Di sebuah negeri antah berantah, seorang wanita tua biasa duduk di gerbang sebuah kota untuk memperhatikan para pengelana yang lewat dan kadang-kadang berbicara dengan mereka.
Suatu malam seorang pengelana datang mendekat, ia terlihat kelelahan setelah melalui perjalanan yang berat. “Permisi”, katanya kepada wanita tua itu, “saya sedang mencari tempat untuk beristirahat. Dapat anda membantu saya dengan mengatakan seperti apa orang-orang di kota ini.” Wanita itu tersenyum dan menjawab pertanyaan tersebut dengan pertanyaan, ”Anda pasti telah melakukan perjalanan yang jauh. Anda pasti kelelahan dari manakah anda sebenarnya?”
Sedikit terkejut dengan pertanyaan tersebut, pengelana itu mengatakan kepada wanita itu nama kota asalnya, Utopia.
Wanita itu tertarik sehingga kemudian bertanya, ”Oh,” sambil tersenyum, ”seperti apakah orang-orang di Utopia?”
”Oh,” jawab pengelana itu, ”Anda pasti tidak percaya bagaimana buruknya orang-orang di Utopia. Mereka tidak peduli apakah kamu lapar atau haus. Mereka bahkan tidak akan menghabiskan waktu dengan kamu dan apabila kamu meminta bantuan mereka akan pergi atau secara sengaja mengirim kamu ke arah yang salah. Mereka sangat kasar dan tidak bersahabat.
”Astaga” jawab wanita tua itu dengan wajah ketakutan, saya punya berita buruk buat kamu. Orang-orang di kota ini kurang lebih sama dengan orang-orang di Utopia. Saya rasa kamu pun tidak akan menyenangi mereka.”
Pengelana tersebut menjadi kecewa, ”Oh, begitu.” Katanya sambil menghela nafas, ”saya rasa saya akan meneruskan perjalanan.”
Selang beberapa saat seorang pengelana datang lagi. Ia melihat wanita tua itu duduk di situ, tersenyum dan mendekatinya. ”Permisi, katanya ”saya sedang mencari tempat untuk bermalam, dapatkah anda membantu saya dengan bercerita bagaimana orang-orang di kota ini?”
Wanita tua itu tersenyum kepadanya dan sekali lagi dia bertanya, pertanyaan yang sama seperti yang ia tanyakan kepada pengelana terdahulu.
”Saya datang dari Utopia ” katanya.
”Seperti apakah orang-orang di Utopia ?” wanita itu bertanya lagi.
”Oh, mereka orang-orang yang baik.” Jawab pengelana itu, ”saya suka sekali dengan mereka, mereka selalu ramah, siap untuk saling membantu dan pemaaf.”
”Baiklah kalau begitu.” Wanita tua itu memberitahu dia, saya rasa anda akan menemukan hangatnya sambutan di kota ini. Penduduk kota ini kurang lebih sama dengan penduduk Utopia .”
Sebuah kisah kebijakan dari masa lalu yang menarik untuk bahan renungan para pendaki karir. Wanita tua itu dapat mewakili ”head hunter” atau para interviewer sebuah perusahaan yang tengah mencari para eksekutif jempolan untuk berkarya di sebuah perusahaan. Pertanyaan utama yang harus digali dan dijelaskan adalah bagaiman performance di tempat bekerja terdahulu. Salah satu bagian yang diteropong adalah mengapa dia ingin pindah atau bersedia pindah dari tempat yang lama?
Seorang interviewer yang menjadi ’jembatan’ bagi para pemburu karir, pertama kali akan melihat jejak rekam (track record) seseorang yang menjadi kandidat yang akan digaetnya. Misalnya jika seseorang kandidat mempunyai track record amat sering berpindah pekerjaan. Pertanyaannya apakah ada yang salah dengan karirnya?
Dari pertanyaan awal inilah bergulir menjadi pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang lebih mendalam dan si pewawancara akan berperan sebagai nenek tua penjaga gerbang kota. Apakah ia sering berpindah pekerjaan karean kinerjanya yang amat kinclong, sehingga menjadi rebutan para employeer? Ataukah justru sebaliknya, si kandidat ini sebenarnya seseorang yang mempunyai kelemahan tertentu, sehingga memaksanya untuk selalu berpindah pekerjaan?
Salahkah berpindah-pindah pekerjaan? Barangkali untuk era sekarang, berpindah-pindah pekerjaan tidak menjadi persoalan, walaupun ada ungkapan yang agak sinis sebagai ”kutu loncat”. Masalahnya adalah alasannya berpindah pekerjaan.
Kita dapat memilah motif pindah pekerjaan berdasar dua hal, sebab internal dan sebab eksternal. Jika seseorang pindah pekerjaan, karena ”tidak tahan” terhadap situasi di dalam perusahaan pada saat ini, dapat dikategorikan sebagai sebab internal. Tetapi jika seseorang yang pindah pekerjaan semata-mata karena tergoda iming-iming bekerja di tempat yang lain, inilah yang diklasifikasikan sebagai sebab eksternal.
Namun seringkali untuk berpindah pekerjaan bukan berdasar motif tunggal, dan memang seorang pemburu karir yang matang selalu mempertimbangkan berbagai aspek sebelum memutuskan hengkang dari perusahaanya yang sekarang.
Inilah yang dikejar oleh pewawancara yang menjadi ”wanita tua penjaga gerbang kota”. Si pewawancara tentu sudah mendapat mandat dari perusahaan untuk menjaring calon yang benar-benar tepat untuk posisi yang tersedia. Dengan segala keahliannya mereka harus menelusuri kompetensi dan kinerja dari masing-masing kandidat. Seperti halnya si wanita tua di gerbang kota, mereka akan bertanya situasi ”kota” yang telah disinggahi sebelumnya. Bagaimana persepsinya terhadap kota sebelumnya, masalah-masalah apa yang ditemui, dan bagaimana solusi yang dilakukan dalam menghadapi masalah tersebut.
Jika ternyata si kandidat hanya singgah sebentar dari satu kota ke kota yang lain, tentu ada ’sesuatu’ yang harus diklarifikasi. Mungkinkah si kandidat berpindah-pindah dari suatu perusahaan ke perusahaan yang lain, justru karena lari dari masalah yang dihadapi? Berarti ia tidak dapat menyelesaikan masalah, dan justru lari dari masalah yang dihadapi. Jika dia hanya memandang negatif semua perusahaan yang ditinggalkan, apakah di tempat yang baru dia tidak akan bersikap yang sama? Dia tentu memiliki asumsi-asumsi untuk menilai sebuah perusahaan sebgai lingkungan kerjanya, tetapi apakah asumsi-asumsi yang dimiliki terlalu ideal. Sehingga pengembaraan karirnya hanya mencari sebuah ”kota” yang ideal dalam pandangannya, dan barangkali tidak akan pernah ditemukan dalam dunia kerja yang nyata. Dia akan selalu menemukan kekecewaan, dan lari dari masalah yang dihadapi untuk mencari ’kota’ yang lain.
Sebuah percikan permenungan bagi pendaki karir, keputusan untuk pindah pekerjaan harus dipikirkan masak-masak dan mempertimbangkan berbagai aspek. Pertimbangkanlah berbagai aspek lain, selain imbalan dan fasilitas. Misalnya apakah budaya perusahaan sesuai dengan karakter kita? Pastikan bahwa chemistry akan cocok.
* Managing Partner The Jakarta Consulting Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya