Senin, 06 April 2009

Roh Profesionalisme

Makfudin Wirya Atmaja, Staf Profesional PPM, Kepala Divisi Penerbitan PPM
Profesionalitas dan etika bisnis adalah roh yang menghidupi dan mengendalikan aktivitas bisnis. Tanpa profesionalitas dan etika, bisnis hanya menggali kubur sendiri. Tapi profesionalisme juga punya roh, yaitu demokrasi, harkat kodrati yang dilekatkan Tuhan pada manusia sebagai mahluk paling utama di bumi. Demokrasi menempatkan kendali di tangan manusia. Dia bebas memilih. Tak ada paksaan. Hanya konsekuensi --yang diciptakannya sendiri-- dan keadilan, yang bersumber dari agama, kebudayaan dan tradisi sebagai manifestasi interaksi antara manusia dengan sesama, alam dan Sang Khalik, sebagai alat untuk mengukurnya..

Profesionalisme kembali menjadi isu sentral dalam khasanah bisnis, setelah sekian lama diabaikan. Salah satu even relevan adalah Seminar Manajemen Profetik, yang diselenggarakan Universitas ParamadinaMulya di Auditorium Binakarna, Kompleks Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Jum’at 5 Maret 1999. Seminar ini menghadirkan Nurcholis Madjid ("Agama dan Etika Bisnis Antara Kemauan Politik dan Keteladanan Kepemimpinan".......makalah saja----Red), Ihsan Ali Fauzi ( "Pusat Melemah, Pinggir Menguat: Tradisi Konfusian dan Etika Bisnis Cina"), Cacuk Sudarijanto ("Manajemen Profetik: Antara Teori dan Praktek"), Faisal Afiff ("Etika Bisnis dan Tanggungjawab Perusahaan") dan Poppy Rufaidah ("Etika Bisnis dan Tanggungjawab Sosial").

Fenomena ini membuktikan manusia tak bisa lepas dari dimensi spritual. Dia akan kembali ke Tuhan, tradisi, nilai-nilai moral, kajian-kajian supranatural, paranormal dan hal-hal lain semacam itu, bila terbentur pada ‘sesuatu’ yang tak dipahami. ‘Sesuatu’ yang tak bisa diatasinya dengan segala cara dan alat. Apalagi bila ‘sesuatu’ itu begitu dahsyatnya sehingga dapat memporakporandakan karier, bisnis dan mengancam jabatannya, seperti krisis total sekarang.

Ada keyakinan --di kalangan praktisi dan pengamat bisnis-- bahwa semua kekacauan ini --terutama kekacauan ekonomi-- disebabkan karena praktisi bisnis telah meninggalkan sikap dan perilaku profesional. Mereka mengenyampingkan etika dalam berbisnis, padahal etika bisnis adalah inti profesionalitas. Pengenyampingan ini terlihat pada suburnya praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan ratusan penyelewengan lainnya. Bersikap dan bertindak etis dalam berbisnis dikategorikan sebagai kebodohan. Sok suci. Sok moralis. Tapi sudahlah...

Apa sebenarnya profesionalitas dan bagaimana wujud bisnis yang etis itu? Apa indikasinya dan bagaimana mengukurnya? Nurcholis Madjid mengatakan bisnis etis adalah bisnis yang mengutamakan akhlak. Akhlak adalah bekal nilai-nilai moral pemberian Tuhan. Akhlak melekat pada dan merupakan perilaku lumintu (konstan) manusia. Sumbernya agama. Selama aktivitas bisnis disinkronkan dengan ajaran agama, bisnis itu etis. Sebaliknya bila praktik bisnis dilakukan dengan melanggar nilai-nilai kepatutan agamis, bisnis itu tak etis. Dengan demikian orang melakukan bisnis bukan untuk bisnis itu sendiri, tetapi untuk mendapatkan hidayah Allah, karena bisnis tidak lebih dari sekedar ibadah, sebuah tugas mulia yang diembankan Tuhan pada manusia untuk menguji imannya, sekaligus untuk menentukan tempat, kelak di sisiNya.

Senada dengan Nurcholis, Ihsan Ali Fauzi, yang mengetengahkan pokok-pokok pikiran Konfusius, menyatakan bisnis yang dijalankan secara profesional --dan dengan sendirinya etis-- ditandai oleh harmoni pada proses dan hasilnya. Tidak etis suatu bisnis bila menimbulkan kekacauan atau konflik antar pelakunya. Praktisi bisnis yang terkena sentuhan Konfusius dengan sendirinya sangat memperhatikan hal-hal yang berimplikasi harmonis, antara lain sikap hormat, sopan dan santun kepada senior, kasih sayang dan perhatian pada yang lebih muda, saling menghargai dengan yang sebaya dan seterusnya. Meskipun belum bisa menjawab mengapa para pendukung Konfusius tidak begitu sukses di negerinya sendiri --RRC-- hal itu tidak mengurangi fakta kesuksesan mereka di perantauan.

Faisal Afiff --dengan contohnya yang kocak tentang bagaimana makna dan praktik etika dipelesetkan masyarakat-- memberikan beberapa tambahan. Kata Faisal bisnis profesional dan beretika itu ditandai dengan kepeduliannya pada lingkungan sosial. Bisnis yang etis harus memberi manfaat maksimal pada lingkungan, bukan sebaliknya, menggerogoti keserasian lingkungan. Faisal melengkapi uraiannya dengan isu-isu krusial menyangkut pentingnya praktisi menerapkan etika bisnis dengan konsisten.

Poppy Rufaidah setuju dengan Faisal. Menurut dia bisnis etis adalah bisnis yang fungsional terhadap lingkungan. Cikal bakalnya keluarga dan masyarakat, karena etika seseorang merupakan perpanjangan dari nilai-nilai etika yang diperolehnya lewat sosialisasi di rumah dan lingkungan sosial. Kedua pembicara sangat menekankan tanggungjawab praktisi bisnis terhadap dampak aktivitas bisnisnya. Atau dalam bahasa Haidar Bagir, yang membuka seminar tersebut, bahwa sekarang bukan zamannya lagi bisnis dieksklusifkan sebagai aktivitas yang berdiri sendiri dan semata-mata ditujukan untuk memberi manfaat kepada pemilik (pengusaha), karena bisnis adalah kegiatan manusia yang berdimensi sosial. Dia harus memberi manfaat pula bagi masyarakat banyak.

Cacuk Sudarijanto membicarakan praktik profesionalitas dan etika bisnis di PT Telkom, ketika di bawah kendalinya. Ternyata, menurut Cacuk, tanpa melibatkan seseorang secara langsung pada implikasi nilai-nilai etika, maka dia tak akan kunjung paham dan peduli dengan apa yang disebut etika itu. Selama tidak menyangkut kepentingan pribadinya orang cenderung tak menyadari eksistensi etika. Hasilnya akan berbeda kalau dia dilibatkan dalam proses penerapan etika tersebut, di mana dia menjadi titik sentral atau fokus perhatian.

Dari beberapa pendapat di atas dapat kita simpulkan bahwa profesionalitas dan etika dalam berbisnis adalah roh yang menghidupi sebuah aktivitas bisnis. Tanpa profesionalitas dan penerapan nilai-nilai etika, seperti berlaku jujur, adil, tepat waktu, konsisten, tak melanggar komitmen, menuntaskan kesepakatan, dan lain-lain tak akan ada praktik bisnis, karena tidak ada pelaku bisnis yang mau bernegosiasi ataupun bertransaksi dengan pihak-pihak yang tak mengikuti aturan main, atau sudah terkenal suka melanggar aturan main. Sejelek-jeleknya praktisi bisnis, tak akan mau dia diperlakukan tak etis oleh mitra bisnisnya.

Tapi apa sebenarnya roh profesionalisme itu? Apa yang menghidupi etika sebagai nilai-nilai moral, sehingga manusia menjadikannya sebagai pedoman menuju hidup yang benar, yang disukai bukan saja oleh sesama manusia, tetapi juga oleh lingkungan fisik dan sosialnya, serta Tuhan Sang Pencipta? Menurut saya jawabannya demokrasi, atau kebebasan dalam memilih, dalam bersikap dan dalam bertindak. Kebebasan yang dibatasi oleh rasa keadilan bersama, sebuah prinsip kebenaran yang bersumber dari agama, kebudayaan dan tradisi.

Demokrasi sebagai harkat kodrati adalah anugerah Tuhan yang tak terhingga nilainya bagi umat manusia. Sebagai Sang Maha Demokrat, Tuhan memberikan kebebasan yang sangat luas pada manusia untuk menentukan pilihan hidup, termasuk dalam berbisnis sebagai salah satu cara manusia memenuhi kebutuhan. Mau mengikuti jalan yang diridhoi atau jalan yang dilarangNya. Terserah. Tak ada paksaan. Hanya penjelasan, bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya.

Mengikuti perintahNya tidak gampang. Jalannya penuh rintangan dan godaan. Tapi berujung di keabadian rahmatNya (surga). Misalnya jangan korupsi, penuhi standar kualitas meskipun nilai riil proyek melonjak tiba-tiba, menangkan tender dengan benar, jangan lewat kongkalikong, meskipun cara tersebut lazim dilakukan kompetitor dan cenderung efektif.

Sebaliknya hampir semua laranganNya dikemas dengan keindahan, kenikmatan, kemewahan, kemuliaan, kekuasaan. Begitu penuh pesona dan menyilaukan. Cuma, jalan itu berakhir dengan kehinaan abadi (neraka). Contohnya mark-up nilai proyek, menang tender tanpa modal, cukup memo sakti dari penguasa dengan janji bakal dibagi persentase keuntungan, dimanjakan dengan wanita atau gigolo, dan sejenis itu.

Pilihannya jelas, mau senang belakangan atau sekarang? Tak ada paksaan dan ancaman, hanya peringatan. Mau didengar syukur, tak dipedulikan tak apa-apa.

Mereka yang berorientasi ke alam nyata (jangka pendek) cenderung memilih jalan terlarang. Mungkin karena memang enak, atau akibat ketidaksabaran. Bisa jadi pula karena mereka tidak yakin dengan iming-iming yang abstrak itu. Atau mungkin mereka memang tak punya kepedulian. Atau lemah iman. Maklum untuk memilih jalan yang diridhoi butuh iman dan ketaqwaan super kuat, dalam bentuk komitmen, konsistensi, loyalitas, tekad pencapaian dan semangat pantang menyerah. Sedangkan jalan terlarang sangat mudah. Tanpa melakukan apa pun orang sudah bisa melaju. Tak ada hambatan, bahkan loket retribusi, karena dosa tak membutuhkan biaya.

Mereka yang berorientasi ke alam gaib (jangka panjang) sebaliknya. Tujuan hidup mereka berbeda. Mereka sadar Tuhan menciptakan manusia untuk mengabdi dan beribadah kepadaNya. Dengan demikian hidup seharusnya diisi dengan kebajikan, dengan hal-hal yang disukai Tuhan. Mereka menganggap dunia dan segala aktivitas di dalamnya tidak lebih dari suatu rangkaian tes, untuk menguji sejauh mana mereka bisa tetap berada di jalanNya. Mereka melakukan semuanya demi Tuhan, ganjarannya juga terserah Tuhan. Bila dalam upaya itu mereka memperoleh kemuliaan atau kehinaan --menurut ukuran duniawi/manusiawi-- mereka tak menganggapnya sebagai hasil. Semua itu masih cobaan. Dan bisa jadi jebakan.

Jadi selama prinsip-prinsip demokrasi belum tumbuh subur di suatu lingkungan, bisa dipastikan profesionalitas pun sulit berkembang. Di lingkungan seperti ini sungguh absurd bicara tentang etika bisnis.

Rubrik : ulasan topik. File : 599demok.rtf. dari Majalah Manajemen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...