"KEMITRAAN dan kerja sama global terus kita kembangkan. Hubungan dan kerja sama antarbangsa harus berada dalam konteks yang saling menguntungkan dan berkeadilan. Prinsip ini harus kita pegang teguh, baik dalam lingkup hubungan dan kerja sama regional maupun global. Kerja sama dan kemitraan antarbangsa juga harus tetap mengedepankan kepentingan nasional." Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rapat Paripurna DPR RI, 14 Agustus 2009.
Alkisah, beberapa nelayan Madura ditangkap di perairan Australia. Saat di ruang pengadilan, hakim bertanya mengapa nelayan tersebut mencuri ikan-ikan Australia. Dengan jujur dan polos sang nelayan menjawab, "Yang Mulia, kami tidak berniat mencuri ikan milik rakyat Australia, mencuri adalah pekerjaan terkutuk. Kami hanya mengejar, berupaya menangkap, dan membawa pulang ikan-ikan kami yang berenang ke perairan Australia."
Anekdot ini terkesan mengolok-olok orang Madura. Namun, jika kita mencermatinya dengan kepala dingin dan hati terbuka, kita akan terkagum-kagum dengan pengetahuan para nelayan itu yang seolah sudah paham betul akan fenomena migrasi ikan.
Para ilmuwan sudah lebih dari satu dekade melakukan debat ilmiah untuk mengenali pola migrasi ikan-ikan khususnya tuna, baik tuna sirip biru, sirip kuning, dan mata besar. Migrasi tuna ini terjadi di laut Pasifik, Atlantik, dan Samudera Hindia. Banyak faktor yang memicu debat ilmiah ini.
Ada yang berdalih mencari tahu dan menjawab keingintahuan ilmuwan biologi akan perilaku tuna yaitu mencari tahu jenis dan pola pakan, beranak-pinak, dan predator. Ada pula yang memandang dari fisika statik seperti salinitas dan temperatur dan dinamika air laut seperti pola arus laut sebagai faktor penentu migrasi.
Bahkan shusiyang semula hanya makanan khas orang Jepang namun kemudian merebak ke segala penjuru dunia ikut ambil bagian dalam debat seputar migrasi tuna ini mengingat salah satu bagian penting dari shusi adalah ketersediaan tuna berkualitas tinggi dan segar. Berbagai metode studi dan riset serta instrumen ukur dikembangkan untuk memahami fenomena migrasi tuna ini.
Diskusi dan debat ilmiah ini yang kemudian memberi pengertian bagaimana perilaku migrasi tuna ini. Di kawasan mana tuna bertelur dan membesarkan turunannya, ke mana migrasi dan kapan waktu tuna ini bermigrasi sudah mulai dipahami. Pemahaman ini kemudian menyadarkan kita bahwa tuna tidak tepat dibudidayakan di satu tempat saja. Migrasi adalah pola hidup alamiah tuna.
Tidak ada batas laut sampai batas negara yang membatasi gerak migrasi tuna ini. Tantangan bagi kita menerima fakta ini dan mencari alternatif-alternatif untuk disepakati secara global, alternatif yang memberi keuntungan terbaik bagi kita dari migrasi tuna melanglang lintas laut dan Samudera. Keadilan dan keberlanjutan tentu dijadikan nilai luhur dalam pemilihan alternatif eksploitasi tuna. Jika tidak, kepunahan akan mengancam populasi tuna yang lezat dan bergizi ini.
Brain Drain, Menjadi Perhatian Dunia dan Musuh Bersama
Fenomena yang serupa dengan migrasi tuna ini juga terjadi pada kita. Kesepakatan mengakhiri Perang Dunia II telah menciptakan situasi yang kondusif bagi beberapa negara untuk membangun sosioekonominya. Terjadi pertumbuhan yang pesat di beberapa negara.
Sementara itu beberapa negara lain tertinggal bahkan terperangkap dalam kemiskinan dan ada juga yang mengalami pertikaian dan perebutan kekuasaan dalam negeri. Terjadi beda potensi ekonomi dan sosio-politik. Perbedaan potensi ini memicu perpindahan khususnya ilmuwan yang migrasi dari satu negara ke negara lain.
Migrasi ilmuwan ini yang kemudian menjadi isu global dan dikenal sebagai fenomena brain drain, yaitu para otak encer lari dari negara aslinya dan mengadu untung di negara lain yang dipandang lebih menjanjikan baik dari ukuran kesempatan menyalurkan kreativitas dan inovasi bahkan ada juga yang hijrah karena menengok fatamorgana ketenangan hidup di seberang sana.
Penggunaan istilah brain drain yang dalam kosakata kita berarti kuras otak jelas bermakna negatif yaitu kerugian yang dialami yaitu berkurangnya jumlah orang pintar oleh negara di mana sang otak encer berasal. Tudingan ketimpangan atau ketidakadilan menjadi tantangan dunia.
Tak pelak, Kofi Annan yang kemudian digantikan Bang Kiimoon sebagai Sekjen PBB berteriak lantang untuk menghentikan fenomena brain drain yang merugikan ini. Beberapa artikel yang mengupas misalnya berjudul Bolivarian Brain Drain yaitu fenomena kuras otak yang bergejolak di negara- negara Amerika Latin.
Pemimpin fenomenal seperti Hugo Chavez berdiri di depan dan berteriak keras mengingatkan dunia akan ketidakadilan pada negara-negara Amerika Latin. Begitu juga artikel berjudul Shanghai Brain Drain dan African Brain Drain. Sejak krisis Asia di 1998 yang juga membuat Indonesia sengsara, kita sering mendengar, membaca, dan melihat tayangan seputar fenomena brain drain ini di Tanah Air.
Beberapa di antaranya eksodus ahli dirgantara ke pabrik-pabrik di Jerman, Prancis, Inggris, Belanda, USA, Brasil, dan Canada; hengkangnya ahli nuklir ke Eropa, Asia, dan Amerika; juara-juara Olimpiade Iptek yang mendapat tawaran beasiswa menggiurkan dari negara tetangga; berbondongnya dosen dan peneliti ke Negara Jiran.
Menarik menyimak penggalan pidato Shimon Perez saat mengulas fenomena brain drain, yaitu "Historically, wars between nations, and later between people, have always been about land and its appropriation. Now that the land is generally distributed, a new type of war has appeared, the war about technology and its control. This is, I believe, the new threat for the upcoming century ".
Pengembangan dan penguasaan teknologi yang disebut Shimon Perez ini ditengarai sebagai pemicu terjadinya mobilitas otak encer. Di era globalisasi ini teknologi dijadikan senjata pamungkas dalam memosisikan diri bagi suatu negara penjadi pemain utama. Terjadi perlombaan yang tidak adil yang menjadikan yang kuat ekonominya semakin kuat teknologinya.
Tanpa kemampuan mengembangkan dan menguasai teknologi telah berakibat pada terciptanya suatu kondisi sebagai konsumen semata bahkan memaksa menjadi tamu di negaranya sendiri. Ketimpangan menjadi pemantik terjadinya kecemburuan sosial bahkan menjurus pada ketegangan politik antarnegara. Independensi dan keadilan yang menjadi nilai luhur PBB tertantang oleh fenomena brain drain ini.
Manfaat Migrasi Otak Encer
Beberapa negara ada yang dengan sengaja mendorong terjadinya mobilitas orang pintarnya ke negara-negara yang dipandang sebagai sumber inovasi teknologi. Tengok misalnya bagaimana Jepang, Korea Selatan, India, dan China memfasilitasi ilmuwannya ke AS dan Eropa.
Ilmuwan ini diperlakukan sebagai duta besar atau special envoy dengan misi ikut mengembangkan dan menguasai teknologi. Kemajuan teknologi yang diikuti kemajuan ekonomi di Korea Selatan, Jepang, India, dan China tak pelak adalah kontribusi ilmuwan yang hijrah baik sementara atau selamanya ke negara sumber inovasi.
Walaupun demikian, kebijakan mobilitas ilmuwan ini juga tidak lepas dari pro dan kontra sosio-politik. Dengan menggunakan kekuatan ekonomi kemudian beberapa langkah strategis dilakukan dengan tujuan mengambil manfaat maksimal dari kaum otak encer tersebut.
Menjadikan mereka sebagai duta besar iptek adalah hanya salah satu cara. Keberadaan ilmuwan di seberang sana akan menjadi pemasok informasi tangan pertama bagi rekan-rekannya di kampung halaman. Mereka juga menjadi pembuka peluang dan pembuka jalan mengalirnya investasi dan devisa.
Membuka peluang, menyediakan fasilitas setara, dan memberi kompensasi ekstra yang kemudian dipopulerkan dengan istilah reverse brain drain juga cara yang telah banyak terbukti memberikan manfaat. China, India, Brasil, dan Pakistan adalah contoh negara-negara yang getol dalam program reverse brain drain.
Memusuhi dan menuding mereka tidak nasionalis hanya akan memperburuk situasi dan semuanya akan rugi. Negara dan rakyat tempat asal tidak mendapat manfaat, ilmuwan yang sedang hijrah semakin enggan pulang dan tak mau berbagi. Jangan picik menilai mereka sebagai brain drain yang merugikan tanah leluhurnya, terimalah ini sebagai kenyataan, bukan untuk dihindari, melainkan untuk dicari hikmah dan manfaatnya.
Penggalan pidato Presiden RI pada Rapat Paripurna DPR RI di atas adalah sikap positif, mengajak kita untuk membuka pikiran dan mencari peluang serta menerima globalisasi sebagai strategi kerja sama internasional - orang per orang, institusi per institusi, sampai negara per negara.
Lebih jauh lagi, Presiden telah mengajak kita mengubah paradigma dari perangkap mengecam brain drainmenuju mengambil manfaat--brain gain--dari migrasi otak encer-- brain circulation. Presiden Soekarno pernah berujar, "Biarkan sumber daya alam kita tersimpan di bumi ini sampai saatnya nanti anak negeri ini mampu menggali dan mengolahnya sendiri".
Di sini ditekankan betapa pentingnya membuat anak negeri memiliki kemampuan yang mumpuni. Hijrah ke mancanegara adalah upaya efektif untuk meningkatkan kemampuan anak negeri. Pemberian kesempatan (affirmative action) menggali dan mengolah kekayaan zamrud khatulistiwa adalah pengejawantahan dari reverse brain drain.
Sebagai penutup, mari samasama menyimak hipotesa: Indonesia hanya akan maju teknologinya dan ekonominya jika terdapat cukup jumlah otak encer anak negeri yang berkarier dan berkarya di mancanegara. Buka peluang agar 10% dari otak encer negeri ini berkompetisi dalam sirkuit internasional, brain circulation. Jangan biarkan kita terperangkap dan terkecoh oleh tudingan brain drain.(*)
KUSMAYANTO KADIMAN,
Menteri Negara Riset dan Teknologi
(//mbs)
Alkisah, beberapa nelayan Madura ditangkap di perairan Australia. Saat di ruang pengadilan, hakim bertanya mengapa nelayan tersebut mencuri ikan-ikan Australia. Dengan jujur dan polos sang nelayan menjawab, "Yang Mulia, kami tidak berniat mencuri ikan milik rakyat Australia, mencuri adalah pekerjaan terkutuk. Kami hanya mengejar, berupaya menangkap, dan membawa pulang ikan-ikan kami yang berenang ke perairan Australia."
Anekdot ini terkesan mengolok-olok orang Madura. Namun, jika kita mencermatinya dengan kepala dingin dan hati terbuka, kita akan terkagum-kagum dengan pengetahuan para nelayan itu yang seolah sudah paham betul akan fenomena migrasi ikan.
Para ilmuwan sudah lebih dari satu dekade melakukan debat ilmiah untuk mengenali pola migrasi ikan-ikan khususnya tuna, baik tuna sirip biru, sirip kuning, dan mata besar. Migrasi tuna ini terjadi di laut Pasifik, Atlantik, dan Samudera Hindia. Banyak faktor yang memicu debat ilmiah ini.
Ada yang berdalih mencari tahu dan menjawab keingintahuan ilmuwan biologi akan perilaku tuna yaitu mencari tahu jenis dan pola pakan, beranak-pinak, dan predator. Ada pula yang memandang dari fisika statik seperti salinitas dan temperatur dan dinamika air laut seperti pola arus laut sebagai faktor penentu migrasi.
Bahkan shusiyang semula hanya makanan khas orang Jepang namun kemudian merebak ke segala penjuru dunia ikut ambil bagian dalam debat seputar migrasi tuna ini mengingat salah satu bagian penting dari shusi adalah ketersediaan tuna berkualitas tinggi dan segar. Berbagai metode studi dan riset serta instrumen ukur dikembangkan untuk memahami fenomena migrasi tuna ini.
Diskusi dan debat ilmiah ini yang kemudian memberi pengertian bagaimana perilaku migrasi tuna ini. Di kawasan mana tuna bertelur dan membesarkan turunannya, ke mana migrasi dan kapan waktu tuna ini bermigrasi sudah mulai dipahami. Pemahaman ini kemudian menyadarkan kita bahwa tuna tidak tepat dibudidayakan di satu tempat saja. Migrasi adalah pola hidup alamiah tuna.
Tidak ada batas laut sampai batas negara yang membatasi gerak migrasi tuna ini. Tantangan bagi kita menerima fakta ini dan mencari alternatif-alternatif untuk disepakati secara global, alternatif yang memberi keuntungan terbaik bagi kita dari migrasi tuna melanglang lintas laut dan Samudera. Keadilan dan keberlanjutan tentu dijadikan nilai luhur dalam pemilihan alternatif eksploitasi tuna. Jika tidak, kepunahan akan mengancam populasi tuna yang lezat dan bergizi ini.
Brain Drain, Menjadi Perhatian Dunia dan Musuh Bersama
Fenomena yang serupa dengan migrasi tuna ini juga terjadi pada kita. Kesepakatan mengakhiri Perang Dunia II telah menciptakan situasi yang kondusif bagi beberapa negara untuk membangun sosioekonominya. Terjadi pertumbuhan yang pesat di beberapa negara.
Sementara itu beberapa negara lain tertinggal bahkan terperangkap dalam kemiskinan dan ada juga yang mengalami pertikaian dan perebutan kekuasaan dalam negeri. Terjadi beda potensi ekonomi dan sosio-politik. Perbedaan potensi ini memicu perpindahan khususnya ilmuwan yang migrasi dari satu negara ke negara lain.
Migrasi ilmuwan ini yang kemudian menjadi isu global dan dikenal sebagai fenomena brain drain, yaitu para otak encer lari dari negara aslinya dan mengadu untung di negara lain yang dipandang lebih menjanjikan baik dari ukuran kesempatan menyalurkan kreativitas dan inovasi bahkan ada juga yang hijrah karena menengok fatamorgana ketenangan hidup di seberang sana.
Penggunaan istilah brain drain yang dalam kosakata kita berarti kuras otak jelas bermakna negatif yaitu kerugian yang dialami yaitu berkurangnya jumlah orang pintar oleh negara di mana sang otak encer berasal. Tudingan ketimpangan atau ketidakadilan menjadi tantangan dunia.
Tak pelak, Kofi Annan yang kemudian digantikan Bang Kiimoon sebagai Sekjen PBB berteriak lantang untuk menghentikan fenomena brain drain yang merugikan ini. Beberapa artikel yang mengupas misalnya berjudul Bolivarian Brain Drain yaitu fenomena kuras otak yang bergejolak di negara- negara Amerika Latin.
Pemimpin fenomenal seperti Hugo Chavez berdiri di depan dan berteriak keras mengingatkan dunia akan ketidakadilan pada negara-negara Amerika Latin. Begitu juga artikel berjudul Shanghai Brain Drain dan African Brain Drain. Sejak krisis Asia di 1998 yang juga membuat Indonesia sengsara, kita sering mendengar, membaca, dan melihat tayangan seputar fenomena brain drain ini di Tanah Air.
Beberapa di antaranya eksodus ahli dirgantara ke pabrik-pabrik di Jerman, Prancis, Inggris, Belanda, USA, Brasil, dan Canada; hengkangnya ahli nuklir ke Eropa, Asia, dan Amerika; juara-juara Olimpiade Iptek yang mendapat tawaran beasiswa menggiurkan dari negara tetangga; berbondongnya dosen dan peneliti ke Negara Jiran.
Menarik menyimak penggalan pidato Shimon Perez saat mengulas fenomena brain drain, yaitu "Historically, wars between nations, and later between people, have always been about land and its appropriation. Now that the land is generally distributed, a new type of war has appeared, the war about technology and its control. This is, I believe, the new threat for the upcoming century ".
Pengembangan dan penguasaan teknologi yang disebut Shimon Perez ini ditengarai sebagai pemicu terjadinya mobilitas otak encer. Di era globalisasi ini teknologi dijadikan senjata pamungkas dalam memosisikan diri bagi suatu negara penjadi pemain utama. Terjadi perlombaan yang tidak adil yang menjadikan yang kuat ekonominya semakin kuat teknologinya.
Tanpa kemampuan mengembangkan dan menguasai teknologi telah berakibat pada terciptanya suatu kondisi sebagai konsumen semata bahkan memaksa menjadi tamu di negaranya sendiri. Ketimpangan menjadi pemantik terjadinya kecemburuan sosial bahkan menjurus pada ketegangan politik antarnegara. Independensi dan keadilan yang menjadi nilai luhur PBB tertantang oleh fenomena brain drain ini.
Manfaat Migrasi Otak Encer
Beberapa negara ada yang dengan sengaja mendorong terjadinya mobilitas orang pintarnya ke negara-negara yang dipandang sebagai sumber inovasi teknologi. Tengok misalnya bagaimana Jepang, Korea Selatan, India, dan China memfasilitasi ilmuwannya ke AS dan Eropa.
Ilmuwan ini diperlakukan sebagai duta besar atau special envoy dengan misi ikut mengembangkan dan menguasai teknologi. Kemajuan teknologi yang diikuti kemajuan ekonomi di Korea Selatan, Jepang, India, dan China tak pelak adalah kontribusi ilmuwan yang hijrah baik sementara atau selamanya ke negara sumber inovasi.
Walaupun demikian, kebijakan mobilitas ilmuwan ini juga tidak lepas dari pro dan kontra sosio-politik. Dengan menggunakan kekuatan ekonomi kemudian beberapa langkah strategis dilakukan dengan tujuan mengambil manfaat maksimal dari kaum otak encer tersebut.
Menjadikan mereka sebagai duta besar iptek adalah hanya salah satu cara. Keberadaan ilmuwan di seberang sana akan menjadi pemasok informasi tangan pertama bagi rekan-rekannya di kampung halaman. Mereka juga menjadi pembuka peluang dan pembuka jalan mengalirnya investasi dan devisa.
Membuka peluang, menyediakan fasilitas setara, dan memberi kompensasi ekstra yang kemudian dipopulerkan dengan istilah reverse brain drain juga cara yang telah banyak terbukti memberikan manfaat. China, India, Brasil, dan Pakistan adalah contoh negara-negara yang getol dalam program reverse brain drain.
Memusuhi dan menuding mereka tidak nasionalis hanya akan memperburuk situasi dan semuanya akan rugi. Negara dan rakyat tempat asal tidak mendapat manfaat, ilmuwan yang sedang hijrah semakin enggan pulang dan tak mau berbagi. Jangan picik menilai mereka sebagai brain drain yang merugikan tanah leluhurnya, terimalah ini sebagai kenyataan, bukan untuk dihindari, melainkan untuk dicari hikmah dan manfaatnya.
Penggalan pidato Presiden RI pada Rapat Paripurna DPR RI di atas adalah sikap positif, mengajak kita untuk membuka pikiran dan mencari peluang serta menerima globalisasi sebagai strategi kerja sama internasional - orang per orang, institusi per institusi, sampai negara per negara.
Lebih jauh lagi, Presiden telah mengajak kita mengubah paradigma dari perangkap mengecam brain drainmenuju mengambil manfaat--brain gain--dari migrasi otak encer-- brain circulation. Presiden Soekarno pernah berujar, "Biarkan sumber daya alam kita tersimpan di bumi ini sampai saatnya nanti anak negeri ini mampu menggali dan mengolahnya sendiri".
Di sini ditekankan betapa pentingnya membuat anak negeri memiliki kemampuan yang mumpuni. Hijrah ke mancanegara adalah upaya efektif untuk meningkatkan kemampuan anak negeri. Pemberian kesempatan (affirmative action) menggali dan mengolah kekayaan zamrud khatulistiwa adalah pengejawantahan dari reverse brain drain.
Sebagai penutup, mari samasama menyimak hipotesa: Indonesia hanya akan maju teknologinya dan ekonominya jika terdapat cukup jumlah otak encer anak negeri yang berkarier dan berkarya di mancanegara. Buka peluang agar 10% dari otak encer negeri ini berkompetisi dalam sirkuit internasional, brain circulation. Jangan biarkan kita terperangkap dan terkecoh oleh tudingan brain drain.(*)
KUSMAYANTO KADIMAN,
Menteri Negara Riset dan Teknologi
(//mbs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya