Oleh: Mochtar Buchori
Saya pernah punya harapan yang sangat kuat—hampir berupa sebuah keyakinan—bahwa sebelum akhirnya dipanggil Tuhan, saya masih akan sempat menikmati hidup di alam Indonesia yang bernapaskan keadilan dan kemanusiaan. Harapan ini bekerja sebagai toksin dalam hidup saya.
Pecahnya kontroversi dalam masyarakat tentang kriminalisasi Bibit dan Chandra, dan debat publik yang bertele-tele mengenai hal ini, membuat harapan itu luluh lantak. Yang paling menyakitkan hati saya ialah pernyataan beberapa pejabat penegak hukum bahwa rasa keadilan masyarakat yang terusik bukanlah hal yang penting. Yang paling penting ialah ada-tidaknya fakta hukum dalam suatu kasus.
Pernyataan ini bagi saya berarti bahwa kita hidup dalam suatu sistem hukum yang tidak berpihak kepada rakyat. Kita hidup dalam sistem hukum yang tak memberikan ruang gerak kepada rasa keadilan yang hidup dalam hati rakyat.
Hati saya betul-betul hancur mendengar pernyataan ini. Saya berumur 84 tahun. Rasanya tidak sanggup lagi saya hidup dalam masyarakat di mana rasa keadilan masyarakat terus diinjak-injak. Untuk apa hidup lebih lama kalau setiap hari harus mengalami penderitaan batin? Hidup panjang tidak akan terasa lagi sebagai karunia Tuhan yang harus disyukuri. Hidup lalu akan lebih terasa sebagai kutukan Tuhan. Saya lalu ingat ungkapan Inggris klasik: ”Long life can either be a blessing or a curse.”
Harus terus diperjuangkan
Untunglah periode yang menyakitkan hati ini tidak berlangsung terlalu lama. Munculnya ”kelompok cicak” yang berani melawan ”kelompok buaya”, simpati masyarakat yang muncul secara spontan mendukung ”kelompok cicak”, pembentukan ”Tim 8” dan kegiatan pencarian fakta mereka hingga keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merehabilitasi Bibit-Chandra; perkembangan-perkembangan ini membangkitkan kembali keyakinan saya bahwa bangsa Indonesia akhirnya akan mampu mengembangkan masyarakat yang bernapaskan keadilan dan peri kemanusiaan. Hanya saja pandangan ini sekarang tidak lagi saya rasakan sebagai suatu keniscayaan, melainkan sebagai suatu idealisme yang harus diperjuangkan terus-menerus.
Mengapa terjadi kesenjangan yang begitu besar antara masyarakat dan lembaga-lembaga penegak hukum mengenai hakikat ”keadilan” dan ”peri kemanusiaan”? Dalam pandangan saya, ada dua sebab utama.
Pertama, perbedaan konseptual dan, kedua, perbedaan posisional. Secara konseptual, masyarakat merasakan adanya keadilan atau tidak berdasarkan common sense, yaitu pemahaman yang hidup dalam masyarakat tentang hal yang abstrak ini. Petugas-petugas penegak hukum pada lain pihak mendasarkan pemahaman mereka tentang makna ”keadilan”, ”kebenaran”, dan ”kepentingan umum” atas rumusan-rumusan legalistik yang terdapat dalam berbagai undang-undang.
Secara posisional, masyarakat dan petugas penegak hukum sering berdiri pada pihak yang berlawanan. Apabila terjadi sengketa hukum. masyarakat merupakan pihak yang menjadi sasaran penegakan hukum, sedangkan petugas penegak hukum merasa menjadi pihak yang harus melaksanakan hukum. Apabila sebuah kampung harus dibongkar untuk mendirikan pusat pertokoan, misalnya, maka penduduk kampung menjadi sasaran, sedangkan penegak hukum menjadi eksekutor mewakili pemegang kekuasaan. Konflik pun tidak terelakkan.
Reformasi kultural
Mendambakan birokrasi yang mampu dan bersedia menerima norma-norma masyarakat tentang keadilan, peri kemanusiaan, dan sebagainya berarti menghendaki terjadinya reformasi kultural (cultural reform) dalam masyarakat dan bukan sekadar menantikan terjadinya reformasi birokrasi. Ini menghendaki usaha yang lebih sungguh-sungguh dan waktu yang lebih lama.
Sebagai contoh dapat disebutkan: reformasi birokrasi Jepang melalui Restorasi Meiji butuh waktu 46 tahun (1868-1912). Ini kemudian disambung dengan Reformasi untuk membentuk Birokrasi Demokratis. Ini berlangsung dari 1945-1947. Namun, hasilnya ialah demokrasi yang ”jatuh-bangun”, yang ditandai pergantian pemerintahan yang terlampau sering.
Reformasi birokrasi Turki dimulai oleh Mustafa Kemal Attaturk pada tahun 1923, yaitu setelah ia diangkat menjadi presiden pertama Republik Turki I. Attaturk meninggal tahun 1938, meninggalkan reformasi yang belum selesai. Pekerjaan ini dilanjutkan oleh pengikut-pengikutnya. Namun, sampai sekarang dapat dikatakan bahwa reformasi birokrasi Turki belum seluruhnya selesai. Yang berhasil dimodernisasikan baru birokrasi militernya. Itu pun terjadi dengan kelemahan-kelemahan yang bersifat fundamental. Dua kali militer Turki bertindak anti-modern, yaitu melakukan perebutan kekuasaan. Ini terjadi pada tahun 1961 dan 1983.
Yang tidak banyak diketahui orang ialah modernisasi birokrasi di Swedia. Konon reformasi ini berlangsung selama 150 tahun. Dugaan saya ini terjadi dalam Abad XIX (mulai 1814) ketika Swedia mengalami ekspansi industri yang pesat serta liberalisasi pemerintahan.
Reformasi birokrasi yang berlandaskan reformasi kultural tidak akan terjadi apabila tidak ada dialog yang berkesinambungan antara elite kultural (termasuk elite intelektual) dan birokrasi. Sampai saat ini hal ini masih belum terjadi di negeri kita. Masing-masing pihak masih terkendala oleh prasangka serta harga diri. Pihak birokrasi terhambat arogansi kekuasaannya, sedangkan pihak kultural-intelektual dihambat oleh harga diri berlebihan, yang bersumber pada kemahiran menganalisis keruwetan-keruwetan.
Semoga generasi muda tidak meneruskan penyakit ini.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/08/0236470/pudarnya.sebuah.harapan
Mochtar Buchori Pendidik
Saya pernah punya harapan yang sangat kuat—hampir berupa sebuah keyakinan—bahwa sebelum akhirnya dipanggil Tuhan, saya masih akan sempat menikmati hidup di alam Indonesia yang bernapaskan keadilan dan kemanusiaan. Harapan ini bekerja sebagai toksin dalam hidup saya.
Pecahnya kontroversi dalam masyarakat tentang kriminalisasi Bibit dan Chandra, dan debat publik yang bertele-tele mengenai hal ini, membuat harapan itu luluh lantak. Yang paling menyakitkan hati saya ialah pernyataan beberapa pejabat penegak hukum bahwa rasa keadilan masyarakat yang terusik bukanlah hal yang penting. Yang paling penting ialah ada-tidaknya fakta hukum dalam suatu kasus.
Pernyataan ini bagi saya berarti bahwa kita hidup dalam suatu sistem hukum yang tidak berpihak kepada rakyat. Kita hidup dalam sistem hukum yang tak memberikan ruang gerak kepada rasa keadilan yang hidup dalam hati rakyat.
Hati saya betul-betul hancur mendengar pernyataan ini. Saya berumur 84 tahun. Rasanya tidak sanggup lagi saya hidup dalam masyarakat di mana rasa keadilan masyarakat terus diinjak-injak. Untuk apa hidup lebih lama kalau setiap hari harus mengalami penderitaan batin? Hidup panjang tidak akan terasa lagi sebagai karunia Tuhan yang harus disyukuri. Hidup lalu akan lebih terasa sebagai kutukan Tuhan. Saya lalu ingat ungkapan Inggris klasik: ”Long life can either be a blessing or a curse.”
Harus terus diperjuangkan
Untunglah periode yang menyakitkan hati ini tidak berlangsung terlalu lama. Munculnya ”kelompok cicak” yang berani melawan ”kelompok buaya”, simpati masyarakat yang muncul secara spontan mendukung ”kelompok cicak”, pembentukan ”Tim 8” dan kegiatan pencarian fakta mereka hingga keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merehabilitasi Bibit-Chandra; perkembangan-perkembangan ini membangkitkan kembali keyakinan saya bahwa bangsa Indonesia akhirnya akan mampu mengembangkan masyarakat yang bernapaskan keadilan dan peri kemanusiaan. Hanya saja pandangan ini sekarang tidak lagi saya rasakan sebagai suatu keniscayaan, melainkan sebagai suatu idealisme yang harus diperjuangkan terus-menerus.
Mengapa terjadi kesenjangan yang begitu besar antara masyarakat dan lembaga-lembaga penegak hukum mengenai hakikat ”keadilan” dan ”peri kemanusiaan”? Dalam pandangan saya, ada dua sebab utama.
Pertama, perbedaan konseptual dan, kedua, perbedaan posisional. Secara konseptual, masyarakat merasakan adanya keadilan atau tidak berdasarkan common sense, yaitu pemahaman yang hidup dalam masyarakat tentang hal yang abstrak ini. Petugas-petugas penegak hukum pada lain pihak mendasarkan pemahaman mereka tentang makna ”keadilan”, ”kebenaran”, dan ”kepentingan umum” atas rumusan-rumusan legalistik yang terdapat dalam berbagai undang-undang.
Secara posisional, masyarakat dan petugas penegak hukum sering berdiri pada pihak yang berlawanan. Apabila terjadi sengketa hukum. masyarakat merupakan pihak yang menjadi sasaran penegakan hukum, sedangkan petugas penegak hukum merasa menjadi pihak yang harus melaksanakan hukum. Apabila sebuah kampung harus dibongkar untuk mendirikan pusat pertokoan, misalnya, maka penduduk kampung menjadi sasaran, sedangkan penegak hukum menjadi eksekutor mewakili pemegang kekuasaan. Konflik pun tidak terelakkan.
Reformasi kultural
Mendambakan birokrasi yang mampu dan bersedia menerima norma-norma masyarakat tentang keadilan, peri kemanusiaan, dan sebagainya berarti menghendaki terjadinya reformasi kultural (cultural reform) dalam masyarakat dan bukan sekadar menantikan terjadinya reformasi birokrasi. Ini menghendaki usaha yang lebih sungguh-sungguh dan waktu yang lebih lama.
Sebagai contoh dapat disebutkan: reformasi birokrasi Jepang melalui Restorasi Meiji butuh waktu 46 tahun (1868-1912). Ini kemudian disambung dengan Reformasi untuk membentuk Birokrasi Demokratis. Ini berlangsung dari 1945-1947. Namun, hasilnya ialah demokrasi yang ”jatuh-bangun”, yang ditandai pergantian pemerintahan yang terlampau sering.
Reformasi birokrasi Turki dimulai oleh Mustafa Kemal Attaturk pada tahun 1923, yaitu setelah ia diangkat menjadi presiden pertama Republik Turki I. Attaturk meninggal tahun 1938, meninggalkan reformasi yang belum selesai. Pekerjaan ini dilanjutkan oleh pengikut-pengikutnya. Namun, sampai sekarang dapat dikatakan bahwa reformasi birokrasi Turki belum seluruhnya selesai. Yang berhasil dimodernisasikan baru birokrasi militernya. Itu pun terjadi dengan kelemahan-kelemahan yang bersifat fundamental. Dua kali militer Turki bertindak anti-modern, yaitu melakukan perebutan kekuasaan. Ini terjadi pada tahun 1961 dan 1983.
Yang tidak banyak diketahui orang ialah modernisasi birokrasi di Swedia. Konon reformasi ini berlangsung selama 150 tahun. Dugaan saya ini terjadi dalam Abad XIX (mulai 1814) ketika Swedia mengalami ekspansi industri yang pesat serta liberalisasi pemerintahan.
Reformasi birokrasi yang berlandaskan reformasi kultural tidak akan terjadi apabila tidak ada dialog yang berkesinambungan antara elite kultural (termasuk elite intelektual) dan birokrasi. Sampai saat ini hal ini masih belum terjadi di negeri kita. Masing-masing pihak masih terkendala oleh prasangka serta harga diri. Pihak birokrasi terhambat arogansi kekuasaannya, sedangkan pihak kultural-intelektual dihambat oleh harga diri berlebihan, yang bersumber pada kemahiran menganalisis keruwetan-keruwetan.
Semoga generasi muda tidak meneruskan penyakit ini.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/08/0236470/pudarnya.sebuah.harapan
Mochtar Buchori Pendidik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya