Oleh: Rhenald Kasali
BEBERAPA waktu lalu saya pernah menulis bahwa tahun ini tahun entrepreneur.Beberapa waktu lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga berbicara pentingnya mencetak usahawan-usahawan baru.
Para menteri, baik Menteri Pendidikan Nasional maupun Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, kemudian memasukkan hal ini dalam program 100 hari. Yang terakhir, majalah Entrepreneur yang terbit di Amerika Serikat dan menjadi acuan para entrepreneur global, pada edisi penutup 2009,ternyata juga menyebut 2010 sebagai The Year of Entrepreneur.
Entrepreneur Modern
Apa yang saya maksud tentu saja bukan sekadar entrepreneur jadi-jadian.Anda boleh saja punya usaha besar dan terkenal, tapi bagaimana profesionalisme dan keberlangsungannya? Harap dicatat, di negeri ini sudah ada 52,7 juta usaha kecil dan menengah yang menampung lebih dari 90 juta tenaga kerja. Tetapi kalau kita tengok ke dalam, sebagian besar usaha mereka adalah usaha yang dikelola secara asal-asalan, sekadar bisa menghidupi, dan sangat informal.
Itulah sebabnya mereka sulit tumbuh menjadi usaha kelas menengah dan akses terhadap permodalan terbatas. Mereka tidak bisa mendapatkan kredit, selain kredit mikro karena pencatatannya tidak ada dan akibatnya tidak bankable. Selain usaha-usaha itu harus modern, para pembuat kebijakan juga harus memikirkan cara menjadikan usaha-usaha itu unggul dan berdaya saing.Seperti yang kita lihat saat ini, saat negeri ini harus menjalankan kesepakatan perdagangan bebas (FTA) dengan negara-negara ASEAN dan China. Saat produk-produk buatan China menjadi “darling”bagi para UKM, maka satu per satu industri kita jatuh berguguran.
Membangun masyarakat entrepreneur atau entrepreneurial economy jelas bukan sekadar menambah daftar jumlah pelaku ekonomi. Kita tidak cukup melakukannya dengan membuka akses permodalan saja,melainkan juga perlu memodernkan dan menciptakan kekuatan-kekuatan baru yang berdaya saing tinggi. Di negara-negara industri, daya saing dibangun dengan policy economy yang memungkinkan pelaku usaha mampu bersaing secara sehat.Namun, di Indonesia ini pekerjaan rumahnya masih sangat banyak. Kita perlu iklim usaha yang benar-benar sehat, tapi kita juga perlu strategi.
Strategi keunggulan daya saing itu tidak bisa dibangun dengan infrastruktur dan investasi saja.Peran lokasi,industriindustri penopang, badan-badan riset dan dunia pendidikan akan sangat menentukan.Dalam strategi, peran-peran itu kita kelompokkan dalam apa yang disebut institute for collaborations. Itulah yang dilakukan oleh Malaysia, Thailand,Vietnam,dan kini dijalankan oleh Singapura, India, dan China.Namun itulah yang belum dijalankan di sini, di Filipina dan di Myanmar.
Entrepreneurial Economy
Di Amerika Serikat sendiri,gema entrepreneurial economymulai berbunyi keras. Setelah dilanda krisis, banyak orang kehilangan kepercayaan pada perusahaanperusahaan besar.Apalagi setelah banyak industrinya pindah ke China,kini ada banyak profesional muda beralih menjadi owner,menjalankan usahanya sendiri.
Henrik Fisker, 46, adalah contohnya. Mantan desainer kepala perusahaan automotif BMW dan Aston Martin ini sekarang mendirikan perusahaan automotif Fisker. Modalnya USD529 juta, didapat dari pinjaman yang diberikan Departemen Energi Amerika Serikat. Berbeda dengan Detroit yang mempekerjakan ribuan orang,Fisker hanya menampung 50 orang karyawan.Namun, di balik itu Fisker berhubungan dengan lebih dari 80 pemasok dari segala penjuru dunia. Diperkirakan tiga tahun lagi merek baru ini akan segera menyaingi mobil-mobil buatan General Motor. Selain Fisker, ada William Wang yang memperkenalkan televisi layar datar merek Vizio dan dalam tempo sekejap meraih penjualan sebesar USD1,9 miliar.
Wang cukup bekerja dengan 162 orang di California. Mike Michaud, yang usianya baru kepala dua namun baru saja dipecat oleh jaringan ritel elektronik Circuit City, dengan modal hanya USD5.000 kini berhasil dalam bisnis website TV Network.Dalam waktu singkat, mereka berhasil meraih penjualan di atas USD150.000 sebulan. Masih banyak lagi kisah menarik lainnya, sama seperti kita mendengarkan Hengky Eko, lulusan ITS dan UI yang berhasil memasarkan bakso malang melalui lebih dari 150 outlet di seluruh Indonesia, atau Syammahfuz Chazali yang berhasil mendapatkan order membuat batu bata dari kotoran sapi ke luar negeri,sampai Firmansyah Budi Prasetyo yang berhasil membangun sekitar 500 outletTelaKrezz.
Semua fakta-fakta ini menunjukkan entrepreneur hanya bisa eksis kalau pemerintahannya juga dibangun di atas konsep ekonomi entrepreneur. Entrepreneurial Economyadalah suatu konsep yang didasarkan oleh sistem yang memungkinkan para entrepreneur bergerak cepat, dengan biaya-biaya overhead yang rendah,berbasiskan struktur usaha kecil-menengah yang adaptif dan didukung industri-industri penopang yang lengkap serta pasokan SDM dari universitas-universitas atau SMK yang berkualitas. Itulah yang kita butuhkan untuk membangun daya saing ekonomi Indonesia dalam menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian ini.
Kita perlu negara yang sehat,yang para politisinya berpikir sehat. Negara tak boleh menjadi sumber ketidakpastian karena politisinya haus kekuasaan, senang berkelahi, berbeda pendapat asal-asalan, dan mudah menyimpan dendam.Kita perlu birokrasi yang profesional dan bekerja cepat. Tapi kita juga perlu strategi yang bisa dieksekusi. Itulah sumber kemenangan masa depan.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/295770/38/
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
BEBERAPA waktu lalu saya pernah menulis bahwa tahun ini tahun entrepreneur.Beberapa waktu lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga berbicara pentingnya mencetak usahawan-usahawan baru.
Para menteri, baik Menteri Pendidikan Nasional maupun Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, kemudian memasukkan hal ini dalam program 100 hari. Yang terakhir, majalah Entrepreneur yang terbit di Amerika Serikat dan menjadi acuan para entrepreneur global, pada edisi penutup 2009,ternyata juga menyebut 2010 sebagai The Year of Entrepreneur.
Entrepreneur Modern
Apa yang saya maksud tentu saja bukan sekadar entrepreneur jadi-jadian.Anda boleh saja punya usaha besar dan terkenal, tapi bagaimana profesionalisme dan keberlangsungannya? Harap dicatat, di negeri ini sudah ada 52,7 juta usaha kecil dan menengah yang menampung lebih dari 90 juta tenaga kerja. Tetapi kalau kita tengok ke dalam, sebagian besar usaha mereka adalah usaha yang dikelola secara asal-asalan, sekadar bisa menghidupi, dan sangat informal.
Itulah sebabnya mereka sulit tumbuh menjadi usaha kelas menengah dan akses terhadap permodalan terbatas. Mereka tidak bisa mendapatkan kredit, selain kredit mikro karena pencatatannya tidak ada dan akibatnya tidak bankable. Selain usaha-usaha itu harus modern, para pembuat kebijakan juga harus memikirkan cara menjadikan usaha-usaha itu unggul dan berdaya saing.Seperti yang kita lihat saat ini, saat negeri ini harus menjalankan kesepakatan perdagangan bebas (FTA) dengan negara-negara ASEAN dan China. Saat produk-produk buatan China menjadi “darling”bagi para UKM, maka satu per satu industri kita jatuh berguguran.
Membangun masyarakat entrepreneur atau entrepreneurial economy jelas bukan sekadar menambah daftar jumlah pelaku ekonomi. Kita tidak cukup melakukannya dengan membuka akses permodalan saja,melainkan juga perlu memodernkan dan menciptakan kekuatan-kekuatan baru yang berdaya saing tinggi. Di negara-negara industri, daya saing dibangun dengan policy economy yang memungkinkan pelaku usaha mampu bersaing secara sehat.Namun, di Indonesia ini pekerjaan rumahnya masih sangat banyak. Kita perlu iklim usaha yang benar-benar sehat, tapi kita juga perlu strategi.
Strategi keunggulan daya saing itu tidak bisa dibangun dengan infrastruktur dan investasi saja.Peran lokasi,industriindustri penopang, badan-badan riset dan dunia pendidikan akan sangat menentukan.Dalam strategi, peran-peran itu kita kelompokkan dalam apa yang disebut institute for collaborations. Itulah yang dilakukan oleh Malaysia, Thailand,Vietnam,dan kini dijalankan oleh Singapura, India, dan China.Namun itulah yang belum dijalankan di sini, di Filipina dan di Myanmar.
Entrepreneurial Economy
Di Amerika Serikat sendiri,gema entrepreneurial economymulai berbunyi keras. Setelah dilanda krisis, banyak orang kehilangan kepercayaan pada perusahaanperusahaan besar.Apalagi setelah banyak industrinya pindah ke China,kini ada banyak profesional muda beralih menjadi owner,menjalankan usahanya sendiri.
Henrik Fisker, 46, adalah contohnya. Mantan desainer kepala perusahaan automotif BMW dan Aston Martin ini sekarang mendirikan perusahaan automotif Fisker. Modalnya USD529 juta, didapat dari pinjaman yang diberikan Departemen Energi Amerika Serikat. Berbeda dengan Detroit yang mempekerjakan ribuan orang,Fisker hanya menampung 50 orang karyawan.Namun, di balik itu Fisker berhubungan dengan lebih dari 80 pemasok dari segala penjuru dunia. Diperkirakan tiga tahun lagi merek baru ini akan segera menyaingi mobil-mobil buatan General Motor. Selain Fisker, ada William Wang yang memperkenalkan televisi layar datar merek Vizio dan dalam tempo sekejap meraih penjualan sebesar USD1,9 miliar.
Wang cukup bekerja dengan 162 orang di California. Mike Michaud, yang usianya baru kepala dua namun baru saja dipecat oleh jaringan ritel elektronik Circuit City, dengan modal hanya USD5.000 kini berhasil dalam bisnis website TV Network.Dalam waktu singkat, mereka berhasil meraih penjualan di atas USD150.000 sebulan. Masih banyak lagi kisah menarik lainnya, sama seperti kita mendengarkan Hengky Eko, lulusan ITS dan UI yang berhasil memasarkan bakso malang melalui lebih dari 150 outlet di seluruh Indonesia, atau Syammahfuz Chazali yang berhasil mendapatkan order membuat batu bata dari kotoran sapi ke luar negeri,sampai Firmansyah Budi Prasetyo yang berhasil membangun sekitar 500 outletTelaKrezz.
Semua fakta-fakta ini menunjukkan entrepreneur hanya bisa eksis kalau pemerintahannya juga dibangun di atas konsep ekonomi entrepreneur. Entrepreneurial Economyadalah suatu konsep yang didasarkan oleh sistem yang memungkinkan para entrepreneur bergerak cepat, dengan biaya-biaya overhead yang rendah,berbasiskan struktur usaha kecil-menengah yang adaptif dan didukung industri-industri penopang yang lengkap serta pasokan SDM dari universitas-universitas atau SMK yang berkualitas. Itulah yang kita butuhkan untuk membangun daya saing ekonomi Indonesia dalam menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian ini.
Kita perlu negara yang sehat,yang para politisinya berpikir sehat. Negara tak boleh menjadi sumber ketidakpastian karena politisinya haus kekuasaan, senang berkelahi, berbeda pendapat asal-asalan, dan mudah menyimpan dendam.Kita perlu birokrasi yang profesional dan bekerja cepat. Tapi kita juga perlu strategi yang bisa dieksekusi. Itulah sumber kemenangan masa depan.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/295770/38/
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya