ciptaan Tuhan tak tergantikan oleh manusia.
Perubahan iklim berdampak pada pertanian dan seluruh perikehidupan alami yang menggerogoti keberlanjutan kehidupan manusia. Dengan perubahan ruang lingkup alami kehidupan manusia, akan tumbuh virus penyakit baru dipicu oleh perubahan iklim.
Perlu prioritas tinggi
Jelas tampak dampak perubahan iklim pada keberlanjutan hidup alami dan manusia sehingga mengancam ketahanan dan keberlanjutan hidup bangsa kita. Sudah seyogianya perubahan iklim menempati prioritas tinggi dalam agenda pembangunan.
Perubahan iklim menggerogoti ketahanan pangan kita sehingga sudah sewajarnyalah kita sesuaikan perkembangan pertanian dengan perubahan iklim. Musim tanam, bibit tanaman, dan pola pertanian perlu dikaji ulang untuk disesuaikan dengan perubahan iklim.
Sumber minyak bumi cenderung menipis, sedangkan persediaan batu bara melimpah sehingga kita cenderung memanfaatkan batu bara untuk pengembangan energi. Namun, dengan semakin gencarnya persyaratan pengendalian CO2e, kita perlu mengembangkan energi terbarukan sebagai alternatif.
Ini memerlukan kebijakan harga yang lebih berpihak pada energi terbarukan yang melimpah di Tanah Air kita, seperti sumber geotermal, tenaga mikrohidro, tenaga surya, tenaga angin, tenaga gelombang, tenaga biomassa, demi ketahanan energi kita di masa depan.
Kita perlu selamatkan air untuk memberlanjutkan sekuritas air tawar kita. Ini memerlukan secara sungguh-sungguh dukungan politik dan ketatalaksanaan kepemerintahan pusat-daerah yang efektif dalam menerapkan rencana tata ruang menyelamatkan daerah aliran sungai, mencegah deforestasi, memberantas illegal logging dan pembakaran hutan, demi ketahanan sustainabilitas sumber daya alam tropis kita.
Di atas segala-galanya kita perlu menegakkan ketahanan penduduk kita, terutama penduduk miskin di daerah tertinggal, agar mampu berproduksi menghasilkan kebutuhan pokok manusia, seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan. Tidak boleh terulang peristiwa kelaparan penduduk Yahukimo, Papua, karena kegagalan pertanian. Harus ada ”bantal ketahanan pangan” yang menyelamatkannya.
Dengan perubahan iklim yang mulai mencekam alam kita, membangun ketahanan penduduk kita menempati urgensi tertinggi. Ini memerlukan fokus pembangunan pada peningkatan ketahanan penduduk, menaikkan kemampuan setiap anak bangsa kita memenuhi kebutuhan pokoknya, terutama oleh diri sendiri.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah benar mencanangkan semboyan ”Pembangunan untuk Semua”. Kita perlu menanggapi perubahan iklim dengan pengembangan ketahanan nasional dengan melengkapi semboyan ini dengan tambahan kata: ”dan oleh Semua!”
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/15/04303442/.perubahan.iklimdan.ke
Emil Salim Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Kita hadapi gejala ”bumi semakin panas” yang berdampak pada ”perubahan iklim” akibat konsentrasi CO2-ekuivalen yang terbentuk di udara. Sebelum revolusi industri, terdapat lapisan CO2e setebal 280 ppm. Setelah revolusi industri (1780), konsentrasi CO2e meningkat dari 315 ppm (1930) ke 330 ppm (1970), 360 ppm (1990), dan 380 ppm (2008).
Bila pola business as usual berlanjut dalam pembangunan, pada tahun 2050 diperkirakan kita mencapai 500 ppm atau dua kali lipat sebelum revolusi industri. Para ahli sedunia sepakat menetapkan 450-550 ppm konsentrasi CO2e dengan 2,0-2,8 derajat Celsius di atas rata-rata suhu bumi sebelum revolusi industri tahun 1780 sebagai ambang batas yang tak boleh dilampaui agar perikehidupan alami dan manusia bisa berlanjut.
CO2e berasal dari polusi pembakaran minyak bumi dan batu bara yang naik dan menumpuk di udara dan membuat semacam ”selimut” yang membalut bumi ini. Sinar matahari masuk ke bumi dan menghangatkannya, tetapi panas bumi yang seyogianya kembali ke udara kini ”terkurung” sehingga menaikkan suhu bumi. Panas bumi ini mengubah iklim dan memengaruhi kehidupan alami di darat dan laut. Perubahan iklim ini berjalan seiring dengan naiknya kepadatan CO2e.
Mengganggu musim
Di Tanah Air kita, perubahan iklim terutama dipicu oleh deforestasi dan pembukaan lahan serta tanah gambut yang mengurangi kemampuan alam menyerap CO2e, bahkan melepaskan CO2 di dedaunan tanaman dan tanah gambut.
Perencanaan tata ruang bisa mengarahkan lokasi aktivitas ekonomi agar serasi dengan daya dukung alam. Sayang, pengembangan tata ruang kita tidak efektif. Bahkan, pola perencanaan jaringan jalan tol cenderung menerabas kawasan hijau yang mengurangi daya serap CO2e secara alami.
Suhu bumi yang naik mengakibatkan melelehnya bongkah dan gunung es di kutub bumi dan menaikkan permukaan laut. Suhu air laut berubah dan memengaruhi arus angin menjadi topan angin kencang. Hal ini memukul pantai pesisir dan ”memakan” serta menenggelamkan pulau. Di kawasan lautan Pasifik, pulau-pulau Nauru, Vanuatu, Kiribati, dan Kepulauan Marshall sudah tenggelam pada musim air pasang.
Di daratan aliran sungai terhambat mengalir ke laut akibat kenaikan permukaan laut sehingga air sungai terempas kembali ke hulu menimbulkan banjir.
Perubahan iklim juga mengganggu musim. Musim hujan lebih pendek dengan hujan intensif, sedangkan musim kemarau lebih panjang dengan hujan ekstensif. Dalam musim kemarau, evaporasi air permukaan semakin besar dan menciutkan volume air tawar di permukaan bumi. Air tawar menjadi langka.
Perubahan iklim ini berdampak buruk pada kehidupan alam hayati yang terdiri atas genetika plasma nutfah, jenis spesies, dan ekosistem mengalami erosi keanekaragamannya. Ini mengganggu stabilitas dan sustainabilitas kehidupan sumber alam hayati.
Tanpa sumber alam hayati dan air tawar yang cukup di muka Bumi, maka kehidupan manusia pun ikut meredup. Teknologi mungkin masih bisa dikembangkan untuk mengubah air laut menjadi air tawar. Namun, sumber alam genetika, spesies, dan ekosistem ciptaan Tuhan tak tergantikan oleh manusia.
Perubahan iklim berdampak pada pertanian dan seluruh perikehidupan alami yang menggerogoti keberlanjutan kehidupan manusia. Dengan perubahan ruang lingkup alami kehidupan manusia, akan tumbuh virus penyakit baru dipicu oleh perubahan iklim.
Perlu prioritas tinggi
Jelas tampak dampak perubahan iklim pada keberlanjutan hidup alami dan manusia sehingga mengancam ketahanan dan keberlanjutan hidup bangsa kita. Sudah seyogianya perubahan iklim menempati prioritas tinggi dalam agenda pembangunan.
Perubahan iklim menggerogoti ketahanan pangan kita sehingga sudah sewajarnyalah kita sesuaikan perkembangan pertanian dengan perubahan iklim. Musim tanam, bibit tanaman, dan pola pertanian perlu dikaji ulang untuk disesuaikan dengan perubahan iklim.
Sumber minyak bumi cenderung menipis, sedangkan persediaan batu bara melimpah sehingga kita cenderung memanfaatkan batu bara untuk pengembangan energi. Namun, dengan semakin gencarnya persyaratan pengendalian CO2e, kita perlu mengembangkan energi terbarukan sebagai alternatif.
Ini memerlukan kebijakan harga yang lebih berpihak pada energi terbarukan yang melimpah di Tanah Air kita, seperti sumber geotermal, tenaga mikrohidro, tenaga surya, tenaga angin, tenaga gelombang, tenaga biomassa, demi ketahanan energi kita di masa depan.
Kita perlu selamatkan air untuk memberlanjutkan sekuritas air tawar kita. Ini memerlukan secara sungguh-sungguh dukungan politik dan ketatalaksanaan kepemerintahan pusat-daerah yang efektif dalam menerapkan rencana tata ruang menyelamatkan daerah aliran sungai, mencegah deforestasi, memberantas illegal logging dan pembakaran hutan, demi ketahanan sustainabilitas sumber daya alam tropis kita.
Di atas segala-galanya kita perlu menegakkan ketahanan penduduk kita, terutama penduduk miskin di daerah tertinggal, agar mampu berproduksi menghasilkan kebutuhan pokok manusia, seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan. Tidak boleh terulang peristiwa kelaparan penduduk Yahukimo, Papua, karena kegagalan pertanian. Harus ada ”bantal ketahanan pangan” yang menyelamatkannya.
Dengan perubahan iklim yang mulai mencekam alam kita, membangun ketahanan penduduk kita menempati urgensi tertinggi. Ini memerlukan fokus pembangunan pada peningkatan ketahanan penduduk, menaikkan kemampuan setiap anak bangsa kita memenuhi kebutuhan pokoknya, terutama oleh diri sendiri.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah benar mencanangkan semboyan ”Pembangunan untuk Semua”. Kita perlu menanggapi perubahan iklim dengan pengembangan ketahanan nasional dengan melengkapi semboyan ini dengan tambahan kata: ”dan oleh Semua!”
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/15/04303442/.perubahan.iklimdan.ke
Emil Salim Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya