Oleh: Dr Jozep Ojong
Kalau kita kilas balik sejarah saat Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, yaitu pada masa Trikora, kita akan kagum dengan bagaimana dedikasi ribuan tenaga sukarela yang datang untuk membangun Papua pada waktu itu, baik sebagai tenaga medis, guru, maupun pamong praja, untuk mengambil alih roda pemerintahan dari Belanda.
Dapat dikatakan bahwa mereka yang bersedia datang ke Irian Barat (Papua) pada waktu itu bukan semata untuk mencari nafkah, namun karena mempunyai tekad nasionalisme tinggi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dibarengi kemampuan teknis yang tinggi.
Ketika itu Papua memang dalam keadaan serba terbatas namun ada rasa kebersamaan dan nasionalisme, karena waktu itu mereka yang menjalankan pemerintahan rela hidup sederhana dan rakyat melihat bahwa pemerintahan pun transparan dan dijalankan dengan hukum yang jelas.
Demikian pula saat memasuki masa Orde Baru. Situasi Papua makin membaik dengan sandang pangan tercukupi, pemerintahan teratur, pendidikan, dan pelayanan kesehatan primer terjamin dan mudah dijangkau masyarakat.
Namun seiring perjalanan waktu ketika Papua telah berada 40 tahun dalam pangkuan Ibu Pertiwi, boleh dikatakan kesejahteraan rakyat Papua makin terpuruk dengan jurang kaya dan miskin makin melebar. Memasuki masa Otonomi Khusus (Otsus) Papua, situasi pun tidak membaik walau dana yang digelontorkan mencapai berkali lipat dari masa-masa sebelumnya.
Selain otsus, efek dari program pemekaran wilayah yang tidak dibarengi pemikiran matang juga mengakibatkan makin rumitnya masalah, dan telah menciptakan peluang bagi korupsi dengan melahirkan kelompok elite yang makin melebarkan jurang antara kaya dan miskin.
Mengapa masalah Papua tidak bisa selesai dengan perjalanan waktu, sedangkan daerah lain di Indonesia makin maju? Ada sejumlah jawaban. Pertama, para pendatang, yakni mereka yang berasal dari luar Papua, baik sebagai pegawai negeri yang ditugaskan maupun sebagai wirawasta yang mencari kesempatan, pada umumnya tidak berpikir untuk menetap dan tinggal di Papua untuk membangun tanah ini.
Sebagian dari mereka yang datang dalam rangka penugasan pegawai negeri hanya menghitung waktu untuk pulang ke Jakarta. Apa mungkin roda pemerintahan berjalan optimal kalau pejabat di birokrasi tidak datang untuk menetap dan sekadar menghitung waktu untuk pulang?
Yang berwiraswasta pun demikian sehingga mereka tidak akan dapat mengenal dan mendalami aspek sosio-kultural Papua, karena pola pikir yang sudah terbentuk tadi itu bukan untuk menetap dan membangun Papua.
Karena itu timbul marginalisasi dari orang Papua yang kalah dalam mendapatkan peluang dan mengakibatkan kecemburuan sosial yang memicu berbagai konflik sosial antara penduduk asli Papua dengan para pendatang.
Jurang kesenjangan makin lebar pada masa Otsus Papua karena kurang ada pengawasan dan pertanggungjawaban pemakaian dana yang demikian besar, sehingga terciptalah kaum elite di Papua hasil dari otsus. Semua ini sebetulnya sudah dapat diprediksi secara akal sehat, karena ibarat Indonesia di skala dunia, bila membuka pintu dalam rangka globalisasi di mana terjadi persaingan bebas, pengusaha di Jakarta akan terjepit. Demikian juga di skala nasional, jika terjadi persaingan bebas di Papua maka rakyat Papua yang akan terpinggirkan.
Bila dibanding zaman sekarang, sarana fisik dan sumber daya dari pemerintah masa Orde Baru sangat terbatas. Desa-desa terpencil hanya tercapai dengan pesawat atau jalan kaki.
Pemerintahan Lemah
Hal lain yang menyebabkan kegagalan Otsus Papua adalah lemahnya sistem pemerintahan. Pengalaman kami di bidang kesehatan saja pada waktu itu, puskesmas ada di tiap kecamatan namun tenaga dan dana operasional pelayanannya sangat minim. Pelayanan ke desa-desa dilakukan dokter dan paramedis dengan jalan kaki, tanpa uang saku. Masyarakat pun mendukung dengan tulus dengan menyediakan makanan dan bantuan lain secara sukarela.
Kendati keadaan memprihatinkan, pelayanan kesehatan tetap bisa berjalan karena sistem pemerintahan berjalan lumayan baik, karena struktur pemerintah praktis efektif. Ini karena belum ada pemekaran sehingga jumlah dinas kesehatan kabupaten hanya ada sembilan. Karena jumlah dinas sedikit, birokrat jajaran kesehatan pun hanya dijabat oleh mereka yang telah berpengalaman dan kompeten di bidangnya. Perlu diketahui bahwa pada masa itu jumlah birokrat yang kompeten masih bertahan tinggal di Papua dari masa Trikora/Perpera sudah mulai berkurang banyak.
Kerja sama pemerintah dan lembaga non-pemerintah erat walau dana minim, sehingga pelayanan kesehatan cukup baik. Ini karena ada keterpaduan dengan lembaga non-pemerintah yang saling melengkapi dalam kerja sama di berbagai segi pelayanan a.l. program rujukan dokter terbang. Sistem surveillance penyakit juga mudah dipantau sehingga KLB (kejadian luar biasa) mudah dicegah karena memanfaatkan berbagai pos LSM di tempat-tempat terpencil dengan sarana komunikasi radio SSB. Berbagai program pun digelar dengan memperhatikan sosiobudaya setempat agar tidak terjadi gejolak kebudayaan, dan pengalaman pendekatan sosiobudaya banyak dapat diperoleh dari teman-teman LSM.
Sosiobudaya dan sejarah Papua sebagai rumpun Melanesia sangat berbeda dengan sosiobudaya Indonesia. Ada lebih dari 257 suku yang tercatat di Papua dan mereka terbagi secara sosiobudaya sebagai orang Papua pantai atau orang Papua gunung yang sangat berbeda secara antropologis.
Misalnya, secara antropologis pengakuan seseorang sebagai kepala suku baru akan terjadi jika selama ini dia telah berperan secara paternalistik. Namun sebaliknya, suara dari seorang kepala suku tidak akan dapat berdampak pada suku lain. Di sini suara kepala suku berpotensi dalam pilkada yang berpotensi menimbulkan konflik juga.
Bagaimana Sekarang?
Dengan pemekaran wilayah maka jumlah kabupaten mencapai lebih dari 20. Yang dulu hanya sebuah kecamatan kini telah menjadi dua kabupaten. Karena itu tidak heran bila jalannya roda pemerintahan tertatih-tatih dan tidak efektif menerapkan berbagai program. Banyak kantor dinas yang jam kerjanya hanya beberapa jam sehari. Seharusnya disadari bahwa menempatkan seseorang dalam kapasitas jabatan tertentu tidak semudah membangun gedung.
Bukan sesuatu yang mengagetkan kalau di suatu sekolah atau puskesmas ada SK penempatan si A atau si B, namun kenyataannya tidak ada fisiknya. Kalau pun ada, syukur-syukur berada di tempat tugas berapa bulan dalam setahun. Yang terjadi, banyak tenaga PNS kecamatan kini lebih banyak menghabiskan waktu di kota/kabupaten, sedangkan pejabat kabupaten atau provinsi lebih banyak waktu di Jakarta, baik karena bertugas atau menugaskan diri. Bagaimana mutu pengawasannya kalau yang seharusnya menjalankan tugas pengawasan tidak menjalankannya?
Dengan adanya otsus maka praktis berbagai program termasuk kesehatan menjadi tanggung jawab daerah, baik kabupaten maupun provinsi. Bisa dibayangkan betapa tidak efektifnya berbagai program dengan keterbatasan birokrasi seperti itu. Dana otsus yang sangat besar ternyata ditangani sistem pemerintahan yang terbatas, maka penyerapan anggarannya pun terbatas. Belum lagi ada proyek-proyek yang prioritasnya dipertanyakan, dijalankan dengan pengawasan seadanya oleh sistem yang sudah kelebihan beban kerja.
Ironisnya, semua dana otsus ini harus sudah terserap pada akhir tahun anggaran agar tidak ada sisa anggaran. Karena itu tidak heran kalau manfaat Otsus Papua tidak sampai menyentuh rakyat.
Pada masa ini, tidak banyak yang bisa diharapkan dari lembaga non-pemerintah karena mereka pun mengalami kesulitan lebih banyak. Ini karena selain jumlah SDM terbatas, keuangan mereka juga cekak, sehingga daya ungkit sebagai mitra dalam mendukung program pemerintah juga tidak banyak.
Epilog
Arah kebijakan pemerintah bagi Papua selama ini adalah untuk meredam hasrat Papua merdeka dengan memperbaiki tingkat kesejahteraan melalui penggelontoran dana otsus yang telah mencapai Rp 28 triliun. Namun hal ini tidak berhasil meningkatkan tingkat kesejahteraan dan malah makin memperkuat suara separatisme.
Agar Papua tidak menjadi Timor Timur kedua, akar permasalahannya pun harus segera dibedah tuntas melalui keputusan berani dan membuat koreksi radikal dengan mereformasi birokrasi Papua.
URL Source: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/mengapa-otsus-papua-gagal/
Dr Jozep Ojong
Penulis adalah dokter yang bertugas dan bermukim di Papua sejak 1983.
Kalau kita kilas balik sejarah saat Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, yaitu pada masa Trikora, kita akan kagum dengan bagaimana dedikasi ribuan tenaga sukarela yang datang untuk membangun Papua pada waktu itu, baik sebagai tenaga medis, guru, maupun pamong praja, untuk mengambil alih roda pemerintahan dari Belanda.
Dapat dikatakan bahwa mereka yang bersedia datang ke Irian Barat (Papua) pada waktu itu bukan semata untuk mencari nafkah, namun karena mempunyai tekad nasionalisme tinggi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dibarengi kemampuan teknis yang tinggi.
Ketika itu Papua memang dalam keadaan serba terbatas namun ada rasa kebersamaan dan nasionalisme, karena waktu itu mereka yang menjalankan pemerintahan rela hidup sederhana dan rakyat melihat bahwa pemerintahan pun transparan dan dijalankan dengan hukum yang jelas.
Demikian pula saat memasuki masa Orde Baru. Situasi Papua makin membaik dengan sandang pangan tercukupi, pemerintahan teratur, pendidikan, dan pelayanan kesehatan primer terjamin dan mudah dijangkau masyarakat.
Namun seiring perjalanan waktu ketika Papua telah berada 40 tahun dalam pangkuan Ibu Pertiwi, boleh dikatakan kesejahteraan rakyat Papua makin terpuruk dengan jurang kaya dan miskin makin melebar. Memasuki masa Otonomi Khusus (Otsus) Papua, situasi pun tidak membaik walau dana yang digelontorkan mencapai berkali lipat dari masa-masa sebelumnya.
Selain otsus, efek dari program pemekaran wilayah yang tidak dibarengi pemikiran matang juga mengakibatkan makin rumitnya masalah, dan telah menciptakan peluang bagi korupsi dengan melahirkan kelompok elite yang makin melebarkan jurang antara kaya dan miskin.
Mengapa masalah Papua tidak bisa selesai dengan perjalanan waktu, sedangkan daerah lain di Indonesia makin maju? Ada sejumlah jawaban. Pertama, para pendatang, yakni mereka yang berasal dari luar Papua, baik sebagai pegawai negeri yang ditugaskan maupun sebagai wirawasta yang mencari kesempatan, pada umumnya tidak berpikir untuk menetap dan tinggal di Papua untuk membangun tanah ini.
Sebagian dari mereka yang datang dalam rangka penugasan pegawai negeri hanya menghitung waktu untuk pulang ke Jakarta. Apa mungkin roda pemerintahan berjalan optimal kalau pejabat di birokrasi tidak datang untuk menetap dan sekadar menghitung waktu untuk pulang?
Yang berwiraswasta pun demikian sehingga mereka tidak akan dapat mengenal dan mendalami aspek sosio-kultural Papua, karena pola pikir yang sudah terbentuk tadi itu bukan untuk menetap dan membangun Papua.
Karena itu timbul marginalisasi dari orang Papua yang kalah dalam mendapatkan peluang dan mengakibatkan kecemburuan sosial yang memicu berbagai konflik sosial antara penduduk asli Papua dengan para pendatang.
Jurang kesenjangan makin lebar pada masa Otsus Papua karena kurang ada pengawasan dan pertanggungjawaban pemakaian dana yang demikian besar, sehingga terciptalah kaum elite di Papua hasil dari otsus. Semua ini sebetulnya sudah dapat diprediksi secara akal sehat, karena ibarat Indonesia di skala dunia, bila membuka pintu dalam rangka globalisasi di mana terjadi persaingan bebas, pengusaha di Jakarta akan terjepit. Demikian juga di skala nasional, jika terjadi persaingan bebas di Papua maka rakyat Papua yang akan terpinggirkan.
Bila dibanding zaman sekarang, sarana fisik dan sumber daya dari pemerintah masa Orde Baru sangat terbatas. Desa-desa terpencil hanya tercapai dengan pesawat atau jalan kaki.
Pemerintahan Lemah
Hal lain yang menyebabkan kegagalan Otsus Papua adalah lemahnya sistem pemerintahan. Pengalaman kami di bidang kesehatan saja pada waktu itu, puskesmas ada di tiap kecamatan namun tenaga dan dana operasional pelayanannya sangat minim. Pelayanan ke desa-desa dilakukan dokter dan paramedis dengan jalan kaki, tanpa uang saku. Masyarakat pun mendukung dengan tulus dengan menyediakan makanan dan bantuan lain secara sukarela.
Kendati keadaan memprihatinkan, pelayanan kesehatan tetap bisa berjalan karena sistem pemerintahan berjalan lumayan baik, karena struktur pemerintah praktis efektif. Ini karena belum ada pemekaran sehingga jumlah dinas kesehatan kabupaten hanya ada sembilan. Karena jumlah dinas sedikit, birokrat jajaran kesehatan pun hanya dijabat oleh mereka yang telah berpengalaman dan kompeten di bidangnya. Perlu diketahui bahwa pada masa itu jumlah birokrat yang kompeten masih bertahan tinggal di Papua dari masa Trikora/Perpera sudah mulai berkurang banyak.
Kerja sama pemerintah dan lembaga non-pemerintah erat walau dana minim, sehingga pelayanan kesehatan cukup baik. Ini karena ada keterpaduan dengan lembaga non-pemerintah yang saling melengkapi dalam kerja sama di berbagai segi pelayanan a.l. program rujukan dokter terbang. Sistem surveillance penyakit juga mudah dipantau sehingga KLB (kejadian luar biasa) mudah dicegah karena memanfaatkan berbagai pos LSM di tempat-tempat terpencil dengan sarana komunikasi radio SSB. Berbagai program pun digelar dengan memperhatikan sosiobudaya setempat agar tidak terjadi gejolak kebudayaan, dan pengalaman pendekatan sosiobudaya banyak dapat diperoleh dari teman-teman LSM.
Sosiobudaya dan sejarah Papua sebagai rumpun Melanesia sangat berbeda dengan sosiobudaya Indonesia. Ada lebih dari 257 suku yang tercatat di Papua dan mereka terbagi secara sosiobudaya sebagai orang Papua pantai atau orang Papua gunung yang sangat berbeda secara antropologis.
Misalnya, secara antropologis pengakuan seseorang sebagai kepala suku baru akan terjadi jika selama ini dia telah berperan secara paternalistik. Namun sebaliknya, suara dari seorang kepala suku tidak akan dapat berdampak pada suku lain. Di sini suara kepala suku berpotensi dalam pilkada yang berpotensi menimbulkan konflik juga.
Bagaimana Sekarang?
Dengan pemekaran wilayah maka jumlah kabupaten mencapai lebih dari 20. Yang dulu hanya sebuah kecamatan kini telah menjadi dua kabupaten. Karena itu tidak heran bila jalannya roda pemerintahan tertatih-tatih dan tidak efektif menerapkan berbagai program. Banyak kantor dinas yang jam kerjanya hanya beberapa jam sehari. Seharusnya disadari bahwa menempatkan seseorang dalam kapasitas jabatan tertentu tidak semudah membangun gedung.
Bukan sesuatu yang mengagetkan kalau di suatu sekolah atau puskesmas ada SK penempatan si A atau si B, namun kenyataannya tidak ada fisiknya. Kalau pun ada, syukur-syukur berada di tempat tugas berapa bulan dalam setahun. Yang terjadi, banyak tenaga PNS kecamatan kini lebih banyak menghabiskan waktu di kota/kabupaten, sedangkan pejabat kabupaten atau provinsi lebih banyak waktu di Jakarta, baik karena bertugas atau menugaskan diri. Bagaimana mutu pengawasannya kalau yang seharusnya menjalankan tugas pengawasan tidak menjalankannya?
Dengan adanya otsus maka praktis berbagai program termasuk kesehatan menjadi tanggung jawab daerah, baik kabupaten maupun provinsi. Bisa dibayangkan betapa tidak efektifnya berbagai program dengan keterbatasan birokrasi seperti itu. Dana otsus yang sangat besar ternyata ditangani sistem pemerintahan yang terbatas, maka penyerapan anggarannya pun terbatas. Belum lagi ada proyek-proyek yang prioritasnya dipertanyakan, dijalankan dengan pengawasan seadanya oleh sistem yang sudah kelebihan beban kerja.
Ironisnya, semua dana otsus ini harus sudah terserap pada akhir tahun anggaran agar tidak ada sisa anggaran. Karena itu tidak heran kalau manfaat Otsus Papua tidak sampai menyentuh rakyat.
Pada masa ini, tidak banyak yang bisa diharapkan dari lembaga non-pemerintah karena mereka pun mengalami kesulitan lebih banyak. Ini karena selain jumlah SDM terbatas, keuangan mereka juga cekak, sehingga daya ungkit sebagai mitra dalam mendukung program pemerintah juga tidak banyak.
Epilog
Arah kebijakan pemerintah bagi Papua selama ini adalah untuk meredam hasrat Papua merdeka dengan memperbaiki tingkat kesejahteraan melalui penggelontoran dana otsus yang telah mencapai Rp 28 triliun. Namun hal ini tidak berhasil meningkatkan tingkat kesejahteraan dan malah makin memperkuat suara separatisme.
Agar Papua tidak menjadi Timor Timur kedua, akar permasalahannya pun harus segera dibedah tuntas melalui keputusan berani dan membuat koreksi radikal dengan mereformasi birokrasi Papua.
URL Source: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/mengapa-otsus-papua-gagal/
Dr Jozep Ojong
Penulis adalah dokter yang bertugas dan bermukim di Papua sejak 1983.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya