Tidak semua orang terlahir sebagai pemimpin. Hanya sedikit orang yang secara natural memiliki bakat sebagai seorang pemimpin. Kebanyakan orang justru malah menghindar dari tugas memimpin. Namun, kepemimpinan tidak hanya bergantung pada bakat semata, tapi bisa dipelajari, dibangun dan dilatih. Sehingga tidak menutup kemungkinan bagi setiap orang untuk bisa menjadi pemimpin, seberapapun besar atau kecil skala kepemimpinannya.
Kepemimpinan adalah aspek yang seringkali dibutuhkan dalam dunia kerja, apapun posisinya. Contohnya; akan ada ketika Anda harus mengambil alih sebuah situasi seperti mensupervisi pekerjaan rekan kerja, atau ketika Anda harus bekerja tanpa micromanagement dari atasan langsung Anda. Dalam hal sekecil apapun kepemimpinan adalah karakteristik yang dibutuhkan seorang professional.
Dalam karir, ketika Anda dipercaya memegang sebuah posisi yang mengharuskan Anda memimpin, Anda akan dihadapkan dengan tugas mengelola anak buah, menginspirasi dan memotivasi mereka, menciptakan pendekatan positif dalam memimpin mereka dan menciptakan suasana kerja yang kondusif. Terdengar intimidating tetapi bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Begitu banyak tips, trick, studi kasus, solusi yang bisa menjadi guidelines Anda agar bisa menjadi pemimpin yang baik, namun tahukah Anda karakteristik manajemen yang baik seorang pemimpin?
1. Mampu melakukan delegasi pekerjaan.
Regenerasi seringkali jadi masalah karena tak seorangpun dari anak buah memahami dan menguasai tugas pemimpin mereka walaupun mereka telah bertahun-tahun berada di bawah kepemimpinan yang sama. Sesungguhnya seorang pemimpin yang baik percaya akan kemampuan anak buahnya sehingga tidak keberatan untuk mendelegasikan sebagian pekerjaan atau problem untuk dikerjakan dan diatasi anak buahnya. Biarkan mereka melakukan tanggung jawab yang telah Anda bebankan kepada mereka tanpa interfensi berlebihan yang justru malah bisa membuat anak buah Anda tidak percaya diri. Sebagai seorang pemimpin Anda memiliki tugas untuk mengembangkan keterampilan dan rasa percaya diri anak buah Anda sehingga suatu saat nanti, regenerasi tidak menjadi masalah bagi departemen Anda.
2. Mengetahui cara yang tepat untuk mendukung anak buahnya.
Setiap professional akan dihadapkan dengan masalah dalam menjalankan pekerjaan mereka. Pemimpin memang bertanggung jawab untuk membantu mereka menyelesaikan masalah, terutama problem yang memang berada dalam level kepemimpinan Anda. Namun jangan lupa bahwa Anda juga bertanggung jawab mendidik mereka untuk mampu mengatasi krisis yang mereka hadapi. Ajarkan mereka memilah masalah yang sesungguhnya bisa mereka atasi sendiri, atau yang harus diketahui oleh atasannya.
3. Memandang anak buah sebagai mitra kerja, bukan sebagai bawahan yang inferior.
Target kerja departemen dan perusahaan tidak akan tercapai tanpa kontribusi mereka. Karena itulah pandanglah dan perlakukan anak buah Anda sebagai anggota pasukan yang membantu Anda mencapai target kerja. Karena itu dengarkan pendapat, saran terutama keluhan mereka.
4. Tidak segan memberikan pujian.
Setiap hasil kerja mereka yang memuaskan, bahkan melebihi pengharapan, pantas mendapatkan pengakuan dan pujian. Hal yang sederhana seperti perkataan "Good job!" akan meningkatkan rasa percaya diri anak buah Anda. Pada akhirnya penghargaan juga akan diberikan kepada Anda sebagai pemimpin yang mampu mengelola anak buah hingga bisa memiliki prestasi yang membanggakan.
5. Memperlakukan anak buah dengan adil.
Setiap anak buah Anda adalah pribadi unik dengan karakter dan sifat mereka masing-masing. Memang ada kecenderungan manusia untuk lebih suka orang dengan karakter tertentu, namun ingatlah bahwa hal ini tidak berlaku bagi Anda sebagai seorang pemimpin. Tugas Anda adalah mengelola mereka mengembangkan potensi mereka agar bisa menjalankan tugas dan tanggung jawab sebaik - baiknya.
Remember! :
Kepemimpinan bukan bicara mengenai posisi saja, tetapi lebih dari itu, ia berbicara tentang fungsi. Sudahkah Anda berfungsi sebagai seorang pemimpin?
MEDIA KOMUNIKASI KOMUNITAS ALUMNI POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN.
Jumat, 24 April 2009
Senin, 06 April 2009
Teknologi, Perilaku Berorganisasi, dan Citra Perusahaan
Oleh: Ir. Bambang Adi Subagiyo MM, staf pengajar Lembaga Manajemen PPM
Bayangkan! Sudah satu minggu Anda ditinggal istri yang pergi ke luar kota. Malam ini, pukul 23.00, Anda bermaksud melepas kangen dengan menghubunginya melalui handphone. Setelah nada `tut-tut` panjang terdengar tiga kali berturut turut, di seberang terdengar suara seorang laki laki: "Halo, ......" Cerita ini sebaiknya dipotong di sini, karena saya tidak mampu melukiskan bagaimana galaunya perasaan Anda, mendapati kenyataan seperti itu. Padahal, ternyata sang istri sedang tidur nyenyak, tentu saja di ruang yang berlainan dengan laki laki penerima telepon tadi. Handphone sang istri ternyata tertinggal di ruang rapat. Rekan kerjanya menemukan handphone dan membawanya ke penginapan. Rekan kerja itu lupa mematikan handphone itu. Sehingga, pada saat Anda menghubungi handphone tersebut, ialah yang mengangkat.
Kalau kasus seperti di atas terjadi pada telepon di rumah, di kantor atau pun di tempat lain, saya yakin penelepon pasti tidak akan mempunyai dugaan yang macam-macam. Kenapa kita bereaksi seperti itu? Karena secara umum orang akan berpendapat bahwa handphone (dalam persepsi kita) selalu dikaitkan dengan privacy seseorang. Ini berarti bahwa teknologi cenderung membawa serta atribut perilaku, atau paling sedikit sopan-santun. Atribut dan sopan-santun ini harus dipatuhi setiap orang, agar tidak terjadi konflik atau kesalahan persepsi dalam menanggapi kenyataan yang ditimbulkan oleh penggunaan teknologi tersebut. Itu sebabnya, sebagian orang menyarankan: kalau handphone teman kencan Anda tertinggal, cepat matikan sebelum Anda membawanya.
Pada level individu, teknologi menuntut adanya perubahan sikap dan perilaku individu penggunanya. Pada level organisasi bagaimana dampak penggunaan teknologi pada perilaku manusia?
Teknologi dan Perilaku Berorganisasi Ketika PT Rindu Order memutuskan penggunaan jaringan komputer sebagai peralatan komunikasi internal kantor, maka istilah e-mail (surat elektronik) menjadi populer di kantor. Ketika masa perkenalan terhadap teknologi baru tersebut dianggap cukup, pihak direksi memutuskan agar semua surat internal menggunakan e-mail, termasuk di dalamnya undangan rapat.
Konsekuensi keputusan di atas adalah setiap karyawan di PT Rindu Order harus membuka e-mail paling sedikit dua kali dalam satu hari: pagi hari pada saat mulai bekerja, dan sore hari ketika akan meninggalkan kantor. Dengan demikian tidak akan terjadi undangan rapat untuk esok hari baru diketahui beberapa hari kemudian. Konsekuensi berikutnya, penerima undangan rapat melalui e-mail tidak dapat berdalih belum membaca atau memperoleh surat undangan. Dulu, pada saat surat undangan rapat dibuat secara tertulis di atas kertas, sering kali orang berdalih bahwa surat undangan terselip atau tidak dterima. Pada surat elektronik, begitu Anda membuka loket e-mail yang berisi surat tersebut maka pengirim surat undangan rapat akan mendapat pemberitahuan bahwa suratnya telah dibaca. Oleh sebab itu, kebiasaan pura-pura tidak tahu adanya undangan rapat secara otomatis akan ditinggalkan.
Uraian di atas, melukiskan dengan cukup jelas bahwa penggunaan teknologi akan berdampak pada perubahan perilaku berorganisasi karyawan. Padahal, mengubah perilaku organisasi itu selain membutuhkan waktu lama, juga memerlukan usaha yang besar. Yang menjadi pertanyaan berikutnya, mengapa banyak perusahaan masih nekad mengintroduksi teknologi baru di perusahaannya?
Teknologi dan Citra Perusahaan Sebuah bank pemerintah yang cukup besar, menggunakan fasilitas online (meskipun belum sepenuhnya) dengan tujuan agar para nasabah dapat memperoleh lebih banyak kemudahan dibanding sebelumnya. Suatu hari, saya harus mengisi tabungan orang-tua di bank yang sama, tetapi dari cabang yang berbeda. Karena tidak tahu adanya fasilitas tersebut, saya memilih instrumen pengiriman uang lewat bank. Teller memproses transaksi tersebut seperti biasanya dan saya membayar sekitar sepuluh ribu rupiah untuk itu. Kejadian ini, akan terasa berbeda bila teller mengambil sikap begini: "Kita sudah memiliki fasilitas online, dan bapak dapat mengirim uang ini melalui fasilitas transfer antarcabang secara gratis." Tentu saja, saya akan merasa sangat beruntung, tidak harus mengeluarkan uang Rp 10 000.- Lebih untung lagi karena transfer uang memerlukan waktu yang lebih pendek.
Fasilitas online (teknologi) dapat dipandang sebagai physical evidence (bukti fisik) dari pihak bank (perusahaan) bahwa jasa yang diberikan saat ini sudah jauh lebih maju dari sebelumnya. Ini berdampak pada citra perusahaan. Jadi, seringkali teknologi baru dipakai untuk keperluan menaikkan citra perusahaan di mata pelanggan. Namun, dari kejadian di atas, terlihat bahwa tanpa adanya perubahan sikap dari pelaku organisasi (teller), nasabah (pelanggan) tidak akan tahu adanya fasilitas baru tersebut maupun manfaatnya bagi mereka. Ini berarti, penggunaan teknologi baru tersebut tidak mampu mengangkat citra perusahaan.
Penutup Dengan demikian, pada level organisasi, terdapat kaitan erat antara teknologi dengan perilaku organisasi dan citra perusahaan. Citra perusahaan yang hendak didongkrak diwujudkan dalam pilihannya atas pengunaan teknologi baru. Ini menunjukkan adanya integrasi antara citra yang hendak dibangun dengan jenis teknologi yang dipilih. Teknologi menuntut serangkaian perilaku yang akan menjadi identitas perusahaan tersebut. Sebaliknya, perilaku pelaku organisasi yang terbentuk akibat penggunaan teknologi baru akan memperjelas citra perusahaan.
Bayangkan! Sudah satu minggu Anda ditinggal istri yang pergi ke luar kota. Malam ini, pukul 23.00, Anda bermaksud melepas kangen dengan menghubunginya melalui handphone. Setelah nada `tut-tut` panjang terdengar tiga kali berturut turut, di seberang terdengar suara seorang laki laki: "Halo, ......" Cerita ini sebaiknya dipotong di sini, karena saya tidak mampu melukiskan bagaimana galaunya perasaan Anda, mendapati kenyataan seperti itu. Padahal, ternyata sang istri sedang tidur nyenyak, tentu saja di ruang yang berlainan dengan laki laki penerima telepon tadi. Handphone sang istri ternyata tertinggal di ruang rapat. Rekan kerjanya menemukan handphone dan membawanya ke penginapan. Rekan kerja itu lupa mematikan handphone itu. Sehingga, pada saat Anda menghubungi handphone tersebut, ialah yang mengangkat.
Kalau kasus seperti di atas terjadi pada telepon di rumah, di kantor atau pun di tempat lain, saya yakin penelepon pasti tidak akan mempunyai dugaan yang macam-macam. Kenapa kita bereaksi seperti itu? Karena secara umum orang akan berpendapat bahwa handphone (dalam persepsi kita) selalu dikaitkan dengan privacy seseorang. Ini berarti bahwa teknologi cenderung membawa serta atribut perilaku, atau paling sedikit sopan-santun. Atribut dan sopan-santun ini harus dipatuhi setiap orang, agar tidak terjadi konflik atau kesalahan persepsi dalam menanggapi kenyataan yang ditimbulkan oleh penggunaan teknologi tersebut. Itu sebabnya, sebagian orang menyarankan: kalau handphone teman kencan Anda tertinggal, cepat matikan sebelum Anda membawanya.
Pada level individu, teknologi menuntut adanya perubahan sikap dan perilaku individu penggunanya. Pada level organisasi bagaimana dampak penggunaan teknologi pada perilaku manusia?
Teknologi dan Perilaku Berorganisasi Ketika PT Rindu Order memutuskan penggunaan jaringan komputer sebagai peralatan komunikasi internal kantor, maka istilah e-mail (surat elektronik) menjadi populer di kantor. Ketika masa perkenalan terhadap teknologi baru tersebut dianggap cukup, pihak direksi memutuskan agar semua surat internal menggunakan e-mail, termasuk di dalamnya undangan rapat.
Konsekuensi keputusan di atas adalah setiap karyawan di PT Rindu Order harus membuka e-mail paling sedikit dua kali dalam satu hari: pagi hari pada saat mulai bekerja, dan sore hari ketika akan meninggalkan kantor. Dengan demikian tidak akan terjadi undangan rapat untuk esok hari baru diketahui beberapa hari kemudian. Konsekuensi berikutnya, penerima undangan rapat melalui e-mail tidak dapat berdalih belum membaca atau memperoleh surat undangan. Dulu, pada saat surat undangan rapat dibuat secara tertulis di atas kertas, sering kali orang berdalih bahwa surat undangan terselip atau tidak dterima. Pada surat elektronik, begitu Anda membuka loket e-mail yang berisi surat tersebut maka pengirim surat undangan rapat akan mendapat pemberitahuan bahwa suratnya telah dibaca. Oleh sebab itu, kebiasaan pura-pura tidak tahu adanya undangan rapat secara otomatis akan ditinggalkan.
Uraian di atas, melukiskan dengan cukup jelas bahwa penggunaan teknologi akan berdampak pada perubahan perilaku berorganisasi karyawan. Padahal, mengubah perilaku organisasi itu selain membutuhkan waktu lama, juga memerlukan usaha yang besar. Yang menjadi pertanyaan berikutnya, mengapa banyak perusahaan masih nekad mengintroduksi teknologi baru di perusahaannya?
Teknologi dan Citra Perusahaan Sebuah bank pemerintah yang cukup besar, menggunakan fasilitas online (meskipun belum sepenuhnya) dengan tujuan agar para nasabah dapat memperoleh lebih banyak kemudahan dibanding sebelumnya. Suatu hari, saya harus mengisi tabungan orang-tua di bank yang sama, tetapi dari cabang yang berbeda. Karena tidak tahu adanya fasilitas tersebut, saya memilih instrumen pengiriman uang lewat bank. Teller memproses transaksi tersebut seperti biasanya dan saya membayar sekitar sepuluh ribu rupiah untuk itu. Kejadian ini, akan terasa berbeda bila teller mengambil sikap begini: "Kita sudah memiliki fasilitas online, dan bapak dapat mengirim uang ini melalui fasilitas transfer antarcabang secara gratis." Tentu saja, saya akan merasa sangat beruntung, tidak harus mengeluarkan uang Rp 10 000.- Lebih untung lagi karena transfer uang memerlukan waktu yang lebih pendek.
Fasilitas online (teknologi) dapat dipandang sebagai physical evidence (bukti fisik) dari pihak bank (perusahaan) bahwa jasa yang diberikan saat ini sudah jauh lebih maju dari sebelumnya. Ini berdampak pada citra perusahaan. Jadi, seringkali teknologi baru dipakai untuk keperluan menaikkan citra perusahaan di mata pelanggan. Namun, dari kejadian di atas, terlihat bahwa tanpa adanya perubahan sikap dari pelaku organisasi (teller), nasabah (pelanggan) tidak akan tahu adanya fasilitas baru tersebut maupun manfaatnya bagi mereka. Ini berarti, penggunaan teknologi baru tersebut tidak mampu mengangkat citra perusahaan.
Penutup Dengan demikian, pada level organisasi, terdapat kaitan erat antara teknologi dengan perilaku organisasi dan citra perusahaan. Citra perusahaan yang hendak didongkrak diwujudkan dalam pilihannya atas pengunaan teknologi baru. Ini menunjukkan adanya integrasi antara citra yang hendak dibangun dengan jenis teknologi yang dipilih. Teknologi menuntut serangkaian perilaku yang akan menjadi identitas perusahaan tersebut. Sebaliknya, perilaku pelaku organisasi yang terbentuk akibat penggunaan teknologi baru akan memperjelas citra perusahaan.
WHO AM I
Oleh:Wahyu T Setyobudi
(Artikel ini pernah dimuat di majalah InfoBCA No:163)
Beberapa waktu yang lalu, di salah satu televisi swasta diputar film berjudul “Who am I?” Jacky Chan yang menjadi aktor utama dalam film ini berlari, berduel, melompat dari satu gedung ke gedung yang lain dengan cantiknya sehingga menghipnotis penonton seolah-olah mereka larut dalam emosi film. Tak heran jika Jacky Chan sendiri menganggap film ini sebagai salah satu film terbaiknya.
Saya sendiri menganggap jalan cerita film ini sangat unik. Jacky Chan memerankan seorang tentara bayaran yang mengalami hilang ingatan (amnesia) dalam suatu misi. Pencarian jatidiri akhirnya dilakukan olehnya. Setelah menemukan kembali dirinya tiba-tiba Jacky Chan telah terjebak dalam suatu konflik yang menegangkan.
Memiliki jati diri dan identitas merupakan suatu hal yang sangat krusial bagi seseorang. Jika Jacky Chan di layar kaca rela menjalani duel maut untuk mencari identitasnya, seorang teman saya merelakan berjuta-juta rupiah untuk mengikuti pelatihan motivasi di Singapura, bahkan sampai ke negeri Paman Sam. Ada juga yang pencarian identitasnya dilakukan di atas kertas dengan menggunakan berbagai alat yang ada seperti personal balance scorecard.
Identitas yang menjawab pertanyaan “Who am I?” merupakan nilai dasar dan pedoman tindak tanduk bagi seseorang. Dengan nilai dasar ini seseorang memiliki acuan untuk berperilaku. Disamping itu, mereka yang memiliki identitas diri yang kuat akan menampilkan kepribadian yang nyaman bagi orang lain. Anda tentu lebih nyaman bergaul dengan seseorang yang Anda bisa prediksi responsnya dalam berkomunikasi, bukan? Oleh karena itu, ciri utama identitas adalah konsistensi kemunculannya. Anda tentu masih ingat dengan seorang petenis yang fenomenal bernama John Mc Enroe yang terkenal sangat temperamental. Jangankan di waktu kalah diwaktu menang saja hobinya adalah melempar raket dan memaki wasit. Namun demikian karena konsistensinya, penonton tetap menikmati identitas temperamental ini.
Seperti juga seorang manusia, perusahaan sebagai kumpulan manusia juga memerlukan identitas. Inilah yang kemudian disebut sebagai Corporate Identity. Unsur ini merupakan pedoman keseragaman penampilan dan perilaku yang menyatukan seluruh karyawan sehingga memudahkan pelanggan mengingat nama perusahaan dan mengaitkannya dengan suatu atribut atau sifat-sifat tertentu yang disukai. Hasil dari implementasi corporate identity adalah apa yang disebut sebagai corporate image.
Ada perusahaan yang memiliki kesan tua, kuno ada pula yang memiliki kesan moderen, ramah, dan lain-lain. Darimanakah pelanggan memberikan penilaian ini? Tentu dari apa yang ditampilkan dalam keseharian perusahaan itu. Bentuk gedung, penampilan para karyawan, seragam, gaya bicara, iklan dan banyak lagi elemen kontak antara pelanggan dengan karyawan. Perusahaan yang tidak memiliki identitas yang kuat akan tampil dengan ketidakkonsistenan yang membingungkan pelanggan.
Membangun corporate identity dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama adalah mengajukan pertanyaan seandainya perusahaan kita diwujudkan dalam bentuk manusia, akan jadi seperti apakah dia? Apakah laki-laki atau perempuan, muda, atau separuh baya, moderen ataukah klasik, ramah ataukah bergengsi? Jawablah pertanyaan ini dengan tertulis, kemudian gali pendapat dari para karyawan. Pertanyaan ini mempermudah asosiasi dengan sekian banyak atribut kompleks dan budaya perusahaan yang ada.
Langkah selanjutnya adalah menurunkannya menjadi spirit atau nilai-nilai dan melakukan komunikasi internal. Kita sangat sadar bahwa langkah terpenting adalah membuat karyawan internal memahami dan meyakini identitas yang telah dirumuskan. Tanpa adanya pemahaman dan keyakinan internal, hampir mustahil pelanggan akan menangkap nilai-nilai yang ingin disampaikan perusahaan.
Apabila karyawan perusahaan telah memahami identitas ini, barulah identitas diungkapkan atau disampaikan kepada para pelanggan. Cara penyampaian identitas ini dapat dibagi menjadi hal-hal yang tangible (berwujud nyata) dan yang intangible (tidak berwujud nyata). Hal berwujud antara lain seragam karyawan, tampilan gedung, tata letak ruang tunggu, papan nama, dan lainnya. Sedangkan hal-hal yang intangible antara lain proses operasi yang menjamin kecepatan layanan, aturan-aturan internal yang meningkatkan keramahan garda depan, serta nilai nilai luhur dari karyawan.
Pada akhirnya, pengukuran melalui riset yang akurat sangat dibutuhkan dalam rangka mencari apakah ada kesenjangan antara corporate identity yang diinginkan dengan hasilnya yang berupa corporate image. Pandangan ini yang nantinya digunakan untuk melakukan perbaikan program corporate identity tahun berikutnya. Jadi, Who are you..? sudahkah Anda bisa menjawab?
Wahyu T Setyobudi
Kepala Divisi Riset Manajemen
Lembaga Manajemen PPM
(Artikel ini pernah dimuat di majalah InfoBCA No:163)
Beberapa waktu yang lalu, di salah satu televisi swasta diputar film berjudul “Who am I?” Jacky Chan yang menjadi aktor utama dalam film ini berlari, berduel, melompat dari satu gedung ke gedung yang lain dengan cantiknya sehingga menghipnotis penonton seolah-olah mereka larut dalam emosi film. Tak heran jika Jacky Chan sendiri menganggap film ini sebagai salah satu film terbaiknya.
Saya sendiri menganggap jalan cerita film ini sangat unik. Jacky Chan memerankan seorang tentara bayaran yang mengalami hilang ingatan (amnesia) dalam suatu misi. Pencarian jatidiri akhirnya dilakukan olehnya. Setelah menemukan kembali dirinya tiba-tiba Jacky Chan telah terjebak dalam suatu konflik yang menegangkan.
Memiliki jati diri dan identitas merupakan suatu hal yang sangat krusial bagi seseorang. Jika Jacky Chan di layar kaca rela menjalani duel maut untuk mencari identitasnya, seorang teman saya merelakan berjuta-juta rupiah untuk mengikuti pelatihan motivasi di Singapura, bahkan sampai ke negeri Paman Sam. Ada juga yang pencarian identitasnya dilakukan di atas kertas dengan menggunakan berbagai alat yang ada seperti personal balance scorecard.
Identitas yang menjawab pertanyaan “Who am I?” merupakan nilai dasar dan pedoman tindak tanduk bagi seseorang. Dengan nilai dasar ini seseorang memiliki acuan untuk berperilaku. Disamping itu, mereka yang memiliki identitas diri yang kuat akan menampilkan kepribadian yang nyaman bagi orang lain. Anda tentu lebih nyaman bergaul dengan seseorang yang Anda bisa prediksi responsnya dalam berkomunikasi, bukan? Oleh karena itu, ciri utama identitas adalah konsistensi kemunculannya. Anda tentu masih ingat dengan seorang petenis yang fenomenal bernama John Mc Enroe yang terkenal sangat temperamental. Jangankan di waktu kalah diwaktu menang saja hobinya adalah melempar raket dan memaki wasit. Namun demikian karena konsistensinya, penonton tetap menikmati identitas temperamental ini.
Seperti juga seorang manusia, perusahaan sebagai kumpulan manusia juga memerlukan identitas. Inilah yang kemudian disebut sebagai Corporate Identity. Unsur ini merupakan pedoman keseragaman penampilan dan perilaku yang menyatukan seluruh karyawan sehingga memudahkan pelanggan mengingat nama perusahaan dan mengaitkannya dengan suatu atribut atau sifat-sifat tertentu yang disukai. Hasil dari implementasi corporate identity adalah apa yang disebut sebagai corporate image.
Ada perusahaan yang memiliki kesan tua, kuno ada pula yang memiliki kesan moderen, ramah, dan lain-lain. Darimanakah pelanggan memberikan penilaian ini? Tentu dari apa yang ditampilkan dalam keseharian perusahaan itu. Bentuk gedung, penampilan para karyawan, seragam, gaya bicara, iklan dan banyak lagi elemen kontak antara pelanggan dengan karyawan. Perusahaan yang tidak memiliki identitas yang kuat akan tampil dengan ketidakkonsistenan yang membingungkan pelanggan.
Membangun corporate identity dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama adalah mengajukan pertanyaan seandainya perusahaan kita diwujudkan dalam bentuk manusia, akan jadi seperti apakah dia? Apakah laki-laki atau perempuan, muda, atau separuh baya, moderen ataukah klasik, ramah ataukah bergengsi? Jawablah pertanyaan ini dengan tertulis, kemudian gali pendapat dari para karyawan. Pertanyaan ini mempermudah asosiasi dengan sekian banyak atribut kompleks dan budaya perusahaan yang ada.
Langkah selanjutnya adalah menurunkannya menjadi spirit atau nilai-nilai dan melakukan komunikasi internal. Kita sangat sadar bahwa langkah terpenting adalah membuat karyawan internal memahami dan meyakini identitas yang telah dirumuskan. Tanpa adanya pemahaman dan keyakinan internal, hampir mustahil pelanggan akan menangkap nilai-nilai yang ingin disampaikan perusahaan.
Apabila karyawan perusahaan telah memahami identitas ini, barulah identitas diungkapkan atau disampaikan kepada para pelanggan. Cara penyampaian identitas ini dapat dibagi menjadi hal-hal yang tangible (berwujud nyata) dan yang intangible (tidak berwujud nyata). Hal berwujud antara lain seragam karyawan, tampilan gedung, tata letak ruang tunggu, papan nama, dan lainnya. Sedangkan hal-hal yang intangible antara lain proses operasi yang menjamin kecepatan layanan, aturan-aturan internal yang meningkatkan keramahan garda depan, serta nilai nilai luhur dari karyawan.
Pada akhirnya, pengukuran melalui riset yang akurat sangat dibutuhkan dalam rangka mencari apakah ada kesenjangan antara corporate identity yang diinginkan dengan hasilnya yang berupa corporate image. Pandangan ini yang nantinya digunakan untuk melakukan perbaikan program corporate identity tahun berikutnya. Jadi, Who are you..? sudahkah Anda bisa menjawab?
Wahyu T Setyobudi
Kepala Divisi Riset Manajemen
Lembaga Manajemen PPM
Roh Profesionalisme
Makfudin Wirya Atmaja, Staf Profesional PPM, Kepala Divisi Penerbitan PPM
Profesionalitas dan etika bisnis adalah roh yang menghidupi dan mengendalikan aktivitas bisnis. Tanpa profesionalitas dan etika, bisnis hanya menggali kubur sendiri. Tapi profesionalisme juga punya roh, yaitu demokrasi, harkat kodrati yang dilekatkan Tuhan pada manusia sebagai mahluk paling utama di bumi. Demokrasi menempatkan kendali di tangan manusia. Dia bebas memilih. Tak ada paksaan. Hanya konsekuensi --yang diciptakannya sendiri-- dan keadilan, yang bersumber dari agama, kebudayaan dan tradisi sebagai manifestasi interaksi antara manusia dengan sesama, alam dan Sang Khalik, sebagai alat untuk mengukurnya..
Profesionalisme kembali menjadi isu sentral dalam khasanah bisnis, setelah sekian lama diabaikan. Salah satu even relevan adalah Seminar Manajemen Profetik, yang diselenggarakan Universitas ParamadinaMulya di Auditorium Binakarna, Kompleks Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Jum’at 5 Maret 1999. Seminar ini menghadirkan Nurcholis Madjid ("Agama dan Etika Bisnis Antara Kemauan Politik dan Keteladanan Kepemimpinan".......makalah saja----Red), Ihsan Ali Fauzi ( "Pusat Melemah, Pinggir Menguat: Tradisi Konfusian dan Etika Bisnis Cina"), Cacuk Sudarijanto ("Manajemen Profetik: Antara Teori dan Praktek"), Faisal Afiff ("Etika Bisnis dan Tanggungjawab Perusahaan") dan Poppy Rufaidah ("Etika Bisnis dan Tanggungjawab Sosial").
Fenomena ini membuktikan manusia tak bisa lepas dari dimensi spritual. Dia akan kembali ke Tuhan, tradisi, nilai-nilai moral, kajian-kajian supranatural, paranormal dan hal-hal lain semacam itu, bila terbentur pada ‘sesuatu’ yang tak dipahami. ‘Sesuatu’ yang tak bisa diatasinya dengan segala cara dan alat. Apalagi bila ‘sesuatu’ itu begitu dahsyatnya sehingga dapat memporakporandakan karier, bisnis dan mengancam jabatannya, seperti krisis total sekarang.
Ada keyakinan --di kalangan praktisi dan pengamat bisnis-- bahwa semua kekacauan ini --terutama kekacauan ekonomi-- disebabkan karena praktisi bisnis telah meninggalkan sikap dan perilaku profesional. Mereka mengenyampingkan etika dalam berbisnis, padahal etika bisnis adalah inti profesionalitas. Pengenyampingan ini terlihat pada suburnya praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan ratusan penyelewengan lainnya. Bersikap dan bertindak etis dalam berbisnis dikategorikan sebagai kebodohan. Sok suci. Sok moralis. Tapi sudahlah...
Apa sebenarnya profesionalitas dan bagaimana wujud bisnis yang etis itu? Apa indikasinya dan bagaimana mengukurnya? Nurcholis Madjid mengatakan bisnis etis adalah bisnis yang mengutamakan akhlak. Akhlak adalah bekal nilai-nilai moral pemberian Tuhan. Akhlak melekat pada dan merupakan perilaku lumintu (konstan) manusia. Sumbernya agama. Selama aktivitas bisnis disinkronkan dengan ajaran agama, bisnis itu etis. Sebaliknya bila praktik bisnis dilakukan dengan melanggar nilai-nilai kepatutan agamis, bisnis itu tak etis. Dengan demikian orang melakukan bisnis bukan untuk bisnis itu sendiri, tetapi untuk mendapatkan hidayah Allah, karena bisnis tidak lebih dari sekedar ibadah, sebuah tugas mulia yang diembankan Tuhan pada manusia untuk menguji imannya, sekaligus untuk menentukan tempat, kelak di sisiNya.
Senada dengan Nurcholis, Ihsan Ali Fauzi, yang mengetengahkan pokok-pokok pikiran Konfusius, menyatakan bisnis yang dijalankan secara profesional --dan dengan sendirinya etis-- ditandai oleh harmoni pada proses dan hasilnya. Tidak etis suatu bisnis bila menimbulkan kekacauan atau konflik antar pelakunya. Praktisi bisnis yang terkena sentuhan Konfusius dengan sendirinya sangat memperhatikan hal-hal yang berimplikasi harmonis, antara lain sikap hormat, sopan dan santun kepada senior, kasih sayang dan perhatian pada yang lebih muda, saling menghargai dengan yang sebaya dan seterusnya. Meskipun belum bisa menjawab mengapa para pendukung Konfusius tidak begitu sukses di negerinya sendiri --RRC-- hal itu tidak mengurangi fakta kesuksesan mereka di perantauan.
Faisal Afiff --dengan contohnya yang kocak tentang bagaimana makna dan praktik etika dipelesetkan masyarakat-- memberikan beberapa tambahan. Kata Faisal bisnis profesional dan beretika itu ditandai dengan kepeduliannya pada lingkungan sosial. Bisnis yang etis harus memberi manfaat maksimal pada lingkungan, bukan sebaliknya, menggerogoti keserasian lingkungan. Faisal melengkapi uraiannya dengan isu-isu krusial menyangkut pentingnya praktisi menerapkan etika bisnis dengan konsisten.
Poppy Rufaidah setuju dengan Faisal. Menurut dia bisnis etis adalah bisnis yang fungsional terhadap lingkungan. Cikal bakalnya keluarga dan masyarakat, karena etika seseorang merupakan perpanjangan dari nilai-nilai etika yang diperolehnya lewat sosialisasi di rumah dan lingkungan sosial. Kedua pembicara sangat menekankan tanggungjawab praktisi bisnis terhadap dampak aktivitas bisnisnya. Atau dalam bahasa Haidar Bagir, yang membuka seminar tersebut, bahwa sekarang bukan zamannya lagi bisnis dieksklusifkan sebagai aktivitas yang berdiri sendiri dan semata-mata ditujukan untuk memberi manfaat kepada pemilik (pengusaha), karena bisnis adalah kegiatan manusia yang berdimensi sosial. Dia harus memberi manfaat pula bagi masyarakat banyak.
Cacuk Sudarijanto membicarakan praktik profesionalitas dan etika bisnis di PT Telkom, ketika di bawah kendalinya. Ternyata, menurut Cacuk, tanpa melibatkan seseorang secara langsung pada implikasi nilai-nilai etika, maka dia tak akan kunjung paham dan peduli dengan apa yang disebut etika itu. Selama tidak menyangkut kepentingan pribadinya orang cenderung tak menyadari eksistensi etika. Hasilnya akan berbeda kalau dia dilibatkan dalam proses penerapan etika tersebut, di mana dia menjadi titik sentral atau fokus perhatian.
Dari beberapa pendapat di atas dapat kita simpulkan bahwa profesionalitas dan etika dalam berbisnis adalah roh yang menghidupi sebuah aktivitas bisnis. Tanpa profesionalitas dan penerapan nilai-nilai etika, seperti berlaku jujur, adil, tepat waktu, konsisten, tak melanggar komitmen, menuntaskan kesepakatan, dan lain-lain tak akan ada praktik bisnis, karena tidak ada pelaku bisnis yang mau bernegosiasi ataupun bertransaksi dengan pihak-pihak yang tak mengikuti aturan main, atau sudah terkenal suka melanggar aturan main. Sejelek-jeleknya praktisi bisnis, tak akan mau dia diperlakukan tak etis oleh mitra bisnisnya.
Tapi apa sebenarnya roh profesionalisme itu? Apa yang menghidupi etika sebagai nilai-nilai moral, sehingga manusia menjadikannya sebagai pedoman menuju hidup yang benar, yang disukai bukan saja oleh sesama manusia, tetapi juga oleh lingkungan fisik dan sosialnya, serta Tuhan Sang Pencipta? Menurut saya jawabannya demokrasi, atau kebebasan dalam memilih, dalam bersikap dan dalam bertindak. Kebebasan yang dibatasi oleh rasa keadilan bersama, sebuah prinsip kebenaran yang bersumber dari agama, kebudayaan dan tradisi.
Demokrasi sebagai harkat kodrati adalah anugerah Tuhan yang tak terhingga nilainya bagi umat manusia. Sebagai Sang Maha Demokrat, Tuhan memberikan kebebasan yang sangat luas pada manusia untuk menentukan pilihan hidup, termasuk dalam berbisnis sebagai salah satu cara manusia memenuhi kebutuhan. Mau mengikuti jalan yang diridhoi atau jalan yang dilarangNya. Terserah. Tak ada paksaan. Hanya penjelasan, bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya.
Mengikuti perintahNya tidak gampang. Jalannya penuh rintangan dan godaan. Tapi berujung di keabadian rahmatNya (surga). Misalnya jangan korupsi, penuhi standar kualitas meskipun nilai riil proyek melonjak tiba-tiba, menangkan tender dengan benar, jangan lewat kongkalikong, meskipun cara tersebut lazim dilakukan kompetitor dan cenderung efektif.
Sebaliknya hampir semua laranganNya dikemas dengan keindahan, kenikmatan, kemewahan, kemuliaan, kekuasaan. Begitu penuh pesona dan menyilaukan. Cuma, jalan itu berakhir dengan kehinaan abadi (neraka). Contohnya mark-up nilai proyek, menang tender tanpa modal, cukup memo sakti dari penguasa dengan janji bakal dibagi persentase keuntungan, dimanjakan dengan wanita atau gigolo, dan sejenis itu.
Pilihannya jelas, mau senang belakangan atau sekarang? Tak ada paksaan dan ancaman, hanya peringatan. Mau didengar syukur, tak dipedulikan tak apa-apa.
Mereka yang berorientasi ke alam nyata (jangka pendek) cenderung memilih jalan terlarang. Mungkin karena memang enak, atau akibat ketidaksabaran. Bisa jadi pula karena mereka tidak yakin dengan iming-iming yang abstrak itu. Atau mungkin mereka memang tak punya kepedulian. Atau lemah iman. Maklum untuk memilih jalan yang diridhoi butuh iman dan ketaqwaan super kuat, dalam bentuk komitmen, konsistensi, loyalitas, tekad pencapaian dan semangat pantang menyerah. Sedangkan jalan terlarang sangat mudah. Tanpa melakukan apa pun orang sudah bisa melaju. Tak ada hambatan, bahkan loket retribusi, karena dosa tak membutuhkan biaya.
Mereka yang berorientasi ke alam gaib (jangka panjang) sebaliknya. Tujuan hidup mereka berbeda. Mereka sadar Tuhan menciptakan manusia untuk mengabdi dan beribadah kepadaNya. Dengan demikian hidup seharusnya diisi dengan kebajikan, dengan hal-hal yang disukai Tuhan. Mereka menganggap dunia dan segala aktivitas di dalamnya tidak lebih dari suatu rangkaian tes, untuk menguji sejauh mana mereka bisa tetap berada di jalanNya. Mereka melakukan semuanya demi Tuhan, ganjarannya juga terserah Tuhan. Bila dalam upaya itu mereka memperoleh kemuliaan atau kehinaan --menurut ukuran duniawi/manusiawi-- mereka tak menganggapnya sebagai hasil. Semua itu masih cobaan. Dan bisa jadi jebakan.
Jadi selama prinsip-prinsip demokrasi belum tumbuh subur di suatu lingkungan, bisa dipastikan profesionalitas pun sulit berkembang. Di lingkungan seperti ini sungguh absurd bicara tentang etika bisnis.
Rubrik : ulasan topik. File : 599demok.rtf. dari Majalah Manajemen
Profesionalitas dan etika bisnis adalah roh yang menghidupi dan mengendalikan aktivitas bisnis. Tanpa profesionalitas dan etika, bisnis hanya menggali kubur sendiri. Tapi profesionalisme juga punya roh, yaitu demokrasi, harkat kodrati yang dilekatkan Tuhan pada manusia sebagai mahluk paling utama di bumi. Demokrasi menempatkan kendali di tangan manusia. Dia bebas memilih. Tak ada paksaan. Hanya konsekuensi --yang diciptakannya sendiri-- dan keadilan, yang bersumber dari agama, kebudayaan dan tradisi sebagai manifestasi interaksi antara manusia dengan sesama, alam dan Sang Khalik, sebagai alat untuk mengukurnya..
Profesionalisme kembali menjadi isu sentral dalam khasanah bisnis, setelah sekian lama diabaikan. Salah satu even relevan adalah Seminar Manajemen Profetik, yang diselenggarakan Universitas ParamadinaMulya di Auditorium Binakarna, Kompleks Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Jum’at 5 Maret 1999. Seminar ini menghadirkan Nurcholis Madjid ("Agama dan Etika Bisnis Antara Kemauan Politik dan Keteladanan Kepemimpinan".......makalah saja----Red), Ihsan Ali Fauzi ( "Pusat Melemah, Pinggir Menguat: Tradisi Konfusian dan Etika Bisnis Cina"), Cacuk Sudarijanto ("Manajemen Profetik: Antara Teori dan Praktek"), Faisal Afiff ("Etika Bisnis dan Tanggungjawab Perusahaan") dan Poppy Rufaidah ("Etika Bisnis dan Tanggungjawab Sosial").
Fenomena ini membuktikan manusia tak bisa lepas dari dimensi spritual. Dia akan kembali ke Tuhan, tradisi, nilai-nilai moral, kajian-kajian supranatural, paranormal dan hal-hal lain semacam itu, bila terbentur pada ‘sesuatu’ yang tak dipahami. ‘Sesuatu’ yang tak bisa diatasinya dengan segala cara dan alat. Apalagi bila ‘sesuatu’ itu begitu dahsyatnya sehingga dapat memporakporandakan karier, bisnis dan mengancam jabatannya, seperti krisis total sekarang.
Ada keyakinan --di kalangan praktisi dan pengamat bisnis-- bahwa semua kekacauan ini --terutama kekacauan ekonomi-- disebabkan karena praktisi bisnis telah meninggalkan sikap dan perilaku profesional. Mereka mengenyampingkan etika dalam berbisnis, padahal etika bisnis adalah inti profesionalitas. Pengenyampingan ini terlihat pada suburnya praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan ratusan penyelewengan lainnya. Bersikap dan bertindak etis dalam berbisnis dikategorikan sebagai kebodohan. Sok suci. Sok moralis. Tapi sudahlah...
Apa sebenarnya profesionalitas dan bagaimana wujud bisnis yang etis itu? Apa indikasinya dan bagaimana mengukurnya? Nurcholis Madjid mengatakan bisnis etis adalah bisnis yang mengutamakan akhlak. Akhlak adalah bekal nilai-nilai moral pemberian Tuhan. Akhlak melekat pada dan merupakan perilaku lumintu (konstan) manusia. Sumbernya agama. Selama aktivitas bisnis disinkronkan dengan ajaran agama, bisnis itu etis. Sebaliknya bila praktik bisnis dilakukan dengan melanggar nilai-nilai kepatutan agamis, bisnis itu tak etis. Dengan demikian orang melakukan bisnis bukan untuk bisnis itu sendiri, tetapi untuk mendapatkan hidayah Allah, karena bisnis tidak lebih dari sekedar ibadah, sebuah tugas mulia yang diembankan Tuhan pada manusia untuk menguji imannya, sekaligus untuk menentukan tempat, kelak di sisiNya.
Senada dengan Nurcholis, Ihsan Ali Fauzi, yang mengetengahkan pokok-pokok pikiran Konfusius, menyatakan bisnis yang dijalankan secara profesional --dan dengan sendirinya etis-- ditandai oleh harmoni pada proses dan hasilnya. Tidak etis suatu bisnis bila menimbulkan kekacauan atau konflik antar pelakunya. Praktisi bisnis yang terkena sentuhan Konfusius dengan sendirinya sangat memperhatikan hal-hal yang berimplikasi harmonis, antara lain sikap hormat, sopan dan santun kepada senior, kasih sayang dan perhatian pada yang lebih muda, saling menghargai dengan yang sebaya dan seterusnya. Meskipun belum bisa menjawab mengapa para pendukung Konfusius tidak begitu sukses di negerinya sendiri --RRC-- hal itu tidak mengurangi fakta kesuksesan mereka di perantauan.
Faisal Afiff --dengan contohnya yang kocak tentang bagaimana makna dan praktik etika dipelesetkan masyarakat-- memberikan beberapa tambahan. Kata Faisal bisnis profesional dan beretika itu ditandai dengan kepeduliannya pada lingkungan sosial. Bisnis yang etis harus memberi manfaat maksimal pada lingkungan, bukan sebaliknya, menggerogoti keserasian lingkungan. Faisal melengkapi uraiannya dengan isu-isu krusial menyangkut pentingnya praktisi menerapkan etika bisnis dengan konsisten.
Poppy Rufaidah setuju dengan Faisal. Menurut dia bisnis etis adalah bisnis yang fungsional terhadap lingkungan. Cikal bakalnya keluarga dan masyarakat, karena etika seseorang merupakan perpanjangan dari nilai-nilai etika yang diperolehnya lewat sosialisasi di rumah dan lingkungan sosial. Kedua pembicara sangat menekankan tanggungjawab praktisi bisnis terhadap dampak aktivitas bisnisnya. Atau dalam bahasa Haidar Bagir, yang membuka seminar tersebut, bahwa sekarang bukan zamannya lagi bisnis dieksklusifkan sebagai aktivitas yang berdiri sendiri dan semata-mata ditujukan untuk memberi manfaat kepada pemilik (pengusaha), karena bisnis adalah kegiatan manusia yang berdimensi sosial. Dia harus memberi manfaat pula bagi masyarakat banyak.
Cacuk Sudarijanto membicarakan praktik profesionalitas dan etika bisnis di PT Telkom, ketika di bawah kendalinya. Ternyata, menurut Cacuk, tanpa melibatkan seseorang secara langsung pada implikasi nilai-nilai etika, maka dia tak akan kunjung paham dan peduli dengan apa yang disebut etika itu. Selama tidak menyangkut kepentingan pribadinya orang cenderung tak menyadari eksistensi etika. Hasilnya akan berbeda kalau dia dilibatkan dalam proses penerapan etika tersebut, di mana dia menjadi titik sentral atau fokus perhatian.
Dari beberapa pendapat di atas dapat kita simpulkan bahwa profesionalitas dan etika dalam berbisnis adalah roh yang menghidupi sebuah aktivitas bisnis. Tanpa profesionalitas dan penerapan nilai-nilai etika, seperti berlaku jujur, adil, tepat waktu, konsisten, tak melanggar komitmen, menuntaskan kesepakatan, dan lain-lain tak akan ada praktik bisnis, karena tidak ada pelaku bisnis yang mau bernegosiasi ataupun bertransaksi dengan pihak-pihak yang tak mengikuti aturan main, atau sudah terkenal suka melanggar aturan main. Sejelek-jeleknya praktisi bisnis, tak akan mau dia diperlakukan tak etis oleh mitra bisnisnya.
Tapi apa sebenarnya roh profesionalisme itu? Apa yang menghidupi etika sebagai nilai-nilai moral, sehingga manusia menjadikannya sebagai pedoman menuju hidup yang benar, yang disukai bukan saja oleh sesama manusia, tetapi juga oleh lingkungan fisik dan sosialnya, serta Tuhan Sang Pencipta? Menurut saya jawabannya demokrasi, atau kebebasan dalam memilih, dalam bersikap dan dalam bertindak. Kebebasan yang dibatasi oleh rasa keadilan bersama, sebuah prinsip kebenaran yang bersumber dari agama, kebudayaan dan tradisi.
Demokrasi sebagai harkat kodrati adalah anugerah Tuhan yang tak terhingga nilainya bagi umat manusia. Sebagai Sang Maha Demokrat, Tuhan memberikan kebebasan yang sangat luas pada manusia untuk menentukan pilihan hidup, termasuk dalam berbisnis sebagai salah satu cara manusia memenuhi kebutuhan. Mau mengikuti jalan yang diridhoi atau jalan yang dilarangNya. Terserah. Tak ada paksaan. Hanya penjelasan, bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya.
Mengikuti perintahNya tidak gampang. Jalannya penuh rintangan dan godaan. Tapi berujung di keabadian rahmatNya (surga). Misalnya jangan korupsi, penuhi standar kualitas meskipun nilai riil proyek melonjak tiba-tiba, menangkan tender dengan benar, jangan lewat kongkalikong, meskipun cara tersebut lazim dilakukan kompetitor dan cenderung efektif.
Sebaliknya hampir semua laranganNya dikemas dengan keindahan, kenikmatan, kemewahan, kemuliaan, kekuasaan. Begitu penuh pesona dan menyilaukan. Cuma, jalan itu berakhir dengan kehinaan abadi (neraka). Contohnya mark-up nilai proyek, menang tender tanpa modal, cukup memo sakti dari penguasa dengan janji bakal dibagi persentase keuntungan, dimanjakan dengan wanita atau gigolo, dan sejenis itu.
Pilihannya jelas, mau senang belakangan atau sekarang? Tak ada paksaan dan ancaman, hanya peringatan. Mau didengar syukur, tak dipedulikan tak apa-apa.
Mereka yang berorientasi ke alam nyata (jangka pendek) cenderung memilih jalan terlarang. Mungkin karena memang enak, atau akibat ketidaksabaran. Bisa jadi pula karena mereka tidak yakin dengan iming-iming yang abstrak itu. Atau mungkin mereka memang tak punya kepedulian. Atau lemah iman. Maklum untuk memilih jalan yang diridhoi butuh iman dan ketaqwaan super kuat, dalam bentuk komitmen, konsistensi, loyalitas, tekad pencapaian dan semangat pantang menyerah. Sedangkan jalan terlarang sangat mudah. Tanpa melakukan apa pun orang sudah bisa melaju. Tak ada hambatan, bahkan loket retribusi, karena dosa tak membutuhkan biaya.
Mereka yang berorientasi ke alam gaib (jangka panjang) sebaliknya. Tujuan hidup mereka berbeda. Mereka sadar Tuhan menciptakan manusia untuk mengabdi dan beribadah kepadaNya. Dengan demikian hidup seharusnya diisi dengan kebajikan, dengan hal-hal yang disukai Tuhan. Mereka menganggap dunia dan segala aktivitas di dalamnya tidak lebih dari suatu rangkaian tes, untuk menguji sejauh mana mereka bisa tetap berada di jalanNya. Mereka melakukan semuanya demi Tuhan, ganjarannya juga terserah Tuhan. Bila dalam upaya itu mereka memperoleh kemuliaan atau kehinaan --menurut ukuran duniawi/manusiawi-- mereka tak menganggapnya sebagai hasil. Semua itu masih cobaan. Dan bisa jadi jebakan.
Jadi selama prinsip-prinsip demokrasi belum tumbuh subur di suatu lingkungan, bisa dipastikan profesionalitas pun sulit berkembang. Di lingkungan seperti ini sungguh absurd bicara tentang etika bisnis.
Rubrik : ulasan topik. File : 599demok.rtf. dari Majalah Manajemen
Manajer Sukses vs Manajer Efektif
Ir. Bambang Adi Subagio, M.M.
Mana yang lebih penting, menjadi manajer sukses atau menjadi manajer efektif? Jika dihadapkan pada pertanyaan ini mungkin Anda sedikit bingung. Apakah manajer efektif tidak otomatis menjadi manajer sukses? Bukankah seseorang manajer disebut sukses karena dia efektif? Nah sebelum ngelantur lebih jauh sebaiknya kita menyamakan bahasa terlebih dulu. Manajer sukses adalah manajer yang mempunyai indeks sukses di atas rata-rata manajer lainnya, di mana indeks sukses merupakan rasio antara tingkat manajerial yang berhasil dicapai dan masa kerja. Manajer efektif, di lain pihak, adalah manajer yang berhasil mencapai prestasi kerja tinggi dibanding dengan standar yang telah ditentukan, serta mampu melakukan pekerjaan melalui orang lain dengan tingkat kepuasan dan komitmen yang tinggi. Dalam kenyataan memang tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang manajer sukses sekaligus juga menjadi manajer efektif. Namun karakteristik kedua jenis manajer ini tetap dapat dibedakan.
Tahukah Anda tugas atau pekerjaan manajer pada umumnya? Jawaban yang paling populer mungkin adalah POAC (Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling). Maka tidak heran apabila Anda juga menjawab demikian. Hal ini dapat dimengerti karena dalam kurun waktu yang cukup lama - sejak Henri Fayol mengemukakan pemikirannya yang sangat terkenal ‘The five Fayolian functions of management’ (Planning, Organizing, Commanding, Coordinating, dan Controlling) - para manajer sejagad meyakini (atau diyakinkan) bahwa tugas atau pekerjaan manajer hanya melakukan kelima fungsi manajemen tersebut. Namun berdasarkan penelitian beberapa pakar manajemen, di antaranya Henry Mintzberg, John Kotter dan Fred Luthans diperoleh gambaran yang lebih komprehensif bahwa tugas manajer sebenarnya tidak hanya melakukan kelima fungsi manajemen seperti yang dikemukakan oleh Fayol tersebut.
Mintzberg mengatakan bahwa pekerjaan manajer terdiri dari banyak pekerjaan pendek (brief) yang tidak selalu berkesinambungan (disconnected) dan mereka sering terlibat dalam hubungan dengan banyak orang, baik di dalam maupun di luar organisasi. Lebih jauh dikatakan pula bahwa manajer mempunyai banyak peran dan mereka melakukan pekerjaan sesuai dengan peran yang dimainkannya. Dalam hal hubungan interpersonal, manajer berperan sebagai figur kepala, pemimpin dan penghubung. Dalam hal informasional mereka berperan sebagai pengawas, penyebar informasi dan juru bicara. Kemudian sebagai pengambil keputusan mereka berperan sebagai wirausaha, pemecah masalah, pengalokasi sumber daya, dan negosiator.
John Kotter dari Harvard Business School menambahkan bahwa pekerjaan manajer tidak hanya melulu melakukan ‘Fayolian functions’. Lebih dari itu para manajer menggunakan sebagian besar waktu mereka untuk berinteraksi dengan orang lain, melalui pertemuan-pertemuan guna mendapatkan dan/atau memberi informasi, yang oleh Kotter disebut sebagai ‘membangun jejaring (networking)’. Melalui cara ini manajer dapat membuat ‘agenda’ sebagai hasil kompromi, serta sedikit melonggarkan kekakuan di antara mereka yang kadang-kadang terjadi karena masing-masing mempunyai sasaran berbeda.
Manajer Sukses vs Efektif : Empat Aktivitas Manajerial
Yang terakhir adalah penelitian oleh Fred Luthans dari University of Nebraska, Lincoln. Luthans mengelompokkan pekerjaan manajer dalam empat aktivitas manajerial sebagai berikut:
1. Komunikasi, yaitu aktivitas yang meliputi pertukaran informasi secara rutin dan pemrosesan pekerjaan tulis-menulis.
2. Manajemen tradisional, yaitu aktivitas yang terdiri dari perencanaan, pengambilan keputusan dan pengendalian.
3. Manajemen sumber daya manusia, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan aspek perilaku, misalnya motivasi/pemberian dukungan, pendisiplinan/penghukuman, manajemen konflik, staffing, dan pelatihan/pengembangan.
4. Jejaring (networking), yaitu aktivitas yang meliputi sosialisasi/berpolitik, berinteraksi de-ngan pihak luar, serta hal-hal ‘chit chat’ lainnya yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.
Luthans dapat dikatakan menampilkan uraian tentang pekerjaan manajer yang paling lengkap dibanding Fayol, Mintzberg dan Kotter. Diskripsinya mencakup pendapat klasik dari Fayol (aktivitas manajemen tradisional), aktivitas komunikasi dari Mintzberg dan aktivitas jejaring dari Kotter. Tambahan dari Luthans yang cukup penting dan melengkapi adalah aktivitas manajer pada manajemen sumber daya manusia.
Untuk mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan oleh para manajer sukses dan manajer efektif, Luthans melakukan penelitian terhadap 248 manajer. Hasilnya menunjukkan bahwa hampir sepertiga waktu dan tenaga mereka digunakan pada aktivitas komunikasi, sekitar sepertiga pada aktivitas manajemen tradisional, seperlima pada manajemen sumber daya manusia dan kurang-lebih seperlima pada aktivitas jejaring.
Selain melakukan penelitian secara umum tentang aktivitas manajer, Luthans juga melakukan penelitian secara khusus untuk mengamati apa yang dilakukan oleh kelompok manajer sukses dan juga apa yang dilakukan oleh kelompok manajer efektif. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua kelompok tersebut mempunyai pola aktivitas manajerial yang berbeda.
Pada kelompok manajer sukses, terlihat nyata bahwa mereka mengalokasikan waktu dan tenaga paling banyak pada aktivitas jejaring (48%). Selanjutnya aktivitas komunikasi berada di urutan kedua (28%), manajemen tradisional di urutan ketiga (13%) dan sumber daya manusia adalah aktivitas yang alokasi waktunya paling sedikit (11%). Hal ini menunjukkan bahwa - dengan menggunakan kecepatan promosi sebagai ukuran sukses - manajer sukses lebih banyak menggunakan sebagian besar waktu dan tenaga mereka untuk bersosialisasi, berpolitik, dan berinteraksi dengan pihak luar dibandingkan dengan rekannya yang kurang sukses. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa manajer sukses tidak banyak menggunakan waktu dan tenaganya pada aktivitas manajemen tradisional atau pada manajemen sumber daya manusia.
Pada kelompok manajer efektif, aktivitas yang mendapat perhatian paling besar adalah komunikasi (44%), kemudian manajemen sumber daya manusia (26%), selanjutnya manajemen tradisional (19%), dan yang terakhir jejaring (11%). Dari hasil penelitian tersebut diperoleh gambaran bahwa kontribusi relatif terbesar bagi manajer efektif berasal dari aktivitas yang berorientasi pada aspek manusia, yaitu komunikasi dan manajemen sumber daya manusia. Dengan sendirinya berarti pula bahwa bagi manajer efektif, aktivitas yang berkaitan dengan pembinaan jejaring kurang diprioritaskan, sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh manajer sukses.
Uraian di atas barangkali dapat Anda gunakanan sebagai acuan, atau setidak-tidaknya inspirasi, untuk mengembangkan karir Anda di masa depan - mau menjadi manajer sukses atau manajer efektif. Kalau mau menjadi manajer sukses, perluaslah jejaring dan keterampilan berkomunikasi, sedangkan bila ingin menjadi manajer yang efektif, asahlah kemampuan komunikasi dan penguasaan akan manajemen sumber daya manusia.
Melalui tulisan ini mudah-mudahan Anda mendapat inspirasi dan dapat menarik manfaat untuk memilih apakah Anda akan menjadi manajer sukses atau efektif, atau bahkan keduanya - sukses sekaligus efektif.
Mana yang lebih penting, menjadi manajer sukses atau menjadi manajer efektif? Jika dihadapkan pada pertanyaan ini mungkin Anda sedikit bingung. Apakah manajer efektif tidak otomatis menjadi manajer sukses? Bukankah seseorang manajer disebut sukses karena dia efektif? Nah sebelum ngelantur lebih jauh sebaiknya kita menyamakan bahasa terlebih dulu. Manajer sukses adalah manajer yang mempunyai indeks sukses di atas rata-rata manajer lainnya, di mana indeks sukses merupakan rasio antara tingkat manajerial yang berhasil dicapai dan masa kerja. Manajer efektif, di lain pihak, adalah manajer yang berhasil mencapai prestasi kerja tinggi dibanding dengan standar yang telah ditentukan, serta mampu melakukan pekerjaan melalui orang lain dengan tingkat kepuasan dan komitmen yang tinggi. Dalam kenyataan memang tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang manajer sukses sekaligus juga menjadi manajer efektif. Namun karakteristik kedua jenis manajer ini tetap dapat dibedakan.
Tahukah Anda tugas atau pekerjaan manajer pada umumnya? Jawaban yang paling populer mungkin adalah POAC (Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling). Maka tidak heran apabila Anda juga menjawab demikian. Hal ini dapat dimengerti karena dalam kurun waktu yang cukup lama - sejak Henri Fayol mengemukakan pemikirannya yang sangat terkenal ‘The five Fayolian functions of management’ (Planning, Organizing, Commanding, Coordinating, dan Controlling) - para manajer sejagad meyakini (atau diyakinkan) bahwa tugas atau pekerjaan manajer hanya melakukan kelima fungsi manajemen tersebut. Namun berdasarkan penelitian beberapa pakar manajemen, di antaranya Henry Mintzberg, John Kotter dan Fred Luthans diperoleh gambaran yang lebih komprehensif bahwa tugas manajer sebenarnya tidak hanya melakukan kelima fungsi manajemen seperti yang dikemukakan oleh Fayol tersebut.
Mintzberg mengatakan bahwa pekerjaan manajer terdiri dari banyak pekerjaan pendek (brief) yang tidak selalu berkesinambungan (disconnected) dan mereka sering terlibat dalam hubungan dengan banyak orang, baik di dalam maupun di luar organisasi. Lebih jauh dikatakan pula bahwa manajer mempunyai banyak peran dan mereka melakukan pekerjaan sesuai dengan peran yang dimainkannya. Dalam hal hubungan interpersonal, manajer berperan sebagai figur kepala, pemimpin dan penghubung. Dalam hal informasional mereka berperan sebagai pengawas, penyebar informasi dan juru bicara. Kemudian sebagai pengambil keputusan mereka berperan sebagai wirausaha, pemecah masalah, pengalokasi sumber daya, dan negosiator.
John Kotter dari Harvard Business School menambahkan bahwa pekerjaan manajer tidak hanya melulu melakukan ‘Fayolian functions’. Lebih dari itu para manajer menggunakan sebagian besar waktu mereka untuk berinteraksi dengan orang lain, melalui pertemuan-pertemuan guna mendapatkan dan/atau memberi informasi, yang oleh Kotter disebut sebagai ‘membangun jejaring (networking)’. Melalui cara ini manajer dapat membuat ‘agenda’ sebagai hasil kompromi, serta sedikit melonggarkan kekakuan di antara mereka yang kadang-kadang terjadi karena masing-masing mempunyai sasaran berbeda.
Manajer Sukses vs Efektif : Empat Aktivitas Manajerial
Yang terakhir adalah penelitian oleh Fred Luthans dari University of Nebraska, Lincoln. Luthans mengelompokkan pekerjaan manajer dalam empat aktivitas manajerial sebagai berikut:
1. Komunikasi, yaitu aktivitas yang meliputi pertukaran informasi secara rutin dan pemrosesan pekerjaan tulis-menulis.
2. Manajemen tradisional, yaitu aktivitas yang terdiri dari perencanaan, pengambilan keputusan dan pengendalian.
3. Manajemen sumber daya manusia, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan aspek perilaku, misalnya motivasi/pemberian dukungan, pendisiplinan/penghukuman, manajemen konflik, staffing, dan pelatihan/pengembangan.
4. Jejaring (networking), yaitu aktivitas yang meliputi sosialisasi/berpolitik, berinteraksi de-ngan pihak luar, serta hal-hal ‘chit chat’ lainnya yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.
Luthans dapat dikatakan menampilkan uraian tentang pekerjaan manajer yang paling lengkap dibanding Fayol, Mintzberg dan Kotter. Diskripsinya mencakup pendapat klasik dari Fayol (aktivitas manajemen tradisional), aktivitas komunikasi dari Mintzberg dan aktivitas jejaring dari Kotter. Tambahan dari Luthans yang cukup penting dan melengkapi adalah aktivitas manajer pada manajemen sumber daya manusia.
Untuk mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan oleh para manajer sukses dan manajer efektif, Luthans melakukan penelitian terhadap 248 manajer. Hasilnya menunjukkan bahwa hampir sepertiga waktu dan tenaga mereka digunakan pada aktivitas komunikasi, sekitar sepertiga pada aktivitas manajemen tradisional, seperlima pada manajemen sumber daya manusia dan kurang-lebih seperlima pada aktivitas jejaring.
Selain melakukan penelitian secara umum tentang aktivitas manajer, Luthans juga melakukan penelitian secara khusus untuk mengamati apa yang dilakukan oleh kelompok manajer sukses dan juga apa yang dilakukan oleh kelompok manajer efektif. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua kelompok tersebut mempunyai pola aktivitas manajerial yang berbeda.
Pada kelompok manajer sukses, terlihat nyata bahwa mereka mengalokasikan waktu dan tenaga paling banyak pada aktivitas jejaring (48%). Selanjutnya aktivitas komunikasi berada di urutan kedua (28%), manajemen tradisional di urutan ketiga (13%) dan sumber daya manusia adalah aktivitas yang alokasi waktunya paling sedikit (11%). Hal ini menunjukkan bahwa - dengan menggunakan kecepatan promosi sebagai ukuran sukses - manajer sukses lebih banyak menggunakan sebagian besar waktu dan tenaga mereka untuk bersosialisasi, berpolitik, dan berinteraksi dengan pihak luar dibandingkan dengan rekannya yang kurang sukses. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa manajer sukses tidak banyak menggunakan waktu dan tenaganya pada aktivitas manajemen tradisional atau pada manajemen sumber daya manusia.
Pada kelompok manajer efektif, aktivitas yang mendapat perhatian paling besar adalah komunikasi (44%), kemudian manajemen sumber daya manusia (26%), selanjutnya manajemen tradisional (19%), dan yang terakhir jejaring (11%). Dari hasil penelitian tersebut diperoleh gambaran bahwa kontribusi relatif terbesar bagi manajer efektif berasal dari aktivitas yang berorientasi pada aspek manusia, yaitu komunikasi dan manajemen sumber daya manusia. Dengan sendirinya berarti pula bahwa bagi manajer efektif, aktivitas yang berkaitan dengan pembinaan jejaring kurang diprioritaskan, sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh manajer sukses.
Uraian di atas barangkali dapat Anda gunakanan sebagai acuan, atau setidak-tidaknya inspirasi, untuk mengembangkan karir Anda di masa depan - mau menjadi manajer sukses atau manajer efektif. Kalau mau menjadi manajer sukses, perluaslah jejaring dan keterampilan berkomunikasi, sedangkan bila ingin menjadi manajer yang efektif, asahlah kemampuan komunikasi dan penguasaan akan manajemen sumber daya manusia.
Melalui tulisan ini mudah-mudahan Anda mendapat inspirasi dan dapat menarik manfaat untuk memilih apakah Anda akan menjadi manajer sukses atau efektif, atau bahkan keduanya - sukses sekaligus efektif.
Kamis, 02 April 2009
TEKNOLOGI TEPAT GUNA: Polinela Gelar Seminar Agroindustri
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dalam rangka dies natalis ke-25 (lustrum ke-5) yang jatuh pada 7 April nanti, Politeknik Negeri Lampung (Polinela) mengadakan Seminar Nasional Teknologi Tepat Guna Agroindustri. Kegiatan tersebut digelar pada 1--2 April di kampus setempat.
Ketua Panitia Ir. Hamdani, M.Si. sekaligus kepala Unit Pernelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (UPPM) mengatakan tema kegiatan Dengan mengadakan Seminar Nasional Teknologi Tepat Guna Agroindustri, kita tingkatkan penelitian dan transfer teknologi tepat guna. Demikian rilis yang diterima Lampung Post Minggu (29-4).
Dia mengatakan ada dua makna penting dalam tema tersebut. Pertama mulai kini Polinela akan mengembangkan penelitian tepat guna, khususnya yang berkaitan dengan agroindustri atau agrobisnis secara umum. Kedua, Polinela bertekad mengembangkan paket teknologi tepat guna (TTG) hasil penelitian sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Termasuk bagaimana teknik mentransfer TTG agar mudah diadopsi pengguna.
Dia mengatakan seminar ini bertujuan meningkatkan peran Polinela dalam mengembangkan teknologi tepat guna agroindustri berbasis sumber daya lokal. Juga, menyebarluaskan hasil-hasil penelitian perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat agar sampai kepada pengguna dalam hal ini kalangan industri dan instansi pemerintah. Dengan demikian, akan terjadi sinergi antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah dalam hal pengembangan teknologi tepat guna.
Dia menambahkan Polinela sangat mengharapkan terjalinnnya kerja sama untuk saling mendukung antara perguruan tinggi, usahawan bidang agrobisnis, dan Pemerintah Provinisi Lampung termasuk pemerintah kabupaten/kota melalui dinas dan instansi yang terkait.
"Konsep ini kami sebut ABG bersinergi, A berarti akademisi, B maksudnya businesssman atau industri agrobisnis, dan G adalah government (pemerintah)," kata dia. Namun, pihaknya masih perlu komitmen dan perumusan yang jelas mengenai peran dan fungsi pihak masing-masing. n UNI/S-1
http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009033006390824
Ketua Panitia Ir. Hamdani, M.Si. sekaligus kepala Unit Pernelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (UPPM) mengatakan tema kegiatan Dengan mengadakan Seminar Nasional Teknologi Tepat Guna Agroindustri, kita tingkatkan penelitian dan transfer teknologi tepat guna. Demikian rilis yang diterima Lampung Post Minggu (29-4).
Dia mengatakan ada dua makna penting dalam tema tersebut. Pertama mulai kini Polinela akan mengembangkan penelitian tepat guna, khususnya yang berkaitan dengan agroindustri atau agrobisnis secara umum. Kedua, Polinela bertekad mengembangkan paket teknologi tepat guna (TTG) hasil penelitian sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Termasuk bagaimana teknik mentransfer TTG agar mudah diadopsi pengguna.
Dia mengatakan seminar ini bertujuan meningkatkan peran Polinela dalam mengembangkan teknologi tepat guna agroindustri berbasis sumber daya lokal. Juga, menyebarluaskan hasil-hasil penelitian perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat agar sampai kepada pengguna dalam hal ini kalangan industri dan instansi pemerintah. Dengan demikian, akan terjadi sinergi antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah dalam hal pengembangan teknologi tepat guna.
Dia menambahkan Polinela sangat mengharapkan terjalinnnya kerja sama untuk saling mendukung antara perguruan tinggi, usahawan bidang agrobisnis, dan Pemerintah Provinisi Lampung termasuk pemerintah kabupaten/kota melalui dinas dan instansi yang terkait.
"Konsep ini kami sebut ABG bersinergi, A berarti akademisi, B maksudnya businesssman atau industri agrobisnis, dan G adalah government (pemerintah)," kata dia. Namun, pihaknya masih perlu komitmen dan perumusan yang jelas mengenai peran dan fungsi pihak masing-masing. n UNI/S-1
http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009033006390824
Pakar Teknologi Agroindustri Bahas Pertanian di Lampung
BANDAR LAMPUNG : Seminar Politeknik Negeri Lampung (Polinela) tentang teknologi tepat guna agroindustri, hari ini (1-4), menghadirkan pemateri tingkat nasional.
Ketua pelaksana, Hamdani, mengatakan seminar nasional itu merupakan rangkaian dies natalis ke-25 Polinela yang dilaksanakan selama dua hari, Rabu--Kamis (1--2 Maret).
Tiga pemateri utama yang hadir, yakni Agus Puji dari Deputi Dinamika Masyarakat Kantor Menristek akan menjelaskan kebijakan pemerintah tentang pengembangan teknologi tepat guna. Selanjutnya, Endang Gumbira dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menjelaskan perkembangan penelitian teknologi tepat guna di Indonesia.
Terakhir M. Arief Yudiarto dari BPPT Bandung memaparkan hasil penelitian tentang peningkatan pendapatan petani melalui produksi bioetanol terintegrasi skala kecil berbasis sorgum manis.
"Selain materi utama ini, juga ada 54 judul hasil penelitian yang akan dipresentasikan dalam seminar nasional besok," kata Hamdani, Selasa (31-3).
Menurut dia, 54 penelitian penunjang materi seminar itu merupakan hasil penelitian TTG Agroindustri dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Di antaranya dari Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Lampung.
"Dari Polinela sendiri ada 15 judul penelitian," ujarnya. Acara dibuka Agus Puji dari Kementerian Ristek dan Teknologi. Direktur Polinela Zainal Mutaqin mengatakan Polinela selalu berbenah diri menjadi perguruan tinggi pencetak insan profesional, cerdas, dan kompetitif. Keberhasilan Polinela meraih sertifikasi ISO 9001:2008 dari SAI Global juga menjadi bukti kemajuan Politeknik Negeri Lampung ini diusianya yang ke-25 tahun. Dengan sertifikasi ISO tersebut prosedur mutu yang dilaksanakan di Polinela telah berstandar internasional. RIN/S-1
http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009040106253824
Ketua pelaksana, Hamdani, mengatakan seminar nasional itu merupakan rangkaian dies natalis ke-25 Polinela yang dilaksanakan selama dua hari, Rabu--Kamis (1--2 Maret).
Tiga pemateri utama yang hadir, yakni Agus Puji dari Deputi Dinamika Masyarakat Kantor Menristek akan menjelaskan kebijakan pemerintah tentang pengembangan teknologi tepat guna. Selanjutnya, Endang Gumbira dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menjelaskan perkembangan penelitian teknologi tepat guna di Indonesia.
Terakhir M. Arief Yudiarto dari BPPT Bandung memaparkan hasil penelitian tentang peningkatan pendapatan petani melalui produksi bioetanol terintegrasi skala kecil berbasis sorgum manis.
"Selain materi utama ini, juga ada 54 judul hasil penelitian yang akan dipresentasikan dalam seminar nasional besok," kata Hamdani, Selasa (31-3).
Menurut dia, 54 penelitian penunjang materi seminar itu merupakan hasil penelitian TTG Agroindustri dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Di antaranya dari Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Lampung.
"Dari Polinela sendiri ada 15 judul penelitian," ujarnya. Acara dibuka Agus Puji dari Kementerian Ristek dan Teknologi. Direktur Polinela Zainal Mutaqin mengatakan Polinela selalu berbenah diri menjadi perguruan tinggi pencetak insan profesional, cerdas, dan kompetitif. Keberhasilan Polinela meraih sertifikasi ISO 9001:2008 dari SAI Global juga menjadi bukti kemajuan Politeknik Negeri Lampung ini diusianya yang ke-25 tahun. Dengan sertifikasi ISO tersebut prosedur mutu yang dilaksanakan di Polinela telah berstandar internasional. RIN/S-1
http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009040106253824
MANAJEMEN RESISTENSI PESTISIDA SEBAGAI PENERAPAN PENGELOLAAN HAMA TERPADU
Oleh : Kasumbogo Untung
Pendahuluan
Berkembangnya resistensi berbagai jenis hama, penyakit dan gulma terhadap pestisida pada 50 tahun akhir ini merupakan masalah yang paling serius yang kita hadapi sejak digunakannya secara luas pestisida organik sintetik di seluruh dunia pada akhir Perang Dunia II. Resistensi hama terhadap pestisida merupakan fenomena global yang dirasakan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders) terutama petani di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Secara ekonomi dan sosial dampak resistensi terhadap pestisida sangat besar bagi para pengguna akhir pestisida terutama petani, industri penghasil pestisida, pemerintah dan masyarakat. Petani harus mengeluarkan lebih banyak biaya pengendalian karena mereka terpaksa mengaplikasikan pestisida lebih sering dengan dosis yang lebih tinggi atau membeli pestisida baru yang harganya lebih mahal. Pemerintah menderita kerugian karena sasaran produktivitas pertanian dan keamanan pangan tidak tercapai. Industri pestisida merugi karena penjualan berkurang, masa â€Å“hidup†pestisida di pasar semakin pendek, dan biaya investasi untuk pengembangan senyawa-senyawa baru belum terbayar kembali. Masyarakat merasakan dampaknya karena penurunan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, peningkatan harga produk pertanian, serta peningkatan risiko bahaya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.
Sebagian besar peningkatan resistensi pestisida disebabkan oleh tindakan manusia terutama pengguna dalam mengaplikasikan pestisida tanpa dilandasi oleh pengetahuan yang menyeluruh tentang sifat-sifat dasar pestisida kimia termasuk pengembangan populasi resisten. Suatu jenis pestisida yang oleh petani pada suatu saat dianggap sangat efektif dalam mengendalikan hama menjadi tidak berguna bila sebagian besar individu dalam populasi menjadi resisten. Saat ini jumlah dan keragaman jenis hama yang menunjukkan resistensi terhadap satu atau beberapa jenis atau kelompok pestisida semakin meningkat di seluruh dunia. Telah diketahui bahwa setiap jenis organisme mempunyai kemampuan mengembangkan resistensi terhadap jenis pestisida apapun. Laju peningkatan resistensi sangat ditentukan oleh tindakan manusia dalam menggunakan dan memanfaatkan pestisida. Karena itu satu-satunya jalan untuk memperlambat, menghindari atau membalik arah pengembangan resistensi pestisida adalah melalui program pengelolaan resistensi pestisida dengan perubahan tindakan manusia dalam menghasilkan, mengaplikasikan dan mengawasi pestisida.
Makalah ini mencoba untuk membahas secara umum resistensi pestisida sebagai fenomena ekologi, dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan, faktor-faktor pendorong resistensi serta kebijakan dan strategi pengelolaan resistensi pestisida sebagai bagian implementasi Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) yang telah menjadi kebijakan nasional perlindungan tanaman.
Dampak Resistensi Pestisida
Meskipun resistensi hama terhadap insektisida anorganik telah diketahui sejak tahun 1910an, namun kasus ini meningkat sekali sejak ditemukannya insektisida organik sintetik. DDT sebagai insektisida organik sintetik pertama ditemukan dan digunakan secara luas sejak tahun 1945. Pada tahun 1948 sudah mulai dilaporkan terjadinya resistensi DDT pada nyamuk dan lalat. Pada tahun 1986 dilaporkan 447 jenis serangga yang resisten terhadap hampir semua kelompok insektisida (organokhlor, oganofosfat, karbamat, piretroid sintetik, fumigan) termasuk kelompok insektisida hayati seperti Bt (Georgiiou,1986). Jenis resistensi hama terhadap pestisida dapat berupa resistensi tunggal, resistensi ganda (multiple resistance) atau resistensi silang (cross resistance). Resistensi pestisida tidak hanya terjadi pada serangga-serangga pertanian, tetapi juga pada semua kelompok serangga termasuk serangga rumah tangga dan kesehatan masyarakat.
Resistensi pada penyakit tumbuhan telah lama diketahui sejak tahun 1940an, namun kasus resistensi penyakit tumbuhan terhadap fungisida meningkat sejak introduksi fungisida sistemik sekitar tahun 1960an. Resistensi gulma terhadap herbisida baru diketahui sejak tahun 1970 dan saat ini banyak spesies gulma yang resisten terhadap berbagai kelompok dan jenis herbisida, seiring dengan peningkatan penggunaan herbisida (Georgiou, 1986).
Para petani di Indonesia umumnya masih cenderung enggan mengambil risiko. Meskipun PHT sudah menjadi kebijakan pemerintah, namun banyak petani masih mempercayakan pada penyemprotan pestisida secara asuransi. Tanggapan pertama petani terhadap pestisida yang kehilangan efektivitasnya adalah dengan meningkatkan dosis dan frekuensi aplikasi. Bila hal ini tak berhasil mereka akan menggunakan jenis pestisida yang lebih baru, lebih mahal dan mereka harapkan lebih manjur daripada jenis pestisida yang digunakan sebelumnya. Pergeseran petani dari penggunaan pestisida baru tanpa adanya perubahan mendasar dalam filosofi dan strategi pengendalian hama dengan pestisida, merupakan solusi sementara yang akan menimbulkan masalah baru yang lebih parah yaitu terjadinya resistensi hama pada jenis pestisida yang baru. Dari data penelitian dan empirik dapat dibuktikan bahwa populasi hama yang sudah resisten terhadap satu atau lebih jenis pestisida biasanya dapat mengembangkan sifat resistensi terhadap senyawa lain secara lebih cepat, khususnya bila senyawa baru ini mempunyai mekanisme resistensi yang sama atau berdekatan dengan senyawa-senyawa sebelumnya. Sebagian besar hama mampu mempertahankan dan mewariskan sifat resistensi pada keturunannya dalam waktu yang lama.
Akibat peningkatan dosis dan frekuensi aplikasi pestisida percepatan pengembangan resistensi pestisida sangat meningkatkan biaya pengendalian yang harus dikeluarkan petani dan para pengguna pestisida lainnya. Di Amerika Serikat telah dilakukan perkiraan peningkatan biaya pengendalian akibat resistensi pestisida, dan diperoleh angka sekitar 133 juta US$. Di tingkat global pada tahun 1980 (kecuali Rusia dan Cina) diduga tambahan biaya pengendalian dengan pestisida akibat resistensi adalah sekitar satu milyard US $. Kalau peningkatan biaya tersebut ditambahkan pada biaya investasi untuk memperoleh jenis pestisida baru yang besarnya sekitar 100 juta US$ per satu jenis pestisida baru, sangat sulit bagi perusahaan pestisida untuk dapat memperoleh keuntungan. Tidak mengherankan bahwa laju penemuan pestisida baru saat ini sangat lambat (Georgiou, 1986).
Di samping ketakutan akan fenomena resistensi pestisida, beberapa penyebab berkurangnya penemuan pestisida baru adalah; 1) peningkatan biaya penelitian untuk menemukan pestisida baru yang memenuhi syarat, 2) peningkatan biaya dan persyaratan registrasi pestisida yang semakin ketat, 3) peningkatan biaya produksi, serta 4) semakin ketatnya kompetisi antar produsen pestisida. Ada kemungkinan kecenderungan bergabungnya perusahaan-perusahaan pestisida multinasional akhir-akhir ini disebabkan oleh faktor-faktor tersebut.
Proses terjadinya resistensi
Resistensi di lapangan yang kadangkala diindikasikan oleh menurunnya efektivitas suatu teknologi pengendalian tidak terjadi dalam waktu singkat. Resistensi pestisida berkembang setelah adanya proses seleksi yang berlangsung selama banyak generasi. Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh seleksi pada serangga hama yang diberi perlakuan insektisida secara terus menerus.
Di alam frekuensi alel individu rentan lebih besar dibandingkan frekuensi alel individu resisten, dan frekuensi alel homosigot resisten (RR) berkisar antara 10-2 sampai 10-13 (Georgiou dan Taylor 1986). Karena adanya seleksi yang terus- menerus jumlah individu yang peka dalam suatu populasi semakin sedikit dan meninggalkan individu-individu resisten. Individu resisten ini akan kawin satu dengan lainnya sehingga menghasilkan keturunan yang resisten pula. Populasi yang tetap hidup pada aplikasi pestisida permulaan akan menambah proporsi individu yang tahan terhadap senyawa dan meneruskan sifat ini pada keturunan mereka.
Karena pengguna pestisida sering menganggap bahwa individu-individu hama yang tetap hidup belum menerima dosis letal, petani mengambil tindakan dengan meningkatkan dosis pestisida dan frekuensi aplikasi. Tindakan ini yang mengakibatkan semakin menghilangnya proporsi individu yang peka. Tindakan ini meningkatkan proporsi individu-individu yang tahan dan tetap hidup. Dari generasi ke generasi proporsi individu resisten dalam suatu populasi akan semakin meningkat dan akhirnya populasi tersebut akan didominansi oleh individu yang resisten. Resistensi tidak akan menjadi masalah sampai suatu populasi didominansi oleh individu-individu yang resisten sehingga pengendalian hama menjadi tidak efektif lagi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi adalah tingkat tekanan seleksi yang diterima oleh suatu populasi serangga. Pada kondisi yang sama, suatu populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang menjadi populasi yang resisten dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan populasi hama yang menerima tekanan seleksi yang lemah.
Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi meliputi faktor genetik, biologi dan operasional (Georgiou, 1983). Faktor genetik antara lain meliputi frekuensi, jumlah dan dominansi alel resisten. Faktor biologi-ekologi meliputi perilaku hama, jumlah generasi per tahun, keperidian, mobilitas dan migrasi. Faktor operasional meliputi jenis dan sifat insektisida yang digunakan, jenis-jenis insektisida yag digunakan sebelumnya, persistensi, jumlah aplikasi dan stadium sasaran, dosis, frekuensi dan cara aplikasi, bentuk formulasi ,dan yang lain. Faktor genetik dan biologi-ekologi lebih sulit dikelola dibandingkan faktor operasional. Faktor genetik dan biologi merupakan sifat asli serangga sehingga di luar pengendalian kita. Dengan mempelajari sifat-sifat tersebut dapat dihitung risiko munculnya populasi resisten suatu jenis serangga.
Mekanisme resistensi
Mekanisme resistensi suatu serangga terhadap insektisida dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Peningkatan detoksifikasi (menjadi tidak beracun) insektisida oleh karena bekerjanya ensim-ensim tertentu seperti ensim dehidroklorinase (terhadap DDT), ensim mikrosomal oksidase (terhadap karbamat, OP, piretroid), glutation transferase (terhadap OP), hidrolase dan esterase (terhadap OP).
2. Penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh serangga seperti asetilkolinesterase (terhadap OP dan karbamat), sistem syaraf (Kdr) seperti terhadap DDT dan piretroid.
3. Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumentum seperti yang terjadi pada ketahanan terhadap kebanyakan insektisida.
Ketahanan serangga terhadap suatu jenis atau beberapa jenis insektisida disebabkan oleh lebih dari satu penyebab dan mekanisme ketahanan. Ada beberapa jenis serangga yang cepat membentuk populasi yang resisten tetapi ada yang lambat, ada juga jenis-jenis insektisida yang cepat menimbulkan reaksi ketahanan dari banyak jenis serangga. Mekanisme resistensi penyakit terhadap fungisida dan resistensi gulma terhadap herbisida pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan mekanisme resistensi hama terhadap insektisida.
Strategi Pengelolaan Resistensi Pestisida
Untuk memperlambat timbul dan berkembangnya populasi resisten menurut Georghiou dapat dilakukan dengan 3 strategi yaitu dengan 1) sikap sedang (moderation), 2) penjenuhan ( saturation ) dan 3) serangan ganda ( multiple attack). Pengelolaan dengan moderasi bertujuan mengurangi tekanan seleksi terhadap hama antara lain dengan pengurangan dosis, dan frekuensi penyemprotan yang lebih jarang. Pengelolaan dengan saturasi bertujuan memanipulasi atau mempengaruhi sifat pertahanan serangga terhadap insektisida baik yang bersifat biokimiawi maupun genetik. Pengelolaan dengan serangan ganda antara lain dilakukan dengan cara mengadakan rotasi atau pergiliran kelompok dan jenis insektisida yang mempunyai cara kerja atau mode of action yang berbeda. Adanya refugia merupakan mekanisme untuk menghambat pengembangan sifat resistensi pada populasi karena di refugia merupakan sumber individu imigran yang masih memiliki sifat peka terhadap pestisida (Georgiou dan Taylor, 1986).
Pengelolaan resistensi pestisida bertujuan melakukan kegiatan yang dapat menghalangi, menghambat, menunda atau membalikkan pengembangan resistensi. Untuk membuat keputusan pengelolaan resistensi sangat diperlukan pengetahuan dasar tentang faktor-faktor yang mendorong timbul dan berkembangnya resistensi, dan pendugaan frekuensi genotipe resisten. Program pengelolaan resistensi menjadi sangat sulit dilaksanakan tanpa pengetahuan komprehensif tentang mekanisme suatu jenis serangga atau organisme lain menjadi resisten terhadap pestisida.
Pengelolaan Resistensi Pestisida dan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)
Resistensi pestisida suatu fenomena alam yang sangat kuat dan masalah yang diakibatkannya semakin berlarut dan merugikan. Pengembangan keparahan masalah resistensi dikendalikan sepenuhnya oleh tindakan manusia. Ketidakpedulian dan kurang perhatian semua pihak terhadap masalah resistensi dapat membawa ke terjadinya eksplosi hama yang membawa ke kegagalan panen atau kegagalan program perlindungan terhadap kesehatan masyarakat.
Masalah resistensi harus ditanggulangi secara terpadu, lintas disiplin dan lintas sektor, mengikutsertakan semua stakeholders, tidak hanya pemerintah dan petani tetapi terutama industri pestisida dengan para petugasnya yang beroperasi di lapangan. Salah satu program yang dapat dilaksanakan oleh stakeholders secara bersama adalah memberikan penjelasan, penyuluhan dan pelatihan pada para petani agar mereka dapat ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dalam menggunakan pestisida secara bijaksana sehingga dapat memperlambat terjadinya populasi resisten. Petani terutama petani hortikultura harus mengubah perilaku dan kebiasaan mereka dalam menggunakan dan mengaplikasikan pestisida sehingga sesuai dengan strategi pengelolaan resistensi pestisida.
Pengelolaan resistensi pestisida sangat komplementer dan mendukung prinsip dan strategi PHT. Pengelolaan resistensi pestisida merupakan kombinasi teknik pengendalian dengan pestisida dan pengendalian tanpa pestisida sedemikian rupa sehingga frekuensi individu-individu resisten dalam populasi hama tetap dalam tingkatan yang dapat dikelola dan secara ekonomis layak. Penggunaan pestisida agar dilaksanakan secara selektif dengan memperhatikan hasil monitoring dan analisis data populasi hama dan musuh alaminya. Semakin kecil paparan populasi hama terhadap pestisida kimia tertentu diharapkan dapat memperlambat timbulnya populasi resisten. Penerapan PHT akan mengurangi tekanan seleksi terhadap organisme perusak tanaman serta dapat memperlambat atau menunda pengembangan populasi resisten yang merugikan semua pihak.
Deteksi dan Monitoring Resitensi
Penerapan program pengelolaan resistensi perlu dilakukan sedini mungkin. Apabila kegagalan pengendalian hama dengan pestisida telah terjadi karena berkembangnya populasi resisten, mungkin tingkat resistensi sudah sangat tinggi sehingga sulit untuk diturunkan kembali sampai ke tingkat yang rendah. Karena itu perlu dikembangkan metode pendeteksian yang mudah, cepat, murah dan akurat sehingga adanya perubahan sifat populasi yang mengarah ke resistensi dapat diketahui lebih awal. Tersedianya metode pendeteksian resistensi yang standar akan menunjang kegiatan monitoring yang terprogram.
Metode tersebut diperlukan juga untuk memonitor penyebaran dan tingkat keparahan resistensi secara spasial dan temporal dan melakukan pendugaan mengenai lebar atau panjang â€Å“jendela waktu†yaitu sejak resistensi terdeteksi sampai ke tingkat keparahan resistensi yang tidak dapat dikelola lagi tersebut. Untuk mendukung program ini ilmu-ilmu dasar seperti immunologi, biokimia dan genetika molekuler diharapkan mempunyai peran penting dalam mengembangkan metode deteksi tersebut.
Langkah yang perlu dilakukan adalah pengembangan dan penggunaan metode deteksi yang cepat, dapat dipercaya untuk mendeteksi tingkatan rendah terjadinya resistensi di populasi hama. Metode deteksi dan monitoring resistensi yang sudah lama digunakan adalah dengan teknik bioassay. Pengujian biokimia untuk mengidentifikasikan aktifitas ensim yang diduga terkait dengan mekanisme resistensi pada organisme yang diuji juga telah banyak dikembangkan. Namun metode biokimia menuntut lebih banyak peralatan yang lebih canggih dan lebih mahal daripada metode bioassay. Di samping itu para pakar bioteknologi juga sedang mengembangkan teknik molekul untuk mendeteksi keberadaan gen resisten.
Rekomendasi Kegiatan Penelitian Resistensi Pestisida
Berikut ini disampaikan beberapa rekomendasi dari kegiatan penelitian dasar dan terapan yang direkomendasikan oleh Komisi Strategi Manajemen Populasi Hama yang Resisten Pestisida pada Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1984 (NRC, 1986).
1. Perlu dilakukan penelitian yang lebih banyak dalam biokimia, fisiologi dan genetika molekuler tentang mekanisme resistensi pada berbagai kisaran spesies hama. Biologi molekuler termasuk teknologi rekombinan DNA, sangat menolong dalam melakukan isolasi dan karakterisasi mekanisme resistensi yang spesifik.
2. Penemuan dan eksploitasi â€Å“target site†baru untuk pestisida baru seharusnya merupakan fokus penelitian, bersamaan dengan usaha awal penelitian yang menggabungkan kemampuan riset tradisional dengan bioteknologi baru.
3. Metode standar untuk mendeteksi dan monitor resistensi hama-hama utama perlu dikembangkan, divalidasi dan selanjutnya diaplikasikan lebih luas di lapangan.
4. Konsep dan wawasan yang berasal dari penelitian biologi populasi dalam resistensi pestisida harus digunakan lebih efektif untuk mengembangkan, menerapkan dan mengevaluasi strategi dan taktik pengelolaan resistensi.
5. Pengembangan dan pengujian suatu sistem untuk pendugaan atau penaksiran risiko resistensi perlu dipercepat.
6. Peningkatan tekanan penelitian dan pengembangan harus diarahkan pada evaluasi di laboratorium dan lapangan mengenai taktik-taktik untuk mencegah atau menghambat pengembangan resistensi.
7. Usaha-usaha harus diperluas untuk mengembangkan sistem Pengelolaan Hama Terpadu. Langkah-langkah perlu diambil untuk mendorong penerapan PHT sebagai ciri utama dari semua program pengelolaan resistensi.
8. Kegiatan penelitian yang kritis adalah dalam menetapkan aras toleransi suatu populasi terhadap pestisida, dan kebugaran relatif dari bagian populasi hama yang resisten dibandingkan dengan bagian populasi hama yang peka.
Program Pengelolaan Resistensi Pestisida di Indonesia
a. Data tentang Resistensi Pestisida
Secara kualitatif laporan dan keluhan tentang semakin tidak â€Å“manjurâ€nya jenis-jenis pestisida tertentu semakin sering disampaikan oleh para petani atau petugas lapangan. Sayangnya sampai saat ini jumlah penelitian resistensi pestisida di Indonesia masih terbatas pada beberapa jenis hama tertentu seperti hama ngengat punggung berlian (Plutella xylostella), hama wereng batang coklat padi (Nilapavarta lugens), hama penggerek buah kapas (Helicoverpa armigera) dan ulat grayak (Spodoptera sp). Fakta ini menunjukkan bahwa tidak banyak peneliti di Indonesia yang bekerja menekuni masalah resistensi pestisida secara mendalam. Pada tingkat nasional maupun daerah, Indonesia belum memiliki rencana strategik kegiatan penelitian tentang pengelolaan pestisida pada umumnya dan pengelolaan resistensi pestisida pada khususnya.
Di Jepang hama wereng batang coklat (Nilapavarta lugens) telah resisten terhadap malathion 34,5 kali, diazinon 13,7 kali, fenitrotion 25,7 kali sedangkan di Indonesia hama tersebut telah resisten terhadap fentoat 17,3 kali, dan terhadap BPMC 7,7 kali (Sutrisno, 1987). Wereng coklat di beberapa daerah telah mengalami resistensi terhadap insektisida karbamat dan organofosfat. Pemaparan ke 3 insektisida MIPC terhadap wereng coklat menyebabkan kenaikan rasio resistensi sampai 58,02 kali (Putra et al.,2002).
Hama ngengat punggung berlian (Plutella xylostella) yang menyerang kubis termasuk salah satu hama yang cepat menunjukkan sifat ketahanan terhadap berbagai kelas pestisida kimia dan juga pestisida biologi seperti Bt. Laporan pertama mengenai resistensi hama Plutella di Indonesia adalah terhadap DDT pada tahun 1951 di Lembang dan Batu dengan peningkatan 9 kali (Vos,1951;1952 cit Oka dan Sukardi, 1981). Tjoa (1959, cit Oka dan Sukardi,1981) melaporkan bahwa Plutella sudah resisten terhadap HCH, Toxaphene, Aldrin, Dieldrin dan Endrin, hanya dalam kurun waktu 14 tahun setelah pestisida tersebut digunakan. Hasil penelitian mutakhir menunjukkan bahwa populasi Plutella dari Kopeng resisten terhadap deltametrin dengan tingkat resistensi 469 kali dibanding populasi dari Cepogo yang masih peka ( Nuryanti dan Trisyono, 2002 ). Plutella resisten terhadap deltametrin diturunkan secara monogenik, bersifat resesif dan ada maternal effect (Listyaningrum et al., 2003). Plutella xylostella strain Lembang, Pengalengan, Berastagi sangat resisten terhadap Bt var kurstaki dan strain HD-7 (Sastrosiswojo et.al. 2003). Peluang peningkatan faktor resistensi hama Plutella di Indonesia sangat besar karena di pusat daerah sayuran seperti Lembang, Dieng, dan Batu tanaman kubis ditanam sepanjang tahun dan penggunaan pestisida sangat intensif dan terus menerus.
b. Data kerugian ekonomi akibat resistensi pestisida Meskipun banyak jenis hama yang dilaporkan resisten terhadap pestisida tertentu, namun belum pernah dilakukan penaksiran selama ini seberapa besar kerugian ekonomis yang dialami baik oleh petani sebagai pengguna pestisida, pemerintah dan perusahaan pestisida sebagai produsen pestisida. Demikian juga kita belum pernah menghitung seberapa besar dampak negatif yang kita derita akibat fenomena resistensi pestisida. Di samping dampak ekonomi, juga perlu dihitung seberapa besar dampak sosial dan budaya, serta dampak terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.
Karena tidak ada kegiatan rutin monitoring resistensi pestisida, kita belum memiliki data tentang sebaran dan intensitas dan keparahan tingkat resistensi berbagai jenis pestisida di lapangan saat ini. Kita tidak mengetahui apakah ratusan formulasi pestisida yang sudah terdaftar dan diijinkan masih efektif dan efisien dalam mengendalikan hama atau OPT sasaran. Kita saat ini perlu mengetahui di daerah mana suatu jenis hama telah resisten dan di daerah mana masih didominansi individu-individu peka.
c. Kebijakan pendaftaran pestisida terkait resistensi pestisida
Dilihat dari tataran kebijakan nasional kita, belum memiliki kebijakan dan strategi khusus mengenai pengelolaan resistensi pestisida yang komprehensif dan terpadu. Umumnya penjelasan, anjuran, rekomendasi dan pelatihan dilakukan oleh para penyuluh pertanian dari pemerintah maupun oleh petugas lapangan perusahaan pestisida tentang aplikasi pestisida yang tepat guna (tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, tepat sasaran, tepat waktu dan tepat tempat) secara tidak langsung bertujuan untuk memperlambat muncul dan berkembangnya populasi hama resisten pestisida.
UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman serta peraturan perundang-undangan yang lebih rendah telah menetapkan Sistem PHT sebagai kebijakan nasional perlindungan tanaman. Apabila PHT diterapkan oleh seluruh petani secara individual maupun kelompok diharapkan semakin mengurangi kasus resistensi pestisida pada beberapa komoditas penting.
Keputusan Menteri Pertanian 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida belum mempunyai pasal-pasal khusus yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan fenomena resistensi pestisida. Pasal 15 Kepmen tersebut yang mengijinkan formulasi pestisida berbahan aktif majemuk diharapkan dapat mengurangi risiko timbul dan berkembangnya populasi resisten dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan-persyaratan tersebut telah dituangkan pada Surat Keputusan Ketua Komisi Pestisida.
d. Urgensi dan relevansi Kebijakan Pengelolaan Resistensi Pestisida
Pada saat ini urgensi dan relevansi kebijakan pengelolaan resistensi pestisida secara nasional sangat tinggi, mengingat beberapa kenyataan yang dikhawatirkan dapat memicu percepatan tingkat resistensi hama terhadap jenis-jenis pestisida yang banyak digunakan. Kenyataan-kenyataan tersebut antara lain:
1. Petani sebagian besar masih sangat menggantungkan pada penggunaan pestisida kimia sintetik dalam usaha pengendalian hama. Mereka masih mengikuti paradigma perlindungan tanaman konvensional, preventif dan prinsip asuransi yang cenderung berlebihan. Praktek pengendalian hama ini terjadi terutama pada komoditas rawan hama dan penyakit seperti kelompok tanaman hortikultura dan perkebunan tertentu.
2. Peningkatan jumlah dan volume jenis-jenis pestisida di Indonesia pada beberapa tahun terakhir.
3. Peningkatan jumlah dan jenis pestisida generik yang berarti banyak jenis pestisida lama yang didaftarkan dan diijinkan. Dari sekian banyak insektisida yang diijinkan golongan sintetik piretroid cenderung meningkat baik untuk bidang pertanian dan kehutanan, maupun untuk hygiene lingkungan. Insektisida sintetik piretroid kemungkinan besar mempunyai umur hidup atau umur manfaat yang pendek karena cepat mengembangkan populasi resisten.
4. Semakin sedikitnya jenis-jenis pestisida baru dengan cara kerja baru yang ditemukan didaftarkan dan diedarkan. Jumlah pestisida biologi dan pestisida nabati yang didaftarkan dan diijinkan masih sangat sedikit, kurang dari 5% dari jumlah formulasi pestisida yang telah diijinkan di Indonesia.
5. Data dan peta tentang tingkat keparahan resistensi berbagai jenis hama utama terhadap pestisida di Indonesia belum kita miliki, karena kurangnya kegiatan terkoordinasi dalam deteksi dan monitor resistensi pestisida.
Kesimpulan dan Saran
1. Di Indonesia fenomena resistensi hama terhadap pestisida sudah merupakan masalah kronis yang telah lama kita hadapi sejak kita menggunakan pestisida, namun belum pernah dilakukan evaluasi dan pendugaan mengenai kerugian sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh fenomena tersebut.Â
2. Indonesia belum mempunyai kebijakan dan strategi khusus untuk menanggulangi dan menghambat perkembangan populasi hama resisten karena belum memiliki kegiatan penelitian yang komprehensif, dapat dipercaya dan memadai.
3. Resistensi pestisida seharusnya merupakan perhatian dan keprihatinan semua stakeholders (pemangku kepentingan) termasuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, produsen dan distributor pestisida, peneliti, akademisi, petani secara individu dan berkelompok dan masyarakat pada umumnya.Â
4. Pemerintah perlu menyusun dan menetapkan kebijakan khusus tentang Manajemen
Resistensi Pestisida dengan melakukan koordinasi lintas sektor dan lintas disiplin yang bertujuan menghambat, menunda atau menghentikan perkembangan populasi hama resisten.Â
5. Pengembangan dan penerapan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) dan Pengelolaan Vektor Penyakit Manusia secara Terpadu perlu ditingkatkan dan diperluas, melalui kegiatan pemberdayaan petani dan masyarakat dalam menggunakan pestisida secara selektif dan hemat.Â
6. Dalam kebijakan pendaftaran pestisida hasil analisis risiko resistensi agar juga dipersyaratkan dan dipert Blue Menu
Pendahuluan
Berkembangnya resistensi berbagai jenis hama, penyakit dan gulma terhadap pestisida pada 50 tahun akhir ini merupakan masalah yang paling serius yang kita hadapi sejak digunakannya secara luas pestisida organik sintetik di seluruh dunia pada akhir Perang Dunia II. Resistensi hama terhadap pestisida merupakan fenomena global yang dirasakan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders) terutama petani di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Secara ekonomi dan sosial dampak resistensi terhadap pestisida sangat besar bagi para pengguna akhir pestisida terutama petani, industri penghasil pestisida, pemerintah dan masyarakat. Petani harus mengeluarkan lebih banyak biaya pengendalian karena mereka terpaksa mengaplikasikan pestisida lebih sering dengan dosis yang lebih tinggi atau membeli pestisida baru yang harganya lebih mahal. Pemerintah menderita kerugian karena sasaran produktivitas pertanian dan keamanan pangan tidak tercapai. Industri pestisida merugi karena penjualan berkurang, masa â€Å“hidup†pestisida di pasar semakin pendek, dan biaya investasi untuk pengembangan senyawa-senyawa baru belum terbayar kembali. Masyarakat merasakan dampaknya karena penurunan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, peningkatan harga produk pertanian, serta peningkatan risiko bahaya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.
Sebagian besar peningkatan resistensi pestisida disebabkan oleh tindakan manusia terutama pengguna dalam mengaplikasikan pestisida tanpa dilandasi oleh pengetahuan yang menyeluruh tentang sifat-sifat dasar pestisida kimia termasuk pengembangan populasi resisten. Suatu jenis pestisida yang oleh petani pada suatu saat dianggap sangat efektif dalam mengendalikan hama menjadi tidak berguna bila sebagian besar individu dalam populasi menjadi resisten. Saat ini jumlah dan keragaman jenis hama yang menunjukkan resistensi terhadap satu atau beberapa jenis atau kelompok pestisida semakin meningkat di seluruh dunia. Telah diketahui bahwa setiap jenis organisme mempunyai kemampuan mengembangkan resistensi terhadap jenis pestisida apapun. Laju peningkatan resistensi sangat ditentukan oleh tindakan manusia dalam menggunakan dan memanfaatkan pestisida. Karena itu satu-satunya jalan untuk memperlambat, menghindari atau membalik arah pengembangan resistensi pestisida adalah melalui program pengelolaan resistensi pestisida dengan perubahan tindakan manusia dalam menghasilkan, mengaplikasikan dan mengawasi pestisida.
Makalah ini mencoba untuk membahas secara umum resistensi pestisida sebagai fenomena ekologi, dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan, faktor-faktor pendorong resistensi serta kebijakan dan strategi pengelolaan resistensi pestisida sebagai bagian implementasi Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) yang telah menjadi kebijakan nasional perlindungan tanaman.
Dampak Resistensi Pestisida
Meskipun resistensi hama terhadap insektisida anorganik telah diketahui sejak tahun 1910an, namun kasus ini meningkat sekali sejak ditemukannya insektisida organik sintetik. DDT sebagai insektisida organik sintetik pertama ditemukan dan digunakan secara luas sejak tahun 1945. Pada tahun 1948 sudah mulai dilaporkan terjadinya resistensi DDT pada nyamuk dan lalat. Pada tahun 1986 dilaporkan 447 jenis serangga yang resisten terhadap hampir semua kelompok insektisida (organokhlor, oganofosfat, karbamat, piretroid sintetik, fumigan) termasuk kelompok insektisida hayati seperti Bt (Georgiiou,1986). Jenis resistensi hama terhadap pestisida dapat berupa resistensi tunggal, resistensi ganda (multiple resistance) atau resistensi silang (cross resistance). Resistensi pestisida tidak hanya terjadi pada serangga-serangga pertanian, tetapi juga pada semua kelompok serangga termasuk serangga rumah tangga dan kesehatan masyarakat.
Resistensi pada penyakit tumbuhan telah lama diketahui sejak tahun 1940an, namun kasus resistensi penyakit tumbuhan terhadap fungisida meningkat sejak introduksi fungisida sistemik sekitar tahun 1960an. Resistensi gulma terhadap herbisida baru diketahui sejak tahun 1970 dan saat ini banyak spesies gulma yang resisten terhadap berbagai kelompok dan jenis herbisida, seiring dengan peningkatan penggunaan herbisida (Georgiou, 1986).
Para petani di Indonesia umumnya masih cenderung enggan mengambil risiko. Meskipun PHT sudah menjadi kebijakan pemerintah, namun banyak petani masih mempercayakan pada penyemprotan pestisida secara asuransi. Tanggapan pertama petani terhadap pestisida yang kehilangan efektivitasnya adalah dengan meningkatkan dosis dan frekuensi aplikasi. Bila hal ini tak berhasil mereka akan menggunakan jenis pestisida yang lebih baru, lebih mahal dan mereka harapkan lebih manjur daripada jenis pestisida yang digunakan sebelumnya. Pergeseran petani dari penggunaan pestisida baru tanpa adanya perubahan mendasar dalam filosofi dan strategi pengendalian hama dengan pestisida, merupakan solusi sementara yang akan menimbulkan masalah baru yang lebih parah yaitu terjadinya resistensi hama pada jenis pestisida yang baru. Dari data penelitian dan empirik dapat dibuktikan bahwa populasi hama yang sudah resisten terhadap satu atau lebih jenis pestisida biasanya dapat mengembangkan sifat resistensi terhadap senyawa lain secara lebih cepat, khususnya bila senyawa baru ini mempunyai mekanisme resistensi yang sama atau berdekatan dengan senyawa-senyawa sebelumnya. Sebagian besar hama mampu mempertahankan dan mewariskan sifat resistensi pada keturunannya dalam waktu yang lama.
Akibat peningkatan dosis dan frekuensi aplikasi pestisida percepatan pengembangan resistensi pestisida sangat meningkatkan biaya pengendalian yang harus dikeluarkan petani dan para pengguna pestisida lainnya. Di Amerika Serikat telah dilakukan perkiraan peningkatan biaya pengendalian akibat resistensi pestisida, dan diperoleh angka sekitar 133 juta US$. Di tingkat global pada tahun 1980 (kecuali Rusia dan Cina) diduga tambahan biaya pengendalian dengan pestisida akibat resistensi adalah sekitar satu milyard US $. Kalau peningkatan biaya tersebut ditambahkan pada biaya investasi untuk memperoleh jenis pestisida baru yang besarnya sekitar 100 juta US$ per satu jenis pestisida baru, sangat sulit bagi perusahaan pestisida untuk dapat memperoleh keuntungan. Tidak mengherankan bahwa laju penemuan pestisida baru saat ini sangat lambat (Georgiou, 1986).
Di samping ketakutan akan fenomena resistensi pestisida, beberapa penyebab berkurangnya penemuan pestisida baru adalah; 1) peningkatan biaya penelitian untuk menemukan pestisida baru yang memenuhi syarat, 2) peningkatan biaya dan persyaratan registrasi pestisida yang semakin ketat, 3) peningkatan biaya produksi, serta 4) semakin ketatnya kompetisi antar produsen pestisida. Ada kemungkinan kecenderungan bergabungnya perusahaan-perusahaan pestisida multinasional akhir-akhir ini disebabkan oleh faktor-faktor tersebut.
Proses terjadinya resistensi
Resistensi di lapangan yang kadangkala diindikasikan oleh menurunnya efektivitas suatu teknologi pengendalian tidak terjadi dalam waktu singkat. Resistensi pestisida berkembang setelah adanya proses seleksi yang berlangsung selama banyak generasi. Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh seleksi pada serangga hama yang diberi perlakuan insektisida secara terus menerus.
Di alam frekuensi alel individu rentan lebih besar dibandingkan frekuensi alel individu resisten, dan frekuensi alel homosigot resisten (RR) berkisar antara 10-2 sampai 10-13 (Georgiou dan Taylor 1986). Karena adanya seleksi yang terus- menerus jumlah individu yang peka dalam suatu populasi semakin sedikit dan meninggalkan individu-individu resisten. Individu resisten ini akan kawin satu dengan lainnya sehingga menghasilkan keturunan yang resisten pula. Populasi yang tetap hidup pada aplikasi pestisida permulaan akan menambah proporsi individu yang tahan terhadap senyawa dan meneruskan sifat ini pada keturunan mereka.
Karena pengguna pestisida sering menganggap bahwa individu-individu hama yang tetap hidup belum menerima dosis letal, petani mengambil tindakan dengan meningkatkan dosis pestisida dan frekuensi aplikasi. Tindakan ini yang mengakibatkan semakin menghilangnya proporsi individu yang peka. Tindakan ini meningkatkan proporsi individu-individu yang tahan dan tetap hidup. Dari generasi ke generasi proporsi individu resisten dalam suatu populasi akan semakin meningkat dan akhirnya populasi tersebut akan didominansi oleh individu yang resisten. Resistensi tidak akan menjadi masalah sampai suatu populasi didominansi oleh individu-individu yang resisten sehingga pengendalian hama menjadi tidak efektif lagi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi adalah tingkat tekanan seleksi yang diterima oleh suatu populasi serangga. Pada kondisi yang sama, suatu populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang menjadi populasi yang resisten dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan populasi hama yang menerima tekanan seleksi yang lemah.
Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi meliputi faktor genetik, biologi dan operasional (Georgiou, 1983). Faktor genetik antara lain meliputi frekuensi, jumlah dan dominansi alel resisten. Faktor biologi-ekologi meliputi perilaku hama, jumlah generasi per tahun, keperidian, mobilitas dan migrasi. Faktor operasional meliputi jenis dan sifat insektisida yang digunakan, jenis-jenis insektisida yag digunakan sebelumnya, persistensi, jumlah aplikasi dan stadium sasaran, dosis, frekuensi dan cara aplikasi, bentuk formulasi ,dan yang lain. Faktor genetik dan biologi-ekologi lebih sulit dikelola dibandingkan faktor operasional. Faktor genetik dan biologi merupakan sifat asli serangga sehingga di luar pengendalian kita. Dengan mempelajari sifat-sifat tersebut dapat dihitung risiko munculnya populasi resisten suatu jenis serangga.
Mekanisme resistensi
Mekanisme resistensi suatu serangga terhadap insektisida dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Peningkatan detoksifikasi (menjadi tidak beracun) insektisida oleh karena bekerjanya ensim-ensim tertentu seperti ensim dehidroklorinase (terhadap DDT), ensim mikrosomal oksidase (terhadap karbamat, OP, piretroid), glutation transferase (terhadap OP), hidrolase dan esterase (terhadap OP).
2. Penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh serangga seperti asetilkolinesterase (terhadap OP dan karbamat), sistem syaraf (Kdr) seperti terhadap DDT dan piretroid.
3. Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumentum seperti yang terjadi pada ketahanan terhadap kebanyakan insektisida.
Ketahanan serangga terhadap suatu jenis atau beberapa jenis insektisida disebabkan oleh lebih dari satu penyebab dan mekanisme ketahanan. Ada beberapa jenis serangga yang cepat membentuk populasi yang resisten tetapi ada yang lambat, ada juga jenis-jenis insektisida yang cepat menimbulkan reaksi ketahanan dari banyak jenis serangga. Mekanisme resistensi penyakit terhadap fungisida dan resistensi gulma terhadap herbisida pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan mekanisme resistensi hama terhadap insektisida.
Strategi Pengelolaan Resistensi Pestisida
Untuk memperlambat timbul dan berkembangnya populasi resisten menurut Georghiou dapat dilakukan dengan 3 strategi yaitu dengan 1) sikap sedang (moderation), 2) penjenuhan ( saturation ) dan 3) serangan ganda ( multiple attack). Pengelolaan dengan moderasi bertujuan mengurangi tekanan seleksi terhadap hama antara lain dengan pengurangan dosis, dan frekuensi penyemprotan yang lebih jarang. Pengelolaan dengan saturasi bertujuan memanipulasi atau mempengaruhi sifat pertahanan serangga terhadap insektisida baik yang bersifat biokimiawi maupun genetik. Pengelolaan dengan serangan ganda antara lain dilakukan dengan cara mengadakan rotasi atau pergiliran kelompok dan jenis insektisida yang mempunyai cara kerja atau mode of action yang berbeda. Adanya refugia merupakan mekanisme untuk menghambat pengembangan sifat resistensi pada populasi karena di refugia merupakan sumber individu imigran yang masih memiliki sifat peka terhadap pestisida (Georgiou dan Taylor, 1986).
Pengelolaan resistensi pestisida bertujuan melakukan kegiatan yang dapat menghalangi, menghambat, menunda atau membalikkan pengembangan resistensi. Untuk membuat keputusan pengelolaan resistensi sangat diperlukan pengetahuan dasar tentang faktor-faktor yang mendorong timbul dan berkembangnya resistensi, dan pendugaan frekuensi genotipe resisten. Program pengelolaan resistensi menjadi sangat sulit dilaksanakan tanpa pengetahuan komprehensif tentang mekanisme suatu jenis serangga atau organisme lain menjadi resisten terhadap pestisida.
Pengelolaan Resistensi Pestisida dan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)
Resistensi pestisida suatu fenomena alam yang sangat kuat dan masalah yang diakibatkannya semakin berlarut dan merugikan. Pengembangan keparahan masalah resistensi dikendalikan sepenuhnya oleh tindakan manusia. Ketidakpedulian dan kurang perhatian semua pihak terhadap masalah resistensi dapat membawa ke terjadinya eksplosi hama yang membawa ke kegagalan panen atau kegagalan program perlindungan terhadap kesehatan masyarakat.
Masalah resistensi harus ditanggulangi secara terpadu, lintas disiplin dan lintas sektor, mengikutsertakan semua stakeholders, tidak hanya pemerintah dan petani tetapi terutama industri pestisida dengan para petugasnya yang beroperasi di lapangan. Salah satu program yang dapat dilaksanakan oleh stakeholders secara bersama adalah memberikan penjelasan, penyuluhan dan pelatihan pada para petani agar mereka dapat ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dalam menggunakan pestisida secara bijaksana sehingga dapat memperlambat terjadinya populasi resisten. Petani terutama petani hortikultura harus mengubah perilaku dan kebiasaan mereka dalam menggunakan dan mengaplikasikan pestisida sehingga sesuai dengan strategi pengelolaan resistensi pestisida.
Pengelolaan resistensi pestisida sangat komplementer dan mendukung prinsip dan strategi PHT. Pengelolaan resistensi pestisida merupakan kombinasi teknik pengendalian dengan pestisida dan pengendalian tanpa pestisida sedemikian rupa sehingga frekuensi individu-individu resisten dalam populasi hama tetap dalam tingkatan yang dapat dikelola dan secara ekonomis layak. Penggunaan pestisida agar dilaksanakan secara selektif dengan memperhatikan hasil monitoring dan analisis data populasi hama dan musuh alaminya. Semakin kecil paparan populasi hama terhadap pestisida kimia tertentu diharapkan dapat memperlambat timbulnya populasi resisten. Penerapan PHT akan mengurangi tekanan seleksi terhadap organisme perusak tanaman serta dapat memperlambat atau menunda pengembangan populasi resisten yang merugikan semua pihak.
Deteksi dan Monitoring Resitensi
Penerapan program pengelolaan resistensi perlu dilakukan sedini mungkin. Apabila kegagalan pengendalian hama dengan pestisida telah terjadi karena berkembangnya populasi resisten, mungkin tingkat resistensi sudah sangat tinggi sehingga sulit untuk diturunkan kembali sampai ke tingkat yang rendah. Karena itu perlu dikembangkan metode pendeteksian yang mudah, cepat, murah dan akurat sehingga adanya perubahan sifat populasi yang mengarah ke resistensi dapat diketahui lebih awal. Tersedianya metode pendeteksian resistensi yang standar akan menunjang kegiatan monitoring yang terprogram.
Metode tersebut diperlukan juga untuk memonitor penyebaran dan tingkat keparahan resistensi secara spasial dan temporal dan melakukan pendugaan mengenai lebar atau panjang â€Å“jendela waktu†yaitu sejak resistensi terdeteksi sampai ke tingkat keparahan resistensi yang tidak dapat dikelola lagi tersebut. Untuk mendukung program ini ilmu-ilmu dasar seperti immunologi, biokimia dan genetika molekuler diharapkan mempunyai peran penting dalam mengembangkan metode deteksi tersebut.
Langkah yang perlu dilakukan adalah pengembangan dan penggunaan metode deteksi yang cepat, dapat dipercaya untuk mendeteksi tingkatan rendah terjadinya resistensi di populasi hama. Metode deteksi dan monitoring resistensi yang sudah lama digunakan adalah dengan teknik bioassay. Pengujian biokimia untuk mengidentifikasikan aktifitas ensim yang diduga terkait dengan mekanisme resistensi pada organisme yang diuji juga telah banyak dikembangkan. Namun metode biokimia menuntut lebih banyak peralatan yang lebih canggih dan lebih mahal daripada metode bioassay. Di samping itu para pakar bioteknologi juga sedang mengembangkan teknik molekul untuk mendeteksi keberadaan gen resisten.
Rekomendasi Kegiatan Penelitian Resistensi Pestisida
Berikut ini disampaikan beberapa rekomendasi dari kegiatan penelitian dasar dan terapan yang direkomendasikan oleh Komisi Strategi Manajemen Populasi Hama yang Resisten Pestisida pada Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1984 (NRC, 1986).
1. Perlu dilakukan penelitian yang lebih banyak dalam biokimia, fisiologi dan genetika molekuler tentang mekanisme resistensi pada berbagai kisaran spesies hama. Biologi molekuler termasuk teknologi rekombinan DNA, sangat menolong dalam melakukan isolasi dan karakterisasi mekanisme resistensi yang spesifik.
2. Penemuan dan eksploitasi â€Å“target site†baru untuk pestisida baru seharusnya merupakan fokus penelitian, bersamaan dengan usaha awal penelitian yang menggabungkan kemampuan riset tradisional dengan bioteknologi baru.
3. Metode standar untuk mendeteksi dan monitor resistensi hama-hama utama perlu dikembangkan, divalidasi dan selanjutnya diaplikasikan lebih luas di lapangan.
4. Konsep dan wawasan yang berasal dari penelitian biologi populasi dalam resistensi pestisida harus digunakan lebih efektif untuk mengembangkan, menerapkan dan mengevaluasi strategi dan taktik pengelolaan resistensi.
5. Pengembangan dan pengujian suatu sistem untuk pendugaan atau penaksiran risiko resistensi perlu dipercepat.
6. Peningkatan tekanan penelitian dan pengembangan harus diarahkan pada evaluasi di laboratorium dan lapangan mengenai taktik-taktik untuk mencegah atau menghambat pengembangan resistensi.
7. Usaha-usaha harus diperluas untuk mengembangkan sistem Pengelolaan Hama Terpadu. Langkah-langkah perlu diambil untuk mendorong penerapan PHT sebagai ciri utama dari semua program pengelolaan resistensi.
8. Kegiatan penelitian yang kritis adalah dalam menetapkan aras toleransi suatu populasi terhadap pestisida, dan kebugaran relatif dari bagian populasi hama yang resisten dibandingkan dengan bagian populasi hama yang peka.
Program Pengelolaan Resistensi Pestisida di Indonesia
a. Data tentang Resistensi Pestisida
Secara kualitatif laporan dan keluhan tentang semakin tidak â€Å“manjurâ€nya jenis-jenis pestisida tertentu semakin sering disampaikan oleh para petani atau petugas lapangan. Sayangnya sampai saat ini jumlah penelitian resistensi pestisida di Indonesia masih terbatas pada beberapa jenis hama tertentu seperti hama ngengat punggung berlian (Plutella xylostella), hama wereng batang coklat padi (Nilapavarta lugens), hama penggerek buah kapas (Helicoverpa armigera) dan ulat grayak (Spodoptera sp). Fakta ini menunjukkan bahwa tidak banyak peneliti di Indonesia yang bekerja menekuni masalah resistensi pestisida secara mendalam. Pada tingkat nasional maupun daerah, Indonesia belum memiliki rencana strategik kegiatan penelitian tentang pengelolaan pestisida pada umumnya dan pengelolaan resistensi pestisida pada khususnya.
Di Jepang hama wereng batang coklat (Nilapavarta lugens) telah resisten terhadap malathion 34,5 kali, diazinon 13,7 kali, fenitrotion 25,7 kali sedangkan di Indonesia hama tersebut telah resisten terhadap fentoat 17,3 kali, dan terhadap BPMC 7,7 kali (Sutrisno, 1987). Wereng coklat di beberapa daerah telah mengalami resistensi terhadap insektisida karbamat dan organofosfat. Pemaparan ke 3 insektisida MIPC terhadap wereng coklat menyebabkan kenaikan rasio resistensi sampai 58,02 kali (Putra et al.,2002).
Hama ngengat punggung berlian (Plutella xylostella) yang menyerang kubis termasuk salah satu hama yang cepat menunjukkan sifat ketahanan terhadap berbagai kelas pestisida kimia dan juga pestisida biologi seperti Bt. Laporan pertama mengenai resistensi hama Plutella di Indonesia adalah terhadap DDT pada tahun 1951 di Lembang dan Batu dengan peningkatan 9 kali (Vos,1951;1952 cit Oka dan Sukardi, 1981). Tjoa (1959, cit Oka dan Sukardi,1981) melaporkan bahwa Plutella sudah resisten terhadap HCH, Toxaphene, Aldrin, Dieldrin dan Endrin, hanya dalam kurun waktu 14 tahun setelah pestisida tersebut digunakan. Hasil penelitian mutakhir menunjukkan bahwa populasi Plutella dari Kopeng resisten terhadap deltametrin dengan tingkat resistensi 469 kali dibanding populasi dari Cepogo yang masih peka ( Nuryanti dan Trisyono, 2002 ). Plutella resisten terhadap deltametrin diturunkan secara monogenik, bersifat resesif dan ada maternal effect (Listyaningrum et al., 2003). Plutella xylostella strain Lembang, Pengalengan, Berastagi sangat resisten terhadap Bt var kurstaki dan strain HD-7 (Sastrosiswojo et.al. 2003). Peluang peningkatan faktor resistensi hama Plutella di Indonesia sangat besar karena di pusat daerah sayuran seperti Lembang, Dieng, dan Batu tanaman kubis ditanam sepanjang tahun dan penggunaan pestisida sangat intensif dan terus menerus.
b. Data kerugian ekonomi akibat resistensi pestisida Meskipun banyak jenis hama yang dilaporkan resisten terhadap pestisida tertentu, namun belum pernah dilakukan penaksiran selama ini seberapa besar kerugian ekonomis yang dialami baik oleh petani sebagai pengguna pestisida, pemerintah dan perusahaan pestisida sebagai produsen pestisida. Demikian juga kita belum pernah menghitung seberapa besar dampak negatif yang kita derita akibat fenomena resistensi pestisida. Di samping dampak ekonomi, juga perlu dihitung seberapa besar dampak sosial dan budaya, serta dampak terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.
Karena tidak ada kegiatan rutin monitoring resistensi pestisida, kita belum memiliki data tentang sebaran dan intensitas dan keparahan tingkat resistensi berbagai jenis pestisida di lapangan saat ini. Kita tidak mengetahui apakah ratusan formulasi pestisida yang sudah terdaftar dan diijinkan masih efektif dan efisien dalam mengendalikan hama atau OPT sasaran. Kita saat ini perlu mengetahui di daerah mana suatu jenis hama telah resisten dan di daerah mana masih didominansi individu-individu peka.
c. Kebijakan pendaftaran pestisida terkait resistensi pestisida
Dilihat dari tataran kebijakan nasional kita, belum memiliki kebijakan dan strategi khusus mengenai pengelolaan resistensi pestisida yang komprehensif dan terpadu. Umumnya penjelasan, anjuran, rekomendasi dan pelatihan dilakukan oleh para penyuluh pertanian dari pemerintah maupun oleh petugas lapangan perusahaan pestisida tentang aplikasi pestisida yang tepat guna (tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, tepat sasaran, tepat waktu dan tepat tempat) secara tidak langsung bertujuan untuk memperlambat muncul dan berkembangnya populasi hama resisten pestisida.
UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman serta peraturan perundang-undangan yang lebih rendah telah menetapkan Sistem PHT sebagai kebijakan nasional perlindungan tanaman. Apabila PHT diterapkan oleh seluruh petani secara individual maupun kelompok diharapkan semakin mengurangi kasus resistensi pestisida pada beberapa komoditas penting.
Keputusan Menteri Pertanian 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida belum mempunyai pasal-pasal khusus yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan fenomena resistensi pestisida. Pasal 15 Kepmen tersebut yang mengijinkan formulasi pestisida berbahan aktif majemuk diharapkan dapat mengurangi risiko timbul dan berkembangnya populasi resisten dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan-persyaratan tersebut telah dituangkan pada Surat Keputusan Ketua Komisi Pestisida.
d. Urgensi dan relevansi Kebijakan Pengelolaan Resistensi Pestisida
Pada saat ini urgensi dan relevansi kebijakan pengelolaan resistensi pestisida secara nasional sangat tinggi, mengingat beberapa kenyataan yang dikhawatirkan dapat memicu percepatan tingkat resistensi hama terhadap jenis-jenis pestisida yang banyak digunakan. Kenyataan-kenyataan tersebut antara lain:
1. Petani sebagian besar masih sangat menggantungkan pada penggunaan pestisida kimia sintetik dalam usaha pengendalian hama. Mereka masih mengikuti paradigma perlindungan tanaman konvensional, preventif dan prinsip asuransi yang cenderung berlebihan. Praktek pengendalian hama ini terjadi terutama pada komoditas rawan hama dan penyakit seperti kelompok tanaman hortikultura dan perkebunan tertentu.
2. Peningkatan jumlah dan volume jenis-jenis pestisida di Indonesia pada beberapa tahun terakhir.
3. Peningkatan jumlah dan jenis pestisida generik yang berarti banyak jenis pestisida lama yang didaftarkan dan diijinkan. Dari sekian banyak insektisida yang diijinkan golongan sintetik piretroid cenderung meningkat baik untuk bidang pertanian dan kehutanan, maupun untuk hygiene lingkungan. Insektisida sintetik piretroid kemungkinan besar mempunyai umur hidup atau umur manfaat yang pendek karena cepat mengembangkan populasi resisten.
4. Semakin sedikitnya jenis-jenis pestisida baru dengan cara kerja baru yang ditemukan didaftarkan dan diedarkan. Jumlah pestisida biologi dan pestisida nabati yang didaftarkan dan diijinkan masih sangat sedikit, kurang dari 5% dari jumlah formulasi pestisida yang telah diijinkan di Indonesia.
5. Data dan peta tentang tingkat keparahan resistensi berbagai jenis hama utama terhadap pestisida di Indonesia belum kita miliki, karena kurangnya kegiatan terkoordinasi dalam deteksi dan monitor resistensi pestisida.
Kesimpulan dan Saran
1. Di Indonesia fenomena resistensi hama terhadap pestisida sudah merupakan masalah kronis yang telah lama kita hadapi sejak kita menggunakan pestisida, namun belum pernah dilakukan evaluasi dan pendugaan mengenai kerugian sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh fenomena tersebut.Â
2. Indonesia belum mempunyai kebijakan dan strategi khusus untuk menanggulangi dan menghambat perkembangan populasi hama resisten karena belum memiliki kegiatan penelitian yang komprehensif, dapat dipercaya dan memadai.
3. Resistensi pestisida seharusnya merupakan perhatian dan keprihatinan semua stakeholders (pemangku kepentingan) termasuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, produsen dan distributor pestisida, peneliti, akademisi, petani secara individu dan berkelompok dan masyarakat pada umumnya.Â
4. Pemerintah perlu menyusun dan menetapkan kebijakan khusus tentang Manajemen
Resistensi Pestisida dengan melakukan koordinasi lintas sektor dan lintas disiplin yang bertujuan menghambat, menunda atau menghentikan perkembangan populasi hama resisten.Â
5. Pengembangan dan penerapan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) dan Pengelolaan Vektor Penyakit Manusia secara Terpadu perlu ditingkatkan dan diperluas, melalui kegiatan pemberdayaan petani dan masyarakat dalam menggunakan pestisida secara selektif dan hemat.Â
6. Dalam kebijakan pendaftaran pestisida hasil analisis risiko resistensi agar juga dipersyaratkan dan dipert Blue Menu
DINAMIKA DAN TANTANGAN PERLINDUNGAN TANAMAN
Oleh : Kasumbogo Untung
Pendahuluan
Kinerja jajaran perlindungan tanaman pangan di tingkat pusat dan daerah pada beberapa tahun akhir ini cukup mantap. Hal ini dapat dibuktikan dari data luas dan tingkat serangan serta populasi beberapa OPT pangan utama yang kecil dan terkendali. Sebagai indikator penting keberhasilan jajaran perlindungan tanaman dalam mencapai tujuan dan sasarannya adalah peningkatan produksi padi dan tanaman pangan lainnya yang kita capai akhir-akhir ini. Yang perlu kita pikirkan saat ini adalah bagaimana keberlanjutan tugas pokok fungsi perlindungan tanaman ini dapat dipertahankan dan ditingkatkan dalam keadaan terjadinya perubahan yang cepat dan dinamis pada berbagai aspek dan konteks pembangunan nasional dan global.
Di samping keberhasilan yang telah kita capai, kita akui bahwa saat ini masih banyak masalah, kendala, kelemahan dan tantangan yang kita hadapi dalam memasuki masa depan yang penuh dengan persaingan ketat. Salah satu kendala utama yang kita miliki adalah keterbatasan kuantitas (jumlah) dan kualitas (mutu) SDM baik para petugas lapangan, laboratorium, dan administrasi serta SDM petani dan kelompok tani. Petugas fungsional POPT yang bekerja di lapangan dan laboratorium jumlahnya semakin berkurang dan tidak bertambah. Pada era otonomi daerah kendala SDM tersebut semakin kita rasakan terutama dalam melaksanakan pembinaan, penambahan dan rekruitmen tenaga-tenaga baru yang berlatar belakang perlindungan tanaman.
Secara struktural banyak pejabat di daerah propinsi dan kabupaten yang tidak memiliki latar belakang pendidikan perlindungan tanaman. Sementara itu jumlah petani yang sudah terlatih dan trampil melaksanakan kegiatan perlindungan tanaman dan PHT pada khususnya masih sangat terbatas. Kendala ini mungkin dapat mengganggu keberlanjutan dan konsistensi kinerja jajaran perlindungan tanaman pada masa mendatang yang seharusnya bertumpu pada kemampuan kelembagaan dan SDM yang ada di daerah.
Kita perlu mempersiapkan strategi dan program kegiatan yang terencana agar kegiatan perlindungan tanaman dapat lebih tersosialisasikan dan terlembagakan lebih baik di kalangan pemerintah daerah dan petani.
Dinamika Perlindungan Tanaman
Perkembangan dan perubahan yang terjadi saat ini semakin meyakinkan kita bahwa visi dan cakupan perlindungan tanaman secara fungsional dan struktural tidak dapat dibatasi sebagai kegiatan pengendalian OPT terutama pada tahap produksi. Kegiatan pengendalian OPT pasca panen seringkali kurang kita perhatikan meskipun secara perundang-undangan bidang tersebut merupakan tugas perlindungan tanaman. Program perlindungan tanaman terhadap gangguan Non-OPT seperti anomali iklim, kebakaran lahan dan penjarahan merupakan wujud pengembangan lebih lanjut dari program tugas pokok dan fungsi â€Å“asli†perlindungan tanaman. Namun terkesan bahwa perubahan dan penambahan tugas fungsi perlindungan tanaman tersebut cenderung bersifat reaktif, berwawasan jangka pendek serta kurang konseptual dan visioner.
Sudah saatnya secara jernih kita meninjau kembali visi, misi, tujuan dan sasaran perlindungan tanaman pangan dalam kaitannya dengan kecenderungan perkembangan sosial, ekonomi, budaya tingkat nasional dan global yang sedang dan akan terjadi. Kita perlu kembali melihat dalam posisi yang bagaimana perlindungan tanaman seperti sekarang ini, serta kita perlu menentukan kemana kita akan pergi. Program perlindungan tanaman tidak dapat didekati secara statis, rutin dan birokratis secara sektoral maupun daerah.
Pada dasarnya kita mengetahui bahwa keberadaan OPT selalu dinamis baik secara temporal (antar waktu) maupun spasial (antar tempat). Siapapun yang bertugas di bidang perlindungan tanaman harus memiliki profesionalisme tinggi dalam bidangnya, dan memiliki wawasan yang komprehensif dan dinamis. Petani sebagai pelaksana utama kegiatan perlindungan tanaman di lapangan, pada masa mendatang kita harapkan juga mempunyai kemauan, pengetahuan dan kemampuan yang profesional, komprehensif dan dinamis.
Visi Perlindungan Tanaman
Dari pengalaman mengembangkan dan menerapkan PHT di Indonesia selama 30 tahun ini, sebenarnya kita telah mempunyai dua bentuk visi dan pendekatan perlindungan tanaman yang sedikit berbeda dalam paradigma dan penerapannya. Pengalaman-pengalaman berharga tersebut harus kita manfaatkan dalam pengembangan kegiatan perlindungan tanaman selanjutnya terutama pada era otonomi daerah ini. Kita telah menyepakati bahwa kebijakan nasional perlindungan tanaman adalah PHT.
Visi pertama tentang PHT yang kita miliki atas dasar peraturan perundangan yang berlaku adalah: Kemampuan petani bersama pemerintah dalam menerapkan perpaduan teknologi pengendalian populasi dan tingkat serangan OPT dengan tujuan mencegah timbulnya kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan hidup. Pada konsep ini PHT dibatasi sebagai suatu pendekatan teknis pengendalian OPT yang harus diterapkan oleh petani atas dukungan pemerintah. Disini pendekatan teknologi lebih ditekankan daripada pendekatan ekologi.
Dengan memperhitungkan kondisi ekosistem pertanian dan petani Indonesia yang khas, konsep dan visi PHT kemudian dikembangkan menjadi visi kedua. Menurut visi PHT kedua kita menginginkan terbentuknya petani yang mandiri, dan profesional dalam menerapkan empat prinsip PHT dalam pengelolaan agroekosistem untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Realisasi visi PHT tersebut adalah dalam bentuk SLPHT yang telah kita laksanakan sejak tahun 1989 melalui Program Nasional PHT untuk tanaman pangan dan hortikultura, dan sejak tahun 1997 untuk perkebunan rakyat. Pendekatan pengelolaan agro-ekosistem dengan sebanyak mungkin memanfaatkan sumber daya alam lokal, merupakan kegiatan utama petani PHT yang sudah mandiri dan profesional.
Dari pengalaman melaksanakan kegiatan SLPHT dan Tindak Lanjut SLPHT yang dilaksanakan sepenuhnya oleh petani dapat memunculkan konsep dan visi PHT baru sebagai pengembangan dua visi PHT sebelumnya. Dalam konteks pembangunan pertanian berwawasan agribisnis yang mendorong keterbukaan pasar globalisasi ekonomi serta globalisasi lingkungan, harus kita lihat sebagai peluang bagi para petani PHT dalam memasarkan produk-produk PHT. Produk-produk PHT yang berwawasan lingkungan merupakan keunggulan komparatif dan kompetitif nasional yang harus kita manfaatkan.
Dalam menanggapi perkembangan baru tersebut kita perlu merevisi konsep dan visi PHT dan perlindungan tanaman pada umumnya. Kita perlu menyusun visi ketiga PHT. Bagaimana bila kalau kita nyatakan bahwa visi PHT baru adalah: Petani profesional yang mau, tahu, dan mampu menghasilkan produk pertanian dengan kuantitas, kualitas dan daya saing tinggi di pasar domestik dan global. Dengan visi baru ini kita dapat lebih mempersiapkan dan mendorong petani-petani kita memasuki era globalisasi ekonomi dan sekaligus era otonomi daerah. Berdasarkan visi baru ini dapat disusun secara rinci misi, tujuan, sasaran serta strategi perlindungan tanaman. Untuk menetapkan visi baru perlindungan tanaman/PHT sebaiknya diikutsertakan semua pihak atau stakeholders termasuk pihak industri perlindungan tanaman.
Sosialisasi Visi Perlindungan Tanaman
Agar perkembangan konsep dan visi PHT dan Perlindungan Tanaman tersebut diatas dapat dimengerti, dipahami serta didukung oleh masyarakat, pemerintah daerah, dan unsur-unsur pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya, perlu dilakukan kegiatan sosialisasi yang intensif dan proaktif pada setiap aras pengambilan keputusan mulai dari tingkat lapangan, desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai pusat.
Kelemahan jajaran perlindungan tanaman di tingkat pusat dan daerah sampai saat ini adalah kekurang-beraniannya untuk menjelaskan pada pihak-pihak luar tentang peran strategis perlindungan tanaman dalam program pembangunan nasional. Kita mempunyai konsep, visi dan wawasan yang tidak kalah pentingnya dengan komponen-komponen pembangunan lainnya.
Dalam kaitan dengan program sosialisasi konsep dan visi PHT dan perlindungan tanaman, maka pendirian Masyarakat Perlindungan Tanaman menjadi relevan dan perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan-kegiatan sosialisasi yang nyata.
Pengembangan SDM Perlindungan Tanaman
Dari data kualitatif tentang kebutuhan tenaga SDM perlindungan tanaman terutama untuk jajaran pemerintah daerah, dibandingkan dengan ketersediaan tenaga yang ada saat ini tampaknya kita berada pada keadaan kritis ketenagakerjaan. Keadaan ini sangat mempengaruhi eksistensi dan kinerja jajaran perlindungan tanaman pada waktu dekat. Banyak tenaga-tenaga fungsional di daerah yang mendekati usia pensiun dan kurangnya rekrutmen tenaga baru dalam bidang perlindungan tanaman mengharuskan kita meminta dukungan kebijakan Pemerintah pusat dan daerah yang serius tentang pengadaan tenaga-tenaga baru dalam bidang perlindungan tanaman yang diperlukan di semua subsektor pertanian.
Perencanaan pengadaan, penempatan dan pengembangan tenaga perlindungan tanaman perlu dibahas dan ditetapkan bersama oleh pihak-pihak terkait termasuk lembaga Pendidikan Tinggi. Keengganan dan turunnya minat mahasiswa akhir-akhir ini menekuni bidang perlindungan tanaman di universitas, menambah sederetan permasalahan yang kita hadapi dalam pengembangan SDM Perlindungan Tanaman di Indonesia. Reputasi dan citra perlindungan tanaman di kalangan mahasiswa dan masyarakat saat ini memang sedang menurun. Sebagai jajaran perlindungan tanaman kita perlu melakukan evaluasi diri dan mencari jawaban mengapa perkembangan keadaan tersebut terjadi.
Pengembangan SDM petani untuk pelaksanaan kegiatan PHT kita semakin yakin bahwa pola Sekolah Lapangan (SLPHT) merupakan pendekatan yang terbaik dan efektif meskipun relatif mahal serta memerlukan tenaga dan waktu yang banyak. Pemerintah perlu memberikan dukungan dan fasilitasi yang memadai untuk peningkatan SDM petani melalui pelaksanaan dan pengembangan SLPHT yang dinamis dan komprehensif.
Para petani yang belum mengikuti SLPHT perlu mengikuti pelatihan SLPHT, sedangkan yang sudah pernah mengikuti agar diberikan dukungan dan fasilitasi yang mendorong mereka konsisten dengan kemampuan yang mereka telah pelajari di SLPHT. Dalam pelaksanaan SLPHT agar tetap dijaga standar dan prosedur baku pelaksanaan SLPHT. Pola SLPHT ternyata dapat diterapkan dan dikembangkan untuk semua komoditi, tidak hanya tanaman pangan. Dalam perencanaan kegiatan tindak lanjut SLPHT supaya ditambahkan pengelolaan kegiatan pasca panen termasuk kegiatan pemasaran dan pengembangan kemandirian kelembagaan petani.
Kita harapkan melalui pola SLPHT dan tindak lanjutnya, kelompok-kelompok tani SL nantinya dapat menjadi kelompok belajar bersama, kelompok produksi dan kelompok pemasaran yang sangat antisipatif terhadap perkembangan pasar. Kita percaya bahwa semakin mandiri petani kita dalam menerapkan PHT, semakin ringan beban pemerintah dalam merencanakan pengadaan dan pengembangan tenaga SDM dalam bidang perlindungan tanaman.
Kesimpulan dan Saran
1. Keberhasilan kinerja perlindungan tanaman pangan dalam mendukung peningkatan produksi pangan, perlu diikuti dengan peningkatan kemampuan kelembagaan dan SDM dalam melakukan pemantauan ekosistem dan analisis pengambilan keputusan tindakan pengelolaan OPT yang tepat. Koordinasi dan konsultasi lintas lembaga Pemerintah pusat dan lintas daerah agar ditingkatkan guna mengurangi dampak egosektoral dan egodaerah yang sempit.
2. Eksistensi dan masa depan perlindungan tanaman pangan sangat ditentukan oleh pelaksanaan visi dan misi perlindungan tanaman dan PHT yang selalu antisipatif terhadap kecenderungan perubahan cepat akibat globalisasi dan otonomi daerah.
3. Setiap perubahan konsep, visi, dan program perlindungan tanaman harus secepatnya dimasyarakatkan secara efektif dengan mengikutsertakan semua pemangku kepentingan.
4. Kebijakan pengadaan, pengembangan dan peningkatan mutu SDM perlindungan tanaman di tingkat nasional dan daerah agar menjadi prioritas pemerintah.
5. Pendekatan Sekolah Lapangan merupakan metode yang paling efektif untuk meningkatkan mutu petani menjadi petani yang mandiri profesional dan berdaya saing tinggi.
Pendahuluan
Kinerja jajaran perlindungan tanaman pangan di tingkat pusat dan daerah pada beberapa tahun akhir ini cukup mantap. Hal ini dapat dibuktikan dari data luas dan tingkat serangan serta populasi beberapa OPT pangan utama yang kecil dan terkendali. Sebagai indikator penting keberhasilan jajaran perlindungan tanaman dalam mencapai tujuan dan sasarannya adalah peningkatan produksi padi dan tanaman pangan lainnya yang kita capai akhir-akhir ini. Yang perlu kita pikirkan saat ini adalah bagaimana keberlanjutan tugas pokok fungsi perlindungan tanaman ini dapat dipertahankan dan ditingkatkan dalam keadaan terjadinya perubahan yang cepat dan dinamis pada berbagai aspek dan konteks pembangunan nasional dan global.
Di samping keberhasilan yang telah kita capai, kita akui bahwa saat ini masih banyak masalah, kendala, kelemahan dan tantangan yang kita hadapi dalam memasuki masa depan yang penuh dengan persaingan ketat. Salah satu kendala utama yang kita miliki adalah keterbatasan kuantitas (jumlah) dan kualitas (mutu) SDM baik para petugas lapangan, laboratorium, dan administrasi serta SDM petani dan kelompok tani. Petugas fungsional POPT yang bekerja di lapangan dan laboratorium jumlahnya semakin berkurang dan tidak bertambah. Pada era otonomi daerah kendala SDM tersebut semakin kita rasakan terutama dalam melaksanakan pembinaan, penambahan dan rekruitmen tenaga-tenaga baru yang berlatar belakang perlindungan tanaman.
Secara struktural banyak pejabat di daerah propinsi dan kabupaten yang tidak memiliki latar belakang pendidikan perlindungan tanaman. Sementara itu jumlah petani yang sudah terlatih dan trampil melaksanakan kegiatan perlindungan tanaman dan PHT pada khususnya masih sangat terbatas. Kendala ini mungkin dapat mengganggu keberlanjutan dan konsistensi kinerja jajaran perlindungan tanaman pada masa mendatang yang seharusnya bertumpu pada kemampuan kelembagaan dan SDM yang ada di daerah.
Kita perlu mempersiapkan strategi dan program kegiatan yang terencana agar kegiatan perlindungan tanaman dapat lebih tersosialisasikan dan terlembagakan lebih baik di kalangan pemerintah daerah dan petani.
Dinamika Perlindungan Tanaman
Perkembangan dan perubahan yang terjadi saat ini semakin meyakinkan kita bahwa visi dan cakupan perlindungan tanaman secara fungsional dan struktural tidak dapat dibatasi sebagai kegiatan pengendalian OPT terutama pada tahap produksi. Kegiatan pengendalian OPT pasca panen seringkali kurang kita perhatikan meskipun secara perundang-undangan bidang tersebut merupakan tugas perlindungan tanaman. Program perlindungan tanaman terhadap gangguan Non-OPT seperti anomali iklim, kebakaran lahan dan penjarahan merupakan wujud pengembangan lebih lanjut dari program tugas pokok dan fungsi â€Å“asli†perlindungan tanaman. Namun terkesan bahwa perubahan dan penambahan tugas fungsi perlindungan tanaman tersebut cenderung bersifat reaktif, berwawasan jangka pendek serta kurang konseptual dan visioner.
Sudah saatnya secara jernih kita meninjau kembali visi, misi, tujuan dan sasaran perlindungan tanaman pangan dalam kaitannya dengan kecenderungan perkembangan sosial, ekonomi, budaya tingkat nasional dan global yang sedang dan akan terjadi. Kita perlu kembali melihat dalam posisi yang bagaimana perlindungan tanaman seperti sekarang ini, serta kita perlu menentukan kemana kita akan pergi. Program perlindungan tanaman tidak dapat didekati secara statis, rutin dan birokratis secara sektoral maupun daerah.
Pada dasarnya kita mengetahui bahwa keberadaan OPT selalu dinamis baik secara temporal (antar waktu) maupun spasial (antar tempat). Siapapun yang bertugas di bidang perlindungan tanaman harus memiliki profesionalisme tinggi dalam bidangnya, dan memiliki wawasan yang komprehensif dan dinamis. Petani sebagai pelaksana utama kegiatan perlindungan tanaman di lapangan, pada masa mendatang kita harapkan juga mempunyai kemauan, pengetahuan dan kemampuan yang profesional, komprehensif dan dinamis.
Visi Perlindungan Tanaman
Dari pengalaman mengembangkan dan menerapkan PHT di Indonesia selama 30 tahun ini, sebenarnya kita telah mempunyai dua bentuk visi dan pendekatan perlindungan tanaman yang sedikit berbeda dalam paradigma dan penerapannya. Pengalaman-pengalaman berharga tersebut harus kita manfaatkan dalam pengembangan kegiatan perlindungan tanaman selanjutnya terutama pada era otonomi daerah ini. Kita telah menyepakati bahwa kebijakan nasional perlindungan tanaman adalah PHT.
Visi pertama tentang PHT yang kita miliki atas dasar peraturan perundangan yang berlaku adalah: Kemampuan petani bersama pemerintah dalam menerapkan perpaduan teknologi pengendalian populasi dan tingkat serangan OPT dengan tujuan mencegah timbulnya kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan hidup. Pada konsep ini PHT dibatasi sebagai suatu pendekatan teknis pengendalian OPT yang harus diterapkan oleh petani atas dukungan pemerintah. Disini pendekatan teknologi lebih ditekankan daripada pendekatan ekologi.
Dengan memperhitungkan kondisi ekosistem pertanian dan petani Indonesia yang khas, konsep dan visi PHT kemudian dikembangkan menjadi visi kedua. Menurut visi PHT kedua kita menginginkan terbentuknya petani yang mandiri, dan profesional dalam menerapkan empat prinsip PHT dalam pengelolaan agroekosistem untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Realisasi visi PHT tersebut adalah dalam bentuk SLPHT yang telah kita laksanakan sejak tahun 1989 melalui Program Nasional PHT untuk tanaman pangan dan hortikultura, dan sejak tahun 1997 untuk perkebunan rakyat. Pendekatan pengelolaan agro-ekosistem dengan sebanyak mungkin memanfaatkan sumber daya alam lokal, merupakan kegiatan utama petani PHT yang sudah mandiri dan profesional.
Dari pengalaman melaksanakan kegiatan SLPHT dan Tindak Lanjut SLPHT yang dilaksanakan sepenuhnya oleh petani dapat memunculkan konsep dan visi PHT baru sebagai pengembangan dua visi PHT sebelumnya. Dalam konteks pembangunan pertanian berwawasan agribisnis yang mendorong keterbukaan pasar globalisasi ekonomi serta globalisasi lingkungan, harus kita lihat sebagai peluang bagi para petani PHT dalam memasarkan produk-produk PHT. Produk-produk PHT yang berwawasan lingkungan merupakan keunggulan komparatif dan kompetitif nasional yang harus kita manfaatkan.
Dalam menanggapi perkembangan baru tersebut kita perlu merevisi konsep dan visi PHT dan perlindungan tanaman pada umumnya. Kita perlu menyusun visi ketiga PHT. Bagaimana bila kalau kita nyatakan bahwa visi PHT baru adalah: Petani profesional yang mau, tahu, dan mampu menghasilkan produk pertanian dengan kuantitas, kualitas dan daya saing tinggi di pasar domestik dan global. Dengan visi baru ini kita dapat lebih mempersiapkan dan mendorong petani-petani kita memasuki era globalisasi ekonomi dan sekaligus era otonomi daerah. Berdasarkan visi baru ini dapat disusun secara rinci misi, tujuan, sasaran serta strategi perlindungan tanaman. Untuk menetapkan visi baru perlindungan tanaman/PHT sebaiknya diikutsertakan semua pihak atau stakeholders termasuk pihak industri perlindungan tanaman.
Sosialisasi Visi Perlindungan Tanaman
Agar perkembangan konsep dan visi PHT dan Perlindungan Tanaman tersebut diatas dapat dimengerti, dipahami serta didukung oleh masyarakat, pemerintah daerah, dan unsur-unsur pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya, perlu dilakukan kegiatan sosialisasi yang intensif dan proaktif pada setiap aras pengambilan keputusan mulai dari tingkat lapangan, desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai pusat.
Kelemahan jajaran perlindungan tanaman di tingkat pusat dan daerah sampai saat ini adalah kekurang-beraniannya untuk menjelaskan pada pihak-pihak luar tentang peran strategis perlindungan tanaman dalam program pembangunan nasional. Kita mempunyai konsep, visi dan wawasan yang tidak kalah pentingnya dengan komponen-komponen pembangunan lainnya.
Dalam kaitan dengan program sosialisasi konsep dan visi PHT dan perlindungan tanaman, maka pendirian Masyarakat Perlindungan Tanaman menjadi relevan dan perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan-kegiatan sosialisasi yang nyata.
Pengembangan SDM Perlindungan Tanaman
Dari data kualitatif tentang kebutuhan tenaga SDM perlindungan tanaman terutama untuk jajaran pemerintah daerah, dibandingkan dengan ketersediaan tenaga yang ada saat ini tampaknya kita berada pada keadaan kritis ketenagakerjaan. Keadaan ini sangat mempengaruhi eksistensi dan kinerja jajaran perlindungan tanaman pada waktu dekat. Banyak tenaga-tenaga fungsional di daerah yang mendekati usia pensiun dan kurangnya rekrutmen tenaga baru dalam bidang perlindungan tanaman mengharuskan kita meminta dukungan kebijakan Pemerintah pusat dan daerah yang serius tentang pengadaan tenaga-tenaga baru dalam bidang perlindungan tanaman yang diperlukan di semua subsektor pertanian.
Perencanaan pengadaan, penempatan dan pengembangan tenaga perlindungan tanaman perlu dibahas dan ditetapkan bersama oleh pihak-pihak terkait termasuk lembaga Pendidikan Tinggi. Keengganan dan turunnya minat mahasiswa akhir-akhir ini menekuni bidang perlindungan tanaman di universitas, menambah sederetan permasalahan yang kita hadapi dalam pengembangan SDM Perlindungan Tanaman di Indonesia. Reputasi dan citra perlindungan tanaman di kalangan mahasiswa dan masyarakat saat ini memang sedang menurun. Sebagai jajaran perlindungan tanaman kita perlu melakukan evaluasi diri dan mencari jawaban mengapa perkembangan keadaan tersebut terjadi.
Pengembangan SDM petani untuk pelaksanaan kegiatan PHT kita semakin yakin bahwa pola Sekolah Lapangan (SLPHT) merupakan pendekatan yang terbaik dan efektif meskipun relatif mahal serta memerlukan tenaga dan waktu yang banyak. Pemerintah perlu memberikan dukungan dan fasilitasi yang memadai untuk peningkatan SDM petani melalui pelaksanaan dan pengembangan SLPHT yang dinamis dan komprehensif.
Para petani yang belum mengikuti SLPHT perlu mengikuti pelatihan SLPHT, sedangkan yang sudah pernah mengikuti agar diberikan dukungan dan fasilitasi yang mendorong mereka konsisten dengan kemampuan yang mereka telah pelajari di SLPHT. Dalam pelaksanaan SLPHT agar tetap dijaga standar dan prosedur baku pelaksanaan SLPHT. Pola SLPHT ternyata dapat diterapkan dan dikembangkan untuk semua komoditi, tidak hanya tanaman pangan. Dalam perencanaan kegiatan tindak lanjut SLPHT supaya ditambahkan pengelolaan kegiatan pasca panen termasuk kegiatan pemasaran dan pengembangan kemandirian kelembagaan petani.
Kita harapkan melalui pola SLPHT dan tindak lanjutnya, kelompok-kelompok tani SL nantinya dapat menjadi kelompok belajar bersama, kelompok produksi dan kelompok pemasaran yang sangat antisipatif terhadap perkembangan pasar. Kita percaya bahwa semakin mandiri petani kita dalam menerapkan PHT, semakin ringan beban pemerintah dalam merencanakan pengadaan dan pengembangan tenaga SDM dalam bidang perlindungan tanaman.
Kesimpulan dan Saran
1. Keberhasilan kinerja perlindungan tanaman pangan dalam mendukung peningkatan produksi pangan, perlu diikuti dengan peningkatan kemampuan kelembagaan dan SDM dalam melakukan pemantauan ekosistem dan analisis pengambilan keputusan tindakan pengelolaan OPT yang tepat. Koordinasi dan konsultasi lintas lembaga Pemerintah pusat dan lintas daerah agar ditingkatkan guna mengurangi dampak egosektoral dan egodaerah yang sempit.
2. Eksistensi dan masa depan perlindungan tanaman pangan sangat ditentukan oleh pelaksanaan visi dan misi perlindungan tanaman dan PHT yang selalu antisipatif terhadap kecenderungan perubahan cepat akibat globalisasi dan otonomi daerah.
3. Setiap perubahan konsep, visi, dan program perlindungan tanaman harus secepatnya dimasyarakatkan secara efektif dengan mengikutsertakan semua pemangku kepentingan.
4. Kebijakan pengadaan, pengembangan dan peningkatan mutu SDM perlindungan tanaman di tingkat nasional dan daerah agar menjadi prioritas pemerintah.
5. Pendekatan Sekolah Lapangan merupakan metode yang paling efektif untuk meningkatkan mutu petani menjadi petani yang mandiri profesional dan berdaya saing tinggi.
PENERAPAN PERTANIAN BERKELANJUTAN UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN
Kasumbogo Untung
Latar Belakang Masalah
Pendekatan dan praktek pertanian konvensional yang dilaksanakan di sebagian besar negara maju dan negara sedang berkembang termasuk Indonesia merupakan praktek pertanian yang tidak mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pertanian konvensional dilandasi oleh pendekatan industrial dengan orientasi pertanian agribisnis skala besar, padat modal, padat inovasi teknologi, penanaman benih/varietas tanaman unggul secara seragam spasial dan temporal, serta ketergantungan pada masukan produksi dari luar yang boros energi tak terbarukan, termasuk penggunaan berbagai jenis agrokimia (pupuk dan pestisida), dan alat mesin pertanian. Secara teoritis dan perhitungan ekonomi penerapan pertanian konvensional dianggap sebagai alternatif teknologi yang tepat untuk menyelesaikan masalah kekurangan pangan dan gizi serta ketahanan pangan yang dihadapi penduduk dunia.
Setelah sekitar setengah abad kita menerapkan dan mengembangkan pertanian konvensional, sederetan daftar panjang dampak negatif telah dilaporkan dan dikemukakan oleh berbagai lembaga, peneliti dan perseorangan pada aras internasional, nasional dan lokal. Berbagai dampak ekologi, ekonomi, sosial, budaya dan kesehatan masyarakat semakin meragukan masyarakat dunia akan keberlanjutan ekosistem pertanian dalam menopang kehidupan manusia pada masa mendatang. Pendekatan pragmatis peningkatan produksi pangan jangka pendek cenderung mendorong dan meningkatkan praktek pengurasan dan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran dan terus menerus sehingga mengakibatkan semakin menurunnya daya dukung lingkungan pertanian dalam menyangga kegiatan-kegiatan pertanian.
Bila kebijakan dan praktek pertanian yang dilaksanakan oleh pemerintah dan petani yang masih bertumpu pada kebijakan dan praktek konvensional, akan membahayakan masa depan petani, lingkungan pertanian, masyarakat, bangsa negara serta dunia. Kebijakan dan praktek pertanian konvensional harus diubah menjadi kebijakan dan praktek pertanian berkelanjutan yang bertujuan memenuhi kebutuhan produk pertanian dan pangan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan produk pertanian dan pangan generasi masa mendatang.
Dampak Pertanian Konvensional
Beberapa dampak samping pendekatan dan penerapan pertanian konvensional antara lain:
o Peningkatan erosi permukaan, banjir dan tanah longsor,
o Penurunan kesuburan tanah,
o Kehilangan bahan organik tanah,
o Salinasi air tanah dan irigasi serta sedimentasi tanah ,
o Peningkatan pencemaran air dan tanah akibat pupuk kimia, pestisida,limbah domestik,
o Eutrifikasi badan air,
o Residu pestisida dan bahan-bahan berbahaya lain di lingkungan dan makanan yang mengancam kesehatan masyarakat dan penolakan pasar,
o Pemerosotan keanekaragaman hayati pertanian, hilangnya kearifan tradisional dan budaya tanaman lokal,
o Kontribusi dalam proses pemanasan global,
o Peningkatan pengangguran,
o Penurunan lapangan kerja, peningkatan kesenjangan sosial dan jumlah petani gurem di pedesaan,
o Peningkatan kemiskinan dan malnutrisi di pedesaan,
o Ketergantungan petani pada pemerintah dan perusahaan/industri agrokimia
Penerapan pertanian konvensional pada tahap-tahap permulaan mampu meningkatkan produktivitas pertanian dan pangan secara nyata, namun kemudian efisiensi produksi semakin menurun karena pengaruh umpan balik berbagai dampak samping yang merugikan. Bila kita terapkan prinsip ekonomi lingkungan dengan menginternalisasikan biaya lingkungan dalam perhitungan neraca ekonomi suatu usaha dan program pembangunan pertanian maka yang diperoleh pengusaha dan negara adalah kerugian besar. Perhitungan GNP dan GDP yang dilakukan Pemerintah saat ini sebenarnya tidak realistis. Sayangnya biaya lingkungan jarang dimasukkan sepenuhnya dalam perhitungan neraca usaha dan pertumbuhn ekonomi nasional.
Agenda 21 Komitmen Pertanian Berkelanjutan
Sadar akan dampak samping Pertanian Konvensional masyarakat lingkungan global sudah lama menyepakati penerapan dan pengembangan konsep Pertanian Berkelanjutan atau Sustainable Development sebagai realisasi Pembangunan Berkelanjutan pada sektor Pertanian dan Pangan. Agenda 21 merupakan agenda berbagai program aksi pembangunan berkelanjutan yang disepakati oleh para pemimpin dunia di KTT Bumi Rio de Janeiro tahun 1992. Chapter 14 Agenda 21 berjudul Promoting Sustainable Agriculture and Rural Development (SARD) merinci berbagai konsep dan program aksi Pertanian Berkelanjutan yang perlu dilaksanakan oleh semua negara .
Menurut Agenda 21 konsep keberlanjutan merupakan konsep yang multidimensional termasuk didalamnya pencapaian tujuan ekologi, sosial dan ekonomi. Antara 3 dimensi ini terdapat kaitan dan ketergantungan yang sangat erat. Penguatan kelayakan dan kehidupan ekonomi di pedesaan merupakan dasar untuk penyediaan cara-cara untuk mempertahankan fungsi sosial dan lingkungan mereka. Menjaga kualitas lingkungan juga merupakan prasyarat atau prakondisi yang diperlukan bagi pengembangan potensi ekonomi jangka panjang di pedesaan. Integritas ekologi dan nilai lansekap pedesaan dapat merupakan daerah pedesaan sebagai kawasan wisata dan tempat hidup yang tenang dan menyenangkan sehingg dapat menarik investor untuk menanamkan modal.
Keberlanjutan pembangunan merupakan keberlanjutan peningkatan kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat/penduduk tempat mereka berada dan hidup termasuk dalamnya ketersediaan berbagai jenis pangan yang cukup dan bermutu. Ketahanan pangan harus dilihat dari konteks peningkatan kualitas hidup penduduk dan lingkungan hidup di pedesaan. Pearce et al. (1994) menyatakan bahwa Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable development) mempunyai makna dan tujuan yang lebih luas daripada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan atau sustainable economic growth.
Tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan ekonomi pada tingkat tertentu dapat bersinergi. Namun pada kondisi-kondisi tertentu di lapangan, ketiga-tiganya dapat saling bersaing dan kurang saling mendukung. Apabila hal ini terjadi, konsep keberlanjutan mengarah pada diperlukannya keseimbangan yang benar antara 3 dimensi tersebut. Pilihan-pilihan kebijakan perlu ditetapkan secara hati-hati dengan mempertimbangkan masing-masing dimensi yang saling berkaitan.
Pada tahun 2002, sepuluh tahun setelah KTT Bumi Rio kembali pemimpin-pemimpin dunia menghadiri KTT Bumi-10 di Johannesburg untuk mengevaluasi pelaksanaan Agenda 21. Hasil evaluasi FAO terhadap pelaksanaan Agenda 21 tentang SARD, memperlihatkan banyak negara (termasuk Indonesia) yang belum melaksanakan berbagai kebijakan dan program SARD yang telah disepakati dan ditandatangani di Rio tahun 1992.
Sebagai kesimpulan KTT Bumi-10 tetap sepakat bahwa Agenda 21 tetap valid dan relevan dilaksanakan sebagai agenda dunia pembangunan berkelanjutan pada era milenium ini. KTT Johannesburg menghasilkan Deklarasi dan Rencana Implementasi Johannesburg yang memberi penguatan pada program-program strategis (Agenda 21) dari deklarasi-deklarasi sebelumnya. KTT mengakui keterkaitan Pembangunan Berkelanjutan dengan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, perdagangan global, teknologi informasi dan yang lain melalui Millenium Development Goals (MDGs). Lembaga-lembaga dunia telah menetapkan bahwa pada tahun 2015 dunia harus sudah bebas dari kelaparan dan kekurangan pangan.
Pengertian Pertanian Berkelanjutan
Banyak definisi mengenai Pertanian Berkelanjutan dikemukakan oleh lembaga, pakar atau persorangan. Menurut FAO yang disebut Pertanian Berkelanjutan adalah setiap prinsip, metode, praktek, dan falsafah yang bertujuan agar pertanian layak ekonomi, secara lingkungan dapat dipertanggungjawabkan, secara sosial dapat diterima, berkeadilan, dan secara sosial budaya sesuai dengan keadaan setempat, serta dilaksanakan dengan pendekatan holistik. Menurut Thrupp (1996) Pertanian Berkelanjutan sebagai praktek-praktek pertanian yang secara ekologi layak, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat dipertanggung-jawabkan yang secara skematis digambarkan oleh Gambar 1. Pertanian Berkelanjutan merupakan sistem usaha tani yang mampu mempertahankan produktivitas, dan kemanfaatannya bagi masyarakat dalam waktu yang tidak terbatas. Sistem demikian harus dapat mengkonservasikan sumberdaya, secara sosial didukung, secara ekonomi bersaing, dan secara lingkungan dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanian Berkelanjutan mengutamakan pengelolaan ekosistem pertanian yang mempunyai diversitas atau keanekaragaman hayati tinggi. Menurut FAO Agricultural Biodiversity meliputi variasi dan variabilitas tanaman, binatang dan jasad renik yang diperlukan untuk mendukung fungsi-fungsi kunci ekosistem pertanian, struktur dan prosesnya untuk memperkuat/ dan memberikan sokongan pada produksi pangan dan keamanan pangan. (Ukabc, 2007) Ekosistem dengan kenekaragaman tinggi lebih stabil dan tahan gocangan, risiko terjadinya kerugian finansial lebih kecil, dapat mengurangi dampak bencana kekeringan dan banjir, melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit dan kendala alam lainnya. Diversifikasi juga dapat mengurangi cekaman ekonomi akibat peningkatan harga pupuk, pestisida dan input-input produksi lainnya. Ketahanan Pangan merupakan salah satu tujuan utama Pertanian Berkelanjutan.
Pertanian Berkelanjutan dan Ketahanan Pangan
Secara konseptual maupun historikal konsep Ketahanan Pangan merupakan bagian utama konsep Pertanian Berkelanjutan. Agenda 21 menyatakan bahwa Tujuan utama program Pertanian Berkelanjutan dan Pembangunan Pedesaan (SARD) adalah meningkatkan produksi pangan dengan cara yang berkelanjutan serta memperkuat ketahanan pangan. Dalam Pertanian Berkelanjutan peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk dilaksanakan secara berkelanjutan dengan dampak yang seminimal mungkin bagi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat serta kualitas hidup penduduk di pedesaan. Program ini meliputi berbagai kegiatan mulai dari prakarsa pendidikan, pemanfaatan insentif ekonomi, pengembangan teknologi yang tepat guna hingga dapat menjamin persediaan pangan yang cukup dan bergizi, akses kelompok-kelompok rawan terhadap persediaan pangan tersebut, produksi untuk dilempar ke pasar, peningkatan pekerjaan dan penciptaan penghasilan untuk mengentaskan kemiskinan, serta pengelolaan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan.
Peningkatan produksi pangan harus dilakukan dengan cara-cara yang berkelanjutan tidak mengurangi dan merusak kesuburan tanah, tidak meningkatkan erosi, dan meminimalkan penggunaan dan ketergantungan pada sumberdaya alam yang tidak terbarukan, mendukung kehidupan masyarakat pedesaan yang berkeadilan, meningkatkan kesempatan kerja serta menyediakan kehidupan masyarakat yang layak dan sejahtera, mengurangi kemiskinan dan kekurangan gizi, tidak membahayakan kesehatan masyarakat yang bekerja atau hidup di lahan pertanian, dan juga kesehatan konsumen produk-produk pertanian yang dihasilkan, melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lahan pertanian dan pedesaan serta selalu melestarikan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati, memberdayakan dan memandirikan petani dalam mengambil keputusan pengelolaan lahan dan usaha taninya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya sendiri, memanfaatkan dan melestarikan sumber daya lokal dan kearifan masyarakat tradisional dalam mengelola sumber daya alam.
Pendekatan Lintas Sektor
Secara eksplisit dan legal, kebijakan dan keputusan politik Pemerintah c.q. Departemen Pertanian mengenai Pertanian Berkelanjutan belum jelas dan tegas. Berbagai kebijakan, program dan kegiatan yang telah diputuskan dan dijadwalkan oleh Agenda 21 tidak banyak yang kita laksanakan di lapangan. Penyebab utama adalah penerapan pendekatan sektoral yang sampai saat ini masih diikuti dan diterapkan secara ketat oleh jajaran birokrasi Pemerintah dan lembaga-lembaga non pemerintah. Pendekatan parsial atau fraksional yang menyederhanakan masalah selalu kita lakukan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul, termasuk masalah lingkungan hidup yang sangat kompleks dan multidimensi.
Agenda 21 dianggap sebagai agenda pembangunan lingkungan hidup maka yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan Agenda 21 adalah Kementerian Lingkungan Hidup bukan Departemen Pertanian dan departemen-departemen lainnya. Pendekatan yang egosektoral tersebut yang mengakibatkan banyak komitmen Indonesia pada banyak konvensi dan kesepakatan internasional tidak dapat dilaksanakan secara penuh di lapangan. Pendekatan egosektoral tersebut juga yang menyebabkan dalam era persaingan global saat ini, Indonesia selalu ketinggalan dan belum memperlihatkan komitmen tinggi terhadap berbagai kesepakatan global. Konsep Pembangunan Berkelanjutan termasuk Pertanian Berkelanjutan mengharuskan kita meninggalkan pendekatan egosektoral serta menerapkan dan mengembangkan pendekatan terpadu, lintas sektoral dan lintas disiplin ilmu.
Seandainya Indonesia sesuai dengan komitmennya melaksanakan semua rekomendasi, kegiatan dan agenda yang ditetapkan oleh Agenda 21 tahun 1992, kemungkinan besar berbagai carut marut produksi pangan dan ketahanan pangan yang kita alami saat ini tidak terjadi. Disarankan agar Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan seluruh pemangku kepentingan pertanian lainnya (industri, swasta, petani, NGO, akademisi, peneliti, dll) mempelajari kembali Agenda 21 khususnya Chapter 14 tentang SARD serta menyepakati untuk segera memperbarui komitmen kita melaksanakan semua kebijakan dan program SARD pada semua aras keputusan, mulai dari tataran kebijakan sampai tataran pelaksanaan lapangan.
Departemen Pertanian dan Pangan
Tebalnya dinding-dinding sektor pertanian dan ketahanan pangan khususnya diurusi oleh banyak sektor dan subsektor atau oleh beberapa departemen dan lembaga non departemen, semakin menyulitkan koordinasi dan keterpaduan. Sistem pengelolaan ketahanan pangan menjadi tidak efektif dan efisien, banyak pemborosan, tumpang tindih dan ketidak-paduan. Departemen Pertanian saat ini tugas utamanya terutama dalam peningkatan produksi tanaman pangan on farm namun urusan penyediaan dan distribusi pangan dilaksanakan oleh lembaga lain (Bulog). Urusan perdagangan domestik dan internasional dilaksanakan oleh Departemen Perdagangan. Masalah pencemaran lingkungan pertanian merupakan urusan Kementerian LH, masalah mutu dan keamanan pangan sebagian diurui oleh Badan POM dan masih banyak kasus ketidakpaduan lainnya.
Pertanian dan pangan sebenarnya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sehingga diusulkan untuk waktu mendatang kedua bidang atau urusan tersebut dikelola oleh satu lembaga Pemerintah, baik di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Di tingkat pusat lembaga tersebut adalah Departemen Pertanian dan Pangan atau Departemen Pangan dan Pertanian . Di tingkat daerah adalah Dinas Pertanian dan Pangan atau Dinas Pangan dan Pertanian .. Lembaga ini yang mengurusi pertanian dan pangan sejak dari hulu sampai hilir, dari penyiapan lahan sampai pengolahan dan pemasaran dan perdagangn hasil pertanian.
Ketahanan Pangan Lokal
Indonesia dikaruniai Tuhan dengan keanekaragaman hayati, ekosistem, budaya yang sangat tinggi, satu lokasi berbeda dari lokasi-lokasi lainnya. Kemampuan dan keberadaan biodiversitas pertanian lokal harus dimanfaatkan dan dikembangkan guna meningkatkan dan mempertahankan ketahanan pangan dari aras lokal, daerah dan nasional. Penyeragaman kebijakan, rekomendasi dan praktek pertanian konvensional yang diberlakukan untuk semua kondisi lokal tidak tepat untuk mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat, termasuk peningkatan ketahanan pangan. Teknologi pertanian yang diterapkan harus disesuaikan dengan kemampuan kondisi lokal dalam menopang penerapan suatu teknologi. Berbagai teknologi dan kearifan lokal yang dikembangkan dan diterapkan masyarakat lokal termasuk dalam meningkatkan produksi dan kualitas pangan perlu dipertahankan dan diperbaiki kualitasnya. Bila setiap masyarakat lokal dapat meningkatkan ketahanan pangannya sesuai dengan kondisinya masing-masing, secara agregatif ketahanan pangan nasional yang lebih mantap dan berjangka panjang akan tercapai.
Untuk itu diperlukan kemauan politik dan komitmen pemerintah yang kuat terhadap penerapan konsep pertanian berkelanjutan. Sektor pertanian seharusnya menjadi sektor andalan pembangunan di Indonesia mengingat lebih dari 60% penduduk Indonesia hidup di pedesaan dan bergantung dari sektor pertanian. Seharusnya dunia Industri yang mendukung konsep pembangunan pertanian secara berkelanjutan sesuai dengan karakternya yang beranekaragam, bukan sebaliknya pembangunan pertanian yang mengikuti pendekatan industrial yang cenderung pada keseragaman dan efisiensi produksi.
Pemberdayaan Petani
Petani yang seharusnya menjadi pelaksana dan subyek utama pembangunan pertanian di Indonesia saat ini sedang dalam keadaan yang tidak berdaya, tidak mandiri dan sangat tergantung pada pihak-pihak lain. Ketergantungan mereka terutama dengan program dan bantuan Pemerintah, dengan dunia swasta dalam memperoleh input produksi seperti benih, pupuk dan pestisida, dengan para tengkulak dalam penyediaan uang tunai. Mereka tidak mampu menentukan apa yang harus mereka lakukan. Program-program pemerintah pusat dan pemerintah daerah cenderung semakin meningkatkan ketergantungan mereka pada pemerintah. Karena ketergantungan dan ketidakberdayaan tersebut berbagai potensi manusiawi petani seperti inisiatif, kreativitas, inovasi, kearifan lokal menjadi semakin menghilang dan tidak berkembang. Berbagai kendala dan keterbatasan yang ada pada petani kita seperti, kualitas SDM, kepemilikan lahan dan modal, akses terhadap pasar dan informasi mengakibatkan petani tetap dalam posisi menjadi obyek pembangunan bukan sebagai subyek dan penentu pembangunan pertanian.
Semua pihak terutama Pemerintah dan dunia swasta agar menerima, mengakui, menghargai dan memfasilitasi hak petani untuk mandiri dan berdaya dalam mengambil keputusannya sendiri. Merekalah yang paling tahu apa yang diperlukan dan paling baik dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka dalam kondisi sosial budayanya masing-masing.. Tentang program pemberdayaan petani di pedesaan Agenda 21 membuat Bab khusus yaitu Chapter 32 dengan judul " Strengthening the role of farmers" atau Memperkuat Peran Petani.
Petani melalui berbagai organisasi swadaya petani menuntut agar mereka ikut serta dalam setiap pengambilan keputusan tentang bagaimana tanaman pangan dibudidayakan, diolah, diperdagangkan dan bagaimana manfaat yang diperoleh dari sistem pangan dunia/nasional/lokal dapat di bagikan secara adil. Kecenderungan dan keinginan kelompok-kelompok petani mandiri seluruh dunia (termasuk Indonesia) tersebut bertujuan untuk mengubah konsep Ketahanan Pangan (Food Security) yang dianggap berorientasi pada kepentingan pemerintah menjadi konsep Kedaulatan Pangan (Food Sovereignity) perlu ditanggapi Pemerintah secara arif bijaksana.
Permasalahan yang kita hadapi sekarang masih sangat sedikit petani Indonesia yang telah sadar dan mampu menuntut hak kedaulatan pangan yang mereka inginkan. Sebagian besar petani pangan masih terkukung dan tercekam dlam ketidakberdayaannya sehingga mereka hanya menunggu uluran dan inisiatif pihak-pihak lain terutama pemerintah. Merka tidak mampu keluar dari cekaman ketidakberdayaan tersebut atas usahanya sendiri.
Pemerintah dan pihak-pihak lain termasuk pihak swasta dan Perguruan Tinggi perlu membantu dan memfasilitasi usaha-usaha untuk mendorong kemandirian petani dan kelompok tani dengan metode pendidikan dan pelatihan petani yang sesuai dan efektif. Dari pengalaman Indonesia dan negara-negara berkembang lain dalam melaksanakan pelatihan petani secara partisipatori melalui sistem Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang benar, maka kemandirian, profesionalisme dan kepercayaan diri petani dapat dihidupkan dan dikembangkan kembali. Dengan petani yang mandiri dan profesional serta berani mengambil keputusan dalam menerapkan konsep Pertanian Berkelanjutan, ketahanan pangan lokal dan nasional yang mapan dan berlanjut dapat dicapai.
Kesimpulan dan Saran
1.Praktek pertanian konvensional yang boros energi tak terbarukan di samping membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat juga tidak mencapai sasaran ketahanan pangan secara mantap dan berlanjut.
2.Pertanian Berkelanjutan adalah pertanian yang layak ekonomi, secara lingkungan dapat dipertanggungjawabkan, secara sosial diterima, berkeadilan, dan secara sosial budaya sesuai dengan keadaan setempat, serta dilaksanakan secara holistik.
3.Ketahanan Pangan yang berkelanjutan merupakan tujuan utama Pembangunan Berkelanjutan. Ketahanan pangan dengan memanfaatkan keanekaragaman pertanian lokal akan membentuk ketahanan pangan nasional yang mantap dan berjangka panjang.
4.Indonesia seharusnya konsisten dengan komitmennya dalam melasanakan semua program yang terinci dalam dokumen Agenda 21, termasuk tentang Pertanian Berkelanjutan dan Pembangunan Pedesaan.
5.Untuk mengurangi ketidakpaduan antar sektor yang menangani pertanian dan pangan diusulkan pembentukan Departemen Pertanian dan Pangan.
6.Semua pihak terkait agar memberikan perhatian, dukungan dan dorongan dalam usaha pemberdayaan petani serta menempatkan posisi mereka sama dan sejajar dengan pihak-pihak lain, sebagai pelaksana dan penentu keputusan program peningkatan produksi pertanian termasuk ketahanan pangan.
Daftar Acuan
United Nations, 1997. Earth Summit Agenda 21. The United Nations Programme of Action from Rio. 297 pp.
Pierce,D.A., Markandya and E.B. Barbier, 1994. Blueprint for a Green Economy/ Earthscan Publ.Ltd. London, 192 pp.
Thrupp, L.A. (ed),1996. New Partnerships for Sustainable Agriculture. World Resource Institute New York. 136 pp.
UKabc, 2007. Agricultural Biodeiversity for Food and Livelihood Security and Food Sovereignity, Didownload dari http://www.ukabc.org/ pada 4/10/2007.
Latar Belakang Masalah
Pendekatan dan praktek pertanian konvensional yang dilaksanakan di sebagian besar negara maju dan negara sedang berkembang termasuk Indonesia merupakan praktek pertanian yang tidak mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pertanian konvensional dilandasi oleh pendekatan industrial dengan orientasi pertanian agribisnis skala besar, padat modal, padat inovasi teknologi, penanaman benih/varietas tanaman unggul secara seragam spasial dan temporal, serta ketergantungan pada masukan produksi dari luar yang boros energi tak terbarukan, termasuk penggunaan berbagai jenis agrokimia (pupuk dan pestisida), dan alat mesin pertanian. Secara teoritis dan perhitungan ekonomi penerapan pertanian konvensional dianggap sebagai alternatif teknologi yang tepat untuk menyelesaikan masalah kekurangan pangan dan gizi serta ketahanan pangan yang dihadapi penduduk dunia.
Setelah sekitar setengah abad kita menerapkan dan mengembangkan pertanian konvensional, sederetan daftar panjang dampak negatif telah dilaporkan dan dikemukakan oleh berbagai lembaga, peneliti dan perseorangan pada aras internasional, nasional dan lokal. Berbagai dampak ekologi, ekonomi, sosial, budaya dan kesehatan masyarakat semakin meragukan masyarakat dunia akan keberlanjutan ekosistem pertanian dalam menopang kehidupan manusia pada masa mendatang. Pendekatan pragmatis peningkatan produksi pangan jangka pendek cenderung mendorong dan meningkatkan praktek pengurasan dan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran dan terus menerus sehingga mengakibatkan semakin menurunnya daya dukung lingkungan pertanian dalam menyangga kegiatan-kegiatan pertanian.
Bila kebijakan dan praktek pertanian yang dilaksanakan oleh pemerintah dan petani yang masih bertumpu pada kebijakan dan praktek konvensional, akan membahayakan masa depan petani, lingkungan pertanian, masyarakat, bangsa negara serta dunia. Kebijakan dan praktek pertanian konvensional harus diubah menjadi kebijakan dan praktek pertanian berkelanjutan yang bertujuan memenuhi kebutuhan produk pertanian dan pangan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan produk pertanian dan pangan generasi masa mendatang.
Dampak Pertanian Konvensional
Beberapa dampak samping pendekatan dan penerapan pertanian konvensional antara lain:
o Peningkatan erosi permukaan, banjir dan tanah longsor,
o Penurunan kesuburan tanah,
o Kehilangan bahan organik tanah,
o Salinasi air tanah dan irigasi serta sedimentasi tanah ,
o Peningkatan pencemaran air dan tanah akibat pupuk kimia, pestisida,limbah domestik,
o Eutrifikasi badan air,
o Residu pestisida dan bahan-bahan berbahaya lain di lingkungan dan makanan yang mengancam kesehatan masyarakat dan penolakan pasar,
o Pemerosotan keanekaragaman hayati pertanian, hilangnya kearifan tradisional dan budaya tanaman lokal,
o Kontribusi dalam proses pemanasan global,
o Peningkatan pengangguran,
o Penurunan lapangan kerja, peningkatan kesenjangan sosial dan jumlah petani gurem di pedesaan,
o Peningkatan kemiskinan dan malnutrisi di pedesaan,
o Ketergantungan petani pada pemerintah dan perusahaan/industri agrokimia
Penerapan pertanian konvensional pada tahap-tahap permulaan mampu meningkatkan produktivitas pertanian dan pangan secara nyata, namun kemudian efisiensi produksi semakin menurun karena pengaruh umpan balik berbagai dampak samping yang merugikan. Bila kita terapkan prinsip ekonomi lingkungan dengan menginternalisasikan biaya lingkungan dalam perhitungan neraca ekonomi suatu usaha dan program pembangunan pertanian maka yang diperoleh pengusaha dan negara adalah kerugian besar. Perhitungan GNP dan GDP yang dilakukan Pemerintah saat ini sebenarnya tidak realistis. Sayangnya biaya lingkungan jarang dimasukkan sepenuhnya dalam perhitungan neraca usaha dan pertumbuhn ekonomi nasional.
Agenda 21 Komitmen Pertanian Berkelanjutan
Sadar akan dampak samping Pertanian Konvensional masyarakat lingkungan global sudah lama menyepakati penerapan dan pengembangan konsep Pertanian Berkelanjutan atau Sustainable Development sebagai realisasi Pembangunan Berkelanjutan pada sektor Pertanian dan Pangan. Agenda 21 merupakan agenda berbagai program aksi pembangunan berkelanjutan yang disepakati oleh para pemimpin dunia di KTT Bumi Rio de Janeiro tahun 1992. Chapter 14 Agenda 21 berjudul Promoting Sustainable Agriculture and Rural Development (SARD) merinci berbagai konsep dan program aksi Pertanian Berkelanjutan yang perlu dilaksanakan oleh semua negara .
Menurut Agenda 21 konsep keberlanjutan merupakan konsep yang multidimensional termasuk didalamnya pencapaian tujuan ekologi, sosial dan ekonomi. Antara 3 dimensi ini terdapat kaitan dan ketergantungan yang sangat erat. Penguatan kelayakan dan kehidupan ekonomi di pedesaan merupakan dasar untuk penyediaan cara-cara untuk mempertahankan fungsi sosial dan lingkungan mereka. Menjaga kualitas lingkungan juga merupakan prasyarat atau prakondisi yang diperlukan bagi pengembangan potensi ekonomi jangka panjang di pedesaan. Integritas ekologi dan nilai lansekap pedesaan dapat merupakan daerah pedesaan sebagai kawasan wisata dan tempat hidup yang tenang dan menyenangkan sehingg dapat menarik investor untuk menanamkan modal.
Keberlanjutan pembangunan merupakan keberlanjutan peningkatan kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat/penduduk tempat mereka berada dan hidup termasuk dalamnya ketersediaan berbagai jenis pangan yang cukup dan bermutu. Ketahanan pangan harus dilihat dari konteks peningkatan kualitas hidup penduduk dan lingkungan hidup di pedesaan. Pearce et al. (1994) menyatakan bahwa Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable development) mempunyai makna dan tujuan yang lebih luas daripada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan atau sustainable economic growth.
Tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan ekonomi pada tingkat tertentu dapat bersinergi. Namun pada kondisi-kondisi tertentu di lapangan, ketiga-tiganya dapat saling bersaing dan kurang saling mendukung. Apabila hal ini terjadi, konsep keberlanjutan mengarah pada diperlukannya keseimbangan yang benar antara 3 dimensi tersebut. Pilihan-pilihan kebijakan perlu ditetapkan secara hati-hati dengan mempertimbangkan masing-masing dimensi yang saling berkaitan.
Pada tahun 2002, sepuluh tahun setelah KTT Bumi Rio kembali pemimpin-pemimpin dunia menghadiri KTT Bumi-10 di Johannesburg untuk mengevaluasi pelaksanaan Agenda 21. Hasil evaluasi FAO terhadap pelaksanaan Agenda 21 tentang SARD, memperlihatkan banyak negara (termasuk Indonesia) yang belum melaksanakan berbagai kebijakan dan program SARD yang telah disepakati dan ditandatangani di Rio tahun 1992.
Sebagai kesimpulan KTT Bumi-10 tetap sepakat bahwa Agenda 21 tetap valid dan relevan dilaksanakan sebagai agenda dunia pembangunan berkelanjutan pada era milenium ini. KTT Johannesburg menghasilkan Deklarasi dan Rencana Implementasi Johannesburg yang memberi penguatan pada program-program strategis (Agenda 21) dari deklarasi-deklarasi sebelumnya. KTT mengakui keterkaitan Pembangunan Berkelanjutan dengan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, perdagangan global, teknologi informasi dan yang lain melalui Millenium Development Goals (MDGs). Lembaga-lembaga dunia telah menetapkan bahwa pada tahun 2015 dunia harus sudah bebas dari kelaparan dan kekurangan pangan.
Pengertian Pertanian Berkelanjutan
Banyak definisi mengenai Pertanian Berkelanjutan dikemukakan oleh lembaga, pakar atau persorangan. Menurut FAO yang disebut Pertanian Berkelanjutan adalah setiap prinsip, metode, praktek, dan falsafah yang bertujuan agar pertanian layak ekonomi, secara lingkungan dapat dipertanggungjawabkan, secara sosial dapat diterima, berkeadilan, dan secara sosial budaya sesuai dengan keadaan setempat, serta dilaksanakan dengan pendekatan holistik. Menurut Thrupp (1996) Pertanian Berkelanjutan sebagai praktek-praktek pertanian yang secara ekologi layak, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat dipertanggung-jawabkan yang secara skematis digambarkan oleh Gambar 1. Pertanian Berkelanjutan merupakan sistem usaha tani yang mampu mempertahankan produktivitas, dan kemanfaatannya bagi masyarakat dalam waktu yang tidak terbatas. Sistem demikian harus dapat mengkonservasikan sumberdaya, secara sosial didukung, secara ekonomi bersaing, dan secara lingkungan dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanian Berkelanjutan mengutamakan pengelolaan ekosistem pertanian yang mempunyai diversitas atau keanekaragaman hayati tinggi. Menurut FAO Agricultural Biodiversity meliputi variasi dan variabilitas tanaman, binatang dan jasad renik yang diperlukan untuk mendukung fungsi-fungsi kunci ekosistem pertanian, struktur dan prosesnya untuk memperkuat/ dan memberikan sokongan pada produksi pangan dan keamanan pangan. (Ukabc, 2007) Ekosistem dengan kenekaragaman tinggi lebih stabil dan tahan gocangan, risiko terjadinya kerugian finansial lebih kecil, dapat mengurangi dampak bencana kekeringan dan banjir, melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit dan kendala alam lainnya. Diversifikasi juga dapat mengurangi cekaman ekonomi akibat peningkatan harga pupuk, pestisida dan input-input produksi lainnya. Ketahanan Pangan merupakan salah satu tujuan utama Pertanian Berkelanjutan.
Pertanian Berkelanjutan dan Ketahanan Pangan
Secara konseptual maupun historikal konsep Ketahanan Pangan merupakan bagian utama konsep Pertanian Berkelanjutan. Agenda 21 menyatakan bahwa Tujuan utama program Pertanian Berkelanjutan dan Pembangunan Pedesaan (SARD) adalah meningkatkan produksi pangan dengan cara yang berkelanjutan serta memperkuat ketahanan pangan. Dalam Pertanian Berkelanjutan peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk dilaksanakan secara berkelanjutan dengan dampak yang seminimal mungkin bagi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat serta kualitas hidup penduduk di pedesaan. Program ini meliputi berbagai kegiatan mulai dari prakarsa pendidikan, pemanfaatan insentif ekonomi, pengembangan teknologi yang tepat guna hingga dapat menjamin persediaan pangan yang cukup dan bergizi, akses kelompok-kelompok rawan terhadap persediaan pangan tersebut, produksi untuk dilempar ke pasar, peningkatan pekerjaan dan penciptaan penghasilan untuk mengentaskan kemiskinan, serta pengelolaan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan.
Peningkatan produksi pangan harus dilakukan dengan cara-cara yang berkelanjutan tidak mengurangi dan merusak kesuburan tanah, tidak meningkatkan erosi, dan meminimalkan penggunaan dan ketergantungan pada sumberdaya alam yang tidak terbarukan, mendukung kehidupan masyarakat pedesaan yang berkeadilan, meningkatkan kesempatan kerja serta menyediakan kehidupan masyarakat yang layak dan sejahtera, mengurangi kemiskinan dan kekurangan gizi, tidak membahayakan kesehatan masyarakat yang bekerja atau hidup di lahan pertanian, dan juga kesehatan konsumen produk-produk pertanian yang dihasilkan, melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lahan pertanian dan pedesaan serta selalu melestarikan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati, memberdayakan dan memandirikan petani dalam mengambil keputusan pengelolaan lahan dan usaha taninya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya sendiri, memanfaatkan dan melestarikan sumber daya lokal dan kearifan masyarakat tradisional dalam mengelola sumber daya alam.
Pendekatan Lintas Sektor
Secara eksplisit dan legal, kebijakan dan keputusan politik Pemerintah c.q. Departemen Pertanian mengenai Pertanian Berkelanjutan belum jelas dan tegas. Berbagai kebijakan, program dan kegiatan yang telah diputuskan dan dijadwalkan oleh Agenda 21 tidak banyak yang kita laksanakan di lapangan. Penyebab utama adalah penerapan pendekatan sektoral yang sampai saat ini masih diikuti dan diterapkan secara ketat oleh jajaran birokrasi Pemerintah dan lembaga-lembaga non pemerintah. Pendekatan parsial atau fraksional yang menyederhanakan masalah selalu kita lakukan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul, termasuk masalah lingkungan hidup yang sangat kompleks dan multidimensi.
Agenda 21 dianggap sebagai agenda pembangunan lingkungan hidup maka yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan Agenda 21 adalah Kementerian Lingkungan Hidup bukan Departemen Pertanian dan departemen-departemen lainnya. Pendekatan yang egosektoral tersebut yang mengakibatkan banyak komitmen Indonesia pada banyak konvensi dan kesepakatan internasional tidak dapat dilaksanakan secara penuh di lapangan. Pendekatan egosektoral tersebut juga yang menyebabkan dalam era persaingan global saat ini, Indonesia selalu ketinggalan dan belum memperlihatkan komitmen tinggi terhadap berbagai kesepakatan global. Konsep Pembangunan Berkelanjutan termasuk Pertanian Berkelanjutan mengharuskan kita meninggalkan pendekatan egosektoral serta menerapkan dan mengembangkan pendekatan terpadu, lintas sektoral dan lintas disiplin ilmu.
Seandainya Indonesia sesuai dengan komitmennya melaksanakan semua rekomendasi, kegiatan dan agenda yang ditetapkan oleh Agenda 21 tahun 1992, kemungkinan besar berbagai carut marut produksi pangan dan ketahanan pangan yang kita alami saat ini tidak terjadi. Disarankan agar Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan seluruh pemangku kepentingan pertanian lainnya (industri, swasta, petani, NGO, akademisi, peneliti, dll) mempelajari kembali Agenda 21 khususnya Chapter 14 tentang SARD serta menyepakati untuk segera memperbarui komitmen kita melaksanakan semua kebijakan dan program SARD pada semua aras keputusan, mulai dari tataran kebijakan sampai tataran pelaksanaan lapangan.
Departemen Pertanian dan Pangan
Tebalnya dinding-dinding sektor pertanian dan ketahanan pangan khususnya diurusi oleh banyak sektor dan subsektor atau oleh beberapa departemen dan lembaga non departemen, semakin menyulitkan koordinasi dan keterpaduan. Sistem pengelolaan ketahanan pangan menjadi tidak efektif dan efisien, banyak pemborosan, tumpang tindih dan ketidak-paduan. Departemen Pertanian saat ini tugas utamanya terutama dalam peningkatan produksi tanaman pangan on farm namun urusan penyediaan dan distribusi pangan dilaksanakan oleh lembaga lain (Bulog). Urusan perdagangan domestik dan internasional dilaksanakan oleh Departemen Perdagangan. Masalah pencemaran lingkungan pertanian merupakan urusan Kementerian LH, masalah mutu dan keamanan pangan sebagian diurui oleh Badan POM dan masih banyak kasus ketidakpaduan lainnya.
Pertanian dan pangan sebenarnya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sehingga diusulkan untuk waktu mendatang kedua bidang atau urusan tersebut dikelola oleh satu lembaga Pemerintah, baik di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Di tingkat pusat lembaga tersebut adalah Departemen Pertanian dan Pangan atau Departemen Pangan dan Pertanian . Di tingkat daerah adalah Dinas Pertanian dan Pangan atau Dinas Pangan dan Pertanian .. Lembaga ini yang mengurusi pertanian dan pangan sejak dari hulu sampai hilir, dari penyiapan lahan sampai pengolahan dan pemasaran dan perdagangn hasil pertanian.
Ketahanan Pangan Lokal
Indonesia dikaruniai Tuhan dengan keanekaragaman hayati, ekosistem, budaya yang sangat tinggi, satu lokasi berbeda dari lokasi-lokasi lainnya. Kemampuan dan keberadaan biodiversitas pertanian lokal harus dimanfaatkan dan dikembangkan guna meningkatkan dan mempertahankan ketahanan pangan dari aras lokal, daerah dan nasional. Penyeragaman kebijakan, rekomendasi dan praktek pertanian konvensional yang diberlakukan untuk semua kondisi lokal tidak tepat untuk mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat, termasuk peningkatan ketahanan pangan. Teknologi pertanian yang diterapkan harus disesuaikan dengan kemampuan kondisi lokal dalam menopang penerapan suatu teknologi. Berbagai teknologi dan kearifan lokal yang dikembangkan dan diterapkan masyarakat lokal termasuk dalam meningkatkan produksi dan kualitas pangan perlu dipertahankan dan diperbaiki kualitasnya. Bila setiap masyarakat lokal dapat meningkatkan ketahanan pangannya sesuai dengan kondisinya masing-masing, secara agregatif ketahanan pangan nasional yang lebih mantap dan berjangka panjang akan tercapai.
Untuk itu diperlukan kemauan politik dan komitmen pemerintah yang kuat terhadap penerapan konsep pertanian berkelanjutan. Sektor pertanian seharusnya menjadi sektor andalan pembangunan di Indonesia mengingat lebih dari 60% penduduk Indonesia hidup di pedesaan dan bergantung dari sektor pertanian. Seharusnya dunia Industri yang mendukung konsep pembangunan pertanian secara berkelanjutan sesuai dengan karakternya yang beranekaragam, bukan sebaliknya pembangunan pertanian yang mengikuti pendekatan industrial yang cenderung pada keseragaman dan efisiensi produksi.
Pemberdayaan Petani
Petani yang seharusnya menjadi pelaksana dan subyek utama pembangunan pertanian di Indonesia saat ini sedang dalam keadaan yang tidak berdaya, tidak mandiri dan sangat tergantung pada pihak-pihak lain. Ketergantungan mereka terutama dengan program dan bantuan Pemerintah, dengan dunia swasta dalam memperoleh input produksi seperti benih, pupuk dan pestisida, dengan para tengkulak dalam penyediaan uang tunai. Mereka tidak mampu menentukan apa yang harus mereka lakukan. Program-program pemerintah pusat dan pemerintah daerah cenderung semakin meningkatkan ketergantungan mereka pada pemerintah. Karena ketergantungan dan ketidakberdayaan tersebut berbagai potensi manusiawi petani seperti inisiatif, kreativitas, inovasi, kearifan lokal menjadi semakin menghilang dan tidak berkembang. Berbagai kendala dan keterbatasan yang ada pada petani kita seperti, kualitas SDM, kepemilikan lahan dan modal, akses terhadap pasar dan informasi mengakibatkan petani tetap dalam posisi menjadi obyek pembangunan bukan sebagai subyek dan penentu pembangunan pertanian.
Semua pihak terutama Pemerintah dan dunia swasta agar menerima, mengakui, menghargai dan memfasilitasi hak petani untuk mandiri dan berdaya dalam mengambil keputusannya sendiri. Merekalah yang paling tahu apa yang diperlukan dan paling baik dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka dalam kondisi sosial budayanya masing-masing.. Tentang program pemberdayaan petani di pedesaan Agenda 21 membuat Bab khusus yaitu Chapter 32 dengan judul " Strengthening the role of farmers" atau Memperkuat Peran Petani.
Petani melalui berbagai organisasi swadaya petani menuntut agar mereka ikut serta dalam setiap pengambilan keputusan tentang bagaimana tanaman pangan dibudidayakan, diolah, diperdagangkan dan bagaimana manfaat yang diperoleh dari sistem pangan dunia/nasional/lokal dapat di bagikan secara adil. Kecenderungan dan keinginan kelompok-kelompok petani mandiri seluruh dunia (termasuk Indonesia) tersebut bertujuan untuk mengubah konsep Ketahanan Pangan (Food Security) yang dianggap berorientasi pada kepentingan pemerintah menjadi konsep Kedaulatan Pangan (Food Sovereignity) perlu ditanggapi Pemerintah secara arif bijaksana.
Permasalahan yang kita hadapi sekarang masih sangat sedikit petani Indonesia yang telah sadar dan mampu menuntut hak kedaulatan pangan yang mereka inginkan. Sebagian besar petani pangan masih terkukung dan tercekam dlam ketidakberdayaannya sehingga mereka hanya menunggu uluran dan inisiatif pihak-pihak lain terutama pemerintah. Merka tidak mampu keluar dari cekaman ketidakberdayaan tersebut atas usahanya sendiri.
Pemerintah dan pihak-pihak lain termasuk pihak swasta dan Perguruan Tinggi perlu membantu dan memfasilitasi usaha-usaha untuk mendorong kemandirian petani dan kelompok tani dengan metode pendidikan dan pelatihan petani yang sesuai dan efektif. Dari pengalaman Indonesia dan negara-negara berkembang lain dalam melaksanakan pelatihan petani secara partisipatori melalui sistem Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang benar, maka kemandirian, profesionalisme dan kepercayaan diri petani dapat dihidupkan dan dikembangkan kembali. Dengan petani yang mandiri dan profesional serta berani mengambil keputusan dalam menerapkan konsep Pertanian Berkelanjutan, ketahanan pangan lokal dan nasional yang mapan dan berlanjut dapat dicapai.
Kesimpulan dan Saran
1.Praktek pertanian konvensional yang boros energi tak terbarukan di samping membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat juga tidak mencapai sasaran ketahanan pangan secara mantap dan berlanjut.
2.Pertanian Berkelanjutan adalah pertanian yang layak ekonomi, secara lingkungan dapat dipertanggungjawabkan, secara sosial diterima, berkeadilan, dan secara sosial budaya sesuai dengan keadaan setempat, serta dilaksanakan secara holistik.
3.Ketahanan Pangan yang berkelanjutan merupakan tujuan utama Pembangunan Berkelanjutan. Ketahanan pangan dengan memanfaatkan keanekaragaman pertanian lokal akan membentuk ketahanan pangan nasional yang mantap dan berjangka panjang.
4.Indonesia seharusnya konsisten dengan komitmennya dalam melasanakan semua program yang terinci dalam dokumen Agenda 21, termasuk tentang Pertanian Berkelanjutan dan Pembangunan Pedesaan.
5.Untuk mengurangi ketidakpaduan antar sektor yang menangani pertanian dan pangan diusulkan pembentukan Departemen Pertanian dan Pangan.
6.Semua pihak terkait agar memberikan perhatian, dukungan dan dorongan dalam usaha pemberdayaan petani serta menempatkan posisi mereka sama dan sejajar dengan pihak-pihak lain, sebagai pelaksana dan penentu keputusan program peningkatan produksi pertanian termasuk ketahanan pangan.
Daftar Acuan
United Nations, 1997. Earth Summit Agenda 21. The United Nations Programme of Action from Rio. 297 pp.
Pierce,D.A., Markandya and E.B. Barbier, 1994. Blueprint for a Green Economy/ Earthscan Publ.Ltd. London, 192 pp.
Thrupp, L.A. (ed),1996. New Partnerships for Sustainable Agriculture. World Resource Institute New York. 136 pp.
UKabc, 2007. Agricultural Biodeiversity for Food and Livelihood Security and Food Sovereignity, Didownload dari http://www.ukabc.org/ pada 4/10/2007.
Langganan:
Postingan (Atom)
Lowongan Kepala Afdeling
Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...
-
INCASI RAYA Group Kami perusahaan swasta nasional dengan areal 250.000 ha dengan alamat kantor pusat di Jl. Raya By Pass Km 6 Lubuk Begalung...
-
PT. Kirana Megatara ( subsidiary company of Triputra Group ) yang lokasi head office -nya berada di kawasan Lingkar Mega Kuningan, Jakart...
-
DIBUTUHKAN SEGERA ASISTEN WATER MANAGEMENT SYSTEM (WMS) Kualifikasi: Pria, Usia Maks 35 thn untuk yang sudah berpengalaman,...