Oleh: Marianne Klute (*)
Papua adalah daerah konflik. Salah satu penyebab utamanya adalah kekayaan Sumber Daya Alam (SDA). Hal ini yang kemudian membawa militer menempatkan diri di Papua.
Sepuluh tahun yang lalu, pada akhir rezim Suharto, Papua masih padat hutan dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Setelah Soeharto mengundurkan diri (1998), Papua ditimpa oleh mafia liar dalam mencari kayu tropis. Papua juga menjadi wilayah utama operasi mafia kayu internasional. Hutan Papua telah menjadi medan konflik antara kepentingan nasional dan local. Diperkirakan konflik-konflik ini pasti akan berlangsung dalam waktu panjang.
Sejak tahun 2001, Papua dibagi ke dalam beberapa kabupaten dalam rangka otonomi khusus. Segera setelah pembagian tersebut, banyak perusahaan kayu memasuki Papua. tahun 2001, Departemen Kehutanan mensahkan konsesi penebangan (HPH, Hak Pengusahaan Hutan) kepada 54 perusahaan baru. Perusahaan-perusahaan tersebut membagi-bagi Papua dibawah sepengetahuan mereka sendiri. Mereka bersama-sama menguasai sepertiga dari luas total wilayah Papua. Menurut data pemerintah, HPH lebih dari 14 juta hektar dialokasikan kepada perusahaan kayu: diantarnya di daerah Kepala Burung, di wilayah sekitar Teluk Bintuni, di wilayah Utara, dan di wilayah Selatan di kabupaten Boven Digul dan Mappi. Pengecualian berlaku hanya di daerah daratan tinggi. Hampir satu juta hektar berada di tangan industri kertas, dan lebih dari setengah juta hektar milik perusahaan perkebunan. Ditambah lagi ada beberapa konsesi untuk pertambangan. (lihat juga peta HPH di http://www.papuaweb.org/gb/peta/fwi/05.jpg).
Izin konsesi lahan menunjukan bahwa untuk Industri kayu (HPH), 14.410.351 ha; Industri kertas (HTI), 916.397 ha; dan Perkebunan (HGU), 570.497 ha.
Hal ini menunjukkan bahwa tanah dan hutan Papua dibagi-bagi seperti ‘kue, atas nama pembangunan. Pertanyaannya adalah, masyarakat adat pemilik hak itu dapat apa dari ‘kue’ yang dibagi-bagi itu? Pembagian “Kue Papua” berdasarkan HPH mempunyai beberapa dampak yang tak diinginkan. Dalam periode 2001 sampai 2008, jadi hanya dalam waktu tujuh tahun, penebangan sah oleh HPH meningkat sekitar sepuluh kali lipat. Karena izin HPH pada umumnya yang mendasari tindakan penyalahgunaan, maka penebangan liar juga telah meningkat drastis, hingga 90%; tidak ada daerah lain di Indonesia dengan prosentase yang begitu tinggi. Karena itu, impor kayu tropis liar dari Indonesia sumbernya adalah Papua. Jika hutan Papua yang mempunyai keanekaragaman hayati luar biasa dan unik terus-menerus dimusnahkan dengan begitu pesat, maka punahnya hutan dalam beberapa tahun mendatang menjadi jelas.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, penebangan hutan telah merubah kehidupan masyarakat adat dalam waktu sangat singkat. Masyarakat kehilangan hutan, sekaligus kehilangan akses pemanfaatan sumber-sumber daya, yaitu sagu, akar-akaran, binatang buruan, dan tanaman serat.
Perkebunan Sawit
Meledaknya bahan bakar agrofuels menyebabkan meluasnya ekspansi perkebunan secara besar-besaran. Hutan tropis di Papua hampir tak mempunyai kesempatan untuk bertahan, karena muncul ancaman baru yakni minyak sawit. Pemerintah Indonesia bereaksi atas kebutuhan energi dunia dengan perencanaan 20 juta hektar perkebunan sawit. Papua berkenan menyediakan tujuh juta hektar. Ini bisa berarti bahwa 9,3 juta hektar hutan konversi diperuntukkan bagi perkebunan. Perjanjian pertama untuk perkebunan besar-besaran termasuk infrastruktur terkait telah ditandatangani pada bulan Januari 2007. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dibilang menekan Papua agar rencana dari Jakarta diterima. Artinya, demi biofuel menurut keinginan Jakarta, Papua harus takluk.
Di Papua terdapat beberapa perkebunan yang sudah lama ada di daerah tersebut. Perkebunan sawit yang lebih besar dan yang “produktif” saat kini hanya terdapat di wilayah dekat Jayapura (Lereh, Arso) dan Boven Digul (Korindo), semua wilayah tersebut memiliki produksi yang sangat rendah. Pengalaman dengan perkebunan tersebut adalah pengalaman yang memprihatikan. Sepuluh kali lebih banyak hutan yang ditebang dari pada yang ditanam dengan kelapa sawit. Dampak negatif lainnya adalah banjir di Lereh, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Arso dan di perkebunan Korindo di Boven Digul, masyarakat adat kehilangan tempat pemburuan. Hal ini mengakibatkan peningkatan kemiskinan, penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi, dan kelaparan. Juga stres dan trauma berkepanjangan akibat masyarakat tak berdaya di hadapan kekuasaan pemerintah Indonesia.
Adanya kaitan erat antara perekonomian perkebunan dan penggundulan hutan untuk lahan perkebunan, hutan harus ditebang habis dan sisanya seperti akar-akaran dimusnahkan dengan api. Tak hanya di Papua, juga di Kalimantan dan Sumatra perusahaan kelapa sawit memiliki lahan jauh lebih banyak dari pada lahan yang ditanami. Pada Januari 2007, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian pertama yang besar dan relevan untuk Papua. Perusahaan Indonesia Sinar Mas Grup akan mengelola satu juta hektar perkebunan sawit, perusahaan minyak nasional asal Cina CNOOC akan membangun infrastruktur yang diperlukan.
Media Indonesia menyebutkan salah satu donatur proyek ini adalah KFW dari Jerman (Kreditanstalt für Wiederaufbau - bank negara/IBRA) atau anak perusahaanya swasta yaitu DEG sebagai donor. Sementara itu, perealisasian proyek tersebut goyang. DEG sepertinya telah memundurkan diri dari proyek tersebut, dan Sinar Mas mengakui adanya “risiko”. Namun demikian, Jakarta melakukan tekanan yang kuat terhadap Papua supaya menerima maksud dari ekspansi. Di sisi lain perusahaan-perusahaan mempunyai ketertarikan atas bisnis yang menguntungkan pihaknya ini dan sibuk bernegosiasi pada semua tingkatan:dengan para gubernur dan dengan bupati masing-masing. Perkebunan secara besar direncanakan di Pantai Utara (Sarmi, Jayapura), di daerah Kepala Burung (Manokwari, Sorong) dan di tiga Kabupaten di daerah Selatan: Merauke, Boven Digul, dan Mappi. Di bagian Selatan saja, tiga juta hektar perkebunan sawit akan didirikan, termasuk Merauke dengan 1,3 juta hektar.
Hutan Papua akan dikonversi menjadi perkebunan. Konglomerat international telah bersiap di sekitar wilayah setempat, Perjanjian pada tiga tingkatan: negara, provinsi, kabupaten sudah tentu ada untuk “pembiayaan infrastruktur” dengan alasan meningkatkan akses kemudahan di bagian Utara: Sarmi, Jayapura; Selatan: Boven Digul,
Mappi, Merauke dan Barat: Sorong, Manokwari. Perencanaan muncul pada ‘meja hijau hutan belantara’, seperti digambaran dengan penggaris begitu saja di atas kertas. Perusahaan sawit berada disekitar wilayah sejak Mei 2007 dan mencoba mempengaruhi para pengambil keputusan di bidang politik dan juga gereja, dengan menjanjikan akan memberikan investasi di bidang pendidikan dan infrastruktur.
Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa perusahaan telah berhasil memperoleh hak atas puluhan ribu hektar tanah. Masyarakat tak mempunyai hak atas partisipasi. Ternyata, kebanyakan dari mereka tak mengetahui apa yang akan menimpa mereka. Namun sebagian dari mereka menolak hilangnya hutan dan hak atas tanah mereka .
Masih dipertanyakan, apakah perkebunan besar-besaran ini bisa direalisasikan sesuai dengan yang direncanakan. Pihak perusahaan juga mengetahui bahwa investasi di bidang agro-industri yang belum layak di sebuah wilayah dengan infrastruktur yang buruk dan bahaya keamanan serta politik yang tinggi menggambarkan adanya sebuah resiko perekonomian. Namun satu yang pasti bahwa pembagain “kue” hutan harapan terakhir di Asia, terutama di Indonesia telah berlangsung di Tanah Papua. Tanah milik orang adat Papua itu telah terancam, termasuk orang adatnya sendiri.*
(*) Sekretariat Watch Indonesia. Plannufer 92 Strasse, Berlin-Germany.
sumber: www.tabloidjubi.net
Papua adalah daerah konflik. Salah satu penyebab utamanya adalah kekayaan Sumber Daya Alam (SDA). Hal ini yang kemudian membawa militer menempatkan diri di Papua.
Sepuluh tahun yang lalu, pada akhir rezim Suharto, Papua masih padat hutan dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Setelah Soeharto mengundurkan diri (1998), Papua ditimpa oleh mafia liar dalam mencari kayu tropis. Papua juga menjadi wilayah utama operasi mafia kayu internasional. Hutan Papua telah menjadi medan konflik antara kepentingan nasional dan local. Diperkirakan konflik-konflik ini pasti akan berlangsung dalam waktu panjang.
Sejak tahun 2001, Papua dibagi ke dalam beberapa kabupaten dalam rangka otonomi khusus. Segera setelah pembagian tersebut, banyak perusahaan kayu memasuki Papua. tahun 2001, Departemen Kehutanan mensahkan konsesi penebangan (HPH, Hak Pengusahaan Hutan) kepada 54 perusahaan baru. Perusahaan-perusahaan tersebut membagi-bagi Papua dibawah sepengetahuan mereka sendiri. Mereka bersama-sama menguasai sepertiga dari luas total wilayah Papua. Menurut data pemerintah, HPH lebih dari 14 juta hektar dialokasikan kepada perusahaan kayu: diantarnya di daerah Kepala Burung, di wilayah sekitar Teluk Bintuni, di wilayah Utara, dan di wilayah Selatan di kabupaten Boven Digul dan Mappi. Pengecualian berlaku hanya di daerah daratan tinggi. Hampir satu juta hektar berada di tangan industri kertas, dan lebih dari setengah juta hektar milik perusahaan perkebunan. Ditambah lagi ada beberapa konsesi untuk pertambangan. (lihat juga peta HPH di http://www.papuaweb.org/gb/peta/fwi/05.jpg).
Izin konsesi lahan menunjukan bahwa untuk Industri kayu (HPH), 14.410.351 ha; Industri kertas (HTI), 916.397 ha; dan Perkebunan (HGU), 570.497 ha.
Hal ini menunjukkan bahwa tanah dan hutan Papua dibagi-bagi seperti ‘kue, atas nama pembangunan. Pertanyaannya adalah, masyarakat adat pemilik hak itu dapat apa dari ‘kue’ yang dibagi-bagi itu? Pembagian “Kue Papua” berdasarkan HPH mempunyai beberapa dampak yang tak diinginkan. Dalam periode 2001 sampai 2008, jadi hanya dalam waktu tujuh tahun, penebangan sah oleh HPH meningkat sekitar sepuluh kali lipat. Karena izin HPH pada umumnya yang mendasari tindakan penyalahgunaan, maka penebangan liar juga telah meningkat drastis, hingga 90%; tidak ada daerah lain di Indonesia dengan prosentase yang begitu tinggi. Karena itu, impor kayu tropis liar dari Indonesia sumbernya adalah Papua. Jika hutan Papua yang mempunyai keanekaragaman hayati luar biasa dan unik terus-menerus dimusnahkan dengan begitu pesat, maka punahnya hutan dalam beberapa tahun mendatang menjadi jelas.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, penebangan hutan telah merubah kehidupan masyarakat adat dalam waktu sangat singkat. Masyarakat kehilangan hutan, sekaligus kehilangan akses pemanfaatan sumber-sumber daya, yaitu sagu, akar-akaran, binatang buruan, dan tanaman serat.
Perkebunan Sawit
Meledaknya bahan bakar agrofuels menyebabkan meluasnya ekspansi perkebunan secara besar-besaran. Hutan tropis di Papua hampir tak mempunyai kesempatan untuk bertahan, karena muncul ancaman baru yakni minyak sawit. Pemerintah Indonesia bereaksi atas kebutuhan energi dunia dengan perencanaan 20 juta hektar perkebunan sawit. Papua berkenan menyediakan tujuh juta hektar. Ini bisa berarti bahwa 9,3 juta hektar hutan konversi diperuntukkan bagi perkebunan. Perjanjian pertama untuk perkebunan besar-besaran termasuk infrastruktur terkait telah ditandatangani pada bulan Januari 2007. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dibilang menekan Papua agar rencana dari Jakarta diterima. Artinya, demi biofuel menurut keinginan Jakarta, Papua harus takluk.
Di Papua terdapat beberapa perkebunan yang sudah lama ada di daerah tersebut. Perkebunan sawit yang lebih besar dan yang “produktif” saat kini hanya terdapat di wilayah dekat Jayapura (Lereh, Arso) dan Boven Digul (Korindo), semua wilayah tersebut memiliki produksi yang sangat rendah. Pengalaman dengan perkebunan tersebut adalah pengalaman yang memprihatikan. Sepuluh kali lebih banyak hutan yang ditebang dari pada yang ditanam dengan kelapa sawit. Dampak negatif lainnya adalah banjir di Lereh, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Arso dan di perkebunan Korindo di Boven Digul, masyarakat adat kehilangan tempat pemburuan. Hal ini mengakibatkan peningkatan kemiskinan, penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi, dan kelaparan. Juga stres dan trauma berkepanjangan akibat masyarakat tak berdaya di hadapan kekuasaan pemerintah Indonesia.
Adanya kaitan erat antara perekonomian perkebunan dan penggundulan hutan untuk lahan perkebunan, hutan harus ditebang habis dan sisanya seperti akar-akaran dimusnahkan dengan api. Tak hanya di Papua, juga di Kalimantan dan Sumatra perusahaan kelapa sawit memiliki lahan jauh lebih banyak dari pada lahan yang ditanami. Pada Januari 2007, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian pertama yang besar dan relevan untuk Papua. Perusahaan Indonesia Sinar Mas Grup akan mengelola satu juta hektar perkebunan sawit, perusahaan minyak nasional asal Cina CNOOC akan membangun infrastruktur yang diperlukan.
Media Indonesia menyebutkan salah satu donatur proyek ini adalah KFW dari Jerman (Kreditanstalt für Wiederaufbau - bank negara/IBRA) atau anak perusahaanya swasta yaitu DEG sebagai donor. Sementara itu, perealisasian proyek tersebut goyang. DEG sepertinya telah memundurkan diri dari proyek tersebut, dan Sinar Mas mengakui adanya “risiko”. Namun demikian, Jakarta melakukan tekanan yang kuat terhadap Papua supaya menerima maksud dari ekspansi. Di sisi lain perusahaan-perusahaan mempunyai ketertarikan atas bisnis yang menguntungkan pihaknya ini dan sibuk bernegosiasi pada semua tingkatan:dengan para gubernur dan dengan bupati masing-masing. Perkebunan secara besar direncanakan di Pantai Utara (Sarmi, Jayapura), di daerah Kepala Burung (Manokwari, Sorong) dan di tiga Kabupaten di daerah Selatan: Merauke, Boven Digul, dan Mappi. Di bagian Selatan saja, tiga juta hektar perkebunan sawit akan didirikan, termasuk Merauke dengan 1,3 juta hektar.
Hutan Papua akan dikonversi menjadi perkebunan. Konglomerat international telah bersiap di sekitar wilayah setempat, Perjanjian pada tiga tingkatan: negara, provinsi, kabupaten sudah tentu ada untuk “pembiayaan infrastruktur” dengan alasan meningkatkan akses kemudahan di bagian Utara: Sarmi, Jayapura; Selatan: Boven Digul,
Mappi, Merauke dan Barat: Sorong, Manokwari. Perencanaan muncul pada ‘meja hijau hutan belantara’, seperti digambaran dengan penggaris begitu saja di atas kertas. Perusahaan sawit berada disekitar wilayah sejak Mei 2007 dan mencoba mempengaruhi para pengambil keputusan di bidang politik dan juga gereja, dengan menjanjikan akan memberikan investasi di bidang pendidikan dan infrastruktur.
Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa perusahaan telah berhasil memperoleh hak atas puluhan ribu hektar tanah. Masyarakat tak mempunyai hak atas partisipasi. Ternyata, kebanyakan dari mereka tak mengetahui apa yang akan menimpa mereka. Namun sebagian dari mereka menolak hilangnya hutan dan hak atas tanah mereka .
Masih dipertanyakan, apakah perkebunan besar-besaran ini bisa direalisasikan sesuai dengan yang direncanakan. Pihak perusahaan juga mengetahui bahwa investasi di bidang agro-industri yang belum layak di sebuah wilayah dengan infrastruktur yang buruk dan bahaya keamanan serta politik yang tinggi menggambarkan adanya sebuah resiko perekonomian. Namun satu yang pasti bahwa pembagain “kue” hutan harapan terakhir di Asia, terutama di Indonesia telah berlangsung di Tanah Papua. Tanah milik orang adat Papua itu telah terancam, termasuk orang adatnya sendiri.*
(*) Sekretariat Watch Indonesia. Plannufer 92 Strasse, Berlin-Germany.
sumber: www.tabloidjubi.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya