Oleh: Khudori
Pada tahun ini berarti kita menggelar pemilu presiden langsung yang kedua.Inilah salah satu buah reformasi yang patut disyukuri. Janji reformasi mengenai kebebasan sudah kita nikmati bersama.
Ada kebebasan pers, orang bebas mengkritik pemerintah, tak ada lagi yang dipenjarakan, dan kita bisa memilih pemimpin (presiden, gubernur, bupati dan DPR) langsung.Tetapi kebebasan yang membawa pembebasan dari persoalan sosial dan penderitaan tampaknya jauh panggang dari api.
Pertanyaannya, benarkah jalan yang telah kita tempuh hingga usia kita mencapai 64 tahun kemerdekaan, atau paling tidak kita telah menempuh 11 tahun reformasi? Jalan kebijakan yang kita tempuh tidak jelas. Identitas dan kemandirian nasional jadi pertanyaan besar.
Kalau bangsa-bangsa tetangga seperti Malaysia dan Singapura sudah menapak jalur yang benar, kita masih meraba-raba untuk menemukan jalur itu. Negara kesejahteraan sebagai cita-cita para pendiri republik ini masih menggantung bagai mimpi.Kemiskinan dan pengangguran masih berjubel. Akses pendidikan dan kesehatan yang memadai baru jadi milik segelintir warga.
Mayoritas warga hidup bagai marhaen, bahkan lebih buruk dari itu. Di saat negara lain, seperti Argentina, menendang resep Washington Consensus dengan membuka ekonomi seluas-luasnya lewat deregulasi, liberalisasi dan privatisasi, kita justru mengamini dan memeluknya erat-erat.
Ketika negara lain melindungi aset-aset strategis dan sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak dari caplokan pihak asing, kita justru bangga melepasnya ke investor asing. Kita menggelar karpet merah untuk itu.
Tengok betapa liberalnya UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal –sebagai pengganti UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA)—dengan peraturan turunannya (Perpres No 76 dan No 77/2007 tentang Bidang Usaha yangTerbuka danTertutup dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal).
Dalam perpres itu, mengutip Amien Rais (2008), Indonesia dijual habishabisan. Batas kepemilikan modal asing di sektor energi dan sumber daya mineral bisa mencapai 95%. Hal sama terjadi pada sektor pekerjaan umum, bahkan sektor pertanian.Yang tidak kalah mengerikan adalah kepemilikan asing hingga 49% di bidang usaha pendidikan di semua tingkatan.
Padahal, dalam undangundang lama, bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (pelabuhan, produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkit tenaga atom dan media) dinyatakan ”tertutup untuk PMA secara penguasaan penuh.”Dalam UU No 25/2007 asing diberi perlakuan istimewa. Padahal, di negara paling liberal pun selalu ada escape clausesebagai pengaman kepentingan domestik.
*** Emohnegara jadi mantra kaum elite, pejabat birokrasi, dan para cerdik pandai. Sentralisme ekonomi dibongkar dengan slogan kapitalisme kroni.Sebagai ganti, pasar bebas dianggap sebagai mekanisme dan lembaga sempurna yang bisa mengoreksi diri sendiri. Jika kemudian sektor-sektor strategis, sektor penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak kini lepas dari kuasa negara itu lumrah.
Migas, telekomunikasi, perbankan,listrik,air,pendidikan, pelayaran, kesehatan, bahkan ritel, diswastakan atau di tangan asing. Saya ingat kata Bung Hatta, perumus Pasal 33 UUD 45: “Sekarang jika negara kita diibaratkan rumah, genteng, pintu, semuanya dipreteli untuk dijual ke asing.”
Padahal, amanat konstitusi (Pasal 33 UUD 45) menekankan agar perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Sedangkan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Adalah amanat konstitusi pula bagi negara untuk menyediakan penghidupan yang layak bagi warga, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, akses pendidikan, dan hak dipelihara bagi fakir miskin dan anak-anak telantar. Rakyat juga berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, jaminan sosial,dan hak atas kebutuhan-kebutuhan dasar.
*** Jujur harus kita akui,selama ini kewajiban itu belum ditunaikan negara. Dengan memeluk erat-erat neoliberalisme, negara punya alasan sahih tidak terlibat dalam urusanurusan publik. Intervensi negara dalam berbagai sektor publik dianggap biang distorsi.Wujud paling konkret dari lepas tangan ini bisa ditelisik dari anggaran pembangunan sosial (human development).
Setelah krisis 1997, pembangunan manusia ”hilang” dalam fokus pembangunan pemerintah. Lihat saja, berbagai indikator sosial-ekonomi Indonesia belum juga membaik. HDI Indonesia berada di level 110, jauh di bawah Malaysia (59), dan Filipina (77). Kemiskinan (34,96 juta atau 15,4%) masih lebih tinggi sebelum krisis.
Bagaimana pembangunan manusia “hilang” di Indonesia? Sejak 1997 Indonesia memasuki era demokrasi. Kekuasaan satu partai atau satu orang ala Orde Baru berakhir.Multipartai jadi ciri khas zaman baru. Partai politik bersaing dalam pemilu, berebut kursi kekuasaan dan menentukan kebijakan pembangunan ekonomi.
Elite politik baru lahir.Politik pun jadi “wangi” karena arena selebritas dan reputasi sosial. Dulu, kantor Presiden dan Bappenas jadi pusat kekuasaan. Kini Gedung DPR di Senayan jadi bilik-bilik kuasa yang penting karena di sanalah anggaran, kebijakan, dan program pembangunan dibahas dan disetujui.
Di sanalah berbagai peraturan dan undang-undang dibuat, di sana pula arah negeri ini dirancang setiap periode lima tahunan. Di sanalah corak dan model pembangunan dirakit. Namun, persaingan politik di zaman demokrasi belum tentu menghasilkan kemakmuran dan pembangunan manusia yang baik. Ahli ilmu politik Inggris, Mick Moore dan James Putzel (2000), berpendapat, sistem politik demokratis tidak otomatis berpihak warga miskin.
Sistem demokrasi yang ditandai kompetisi politik, suara kaum miskin sering tak terwakili oleh aneka saluran politik yang ada.Juga suara kaum miskin, meski jumlah mereka besar,belum tentu jadi “penentu” programprogram partai politik. Apa DPR punya politik anggaran untuk mendukung pembangunan sosial? Belum.
Pembahasan anggaran bersifat searah: DPR hanya mengikuti irama gendang yang ditabuh pemerintah. Makanya, negara kesejahteraan akan jadi mimpi kita semua jika Indonesia gagal mengatasi dua kendala pokok (Bahagijo dan Triwibowo, 2006). Pertama, terlalu kecilnya anggaran belanja sosial.Perlu pembalikan prioritas anggaran, dari pembayaran utang ke belanja kesehatan, pendidikan, dan penciptaan lapangan kerja.
Kedua, membuat birokrasi yang andal dan bersih. Negara kesejahteraan memerlukan birokrasi seperti itu untuk mendukung kegiatan ekonomi dan menyediakan pelayanan umum yang luas dan bermutu. Pungutan liar, birokrasi berbelit, dan kebocoran dana-dana pajak dan nonpajak oleh koruptor akan menjauhkan Indonesia dari citacita mewujudkan negara kesejahteraan. Bisakah hasil pemilu presiden ini mewujudkan negara kesejahteraan? Saya rindu kehadirannya.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/258091/
Khudori
Pengamat Masalah
Sosial-Ekonomi Pertanian dan