Rabu, 29 Juli 2009

Ketahanan Pangan Peringatan Dini terhadap Dampak Terburuk El Nino

Oleh: Bustanul Arifin


Salah satu yang berbeda dari sikap pemerintah pada musim kering sekarang adalah pengakuan kekhawatiran terhadap penurunan produksi pangan. Masyarakat sebenarnya lebih senang jika pemerintah lebih realistis pada kekeringan ini sehingga banyak memberikan peringatan dini terhadap dampak terburuk dari musim kering.

Menteri Pertanian Anton Apriyantono mulai khawatir, kekeringan tahun ini membuat padi yang gagal panen makin luas. Produksi beras 2009 diperkirakan turun, walaupun sedikit, atau paling tidak sama dengan 2008 (Kompas, 25 Juli 2009).

Badan Pusat Statistik meramalkan produksi beras 2009 mencapai 62,6 juta ton gabah kering giling, atau meningkat 3,71 persen dari 60,3 juta ton produksi tahun 2008. Artinya, musim kering panjang tahun ini menghilangkan potensi kenaikan produksi 2,3 juta ton padi. Sesuatu yang tidak dapat dianggap enteng.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi musim kering tahun ini terjadi sampai Januari 2010, dan hampir semua wilayah Indonesia mengalami anomali cuaca yang merata.

International Research Institute for Climate and Society (IRI) Columbia University (New York) menyebutkan, peluang kekeringan pada Juli, Agustus, dan September (JAS) 2009 mencapai 82 persen. Variabel yang diukur dari ENSO Forecast (El-Nino Southern Oscillation) untuk daerah NINO 3.4 (Indonesia dan sekitarnya) tersebut masih tetap tinggi, berkisar 80 persen sampai dengan Februari, Maret, dan April 2010 (FMA 2010). Musim basah baru terjadi Maret, April, dan Mei 2010 (MAM 2010).

Fenomena perubahan iklim yang semakin menjadi-jadi pada dekade terakhir telah mengacaukan dan memundurkan musim hujan di Indonesia sehingga ancaman penurunan produksi pangan bukanlah mitos, apalagi dianggap bermotif politik.

Musim kering tahun ini serasa lebih menyengat karena bersamaan dengan dampak fenomena moda positif di Samudra Hindia, atau Indian Ocean Dipole. Konsep penelitian model variasi iklim yang dikembangkan Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (Jamstec) telah menjelaskan gejala cuaca abnormal, atau perubahan iklim global saat kekeringan hebat tahun 1997.

Minimnya uap air di atas Indonesia dan sekitarnya, karena fenomena anomali cuaca di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, menjadi catatan rekor buruk impor beras Indonesia, yakni 5,8 juta ton tahun 1998. Secara politis, saat itu terjadi transisi pemerintahan yang tidak mulus, dari Presiden Soeharto ke Presiden BJ Habibie.

Dengan peringatan dini kepada masyarakat, perumusan dan pelaksanaan strategi antisipasi dampak kekeringan yang memadai, Indonesia seharusnya terhindar dari kejadian buruk, seperti awal era reformasi.

Studi komprehensif dampak pemanasan global terhadap produksi pangan di beberapa daerah di Indonesia, dilakukan Handoko dan kawan-kawan (2008), juga memberikan peringatan keras tentang dampak sosial-ekonomi. Prediksi jangka panjang menunjukkan, kenaikan suhu udara dan kebutuhan air irigasi yang makin besar akan dirasakan di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, dan wilayah lain selain Jawa-Bali.

Kenaikan suhu yang bervariasi hingga tahun 2050 menyebabkan peningkatan kebutuhan air tanaman melalui evapotranspirasi sehingga akan mengurangi luas lahan yang dapat diirigasi. Singkatnya, Indonesia akan mengalami penurunan produktivitas padi sawah dan ladang 18,6–31,4 persen, jagung 9,6–17,6 persen, kedelai 13,8–24,2 persen, dan tebu 8,2–15,1 persen. Di provinsi-provinsi yang suhunya meningkat itu, produksi pangan strategis tersebut akan turun 10,5-19,9 persen.

Sulit dibayangkan dampak sosial-ekonomi-politik dari fenomena penurunan produksi pangan sampai 20 persen. Peringatan Nicholas Stern (2007) tentang dimensi sosial-ekonomi dari perubahan iklim ini perlu dicamkan baik-baik. Biaya dan risiko ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup tentang dampak kekeringan, atau pemanasan global, akan lebih besar dan lebih dahsyat dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan saat ini untuk mengantisipasi, adaptasi, dan mitigasi perubahan iklim global tersebut.

Dampak merata

Berhubung dampak kekeringan dan fenomena perubahan iklim global terhadap penurunan produksi pangan akan merata ke seluruh negeri, langkah kebijakannya pun wajib dilakukan segenap unsur birokrasi pemerintah dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, sampai tingkat desa dan kelurahan. Anggaplah proyek besar sosialisasi dan diseminasi peringatan dini dampak terburuk kekeringan ini merupakan kado perpisahan dari Kabinet Indonesia Bersatu kepada masyarakat.

Lembaran akhir pemerintahan ini perlu ditutup dengan lembaran manis, misalnya melaksanakan upaya-upaya konkret, seperti pertama, memperkuat cadangan pangan, misalnya dengan meningkatkan cadangan beras pemerintah sampai 1 juta ton (dari sekitar 526.000 ton saat ini), dan disiagakan di seluruh pelosok Tanah Air, memperbesar volume cadangan beras yang dikelola Bulog sampai 2,5-3 juta ton (dari 2,1 juta ton saat ini).

Pemerintah daerah juga perlu mewujudkan komitmen pengembangan cadangan pangan, sesuai hasil Konferensi Nasional dan Kesepakatan Gubernur dan Bupati/Wali Kota tentang Ketahanan Pangan akhir 2008. Para pengampu kepentingan lain di negeri ini seharusnya mampu memantau serta melakukan check and balance, bahwa ketahanan pangan adalah urusan wajib daerah, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan.

Kedua, mengerahkan birokrasi dan aparat pemerintah di pusat dan daerah untuk menyampaikan secara rinci rangkaian langkah peringatan dini, mulai dari teknis pola tanam pangan, langkah hemat air, dan pemanenan air setiap ada hujan, sampai pelestarian sumber air.

Ketiga, melakukan adaptasi perubahan iklim di sektor pertanian, misalnya dengan memasyarakatkan hasil-hasil studi jenis tanaman dan pola tanam yang hemat air, mencegah penurunan produksi pangan, merumuskan skema perlindungan petani produsen (dan konsumen) secara sistematis.

Jika program rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur irigasi tidak mampu dilakukan pemerintah saat ini, minimal tanda-tanda menuju langkah konkret telah dirumuskan rinci agar dapat dilaksanakan pada periode pemerintahan berikutnya.

Musim kering saat ini adalah momen paling tepat untuk menunjukkan langkah pengabdian kepada masyarakat, bukan lagi saling menyalahkan dan menyesali apa yang terjadi, apalagi membantah mentah-mentah.

URL Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/27/03234247/peringatan.dini.terhad.

Bustanul Arifin Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Unila; Ekonom Senior Indef; dan Professorial Fellow di InterCAFE-IPB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...