Rabu, 07 Oktober 2009

Kabinet Harapan

Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengisyaratkan akan menyeleksi calon anggota kabinetnya pada awal Oktober 2009.

Menjelang pembentukan kabinet, biasanya muncul wacana seputar siapa yang akan menjadi, dan apakah berasal dari kader partai politik atau kelompok non-partai (profesional)? Selama ini bisa kita lihat Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009) merupakan komposisi seimbang antara keduanya.

Akankah kabinet 2009-2014 sama dengan komposisi periode sebelumnya? Presiden SBY mungkin telah memiliki beberapa nama kandidat menteri dan akan memilih berdasarkan hak prerogatif presiden. Demi mewujudkan tujuan sesuai visi dan misi pemerintah, diperlukan kabinet yang solid.

Solid dalam pengertian bahwa meskipun kabinet terdiri dari "kombinasi" berbagai unsur kader partai koalisi dan non-partisan (profesional), tetap dapat bekerja sama dan bersinergis. Penempatan the right man in the wrong place (orang baik pada posisi yang kurang pas) bisa mengganggu akselerasi pencapaian target pemerintah SBY pada periode kedua ini. Maka, pemilihan anggota kabinet hendaknya didasarkan pada profesionalisme di bidangnya, terlepas sebagai kader partai atau bukan.

Jabatan Politis

Di negara modern, posisi menteri merupakan political appointed by the president. Artinya, jabatan politis. Suatu pemerintahan bila tidak didukung suara partai mayoritas tunggal (single majority) akan sulit menjalankan kebijakannya karena terganjal kepentingan yang saling berhadapan (vested-interest) di lembaga legislatif.

Atas kondisi itu, diperlukan dukungan dari partai lain dengan berkoalisi. Seperti dalam proses legislasi di DPR, akan sangat dipengaruhi oleh suara partai politik. Pada konteks ini, meskipun partai pemerintah (Partai Demokrat) merupakan mayoritas di lembaga legislatif 2009, peranan dan dukungan partai koalisi tetap diperlukan.

Dalam The Politics of Quasi-Government (2006), Jonathan GS Koppell mengemukakan bahwa salah satu keberhasilan pemerintahan merealisasikan targetnya terletak pada kinerja birokrasi, di samping dukungan partai politik. Meskipun lembaga atau departemen dipimpin oleh sosok yang ditunjuk (appointed), namun keberhasilan kinerja birokrasi lebih bersandar pada aparatus di bawahnya secara keseluruhan.

Koppell menyebut hybrid bermakna "pencangkokan". Maksudnya, anggota kabinet boleh dari unsur apa pun dalam masyarakat asal didasarkan pada profesionalitas. Pandangan bahwa harus "orang/ kader partai" boleh tidak dianut bila kualifikasi profesionalitas ada di luar. Ini satu bentuk justifikasi politik.

Dan tampaknya tidak terlalu sulit bagi seorang SBY. Pemilihan Boediono sebagai wakil presiden, di tengah masukan partai politik yang menginginkan kadernya dipilih sebagaimana "kohabitasi" pada periode pertama, jelas memperlihatkan sikap politik SBY. Maka, hampir pasti bahwa Presiden SBY tidak akan ragu dalam memilih para pembantunya termasuk siapa pun yang berada di luar partai politik.

Profesionalitas, menurut hemat saya, akan menjadi dasar pertimbangan utama sesuai target pemerintahan. Namun setidaknya, figur non-partisan yang akan dipilih juga acceptable, jauh dari resistensi kalangan partai politik koalisi. Bila akhirnya kader partai koalisi diakomodir dalam kabinet, itu tidak ditafsirkan sebagai bentuk etika politik dengan tujuan pragmatis atas dasar een eerschuld (utang budi).

Dengan demikian, sejatinya para menteri merupakan individu crème de la crème (yang terbaik) dan pantas. Stephen Hess, mantan staf senior kepresidenan AS dan penasihat Presiden Gerald Ford dan Jimmy Carter dalam What Do We Do Now?: A Workbook for the President-elect (2009) mengingatkan bahwa presiden terpilih AS hanya memiliki waktu sangat singkat (11 minggu) saat dinyatakan menang untuk segera menyusun kabinet.

Komposisi kabinet baru, menurut Hess, sebaiknya merupakan gabungan dari seluruh elemen dalam masyarakat, kader partai, dan "orang luar" (profesional). Pandangan Hess atas how to "arrange all the boxes" (menata seluruh kotak) memberi gambaran bahwa seorang Presiden AS selalu dihadapkan pada tarikmenarik kepentingan yang saling berlomba masuk dalam "ring satu" di Gedung Putih.

Tantangan ke Depan

Di bawah Pemerintahan SBY, citra Indonesia di mata internasional semakin baik. Indonesia senantiasa berperan aktif di berbagai event internasional, seperti KTT G-20 di Pittsburgh, AS 24-25 September 2009. Dalam G-20, Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asia Tenggara yang terlibat.

Terlepas dari berbagai kritik terhadap G-20, capaian pemerintah di event internasional seperti kontribusi dan partisipasi dalam G-20 patut diapresiasi. Pemerintah SBY-Boediono saat ini mendapat kepercayaan dan amanat rakyat. Ke depan, Indonesia menghadapi berbagai persoalan krusial.

Reformasi menyeluruh di hampir semua sektor dan birokrasi, mendesak ditindaklanjuti. Di ranah hukum; peradilan dan perundang-undangan masih tumpang tindih (overlapping), sementara berbagai peraturan di tingkat pusat dan daerah (perda) hendaknya lebih sinkron.

Penyelesaian beberapa RUU seperti Pengadilan Tipikor dan Rahasia Negara masih menghadapi kendala sehingga membutuhkan political will pemerintah. Dalam bidang ekonomi, ancaman krisis global masih berkelanjutan. AS dan Jepang dalam beberapa tahun terakhir masih merasakan pahitnya "tsunami ekonomi" seperti kolapsnya perusahaan raksasa mereka, ancaman PHK massal, dan tingkat pengangguran yang mencapai angka tertinggi sejak Perang Dunia II.

Indonesia, meskipun secara fundamental ekonomi berangsur baik, masih dihadapkan pada ancaman aktivitas ekonomi stagnan, krisis perbankan dan kebangkrutan perusahaan serta angka pengangguran terus berjalan sebagai dampak krisis global. Harapan datang seiring terbentuknya susunan kabinet baru. Para perumus kebijakan ekonomi arifnya tidak terlena dengan capaian angka pertumbuhan ekonomi (economic growth) positif.

Angka pertumbuhan yang sangat dipuja oleh pendukung mazhab klasik (Adam Smith) hingga penganut "welfare economics", hendaknya diimbangi dengan rencana strategi pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi saja tidak akan menjamin kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan bagi semua.

Pembangunan ekonomi yang terencana, terukur dan terkendali (economic guidance) pasti akan mewujudkan pertumbuhan ekonomi tinggi plus jaminan pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan yang lebih merata. Namun pembangunan ekonomi mensyaratkan kestabilan pranata sosial dan politik. Pada tataran ini, diperlukan dukungan segenap komponen masyarakat (civil society).(*)

Julian Aldrin Pasha
Wakil Dekan FISIP Universitas Indonesia

1 komentar:

  1. trim postingnya, sangat bermutu dan baik sekali untuk kerangka berpikir dalam menulis.

    BalasHapus

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...