Senin, 04 Agustus 2008

Saatnya UKM Bangkit

Selama ini, usaha kecil dan menengah (UKM) dan juga usaha mikro dikenal sebagai usaha yang tetap solid saat Indonesia mengalami krisis sejak tahun 1997. Meskipun demikian, bukan berarti selama krisis, UKM terus tumbuh pesat. Modal yang merupakan sarana vital perkembangan UKM tak bisa didapat lantaran perbankan lumpuh. Produksi tak bisa terserap karena menurunnya daya beli masyarakat

PADAHAL, UKM bisa dibilang sebagai motor penggerak perekonomian masyarakat. Apabila UKM banyak yang mati, perekonomian masyarakat akan melesu. Oleh sebab itulah, pemerintah saat ini mulai gencar mengembangkan kembali UKM, mulai dari pemberian kredit lunak sampai pemberian berbagai insentif. Apalagi saat ini, UKM merupakan salah satu kekuatan yang diandalkan untuk dapat bersaing sejak berlakunya Asean Free Trade Area (AFTA).

Hal ini tidaklah berlebihan, sebab produk-produk UKM seperti kerajinan tangan, furnitur, produk kayu, mainan, tekstil, dan kulit memiliki keunggulan komparatif dibandingkan produk negara lain. Keunggulan komparatif itu antara lain harga yang murah dan desain yang beragam serta unik.

Tahun 2003, yang dicanangkan sebagai tahun investasi oleh Presiden Megawati, juga tampaknya akan menjadi tahun kebangkitan UKM. Salah satu contohnya dapat dilihat di pameran Indonesia Expo 2003 yang diadakan di Jakarta, 5-9 Maret 2003. Indonesia Expo merupakan pameran berbagai produk-produk kerajinan yang dihasilkan UKM di seluruh Indonesia. Pameran ini bertujuan untuk mengenalkan produkproduk tersebut kepada pembeli dari luar negeri.

Presiden Indonesia Expo 2003 Dwi Karsonno mengatakan, jumlah UKM yang menjadi peserta meningkat 24 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Saat ini, pameran diikuti oleh 817 peserta, sementara tahun lalu hanya 657 peserta.

Tak hanya UKM yang berebut berpameran, pembeli dari luar negeri pun diperkirakan meningkat.

Inge Oktavia Arina, Kepala Hubungan Masyarakat Debindo, penyelengara Indonesia Expo menuturkan, jumlah pembeli yang datang kali ini diprediksi sebanyak 446 perusahaan dari 41 negara. "Tahun lalu, tidak sebesar ini," katanya.

"Ini membuktikan, sebenarnya pengusaha asing sangat antusias dengan produk-produk Indonesia. Mereka tetap suka, karena produk Indonesia lebih murah ketimbang negara lain dan produknya cukup variatif," kata Inge.

Perihal tingginya permintaan dari luar negeri juga disampaikan sejumlah pengusaha kecil dan menengah. Ayatullah Khumaini, perajin replika berbagai jenis sepeda, becak, dan kereta keraton yang terbuat dari bahan logam kuningan mengaku kewalahan melayani order dari luar negeri, seperti Belanda dan Belgia.

"Setiap bulan, permintaan replika sepeda saja mencapai 1.000 buah, bahkan lebih," kata dia. Sementara saat ini, Setara Handycraft, perusahaan yang dibangunnya baru memproduksi sebanyak 600 replika sepeda per bulan.

Padahal, selama ini Khumaini, belum memasarkan produknya secara sungguh-sungguh. Artinya, dia hanya meminta bantuan pedagang-pedagang perantara untuk menjual replika sepeda dan becak.

"Kami meminta bantuan teman-teman di Bali, Yogyakarta, dan Jakarta untuk memasarkan barang kepada orang asing," katanya.

Sebagai dampak terus bertambahnya permintaan, tentu saja secara otomatis jumlah karyawan juga terus meningkat. Awalnya di tahun 1997, cuma enam karyawan. Namun, saat ini sudah mencapai 24 orang.

Dengan berkembangnya usaha tersebut, Khumaini pun dilirik berbagai pihak, salah satunya Pertamina. Sejak bulan lalu, BUMN ini menawarkan bantuan berupa pelatihan manajemen, promosi, dan kredit lunak.

Menurut Khumaini, sampai saat ini, omzet perusahaan telah mencapai Rp 100 juta per bulan. Khumaini mengaku, untuk membuat replika sepeda dan becak tidak dibutuhkan bakat.

"Asal mau belajar sebentar, pasti bisa karena sebenarnya hanya dibutuhkan kepandaian mengelas dan mengecor kuningan," katanya.


TERBUKANYA peluang yang besar di luar negeri juga diutarakan pengusaha kain Batik Daud Wiryo Hadinagoro. Daud yang asal Yogya ini mengutarakan, banyak permintaan kain batik dari luar negeri, terutama dari Jepang.

Menurut dia, dalam sebulan permintaannya bisa 1.000 potong kain. "Tapi itu jelas tak bisa saya penuhi karena dalam sebulan saya hanya bisa mengerjakan sebanyak 100 kain," katanya.

Jenis batik yang dikerjakan Daud adalah batik hand made yang mengandalkan warnawarna alam yang berasal dari berbagai jenis kayu.

"Batik yang saya buat dikerjakan secara manual dan bukan produk massal. Jadi pembuatannya lebih lama," katanya.

Harga batik buatannya di Jepang sangat mahal. Satu potong kain batik bisa mencapai Rp 40 juta. Sementara di dalam negeri harganya hanya Rp 2 juta per potong. Dengan usaha itu Daud bisa memberdayakan sekitar 40 orang-orang "pinggiran".

Di bawah bimbingannya, orang-orang yang sebelumnya belum punya keterampilan, akhirnya ahli dalam membuat batik. "Orang luar negeri banyak yang tertarik dengan batik Indonesia karena memang buatan Indonesia lebih halus, warnanya lebih variatif, dan coraknya beragam," tuturnya.

Motif yang diangkat Daud dalam corak batiknya, sebenarnya hanya memindahkan realitas kehidupan masyarakat Indonesia, seperti gambar laut, pasar, dan hutan.

Banyak yang percaya, UKM bisa lebih bangkit, apabila pengusahanya sendiri lebih mengembangkan dirinya untuk lebih kreatif membuat desain. "Untuk keratif tidak perlu bakat, asalkan kita rajin melihatlihat, apa pun bisa dijadikan ide," kata Yonni H Soeharyo, perajin mozaik dan lampu kuningan asal Jakarta.

Yonni menambahkan, produk-produk lokal masih menang dalam segi harga karena tenaga kerja dan bahan baku masih sangat murah.

PUCUK dicinta ulam tiba. Mungkin arti dari pepatah ini cocok dengan kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mulai berebutan merangkul UKM. Dulu, UKM-UKM tidak jarang mendapat penolakan atau harus memenuhi persyaratan yang panjang, jika ingin mengajukan kredit untuk modal usaha ke BUMN.

Namun, sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan (SK Menkeu) Nomor 316 tahun 1994, tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi Melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba BUMN, maka BUMN-lah yang mulai "mencari" UKM untuk dibantu.


Warih Saeko, staf bidang Bina Usaha Kecil PT Pupuk Kalimantan Timur Tbk, yang ditemui saat Indonesia Expo 2003, di Jakarta, Kamis (6/3), bercerita, bagaimana dia mencari UKM yang dipandang berpotensi untuk berkembang.

"Di Kalimantan banyak rakyat miskin yang tidak memiliki pekerjaan, tapi punya keterampilan mengukir, yang diperoleh turun-temurun. Sayangnya, mereka tidak memiliki modal dan pengetahuan yang cukup untuk berusaha. Nah, Pupuk Kaltim memandang ini sebagai sesuatu yang patut dibantu dan dibina. Mulailah saya mencari usaha yang potensial sampai ke pedalaman-pedalaman" kata Warih.

Menurut Warih, jumlah pinjaman yang diberikan beragam, sesuai dengan keputusan menteri tersebut, tergantung pada besar kecilnya usaha. "Kisarannya antara Rp 5 juta sampai Rp 50 juta. Boleh tiga kali mengajukan pinjaman. Bunganya cukup ringan, tiga persen per tahun," kata Warih.

"Rakyat Kalimantan sebenarnya memiliki potensi untuk bertahan dan berkembang dari kerajinan tangan yang mereka buat. Mereka tidak terpengaruh oleh keadaan luar. Soalnya bahan baku mereka biasanya diperoleh dari daerahnya sendiri. Tidak mengimpor. Dengan demikian saat dollar AS naik, mereka tidak terpengaruh, tetap dapat berproduksi," tuturnya.

Warih menyatakan, usaha rakyat adalah jenis usaha yang terbukti relatif tangguh dalam menghadapi krisis, selain itu bisa terus berkembang dan diberdayakan.

Lihat saja uraian Ahmat Ali Syahdiar, pemilik usaha kerajinan kayu di Kalimantan Timur, tentang bagaimana PT Pupuk Kaltim telah membantu dirinya dalam mengembangkan usahanya.

"Dulu, saya hanya nelayan yang tinggal di pedalaman Kalimantan Timur. Terkadang saya memang membuat piring dari kayu untuk dijual. Lalu, suatu waktu ada orang dari Pupuk Kaltim yang tertarik dengan piring-piring yang saya buat," kata Ahmat.

Kemudian dengan pinjaman sebesar Rp 7 juta, Ahmat mulai mengembangkan usahanya. "Dulu yang mengerjakan ukiran piring hanya saya sendiri. Saya diajari oleh orang Pupuk Kaltim, bagaimana membuat ukiran yang saya buat terlihat lebih menarik. Soalnya, hasil yang saya buat waktu itu masih sangat kasar," ujarnya.

Lama-kelamaan, usaha Ahmat berkembang. Ia mulai memiliki anak buah untuk mengerjakan pesanan. "Yang dibuat juga tidak hanya piring, tetapi asbak, tempat buah, tameng, tempat payung, bangku, dan meja juga. Semua barang ini dibuat dengan tangan, tidak ada yang memakai mesin," kata Ahmat.

Perkembangan lainnya adalah jumlah produksi per hari yang semakin bertambah. Kalau dulu, waktu satu hari tidak cukup bagi Ahmat untuk menyelesaikan pembuatan satu piring kayu, saat ini, satu orang pekerjaannya bisa menyelesaikan tiga piring kayu dalam sehari.

Alhasil, jumlah pendapatan yang diperolehnya juga semakin bertambah. "Dulu pendapatan saya hanya Rp 10 juta sebulan, saat ini sudah mencapai Rp 15 sampai Rp 20 juta sebulan. Itu normalnya. Kalau ada pesanan dalam jumlah besar atau ukiran yang mahal, pendapatannya bisa lebih besar lagi. Kalau untung yang saya peroleh sekitar 30 persen dari pendapatan tersebut," ujarnya.

Ukiran yang dijual Ahmat memang beragam yang paling murah adalah piring seharga Rp 20.000. Sedangkan yang termahal adalah satu set bangku ukiran, termasuk mejanya, yang harganya bisa mencapai Rp 20 juta. "Banyak juga yang memesan aneh-aneh. Pernah ada yang memesan ukiran kayu untuk pintu garasi. Harganya bisa puluhan juta," kata Ahmat.

Ahmat mengakui, saat krisis ekonomi tahun 1997 lalu, penjualan ukiran kayu miliknya memang turun, bahkan pernah sebulan sama sekali tidak ada yang membeli. Namun, Ahmat berhasil membawa keluar usahanya ini dari kemelut.

"Waktu itu ada ibu dari Pertamina yang memesan ukiran kayu dalam jumlah besar. Ibu itu sangat tertarik dengan ukiran kayu yang saya buat. Dia juga yang menyarankan berbagai bentuk baru untuk saya buat. Nah, sejak itulah usaha saya bisa bangkit kembali. Mulai banyak yang membeli dan memesan. Saat ini pengerjaan ukiran kayu di tempat saya sudah dikerjakan oleh 14 orang," kata Ahmat.

Saat ditanya mengenai rencana masa depan, Ahmat mengatakan, bermimpi untuk dapat membangun sebuah rumah ukiran kayu khas Kalimantan. "Wah saya ingin bisa membangun rumah yang benar-benar menunjukkan kekhasan Kalimantan. Kan bisa jadi proyek besar tuh, Mbak," ujar Ahmat bersemangat.

Apa yang dialami oleh Ahmat sebagai mitra binaan BUMN juga dialami Sam Khuret, perajin tas, dompet, dan ikat pinggang dari kulit, di Tanggul Angin, Sidoarjo, Jawa Timur. Sam menyatakan beruntung diambil sebagai anak asuh oleh PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), Palembang.

"Soalnya, terus terang saya tidak mengerti mengenai bagaimana memanajemen perusahaan. Tanpa manajemen yang baik, saya menyadari usaha saya akan sangat sulit berkembang," kata Sam.

Bantuan modal yang diberikan oleh PT Pusri juga tidak bisa ditafikkan sebagai hal yang memicu majunya usaha Sam.

"Dengan modal, pembinaan, dan pengikutsertaan usaha saya dalam berbagai pameran oleh Pusri, saya berhasil memperoleh omzet Rp 30 juta sampai Rp 35 juta. Tapi, kalau lagi sepi, omzet yang saya peroleh memang hanya Rp 10 juta sampai Rp 14 juta. Kalau untungnya, paling 25 persen dari omzet," ujarnya.

Sebagai suatu pengalaman yang tidak terlupakan, Sam menceritakan, dulu pengusaha kecil di Tanggul Angin pernah ditipu oleh orang Nigeria, sampai puluhan juta rupiah. Saat ini, dengan dibinanya UKM dalam hal manajemen, Sam berharap penipuan tersebut tidak terulang lagi.

Ke depannya, masih banyak hal yang dibutuhkan oleh usaha kecil agar dapat bertahan dan menjadi jaring perekonomian yang kuat untuk menopang perekonomian Indonesia. BUMN, mungkin dapat menjadi harapan yang bisa membawa UKM ke arah keberhasilan, disamping usaha keras dari UKM itu sendiri tentunya. (b16/b15)

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/07/ekonomi/168713.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...