Oleh: Revrisond Baswir
Masalah utang kembali mencuat menjadi isu besar. Pemicunya adalah membengkaknya volume utang pemerintah dari Rp1.275 triliun pada akhir 2004, menjadi Rp1.704 triliun saat ini.
Artinya, 5 tahun terakhir, utang pemerintah meningkat rata-rata Rp97 triliun per tahun. Jika disimak berdasarkan jenisnya, peningkatan terbesar terjadi pada utang dalam negeri. Utang luar negeri, yang pada 2004 berjumlah Rp637 triliun, belakangan naik menjadi Rp732 triliun. Utang dalam negeri, yang pada 2004 berjumlah Rp662 triliun, meningkat menjadi Rp973 triliun.
Padahal, utang dalam negeri adalah utang mahal. Artinya, bunganya lebih tinggi daripada bunga utang luar negeri. Akibatnya, beban pembayaran bunga utang di APBN cenderung membengkak. Jika dalam APBN 2004 beban pembayaran bunga utang berjumlah Rp65 triliun, dalam APBN 2009 membengkak menjadi Rp110 triliun.
Yang menarik untuk disimak adalah sikap pemerintah. Walaupun secara nominal volume utang pemerintah meningkat gila-gilaan, pemerintah cenderung menganggap hal itu sebagai hal yang biasa-biasa saja. Bahkan pemerintah cenderung menepuk dada.
Menurut pemerintah, sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang perlu disimak bukanlah jumlah utang secara nominal, melainkan perkembangannya secara relatif terhadap masa lalu dan terhadap negara-negara lain.
Menurut hitungan pemerintah, perbandingan antara utang pemerintah dan Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2004 mencapai 57%. Saat ini, walaupun volume utang meningkat menjadi Rp1.704 triliun, tetapi volume PDB juga meningkat menjadi sekitar Rp5.295 triliun. Akibatnya, perbandingan utang dan PDB turun menjadi 32%.
Demikian halnya jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Jika dilihat berdasarkan perbandingan volume utang terhadap PDB, situasi Indonesia lebih baik daripada AS, Jepang, dan Inggris. Volume utang AS, Jepang, dan Inggris terhadap PDB mereka masing-masing adalah 202%, 68%, 50%.
Jika dilihat berdasarkan perbandingan volume pembayaran bunga utang terhadap PDB, situasi Indonesia lebih baik daripada Turki dan Filipina. Beban pembayaran bunga utang Indonesia terhadap PDB hanya sekitar 2,1% sedangkan di Turki dan Filipina, angkanya jauh lebih besar.
Sepintas lalu, argumen pemerintah memang tampak masuk akal. Namun, apabila disimak lebih jauh, dengan mudah dapat diketahui bahwa kesalahan terbesar pemerintah terletak pada pendekatan yang digunakannya dalam memahami persoalan utang.
Dalam pandangan pemerintah, persoalan utang cenderung direduksi menjadi persoalan keuangan dan manajemen belaka. Dengan cara itu, pemerintah tidak hanya menyamakan utang pemerintah dengan utang perusahaan dan utang perseorangan, tetapi juga cenderung mereduksi keberadaan pemerintah sebagai institusi politik yang, tidak dapat tidak, wajib mempertanggungjawabkan semua keputusan politiknya kepada rakyat.
Sebagaimana diketahui, utang pemerintah tidak hanya berkaitan dengan hubungan antarnegara, tetapi berkaitan pula dengan hubungan antara Indonesia dengan lembaga-lembaga keuangan multilateral, dan dengan para investor mancanegara. Sebab itu, alih-alih mereduksinya sebagai masalah keuangan dan manajemen, masalah utang pemerintah terutama harus didekati berdasarkan konsekuensi ekonomi-politiknya.
Sebagai misal, mengenai hubungan antara Indonesia dan AS, Jepang, serta Inggris. Walaupun ketiga negara tersebut memiliki persoalan utang masing-masing, tetapi ketiganya tidak berutang kepada Indonesia. Indonesia lah yang berutang kepada ketiga negara itu. Akibatnya, sebagai kreditur, negara-negara itulah yang berpeluang mendikte Indonesia. Sebagai debitur, sekadar untuk menyatakan ‘tidak’ pun Indonesia sulit melakukannya.
Demikian halnya dengan hubungan antara Indonesia dan IMF, Bank Dunia serta ADB. Hak suara AS, Jepang, dan Inggris pada lembaga-lembaga tersebut jauh lebih besar daripada Indonesia.
Akibatnya, sebagai kreditur, ketiga negara itulah yang berpeluang memperalat lembaga-lembaga tersebut untuk mendikte Indonesia. Sebagai debitur, Indonesia terpaksa bersikap ramah terhadap lembaga-lembaga tersebut.
Bagaimana halnya dengan hubungan Indonesia dengan para investor mancanegara? Sudah menjadi pengetahuan umum, modal asing yang dipakai para investor itu untuk membeli surat utang pemerintah, dapat berpindah dengan mudah ke negara lain.
Akibatnya, untuk mempertahankan rating utang Indonesia, pemerintah terpaksa bersikap ramah kepada para investor, termasuk dengan menawarkan suku bunga tinggi.
Yang paling konyol adalah perbandingan Indonesia dengan Turki dan Filipina. Turki sedang dalam perawatan IMF, sedangkan Filipina, selama ini dikenal sebagai contoh negara gagal. Membandingkan Indonesia dengan kedua negara tersebut tidak memiliki makna apa-apa, kecuali kita memang ingin mengikuti jejak mereka.
Kesimpulannya sangat sederhana. Pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana diperintahkan AS, Inggris, Jepang, IMF, Bank Dunia, dan ADB, serta pengorbanan rakyat banyak demi keramahtamahan kepada para investor asing, tampaknya tidak dilihat oleh pemerintah sebagai masalah yang berkaitan dengan persoalan utang.
Penyebabnya bisa macam-macam. Di satu sisi, pemerintah mungkin tidak berdaya, tetapi tidak mau mengakui ketidakberdayaan tersebut secara terus terang.
Di sisi lain, pemerintah sendiri memang ‘mengimani’ pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana telah berlangsung satu dekade belakang ini. Jika yang terakhir ini yang benar, saya bisa maklum.
URL Source:http://www.bisnis.com/servlet/page_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL
Revrisond Baswir
Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM
Masalah utang kembali mencuat menjadi isu besar. Pemicunya adalah membengkaknya volume utang pemerintah dari Rp1.275 triliun pada akhir 2004, menjadi Rp1.704 triliun saat ini.
Artinya, 5 tahun terakhir, utang pemerintah meningkat rata-rata Rp97 triliun per tahun. Jika disimak berdasarkan jenisnya, peningkatan terbesar terjadi pada utang dalam negeri. Utang luar negeri, yang pada 2004 berjumlah Rp637 triliun, belakangan naik menjadi Rp732 triliun. Utang dalam negeri, yang pada 2004 berjumlah Rp662 triliun, meningkat menjadi Rp973 triliun.
Padahal, utang dalam negeri adalah utang mahal. Artinya, bunganya lebih tinggi daripada bunga utang luar negeri. Akibatnya, beban pembayaran bunga utang di APBN cenderung membengkak. Jika dalam APBN 2004 beban pembayaran bunga utang berjumlah Rp65 triliun, dalam APBN 2009 membengkak menjadi Rp110 triliun.
Yang menarik untuk disimak adalah sikap pemerintah. Walaupun secara nominal volume utang pemerintah meningkat gila-gilaan, pemerintah cenderung menganggap hal itu sebagai hal yang biasa-biasa saja. Bahkan pemerintah cenderung menepuk dada.
Menurut pemerintah, sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang perlu disimak bukanlah jumlah utang secara nominal, melainkan perkembangannya secara relatif terhadap masa lalu dan terhadap negara-negara lain.
Menurut hitungan pemerintah, perbandingan antara utang pemerintah dan Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2004 mencapai 57%. Saat ini, walaupun volume utang meningkat menjadi Rp1.704 triliun, tetapi volume PDB juga meningkat menjadi sekitar Rp5.295 triliun. Akibatnya, perbandingan utang dan PDB turun menjadi 32%.
Demikian halnya jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Jika dilihat berdasarkan perbandingan volume utang terhadap PDB, situasi Indonesia lebih baik daripada AS, Jepang, dan Inggris. Volume utang AS, Jepang, dan Inggris terhadap PDB mereka masing-masing adalah 202%, 68%, 50%.
Jika dilihat berdasarkan perbandingan volume pembayaran bunga utang terhadap PDB, situasi Indonesia lebih baik daripada Turki dan Filipina. Beban pembayaran bunga utang Indonesia terhadap PDB hanya sekitar 2,1% sedangkan di Turki dan Filipina, angkanya jauh lebih besar.
Sepintas lalu, argumen pemerintah memang tampak masuk akal. Namun, apabila disimak lebih jauh, dengan mudah dapat diketahui bahwa kesalahan terbesar pemerintah terletak pada pendekatan yang digunakannya dalam memahami persoalan utang.
Dalam pandangan pemerintah, persoalan utang cenderung direduksi menjadi persoalan keuangan dan manajemen belaka. Dengan cara itu, pemerintah tidak hanya menyamakan utang pemerintah dengan utang perusahaan dan utang perseorangan, tetapi juga cenderung mereduksi keberadaan pemerintah sebagai institusi politik yang, tidak dapat tidak, wajib mempertanggungjawabkan semua keputusan politiknya kepada rakyat.
Sebagaimana diketahui, utang pemerintah tidak hanya berkaitan dengan hubungan antarnegara, tetapi berkaitan pula dengan hubungan antara Indonesia dengan lembaga-lembaga keuangan multilateral, dan dengan para investor mancanegara. Sebab itu, alih-alih mereduksinya sebagai masalah keuangan dan manajemen, masalah utang pemerintah terutama harus didekati berdasarkan konsekuensi ekonomi-politiknya.
Sebagai misal, mengenai hubungan antara Indonesia dan AS, Jepang, serta Inggris. Walaupun ketiga negara tersebut memiliki persoalan utang masing-masing, tetapi ketiganya tidak berutang kepada Indonesia. Indonesia lah yang berutang kepada ketiga negara itu. Akibatnya, sebagai kreditur, negara-negara itulah yang berpeluang mendikte Indonesia. Sebagai debitur, sekadar untuk menyatakan ‘tidak’ pun Indonesia sulit melakukannya.
Demikian halnya dengan hubungan antara Indonesia dan IMF, Bank Dunia serta ADB. Hak suara AS, Jepang, dan Inggris pada lembaga-lembaga tersebut jauh lebih besar daripada Indonesia.
Akibatnya, sebagai kreditur, ketiga negara itulah yang berpeluang memperalat lembaga-lembaga tersebut untuk mendikte Indonesia. Sebagai debitur, Indonesia terpaksa bersikap ramah terhadap lembaga-lembaga tersebut.
Bagaimana halnya dengan hubungan Indonesia dengan para investor mancanegara? Sudah menjadi pengetahuan umum, modal asing yang dipakai para investor itu untuk membeli surat utang pemerintah, dapat berpindah dengan mudah ke negara lain.
Akibatnya, untuk mempertahankan rating utang Indonesia, pemerintah terpaksa bersikap ramah kepada para investor, termasuk dengan menawarkan suku bunga tinggi.
Yang paling konyol adalah perbandingan Indonesia dengan Turki dan Filipina. Turki sedang dalam perawatan IMF, sedangkan Filipina, selama ini dikenal sebagai contoh negara gagal. Membandingkan Indonesia dengan kedua negara tersebut tidak memiliki makna apa-apa, kecuali kita memang ingin mengikuti jejak mereka.
Kesimpulannya sangat sederhana. Pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana diperintahkan AS, Inggris, Jepang, IMF, Bank Dunia, dan ADB, serta pengorbanan rakyat banyak demi keramahtamahan kepada para investor asing, tampaknya tidak dilihat oleh pemerintah sebagai masalah yang berkaitan dengan persoalan utang.
Penyebabnya bisa macam-macam. Di satu sisi, pemerintah mungkin tidak berdaya, tetapi tidak mau mengakui ketidakberdayaan tersebut secara terus terang.
Di sisi lain, pemerintah sendiri memang ‘mengimani’ pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana telah berlangsung satu dekade belakang ini. Jika yang terakhir ini yang benar, saya bisa maklum.
URL Source:http://www.bisnis.com/servlet/page_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL
Revrisond Baswir
Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya