Jumat, 01 Agustus 2008

Krisis Kapitalisme Global

Oleh: Syamsul Hadi
--------------------------------------------------------------------------------

KTT G-8 di Toyako, Hokkaido, Jepang, yang baru saja berakhir terasa istimewa dengan kehadiran para pemimpin negara berkembang, seperti China, India, Meksiko, dan Indonesia.

Pernyataan di akhir KTT dapat dilihat sebagai bentuk positioning negara-negara industri maju atas isu-isu yang berkembang dalam skala global.

Menghadapi kenaikan harga minyak dunia, forum menyerukan dialog antara negara produsen dan konsumen guna menekan harga. Terkait krisis pangan, forum menegaskan, komunitas internasional perlu melakukan respons dan strategi yang terintegrasi guna mengatasi kelangkaan pangan, dengan program bantuan pangan dan peningkatan produktivitas pertanian. Perdebatan paling alot terjadi dalam isu perubahan iklim. Negara-negara G-8, terutama AS, menyatakan tidak bisa mencapai target pengurangan emisi 50 persen tahun 2050 jika negara berkembang yang ekonominya sedang tumbuh pesat tidak melakukan hal yang sama.

Krisis finansial
Perdebatan alot dalam isu perubahan iklim seolah ”menutup” perhatian atas masalah krusial lain, krisis finansial global yang berawal dari krisis subprime mortgage di AS. Pernyataan bersama G-8 memang menekankan komitmen untuk melakukan stabilisasi pasar finansial, tetapi tidak disinggung masalah melemahnya nilai dollar AS atas mata uang kuat lainnya (Kompas, 10/7). Padahal, ketidakmampuan AS untuk cepat mengatasi krisis subprime mortgage mendorong spekulan mengalihkan investasi ke komoditas pangan dan energi, yang mendorong naiknya harga pangan dan minyak dunia. Keterlibatan militer AS di Irak memperparah krisis energi.

Mantan spekulan George Soros menyatakan, krisis global saat ini akan cepat berakhir dengan syarat perekonomian, terutama pasar uang, diatur ketat (Kompas, 4/4). Di mata Soros, akar krisis saat ini adalah kekacauan di sektor finansial yang dimulai sejak 1980 saat Ronald Reagan dan Margareth Thatcher memelopori kampanye neoliberalisme di tingkat global.

Lemahnya posisi Pemerintah AS berhadapan dengan berbagai perusahaan hedge funds dan pengelola dana investasi untuk tujuan spekulasi telah diprediksi Susanne Soderberg. Dalam The Politics of the New International Financial Architecture (2004), Soderberg menggambarkan, hubungan Pemerintah AS dengan korporasi finansial yang berpusat di Wall Street adalah seperti hubungan Dr Frankenstein dan monster pintar ciptaannya.

Dengan mensponsori penerapan rumus-rumus neoliberal, Pemerintah AS menumbuhkan ”blok” kapitalis finansial yang menggurita di Wall Street, yang kemudian menjeratnya dalam ketidakberdayaan dan posisi serba salah akibat besarnya dominasi perekonomian mereka.

Pernyataan menteri keuangan G-8 yang bertemu di Osaka, Juni, juga tak menyinggung perlunya memperketat aturan main sektor finansial global. Pernyataan hanya menyebutkan, Financial innovation has contributed significantly to global growth and development, but in the light of risks to financial stability, it is imperative that transparency and risk awareness be enhanced. Poin tentang sistem finansial ada di bagian terakhir statement bersama dan paling pendek dibandingkan poin-poin pernyataan terkait harga komoditas, perubahan iklim, dan pembangunan Afrika.

Pertumbuhan tanpa batas?
Dalam konteks perubahan iklim, upaya Jepang membuka jalan bagi penyusunan traktat internasional baru menggantikan Protokol Kyoto yang habis masa berlakunya tahun 2012 pada KTT ini tidak berhasil. Memang dicapai ”komitmen umum” untuk pengurangan emisi pada tahun 2050, tetapi tidak dicapai kesepakatan tentang bagaimana target itu secara spesifik harus dicapai. Pernyataan G-8 hanya menyatakan, tiap anggota G-8 akan menyusun target masing-masing untuk periode jangka menengah setelah tahun 2012. Menanggapi hal ini, para pemimpin China, India, Brasil, Afrika Selatan, dan Meksiko membuat pernyataan bersama yang menolak kewajiban tiap negara mengurangi emisi 50 persen dengan menekankan kewajiban negara maju memulai langkah-langkah nyata ke arah itu.

Para aktivis lingkungan juga mengecam keengganan negara G-8, terutama AS, untuk memberi komitmen nyata dan mengikat terkait pemanasan global. Data Greenpeace International menunjukkan, meski hanya dihuni 13 persen populasi dunia, negara G-8 memproduksi 80 persen emisi di atmosfer dan 40 persen emisi CO>sub<2>res<>res<.

Komitmen ”samar-samar” yang diberikan G-8 dinilai tak sebanding dengan dampak perubahan iklim dan global warming yang menimbulkan dampak berantai berupa kekeringan dan bencana alam di dunia. Penurunan emisi karbon akan menurunkan pertumbuhan ekonomi, tetapi amat penting menjaga kelestarian alam dan penghidupan di bumi, yang memperburuk kualitasnya karena industrialisasi dan eksploitasi alam nyaris tanpa batas.

Perbedaan pendapat dalam isu pemanasan global menunjukkan dominasi berkelanjutan paradigma pembangunan pertumbuhan ekonomi atas paradigma pembangunan berwawasan lingkungan. Sulitnya menyatukan langkah dalam mengatasi aneka masalah serius dalam krisis global saat ini seakan membenarkan prediksi Karl Marx, ”krisis berkelanjutan” dalam sistem kapitalisme global senantiasa bersumber dari kecenderungan melakukan akumulasi kapital yang tak kenal batas.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/12/00434437/krisis.kapitalisme.glo


Syamsul Hadi
Pengajar Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...