Oleh: Wahyu Susilo
Terbitnya Laporan Pembangunan Manusia (HDR) 2009 awal Oktober 2009, tepat momentumnya bagi pemerintahan baru di bawah SBY-Boediono. Ini saatnya mewujudkan janji-janji yang ditebar selama kampanye lalu, terutama upaya mengurangi kemiskinan di Indonesia.
Dalam laporan HDR 2009, Indonesia disebut sebagai negara dengan segudang masalah terkait migrasi, antara lain keruwetan birokrasi, pungutan, dan beban biaya tinggi yang mengakibatkan kerugian bagi kaum migran. Sementara proteksi yang seharusnya menjadi elemen pokok kaum migran masih terabaikan.
Situasi ini menjadi ironi bagi kaum migran yang telah berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan negara di tempat bekerja, serta mengalirkan remitansi yang menggerakkan ekonomi di daerah asal.
Catatan muram tentang Indonesia juga terlihat dari kemerosotan Indeks Pembangunan Manusia. Dalam HDR 2005, Indonesia berada di peringkat 107, HDR 2007-2008 di peringkat 109, dan pada HDR 2009, kita kian merosot, peringkat 111, lebih rendah ketimbang Palestina (110) dan Sri Lanka (102).
Kualitas manusia
Bagi pemerintahan baru SBY-Boediono yang akan memulai masa bakti 20 Oktober 2009, catatan muram ini perlu dimaknai sebagai pengingat, masalah kualitas manusia Indonesia harus menjadi prioritas.
Pasangan SBY-Boediono diharapkan tak terlena oleh ninabobo indikator makroekonomi yang selalu diprediksikan secara optimis dan prospektif. Secara beruntun, lembaga keuangan dunia, seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB, mengoreksi prediksi indikator makroekonomi Indonesia yang sebelumnya diindikasikan melemah.
Namun, pascapenetapan presiden terpilih, indikator itu dikoreksi secara optimistik. Sikap optimistik juga ditunjukkan lembaga pemeringkat ekonomi semisal Fitch dan majalah Economist dengan laporan khusus tentang prospek Indonesia pasca-Pemilu 2009.
Pengalaman membuktikan, ninabobo kokohnya fundamental makroekonomi dari lembaga keuangan internasional itu tak selamanya benar. Pada awal dekade 1990-an, saat pertumbuhan makro ekonomi Indonesia menjulang, Bank Dunia menjuluki Indonesia sebagai Macan Baru Asia, bahkan sempat menyebutnya sebagai Keajaiban Asia.
Namun, puja-puji itu tak terbukti saat krisis mengentak tahun 1997-1998, ekonomi Indonesia ambruk.
Penulis menemukan adanya inkoherensi antara indikator makroekonomi Indonesia yang selalu optimistik (dengan sajian data statistik tentang pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan investasi) dan indikator-indikator terkait kualitas manusia.
Tingkat kesejahteraan
Laporan mengenai perekonomian Indonesia yang disajikan ADB menunjukkan, prospek perekonomian Indonesia amat tahan terhadap terpaan krisis ekonomi, bahkan pertumbuhan ekonomi tetap terjadi. Namun, dalam indikator kunci soal MDGs, ADB mengkhawatirkan Indonesia terhambat dalam pencapaian MDGs, hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan angka kematian ibu melahirkan dari 307 per 100.000 kelahiran menjadi 420 per 100.000 kelahiran.
Pertanyaan kritisnya adalah, apakah indikator makroekonomi yang dinyatakan sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik tidak terkait dengan kesejahteraan dan kesehatan kaum ibu?
Optimisme yang ditunjukkan dalam indikator makroekonomi Indonesia juga layak dipertanyakan dalam konteks ketahanan dan kedaulatan pangan. Beberapa waktu lalu, harian Kompas melaporkan situasi pangan dan pertanian Indonesia dihadapkan serbuan impor bahan pangan. Bahkan, fakta yang menyedihkan adalah bahwa Indonesia (negara kepulauan yang 70 persen wilayahnya adalah laut) adalah negara pengimpor garam.
Mantan Menteri Perekonomian dan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie juga sempat terheran- heran saat Indonesia ternyata juga mengimpor singkong. Dalam laporan situasi pangan dunia 2008 yang diterbitkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia dikategorikan sebagai negara yang rentan mengalami kelaparan massal. FAO menyebut kelaparan massal itu bagai silent tsunami yang bisa merenggut nyawa jutaan orang. Dalam skala mikro, kelaparan dan kematian yang terjadi di Yahukimo tahun 2005 dan berulang tahun 2009 mungkin bagian dari pembunuh tersembunyi itu.
Realitas itu pasti bukan ninabobo, tetapi mungkin bisa menjadi mimpi buruk jika pemerintahan baru SBY-Boediono tidak menempatkan komitmen Indonesia dalam pencapaian MDGs sebagai agenda prioritas dan indikator kinerja pemerintahannya. Rentang waktu pemerintahan baru hampir seiring dengan tenggat akhir pencapaian MDGs tahun 2015. Apakah Indonesia akan mencapainya?
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/15/03090555/mdgs.dan.pemerintahan.
Wahyu Susilo Kepala Divisi Advokasi International NGO Forum on Indonesian Development (Infid)
Terbitnya Laporan Pembangunan Manusia (HDR) 2009 awal Oktober 2009, tepat momentumnya bagi pemerintahan baru di bawah SBY-Boediono. Ini saatnya mewujudkan janji-janji yang ditebar selama kampanye lalu, terutama upaya mengurangi kemiskinan di Indonesia.
Dalam laporan HDR 2009, Indonesia disebut sebagai negara dengan segudang masalah terkait migrasi, antara lain keruwetan birokrasi, pungutan, dan beban biaya tinggi yang mengakibatkan kerugian bagi kaum migran. Sementara proteksi yang seharusnya menjadi elemen pokok kaum migran masih terabaikan.
Situasi ini menjadi ironi bagi kaum migran yang telah berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan negara di tempat bekerja, serta mengalirkan remitansi yang menggerakkan ekonomi di daerah asal.
Catatan muram tentang Indonesia juga terlihat dari kemerosotan Indeks Pembangunan Manusia. Dalam HDR 2005, Indonesia berada di peringkat 107, HDR 2007-2008 di peringkat 109, dan pada HDR 2009, kita kian merosot, peringkat 111, lebih rendah ketimbang Palestina (110) dan Sri Lanka (102).
Kualitas manusia
Bagi pemerintahan baru SBY-Boediono yang akan memulai masa bakti 20 Oktober 2009, catatan muram ini perlu dimaknai sebagai pengingat, masalah kualitas manusia Indonesia harus menjadi prioritas.
Pasangan SBY-Boediono diharapkan tak terlena oleh ninabobo indikator makroekonomi yang selalu diprediksikan secara optimis dan prospektif. Secara beruntun, lembaga keuangan dunia, seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB, mengoreksi prediksi indikator makroekonomi Indonesia yang sebelumnya diindikasikan melemah.
Namun, pascapenetapan presiden terpilih, indikator itu dikoreksi secara optimistik. Sikap optimistik juga ditunjukkan lembaga pemeringkat ekonomi semisal Fitch dan majalah Economist dengan laporan khusus tentang prospek Indonesia pasca-Pemilu 2009.
Pengalaman membuktikan, ninabobo kokohnya fundamental makroekonomi dari lembaga keuangan internasional itu tak selamanya benar. Pada awal dekade 1990-an, saat pertumbuhan makro ekonomi Indonesia menjulang, Bank Dunia menjuluki Indonesia sebagai Macan Baru Asia, bahkan sempat menyebutnya sebagai Keajaiban Asia.
Namun, puja-puji itu tak terbukti saat krisis mengentak tahun 1997-1998, ekonomi Indonesia ambruk.
Penulis menemukan adanya inkoherensi antara indikator makroekonomi Indonesia yang selalu optimistik (dengan sajian data statistik tentang pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan investasi) dan indikator-indikator terkait kualitas manusia.
Tingkat kesejahteraan
Laporan mengenai perekonomian Indonesia yang disajikan ADB menunjukkan, prospek perekonomian Indonesia amat tahan terhadap terpaan krisis ekonomi, bahkan pertumbuhan ekonomi tetap terjadi. Namun, dalam indikator kunci soal MDGs, ADB mengkhawatirkan Indonesia terhambat dalam pencapaian MDGs, hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan angka kematian ibu melahirkan dari 307 per 100.000 kelahiran menjadi 420 per 100.000 kelahiran.
Pertanyaan kritisnya adalah, apakah indikator makroekonomi yang dinyatakan sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik tidak terkait dengan kesejahteraan dan kesehatan kaum ibu?
Optimisme yang ditunjukkan dalam indikator makroekonomi Indonesia juga layak dipertanyakan dalam konteks ketahanan dan kedaulatan pangan. Beberapa waktu lalu, harian Kompas melaporkan situasi pangan dan pertanian Indonesia dihadapkan serbuan impor bahan pangan. Bahkan, fakta yang menyedihkan adalah bahwa Indonesia (negara kepulauan yang 70 persen wilayahnya adalah laut) adalah negara pengimpor garam.
Mantan Menteri Perekonomian dan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie juga sempat terheran- heran saat Indonesia ternyata juga mengimpor singkong. Dalam laporan situasi pangan dunia 2008 yang diterbitkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia dikategorikan sebagai negara yang rentan mengalami kelaparan massal. FAO menyebut kelaparan massal itu bagai silent tsunami yang bisa merenggut nyawa jutaan orang. Dalam skala mikro, kelaparan dan kematian yang terjadi di Yahukimo tahun 2005 dan berulang tahun 2009 mungkin bagian dari pembunuh tersembunyi itu.
Realitas itu pasti bukan ninabobo, tetapi mungkin bisa menjadi mimpi buruk jika pemerintahan baru SBY-Boediono tidak menempatkan komitmen Indonesia dalam pencapaian MDGs sebagai agenda prioritas dan indikator kinerja pemerintahannya. Rentang waktu pemerintahan baru hampir seiring dengan tenggat akhir pencapaian MDGs tahun 2015. Apakah Indonesia akan mencapainya?
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/15/03090555/mdgs.dan.pemerintahan.
Wahyu Susilo Kepala Divisi Advokasi International NGO Forum on Indonesian Development (Infid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya