Oleh: Burhanuddin Muhtadi Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan perubahan kelima UUD 1945 agar calon presiden dan calon wakil presiden bisa berasal dari calon independen. DPD menawarkan perubahan Pasal 6A menjadi ”Pasangan calon presiden dan wakil presiden berasal dari usul partai peserta pemilihan umum atau perseorangan”. Usul itu sesuai dengan prinsip demokrasi terkait dengan pengakuan atas hak-hak warga untuk bisa bersaing sebagai calon presiden dan calon wakil presiden meski tanpa kendaraan partai. Seberapa kuat dukungan publik atas usul itu? Faktor apa yang terkait dengan dukungan atau penolakan ide calon independen? Survei nasional Lembaga Survei Indonesia 2007 menunjukkan besarnya dukungan warga dari Sabang sampai Merauke atas calon independen. Total 68,8 persen responden setuju pencalonan presiden tidak hanya oleh parpol, tetapi juga oleh individu atau kelompok di luar partai. Hanya 20,2 persen yang tak setuju. Sisanya ”tidak tahu”. Mayoritas menilai aturan yang mengharuskan calon dari partai telah mengurangi hak warga mencalonkan diri sebagai presiden (58 persen). Hanya 28,5 persen yang menilai ketentuan ini tak membatasi hak warga dan sisanya ”tidak tahu”. Bahkan, 75,2 persen publik mendukung setiap warga yang punya hak pilih juga berhak mencalonkan diri sebagai presiden. Hanya 12,8 persen yang tak setuju dengan pandangan ini. Jika rancang lembaga politik kita memiliki legitimasi dan basis dukungan massa kuat, dukungan kuat publik atas calon presiden independen harus diakomodasi. Ada tiga faktor yang memengaruhi dukungan usul calon independen. Pertama, kekecewaan atau ketakpuasan terhadap pelaksanaan demokrasi. Kedua, rendahnya kepercayaan publik terhadap parpol. Ketiga, semakin terdidik warga, dukungan atas ide calon independen semakin kuat. Konstituen PAN dan PKS paling mendukung usul calon independen sebab latar pendidikan pemilih PAN dan PKS relatif lebih tinggi dibandingkan partai lain. Deparpolisasi Menguatnya gejala deparpolisasi mendorong dahaga publik atas hadirnya calon independen. Deparpolisasi adalah gejala psikologis yang menghilangkan kepercayaan publik atas partai. Dalam leksikon ilmu politik, gejala ini bisa dilihat dari dua dimensi penghubung pemilih dengan partai: identifikasi diri dengan partai (dimensi afeksi) dan evaluasi massa pemilih atas fungsi intermediasi partai (dimensi rasional). Demikian Biorcio dan Mannheimer (1995: 206-26). Identifikasi diri dengan partai (IDP) adalah perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya. IDP merupakan komponen psikologis yang memberi sumbangan bagi stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian yang bisa memperkuat demokrasi itu sendiri. Data kecenderungan LSI menemukan rata-rata IDP kita hanya 22 persen. Itu pun terbagi ke banyak partai. Jadi, dasar empiris deparpolisasi kuat! Deparpolisasi juga diukur melalui sejauh mana partai dirasakan berfungsi menghubungkan kepentingan massa pemilih dan keputusan publik yang dibuat di DPR atau pemerintah. Survei terbaru LSI menemukan sebagian besar pemilih merasa fungsi rasional atau intermediasi partai masih lemah. Secara kasatmata indikasi deparpolisasi terlihat dari menurunnya tingkat partisipasi dalam pemilu legislatif. Dalam Pemilu Legislatif 1999 partisipasi mencapai 92,74 persen, tetapi dalam Pemilu Legislatif 2009 hanya 71 persen pemilih yang menggunakan haknya. Sejak rezim pilkada diadakan, muncul pula figur dari luar partai yang terlihat lebih populer dan keterpilihannya tinggi. Ini memaksa partai mengakomodasi figur tersebut dan mengabaikan kader partai yang kurang populer. Sentimen media massa, mahasiswa, LSM, dan intelektual secara umum negatif dan sinis terhadap parpol. Ternyata sinisme ini lagi-lagi dirasakan khalayak luas. Ibarat pil pahit, usul DPD agar membuka kesempatan calon presiden independen maju dalam pilpres seharusnya direspons positif oleh partai untuk menyehatkan sistem kepartaian. Calon independen akan jadi stimulator partai untuk memperbaiki kaderisasi yang macet, mendorong regenerasi berdasarkan meritokrasi, dan merevisi sistem rekrutmen partai untuk jabatan-jabatan publik. Menyelamatkan partai Jika dilakukan, itu justru menyelamatkan partai dari krisis deparpolisasi. Partai akan mendapat apresiasi publik karena menegakkan kembali filosofi demokrasi yang paling asasi: hak individu ikut serta dalam kontestasi politik harus dihormati tanpa atau dengan melalui partai politik. Selain itu, ketakjelasan sistem presidensial dengan parlementer juga kian dikurangi. Bila kita berkomitmen dengan sistem presidensial melalui proses pemilihan presiden secara langsung, calon berbasis dirinya sendiri yang bertumpu pada kekuatan figur seharusnya lebih tampak ketimbang calon berbasis partai. Jangan lupa, keran calon independen sudah dibuka di pilkada. Jika di tingkat pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota calon perseorangan bisa maju, mengapa di tingkat nasional dilarang? Argumen bahwa calon presiden independen terpilih akan sulit bekerja karena tidak mendapat dukungan memadai di DPR, secara realitas politik juga terbantahkan. Buktinya SBY yang mengantongi dukungan dari enam partai anggota Setgab, dengan kekuatan di atas kertas mencapai 75 persen di DPR, juga kerepotan mengatur manajemen koalisinya. Apa lagi alasan tersisa melarang calon presiden independen maju? Burhanuddin Muhtadi Dosen FISIP UIN Jakarta
MEDIA KOMUNIKASI KOMUNITAS ALUMNI POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Lowongan Kepala Afdeling
Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...
-
INCASI RAYA Group Kami perusahaan swasta nasional dengan areal 250.000 ha dengan alamat kantor pusat di Jl. Raya By Pass Km 6 Lubuk Begalung...
-
PT. Kirana Megatara ( subsidiary company of Triputra Group ) yang lokasi head office -nya berada di kawasan Lingkar Mega Kuningan, Jakart...
-
DIBUTUHKAN SEGERA ASISTEN WATER MANAGEMENT SYSTEM (WMS) Kualifikasi: Pria, Usia Maks 35 thn untuk yang sudah berpengalaman,...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya